Kamis, 22 Desember 2016

Sepakbola dan Pemenang Sejati


SAMPAI detik ini saya belum menemukan di mana letak 'kenikmatan' menyaksikan pertandingan sepak bola. Sekalipun pertandingan itu sekelas World Cup yang paling ditunggu-tunggu umat manusia sejagat.

Ya, saya kerap terheran-heran saat melihat orang-orang di sekeliling saya begitu antusias menunggu jadwal pertandingan sepak bola. Apalagi jika yang akan bertanding merupakan klub-klub sepak bola tersohor. Tentunya dengan pemain yang sudah menjadi bintang kelas dunia. Bukan lagi sekelas 'tarkam'.

Saya juga tak habis pikir saat seorang remaja perempuan tiba-tiba merajuk. Hasratnya menonton pertandingan antara Indonesia vs Thailand di Piala AFF gagal total, gara-gara adik lelakinya ingin menonton  film The Edge di chanel yang berbeda.

Kini bola bukan hanya milik laki-laki, tapi juga milik kaum perempuan. Sayangnya, saya belum bisa menyukai bola seperti saya menyukai senyumnya Neymar yang manis.

Bagi saya, yang menarik justru setelah pertandingan selesai. Menarik membaca berbagai status di time line media sosial. Menarik mencermati bagaimana seorang penggemar meluapkan kegembiraan ketika tim jagoannya menang. Pun sebaliknya, letupan emosi tersurat dengan jelas lewat umpatan-umpatan manakala tim yang didukungnya dengan setengah hati kalah dengan 'cantik'.

Jumat, 16 Desember 2016

Cinta Itu Sederhana, yang Rumit adalah Kita


Perlukah aku menyebut namamu dengan garang seperti dulu. Kurasa cukup dengan perlahan saja. Biarlah seperti angin yang bertiup santai, tapi mampu merapatkan kelopak mata. Atau seperti embun yang lembab saja, tetapi dinginnya mampu menembus dinding pori.

Kita tak perlu riuh seperti bayu yang gebunya meremukkan dahan-dahan kering. Atau bergemuruh seperti ombak yang melenyapkan butir-butir pasir. Biarlah mengepak perlahan, seperti kilau sayap camar yang berpadu dengan gurat senja di ujung waktu.

Bahkan saat hati ini melafalkan sesuatu, aku berharap telinga ini tak menangkap suara apapun. Sekalipun itu berbentuk doa. Semua tentangmu kuharapkan menjadi senyap yang lengang.

Kukatakan bahwa aku selalu mengingatmu. Kalimat yang kuucapkan itu seperti anai-anai yang terlepas dari kuntum bunga widuri. Ia terbang ke mana angin membawanya. Melesat begitu saja dari bibir ini. Perlukah kita menyembunyikan rasa?

Rasa membuat kita memahami, bahwa hangatnya mentari pagi mampu menembusi tulang yang tersembunyi di balik kulit. Membuat kita memahami, senyapnya fajar bercampur dengan udara yang lembab mampu menembusi indera kita sekalipun.

Bisakah kita menahan cangkang telur agar tidak pecah? Lalu bagaimana dengan kehidupan yang terdapat di dalamnya?

Cinta itu sederhana, yang rumit adalah kita!