|
Ayah: 1963 - 16 Januari 2008 |
Sembilan tahun sudah ayah tidak lagi bersama kami. Ayah kembali kepada-Nya setelah berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya pada 16 Januari 2008 silam. Di usia 45 tahun. Usia yang sangat muda.
Sembilan tahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak hal sudah terjadi selama masa itu. Tapi rasanya baru kemarin pagi aku duduk dengan ayah di beranda rumah. Saat itu kondisi ayah sudah parah, ia duduk di kursi bambu dengan tubuh berbalut jaket hitam. "Ayah sudah tidak sehat lagi," katanya ketika itu. Mungkin ayah sudah punya firasat mengenai dirinya sendiri.
Aku hanya bisa menunduk dengan hati penuh kecamuk. Ingin menangis, tapi tak ingin kutunjukkan kesedihanku. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa.
Aku masih ingat wajah pucat ayah yang kekuningan. Sesekali wajahnya meringis, menahan sakit yang kuyakin sangatlah menyiksa. Tiap kali mengingat ayah selalu saja hati ini menjadi gerimis. Mendadak menjadi cengeng. Apa saja yang mengingatkanku pada ayah selalu membuatku tak bisa membendung air mata.
Saat sendiri, atau dalam perjalanan pulang dari tempat bekerja sering sekali air mata ini menitik begitu saja. Aku terkenang masa-masa kecilku yang bahagia dan penuh keceriaan. Aku bersyukur menjadi anak dari ayah dan ibuku. Orang tua yang selalu mengasihi dan rela berkoban apa saja demi anak-anaknya.
Aku dan ayah punya kenangan tersendiri. Sebagai anak pertama, perempuan pula, aku merasakan benar bagaimana kasih sayang ayah dan ibu dicurahkan kepadaku. Sejak kecil aku menjadi anak yang penurut, tidak pernah membantah apalagi memberontak. Selalu mematuhi apa yang dikatakan oleh orang tua. Selalu berusaha memahami kondisi orang tua dengan tidak pernah meminta ini dan itu.
Aku menjadi saksi bagaimana kerasnya ayah dan ibu bekerja dan berusaha. Kami hanyalah keluarga petani yang menggantungkan hidup dari berladang dan bercocok tanam. Sejak kecil ayah dan ibu selalu membawaku dan adik lelakiku yang nomor dua, Rizal, ke ladang. Kami membantu apa saja yang bisa kami lakukan. Entah itu membantu mencabuti rumput di kebun cabai, atau membantu memetik cabai saat panen tiba. Saat kami sudah agak besar kami mulai 'bermain' di kebun cokelat. Kami sangat menikmati semua itu. Bisa dibilang, aku dan Rizal 'besar' di ladang.
Karenanya, setiap kali lelah mendera dan aku merasa beban hidup terlalu berat, aku segera terbayang pada perjuangan ayah dan ibu dulu. Tak sekalipun kulihat mereka mengeluh. Bahkan ibu rela telapak tangannya terkelupas karena memegang gagang cangkul. Ayah sering kali pulang larut malam dengan kondisi sepeda motornya dipenuhi lumpur. Aku terbayang masa-masa saat aku dan Rizal berebut membantu ibu memasukkan tanah ke polybag, untuk menyemai bibit coklat. Di lain waktu kami mengangkut bibit-bibit yang sudah besar ke kebun untuk ditanam. Kami memasukkan bibit ke dalam ember dan menaruhnya di kepala. Saat itu kami masih SD.
Kenangan-kenangan itu memberikan kekuatan dan membuatku tegar. Membuatku menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Kusapu air mata yang menitik. Aku bukan sedang menangisi takdir yang terjadi setelah ayah pergi, sama sekali tidak, aku hanya menangis sebagai anak perempuan yang merindukan ayahnya. Sedih setiap kali melihat ibu yang tak punya teman bertukar kisah. Sedih, karena sebagai anak pertama aku belum bisa mengambil alih tugas dan tanggung jawab untuk menafkahi keluarga.
Tanpa perlu kuceritakan apa yang terjadi, aku yakin ayah mengetahui semuanya. Dan Allah akan membantu menyelesaikan semua persoalan ini. Semua kesedihan ini suatu hari nanti akan berganti dengan senyum tak berkesudahan. Semua kesakitan dan kesulitan akan berganti dengan kemudahan. Aku yakin sekali. Aku hanya ingin membahagiakan ibu, mengembalikan senyum di bibirnya, mengembalikan binar di matanya, menyembuhkan hatinya yang hancur berkeping-keping.
Adakalanya aku bahkan tak kuasa menahan diri saat sedang berada di tengah-tengah keluarga besar. Melihat bagaimana pedulinya mereka pada keluarga kami membuatku menjadi terharu. Sekali waktu, aku menangis terisak-isak di pelukan pamanku. Aku memanggilnya Cek Ya, adik sepangkuan ayah. Aku bahkan lupa pada umurku. Harusnya bukan begitu caraku menangis. Saat menyalaminya dan ia mencium dahiku, tiba-tiba perasaan tak menentu menyelimutiku. Aku tak bisa menguasai diri.
Saat ibu dioperasi dan aku sendirian karena kebingungan, Cek Ya juga yang menenangkanku. Ia memelukku dan membiarkan aku menangis sembari mengatakan bahwa ibu akan baik-baik saja. Setiap kali melihat wajah-wajah pamanku, aku seperti melihat wajah ayah di sana. Wajah yang tegas, namun menyimpan kelembutan luar biasa di hatinya.
Aku bisa jadi representasi dari ayahku. Tipikal sosok yang tak banyak bicara, tak pandai berbasa-basi, tapi memiliki jiwa yang sensitif. Dengannya aku menyembunyikan air mata yang sebenarnya sangat mudah tumpah.
ayah,
dengan atau tanpamu waktu tetap saja sama
setahun tetaplah 365 hari
yang berbeda adalah ketika rindu menyergap
membuat waktu terasa begitu lamban
dan yang menyesakkan,
rindu itu akan selamanya menjadi rindu
tak bisa dipulihkan
memang ada fotomu yang bisa kami lihat
aku memotretnya kembali beberapa hari setelah ayah pergi
dan memasangnya dalam bingkai berwarna ungu
lalu memajangnya di kamar dan ruang tamu
dengannya kami masih bisa mengingat
bahwa ayah sangatlah tampan
dengannya kami masih bisa mengingat
bahwa jika tersenyum ayah sangatlah rupawan
tetapi yang kami rindukan kadang lebih dari sekadar melihat
kami rindu mendengar ayah pulang dan bilang assalammualaikum
kami rindu menanti-nanti ayah pulang dan berharap ayah membawa mie goreng atau martabak
kami rindu mendengar ketika ada yang menangis di antara kami
kemudian ayah bilang ca'p ca'p ca'p
kosa kata yang kupahami artinya sebagai diam, diam, diam