Senin, 15 November 2021

Ceroboh

Ilustrasi


Saya meyakini, ketelitian pasti akan membawa pada manfaat. Untung. Sebaliknya, kecerobohan pasti akan berujung pada kemudaratan. Rugi. Terlepas apakah untung dan ruginya besar atau kecil itu persoalan lain. Begitu juga bentuk untung ruginya, bisa macam-macam. Tak melulu berkaitan dengan uang. Sore tadi, saya mengalami kerugian akibat kecerobohan pemilik warung kopi. 

Ceritanya, selepas asar tadi, saya pergi ke warung kecil di bantaran Krueng Aceh. Sudah lama saya tidak ke warung itu dan tiba-tiba saat terjaga dari tidur siang tadi, terlintas di pikiran saya untuk ke sana. Seperti biasa, saya membawa laptop dan buku. Tergantung mana yang akan saya dahulukan setiba di sana: mengetik atau membaca.

Warung itu letaknya di ujung kampung. Pemiliknya salah satu warga di sana. Bangunannya sederhana saja, seluruh konstruksinya bermaterial kayu. Tiang-tiangnya terpacak di dalam sungai. Lantai kayunya agak sedikit berderik saat dipijak dan membuat saya pelan-pelan saat melangkah. Khawatir menimbulkan derik-derik yang mengusik pengunjung lain. 

Yang membuat nyaman duduk di sana, selain angin pesisir yang lalu-lalang dengan bebas karena kedainya terbuka, juga dimanjakan dengan hijaunya area sekitar yang ditumbuhi bakau. Ada dermaga kecil yang digunakan nelayan untuk menambatkan perahu-perahu mereka. Sesekali lewat perahu bermesin berbadan jumbo. 

Begitu tiba di warung dan sebelum duduk di kursi yang menghadap ke seberang sungai, saya memesan sirup ABC dingin. Sore-sore, meski langit tampak mendung, pasti enak menikmati yang segar-segar dan asam.

Tak lama setelah saya duduk, pemilik warung, perempuan paruh baya yang juga terlihat segar menghidangkan segelas sirup berperisa jeruk. Gelondongan es kristal tampak mengapung. Es yang menyublim melahirkan butiran embun di badan gelas. Saya terbayang pada iklan di televisi yang mempromosikan jeruk dari salah satu negara di Afrika. Ah... betapa segarnya.

Namun, bayangan akan kesegaran itu dengan sendirinya kabur dari pikiran setelah saya mendapati banyak butiran halus berwarna cokelat tua di bibir gelas. Bahkan, ada juga yang sudah bercampur dengan air. Saya menduga, butiran halus itu semacam bubuk kayu atau orang Aceh biasa menyebutnya boh jawa. Menempel di bibir gelas yang diletakkan atau ditelungkupkan (Aceh: gom) di tempat/rak yang sebelumnya sudah ditumpahi bubuk kayu.


Akan tetapi, setelah saya lihat-lihat lagi, itu bukan boh jawa.  Entahlah! Saya tidak berhasil mengidentifikasinya. Yang pasti, saya sudah tidak berminat lagi untuk meminumnya.


Saya terpikir untuk memberi tahu pemilik warung, kalau ia sudah ceroboh. Tak mungkin benda halus yang mencolok seperti itu luput dari pandangannya. Saya ingin komplain. Sebagai pelanggan, saya berhak, kan? Berhak pula mendapat ganti minuman yang baru. Namun, mengingat banyak orang di warung yang kecil itu, saya urungkan keinginan untuk mengomplain.

Akhirnya saya putuskan untuk memesan teh manis. Hati kecil saya bilang, "Sudah, pesan yang lain saja, jangan beri tahu pemiliknya kalau minuman itu ada kotorannya. Tak mengapa rugi sedikit, paling-paling hanya beberapa ribu." 

Saya beralasan minuman yang tadi dimasuki lalat, padahal tak satu pun ada lalat yang melintas selama saya duduk. 

Dengan cepat pemilik warung menyuguhkan minuman baru. Kali ini, untuk mengantisipasi lalat-lalat nakal yang kemungkinan gerah dan ingin berenang, minumannya ditutup dengan plastik.

Sebelumnya, sempat saya dengar si Ibu berkata pada suaminya, "Sayang sekali, padahal belum sempat diminum."

Saya meneguk teh manis yang sangat manis itu. Biarlah saya rugi beberapa ribu, tapi 'untung' banyak.[]

Senin, 01 November 2021

Selamat Datang, November

sumber foto: allaboutof.com


Selamat datang, November.

Biar seperti orang-orang, aku pun ingin menyambut hadirmu dengan sepotong basa-basi.

Hari ini, langit yang mula-mula begitu cerah, pada akhirnya takluk pada mendung, lalu hujan benar-benar mengambil alih cuaca.

November dan hujan. Seolah seperti karib yang tampak enggan berjauhan. Dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, guru Ilmu Pengetahuan Alam-ku bilang, Indonesia ini cuma punya dua musim; kemarau dan penghujan. 

Musim kemarau akan datang sepanjang Januari hingga Juni, seterusnya, akan masuk musim penghujan. Semua bulan yang berakhir dengan -ber akan menjadi bagian dari musim penghujan. Salah satunya kamu, November. Tapi kini, akibat anomali cuaca, hal itu sepertinya tidak lagi bisa menjadi patokan. Sama seperti hujan yang bisa datang kapan saja, kemarau pun seperti itu.

Di masa kanak-kanak dulu, aku selalu menantikan hujan. Bermain hujan selalu menghadirkan kesenangan tersendiri, walaupun setelah itu aku akan demam, asmaku kumat. Karena itu pula, Ayah selalu melarangku bermain hujan. Namun, jika hujan turun dan Ayah tidak di rumah, aku akan tetap bermain hujan. Merengek-rengek pada Ibu sampai hatinya luluh. Lalu saat hujan mulai reda buru-buru aku menyudahi dan selanjutnya tidur. Salah satu trik untuk mengelabui Ayah, seolah-olah aku tidak bermain hujan. 

Namun, manakala malam harinya atau esoknya tubuhku mulai memanas dan aku mulai kesulitan bernapas, Ayah akan segera tahu kalau aku pasti bermain hujan. Tetapi Ayah tidak pernah memarahiku, paling-paling cuma mengatakan itulah akibatnya kalau aku tidak mendengarkan amaran mereka.

Selamat datang, November.

Hari ini, saat melihat kalender di gawaiku dan mendapati sudah tanggal 1 November, aku merasa 'takjub' sendiri. Oh, betapa cepatnya waktu berjalan, uhm, padahal aku tahu, waktu itu bukanlah makhluk yang kasat mata, alih-alih punya kaki untuk berjalan. 

Rasa-rasanya, baru kemarin tahun berganti. Rasa-rasanya baru kemarin aku menikmati euforia tahun baru. Tahu-tahu, sekarang kau sudah tiba dan itu artinya enam puluh hari sejak hari ini, tahun akan kembali berganti.

Hari-hari yang begitu amat cepat berjalan, membuatku tak sempat untuk menengok ke dalam nganga luka di hati. Aku berterima kasih pada kesibukan yang telah merenggut sebagian besar waktuku, hingga sedikit sekali waktu yang kupunya untuk meresapi kehilangan. 

Satu hal yang kusyukuri dari waktu yang terus bergerak maju, yakni usiaku yang terus bertambah. Usia yang matang, membuatku kini punya banyak jendela untuk memandangi kesedihan yang terbit dari sebuah kehilangan. Kesedihan, sama halnya seperti kebahagiaan, harus dinikmati dengan paripurna. Kesedihan, yang sering kali hadir karena suatu kehilangan, merupakan jalan untuk membuka pintu bagi yang datang dan menjanjikan kebahagiaan.

Selamat datang, November.

Aku teringat pada sebuah kidung yang mengatakan bahwa tak selamanya mendung itu kelabu. Ya, hanya karena suatu kehilangan, tak lantas dunia jadi berubah muram, kan? Satu kehilangan, harus menjadi pemicu untuk menghadirkan tunas-tunas baru. Aku selalu meyakini, untuk melihat warna dunia, hanya pada bagaimana kacamata diletakkan.[]