Rabu, 28 Agustus 2013

Nostalgia cinta di Yahoo! Messenger

WAKTU setahun terasa sangat singkat yaa, ngga berasa udah mau September aja. Tapi bagi yang sedang terbelit rindu setahun itu jadinya sangat lama sekali. Sesekali aku mau bicara soal rindu, yang sampai sekarang ngga pernah bisa kumengerti. Rindu kadang bikin aku senyum-senyum sendiri, kadang juga diam terbengong-bengong, kadang manyun. Biar pun begitu, si rindu telah mengajarkan aku arti cinta, rasa sayang dan juga konsistensi, Ugh... :-D

Seperti biasa, hari-hariku selalu dilaburi rindu yang berat. Rindu pada sesosok makhluk Tuhan yang menurutku sangat luar biasa. Luar biasa karena meski banyak bikin aku manyun tapi dia tahu sekali bagaimana menerbitkan rindu di hatiku hehehehe. Sosok itu terakhir kali kulihat matanya 25 September tahun lalu, sebelas bulan lalu. Waktu itu sempat kubisikkan sepotong kalimat pendek; happy birthday dan i love you hihihihih....walaupun kecepetan sehari karena mestinya dia ulang tahun tanggal 26 September.

Tentu saja aku sangat mengingat hari itu, karena setelahnya ada satu cerpen yang kubuat. Cerpen itu lantas kukirimkan ke Kompas, ditolak. Lalu ku edit lagi dan kukirimkan ke Femina, ditolak lagi!!! :-D Dan setelah hari itu sampai hari ini belum ada satu cerpen pun yang kubuat. Tapi, aku masih tetap menulis kok.

Senin, 19 Agustus 2013

Belajar dari cara ibu dan nenekku mencintai

ilustrasi menikah @ismaji81.wordpress.com
BAGI aku yang masih single, pernikahan selalu menjadi tanda tanya sekaligus membuat penasaran. Seperti apa sih pernikahan itu? Bagaimana kehidupanku nanti setelah menikah? Apakah pernikahan itu seindah dan sewangi layaknya bunga yang sedang bermekaran. Seperti yang banyak diilustrasikan dalam novel-novel roman yang indah dan puitis.

Atau... apakah pernikahan itu seram dan menyeramkan? Sehingga banyak terjadi hal-hal yang menurutku bukan termasuk cita-cita pernikahan itu sendiri. Misalnya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan sampai perceraian. Jawabannya tentu saja menikah dan mengalaminya sendiri, lalu temukan jawabannya sendiri.

Beberapa tahun silam aku pernah mencemburui kehidupan seseorang, ia mengilustrasikan kehidupan rumah tangganya dengan sangat sempurna. "Pasangan hidup yang rupawan, anak-anak yang cerdas dan cakep, serta harta yang berkecukupan," tiga hal itu yang terus mengiang dalam benakku. Betapa beruntungnya makhluk Tuhan yang satu ini. Dan tentunya banyak detil-detil lainnya yang sering membuatku iri saat ia menceritakan kehidupannya.

Pekan lalu aku kembali mengobrol dengannnya, sekedar bernostalgia. Tau apa jawabannya saat kusinggung pernyataannya beberapa tahun lalu itu? "Ibadahnya kurang," katanya jujur, menggambarkan kehidupannya yang sekarang. Aku tahu rumah tangganya tak seharmonis dulu lagi, anak-anak telah tumbuh remaja, dan tentunya kondisi fisik yang tidak seperti dulu lagi. Usia pernikahan mereka hampir genap 20 tahun.

Saat ini salah satu keluarga dekatku juga sedang diterpa prahara rumah tangga. Aku tidak begitu mengetahui apa akar masalahnya. Selentingan kudengar karena persoalan ekonomi dan si istri yang "keras kepala". Kisruh rumah tangga itu rupanya sudah sampai pada pihak yang berwajib. Selain keras kepala si istri rupanya juga punya hobi cerita, hampir ke semua keluarga ia menceritakan masalahnya, termasuk keluarga jauh yang dua tahun sekali pun belum tentu ketemu. Termasuk padaku yang hanya pulang kampung setahun dua kali. Tapi, karena aku tak begitu menggubrisnya mungkin ia pun tak terlalu antusias bercerita.

Satu hal yang ingin kukatakan bahwa usia pernikahan mereka barulah tujuh tahun. Waktu yang menurutku terlalu dini untuk menemui "bosan". Bayangkan, anak-anaknya saja belum ada yang sekolah dasar. Apakah secepat itu rasa cinta menguap? Padahal dulu berada di pihak yang "mengejar-ngejar",yang menginginkan agar pernikahan itu segera terwujud, apalagi kalau bukan karena saking cinta. Dalam kasus ini aku belajar bahwa cinta ternyata tidak bisa membuat seseorang mampu "tertundukkan" sesuai porsinya. Dalam hal ini statusnya sebagai istri yang tak bisa menahan diri untuk tidak ngebossy, sebagai ibu yang tak bisa menyayangi anak-anaknya sepenuh hati, sebagai istri yang tak bisa menutupi kekurangan suaminya, katakanlah soal penghasilan yang tidak sesuai keinginannya, dan menurutku terlalu naif jika kemudian ia begitu menonjolkan dirinya yang selalu mengtakan "saya memenuhi kebutuhan saya sendiri,".

Padahal, kini mereka telah tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah mereka sendiri. Punya investasi tanah meski tidak begitu luas. Dan itu dibeli dengan uang dari jerih suaminya. Wow! Aku kadang-kadang merasa surprise, betapa ego kadangkala tidak bisa membuat seorang istri menghargai suaminya. Begitu juga sebaliknya. Nafsu materi yang tak bisa dibendung bagai banjir yang sewaktu-waktu bisa membuat jebol bendungan kokoh sekalipun.

Cukupkah dua kasus di atas untuk menggambarkan kompleksitas rumah tangga? Aku masih punya satu cerita lagi yang menurutku benar-benar mengherankan, seseorang yang tega mengkhianati pasangannya dan mencari kenyamanan pada orang lain. Alasannya cuma satu; pasangannya terlalu cuek.

"Saya mau pergi ke mana saja tidak pernah ditanya, mau pulang jam berapa juga ngga peduli," itu adalah salah satu dalih untuk menjustifikasi tingkah lakunya. Apakah ia tidak merasa bersalah? Kadang kala rasa itu juga menghinggapinya, tapi mabuk asmara lebih sering mendiami pikirannya. Ia pun lupa mempunyai keluarga dan anak-anak.

***

Berbicara pernikahan tentu saja berkaitan dengan kesetiaan, dan komitmen. Inilah yang selalu dikatakan oleh nenek dan juga ibuku. Aku hanya percaya pada definisi setia yang disampaikan oleh dua orang ini saja. Sebab aku tumbuh dan besar di lingkungan mereka, menyaksikan bagaimana mereka menerjemahkan kesetiaan itu. Karena hanya dua orang ini yang telah mengantarkan pasangan hidupnya ke peristirahatan terakhirnya. Di pangkuan mereka. Dengan cara yang amat mengagumkan.

Aku memulai dari bagaimana cara nenekku menunjukkan cinta dan setia pada pasangannya. Suatu hari aku pernah mecuri dengar obrolannya dengan ibuku. Di malam pertama perkawinannya nenek bermimpi, kain sarung miliknya tiba-tiba berubah menjadi sangat usang dan nyaris terbelah. "Hanya seutas benang yang membuat sarung itu tetap menyatu," katanya waktu itu.

Ia pun menafsirkan mimpi itu dengan kehidupannya dengan amat sangat sederhana. Yang menurutnya jika untuk mencari yang "lebih" tidak mungkin layaknya kain sarung yang berubah menjadi usang tadi. "Namun seutas benang itu yang membuat kami tetap bersama selamanya," kata nenek. Dan memang, terlepas dari apa takbir mimpi itu, aku tidak melihat ada hal yang berlebihan dalam rumah tangga nenek dan kakekku, selain anaknya yang berjumlah selusin.

Bukan cuma soal keadaan ekonomi yang jauh dari kata mapan. Ternyata nenekku juga harus berjuang perasaan agar terus bisa mencintai kakek. Apakah mereka tidak saling mencintai saat menikah? Jawabannya tentu saja, mereka juga menjalin hubungan khusus dulu sebelum menikah. "Tapi sejak punya anak pertama perasaan itu seperti musnah," katanya. Bukan, bukan karena kehidupan yang morat marit yang membuatnya tidak lagi mencintai suaminya. Tapi karena ada yang mengguna-gunainya, seorang pria yang juga mencintainya namun ditolak cintanya oleh nenekku telah menzaliminya. Soal ini tentu saja aku memercayainya, sebab aku sering melihat bagaimana nenekku jika sakitnya sedang kambuh. "Tapi karena saya tahu itu bukan berasal dari diri saya makanya saya tidak mengikuti rasa itu," katanya dengan yakin. Dan itu dibuktikannya, mereka terus berdampingan hingga kakekku meninggal dunia tahun 2006 lalu.

Ibu saya? Beliau adalah perempuan luar biasa yang kesetiaannya telah teruji. Ia pernah hidup bersama ayah saya di masa-masa sulit, senang dan "sulit" kembali. Satu yang selalu saya ingat dari caranya mencintai adalah dengan menjaga nama baik ayah. Bukan tak pernah mereka tak bisa membeli pakaian baru di hari lebaran untuk anak-anaknya, bukan pula mereka tak pernah mengalami kesulitan keuangan sampai tak bisa membeli beras. Mereka juga pernah cek-cok kukira, hal yang lumrah dialami oleh suami istri di seluruh dunia.

"Tapi sampai hari ini tidak ada yang tahu hal itu," begitu sering ibu bercerita kepada kami anak-anaknya. Maksud ceritanya bukanlah untuk "pamer" atau untuk menyama-nyamakan kondisi dulu dengan sekarang. Tapi ia ingin mengajarkan bahwa kesenangan hanya bisa diperoleh dengan kerja keras.Dan itu terbukti tertular pada saya. Lagipula bercerita pada orang yang tidak tepat sama sekali jauh dari kata bijak bukan?

Ketika suatu fase dalam hidupnya terjadi hal-hal yang di luar kehendaknya, ibu tak mengadukan masalahnya kepada sembarang orang. Ia selalu pergi ke tempat Abu, seorang alim ulama di kampung kami. Abu lantas memberinya nasehat bijak yang membuat hatinya damai dan tenang, dengan begitu ia pun mempunyai kembali kekuatan untuk memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Itulah ibuku, dan semua cerita itu kuketahui ketika semua fase itu telah berlalu.

***

Aku sering mendengar cerita manis tentang pernikahan dari mereka yang baru menikah setahun, lima tahun, bahkan dua puluh tahun sekalipun. Tapi aku tak langsung memercayainya begitu saja, terlebih di dunia dengan kecanggihan teknologi seperti sekarang ini. Mereka yang mengaku bahagia tak jarang diam-diam "curhat" di dunia maya tentang kamuflase yang dialaminya. Mereka yang lantas sms ria dengan kalimat papa-mama bukan dengan pasangannya yang sah. Mereka yang diam-diam membuat akun samaran untuk menutupi apa sebenarnya yang dikehendakinya di dunia nyata. Ya, saat mereka bercerita aku hanya bisa mengangguk-ngangguk, mereka perlu belajar pada cara ibu dan nenekku mencintai dan menyetiai.[]

Rabu, 14 Agustus 2013

Sahabat, andai saja kalian tahu...

BEBERAPA bulan lalu saya pernah posting tulisan tentang beberapa teman yang sampai sekarang masih terus menjalin komunikasi. Meski ada yang sudah berada di luar kota, tapi kami cukup akrab, untuk menjalin komunikasi kami pun memanfaatkan jejaring sosial.

Sejak kemarin sore, Selasa 13 Agustus 2013, saya teringat pada mereka; Nita, Rusmi, Ety dan Yuyun. Ingin kumpul-kumpul, ngobrol-ngobrol, sambil makan-makan. Tapi berhubung nggak tahu mereka ada di mana ya kerinduan yang muncul menjelang magrib itu pun saya biarkan begitu saja. Saya sempat berniat menghubungi Ety, untuk mengajaknya makan bakso. Tapi karena hujan saya pun mengurungkan niat itu. Mengajak Nita, itu nggak mungkin karena ia tinggal di Aceh Besar, sekitar 14 kilometer ke arah utara Banda Aceh. Rusmi, kemarin saya lupa kalau doi yang jaraknya paling dekat dengan saya. Yuyun, setahu saya Yuyun masih di Jakarta.

Sore ini, kerinduan saya pada mereka pun kembali membuncah. Meski yang tinggal di luar daerah hanya Yuyun, tapi saya, Rusmi, Ety dan Nita jarang sekali bertemu. Kebetulan pekerjaan pun sedang tidak terlalu banyak, saya mengambil hape dan mencoba menghubungi Rusmi. Tentu saja mengajaknya untuk makan malam, sembari nongkrong dan cerita-cerita.

Tapi, jawaban Rusmi mengecewakan. Dia sudah makan, baru saja. Itu artinya ajakan saya terlambat beberapa waktu dari acara makan-makannya. Ya, kalau dipikir-pikir memang terlambat saya mengajaknya. Sudah pukul enam lewat, hampir azan magrib. Tapi bukan jawaban itu yang buat saya kecewa, melainkan acara makan-makannya bersama dua teman lainnya; Ety dan Yuyun.

Ah, terbersit rasa kecewa di hati kecil ini. Jika saja mereka mengajak saya untuk makan sore ini, pasti saya tak bertanya banyak, langsung saya iyakan ajak tersebut. Bahkan Yuyun, tega sekali tak memberi tahu kalau dirinya ada di kota ini. Hm, kadang-kadang terfikir juga, apa susahnya mengirimkan pesan, atau sekedar inbox di facebook, sekedar ngasih tahu. Kalau pun ia sibuk tak bisa ketemu, ya ngga apa-apa juga. 

Saya pun 'protes' kepada Rusmi, kenapa dia nggak ngasi tahu saya, jawabannya terlalu...terlalu...terlalu apa ya, susah jelasinnya. Karena dia pikir saya masih di kampung, oh kawan....padahal tinggal sms, atau telp saja sudah bisa untuk mengetahui di mana posisi seseorang.

Jadi teringat ceramah almarhum KH Zainuddin MZ. Katanya jangan memasukkan sesuatu ke hati terlalu berlebihan. Karena ketika hilang bikin sakit hati dan sedih banget. Saya memang tidak kehilangan teman-teman ini, tapi entahlah...seperti ada yang berembun di hati saya. Mungkin karena mereka sahabat-sahabat saya yang telah mendapat tempat khusus di hati saya.[]

Puisi rindu

Puisi rindu
Hei, apa kabarmu hari ini?
Di tanah ini rindu sedang bergemuruh
Menusuk-nusuk relung dalam kalbu yang kian beku
Bukan, bukan karena hujan kemarin sore
Tapi karena embun yang kau kirim ke ceruk hatiku

Ah,
Hampir lupa aku bagaimana mengirimimu puisi
Bukan karena tak ingin
Tapi rindu itu sendiri adalah puisi paling maha
Yang mampu menggerakkan ingat, pikir dan juga rasa
Melangkahkan imaji, menembus ruang dan waktu
Untuk bersemayam di dirimu



for my beloved Z

Selasa, 13 Agustus 2013

Lebaran di kampung kami

foto by ipad.fajar.co.id
AKU lupa menengok jarum jam. Perkiraanku masih sekitar pukul sembilan malam ketika aku sibuk-sibuk di dapur. Merajang cabe, kacang panjang, bawang, tomat, membuat bumbu, mengukur kelapa. Sudah beberapa kali lebaran ini kami tak alpa membuat lontong untuk hari raya. Maka aku selalu kebagian tugas ini, membuat sambal tauco, menggoreng kerupuk, membuat mie, sampai memasak kuahnya. Biasanya baru selesai sekitar pukul sepuluh lewat.

Aku sendirian di dapur. Mak sedang menjahit di ruang depan. Iparku sedang sibuk mengganti karpet di ruang tengah bersama beberapa anak muda teman suaminya. Masing-masing kami menjadi komando untuk pekerjaan kami sendiri.

Pekerjaanku hampir selesai ketika Mak turun ke dapur. Aku sedang mencuci piring. Mak mengeluarkan daging masak merah dan masak putih dari lemari, kemudian memanaskannya. Tak lama kemudian terdengar suara takbir selintas lalu. Aku dan Mak seperti teringat, oh, ini ternyata malam lebaran.

Kami berdua seperti terlempar ke masa belasan tahun silam. Di mana lebaran menjadi momen yang sangat istimewa. Lebaran menjadi hari-hari yang paling ditunggu-tunggu dengan penuh suka cita.

"Seperti bukan lebaran, tidak terdengar suara takbir di kampung ini," kata Mak. Aku mengangguk. Apa yang dikatakan Mak benar. Menjelang magrib tadi sudah diumumkan bahwa 1 Syawal jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013. Mestinya malam ini suara takbir menggema di mana-mana. Di meunasah yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumahku, tak ada suara takbir. Sepi senyap. Di Masjid yang terletak di utara kampung juga sama. Iparku yang baru pulang dari kota bilang tak ada aktivitas apa-apa di masjid.

"Cuma ada di pesantren saja," kata iparku menyahuti pernyataan Mak.

"Jadi rindu suasana kampung yang dulu ya Mak," kataku.

Kami berdua lantas bernostalgia. Saat aku masih kecil, orang tuaku menetap di desa yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer ke selatan dari desa ini. Aku masih ingat betul bagaimana kami sangat mengistimewakan lebaran, kemeriahan itu mulai terasa saat malam harinya. Sore harinya, aku yang waktu itu masih SD bersama adik dan teman-teman sebaya lainnya mulai menyiapkan tempurung kelapa. Sisa-sisa kelapanya kami bersihkan, begitu juga sisa-sisa sabutnya di bagian luar. Pinggirnya kami ratakan dengan pisau. Tempurung itu kami jadikan wadah untuk membakar lilin. Dengan cahaya lilin kami para anak-anak akan berkeliling kampung.

Rumah-rumah penduduknya, waktu itu belum ada listrik, diterangi dengan obor-obor yang terbuat dari bambu atau kaca limun. Ada juga yang terbuat dari bambu dengan beberapa sumbu sekaligus. Di meunasah kami yang sederhana, sebagian orang tua mengurus pembagian dan penerimaan zakat fitrah. Sebagiannya lagi bertakbir. Sedangkan anak-anak mudanya sebagian berkeliling ke rumah warga untuk meminta penganan kue-kue hari raya. Kue-kue itu nanti akan dihidangkan kepada amil zakat dan pentakbir. Ibu-ibunya juga tak mau kalah, mereka sibuk memberesi rumah agar besoknya saat tamu-tamu datang rumah sudah rapi.

Saat hari raya tiba, suasana kampung seolah-olah ikut berubah. Pagi-pagi seluruh penghuni kampung sudah ke meunasah. Sambil menunggu seluruh warga berkumpul, jamaah laki-laki bertakbir. Setelah semua tiba, takbir disudahi dan salat Ied langsung dimulai. Jangan pikir mereka langsung bubar setelah salat usai. Tetapi, semua jamaah berbaris melingkar mengikuti luas meunasah. Dimulai dari anak-anak, satu persatu kami menyalami para orang tua yang sudah berbaris tadi. Begitu seterusnya sampai akhirnya kami turun dari meunasah.

"Walaupun kita tidak sempat bertamu ke rumahnya, tapi kita sudah bersalaman," kata Mak kepada menantunya. Di hari raya, dari pagi sampai sore tak pernah berhenti kami bersilaturahmi ke semua rumah.

Ya, aku terpekur. Zaman memang sudah berubah. Lilin-lilin kecil yang dulu kami pakai sebagai penerang di malam hari raya telah berganti dengan listrik yang terang benderang. Masyarakatnya semakin individualis, bahkan sampai ke kampung-kampung seperti kampungku. Bertamu hanya ke rumah saudara masing-masing, selebihnya di rumah, sibuk dengan dunia sendiri. Menonton televisi atau menghabiskan waktu untuk tidur-tiduran sambil menikmati kue-kue lebaran. Ah...[]

Minggu, 04 Agustus 2013

Puasa untuk melatih diri? Ah, yang benar saja

Ilustrasi belanja @merdeka
Ramadan hanya tersisa empat hari lagi, hari ini, besok, lusa, dan lusa raya. Artinya bulan penuh hikmah yang menjadi bulan penempa umat Muslim ini akan segera berakhir. Bagi yang benar-benar memaknai bulan Ramadan tentunya akan berakhir dengan kekhawatiran, masihkah tahun depan bertemu lagi dengan bulan penuh berkah ini? Atau sebaliknya, Ramadan berlalu begitu saja dengan berakhirnya ibadah puasa dan datangnya hari raya.

Bulan puasa juga sering diartikan bulan “latihan”, latihan menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Dengan puasa kita diharapkan bisa merasakan kepedihan para miskin yang selama ini selalu hidup dalam kekurangan, kadang makan kadang tidak. Kadang punya uang kadang tidak. Kadang nyaris berpuasa setiap hari.

Tapi rasanya hal itu kok terdengar muluk-muluk ya? Setelah seharian berpuasa, sorenya banyak di antara kita (mungkin) berbuka dengan menu super wah yang bahkan di hari biasa pun jarang kita nikmati. Lihat saja, selama bulan puasa di setiap ruas jalan protokol tak ubahnya bagai festival kuliner yang menjual berbagai jenis menu, dan membuat air liur kita menetes. Dalam keadaan lapar mata kita ingin buru-buru buka puasa untuk menyantapnya. Lalu bagaimana mungkin kita bisa merasakan apa yang dirasakan para papa.

Yang paling menyolok adalah di hari-hari terakhir Ramadan. Pasar Aceh lebih mirip pasar malam. Antrian kendaraan roda dua memenuhi sepanjang trotoar, sedangkan kendaraan roda empat parkir sampai ke depan kantor PLN di Jalan Merduati. Di sepanjang jalan Diponegoro, Jalan KH Ahmad Dahlan, dan di Jalan Muhammad Jam, jangan bayangkan bisa berkendara dengan leluasa karena macetnya bikin kita berucap berulang kali. Terutama bagi pengendara yang merasa terjebak dan salah jalan karena niatnya bukan untuk berbelanja.

Di setiap toko orang-orang penuh sesak, di tangan mereka hampir semuanya menenteng plastik berlabel nama toko. Di emperan para pengemis juga tak mau kalah, sibuk menyodorkan timba untuk meraih “berkah” di akhir Ramadan kepada setiap pengunjung toko, swalayan, supermarket, atau mall. Jika beruntung mereka akan menerima sekeping atau selembar seribuan lecek, jika tidak maka mereka kembali menunggu para pemurah lainnya.

Jika begini, berhasil kah puasa kita sebagai ruang latihan pengendalian nafsu? Ahm… mungkin jawabannya ada di kantong belanjaan kita.

Mungkin kita tidak melakukan kedua hal di atas, tapi barangkali sikap kita yang tidak berpuasa. Misalnya tidak berpuasa dari memancing amarah orang lain, tidak disiplin pada kesepakatan bersama, dan sebagainya. Lalu, apanya yang akan dilatih dari berpuasa?[]

Tulisan ini telah ditayangkan di atjeh today