Selasa, 28 Maret 2023

Memoar Matahari Terbit #3: Tentang Sebuah Langgar

Memoar Matahari Terbit #3: Tentang Sebuah Langgar


Mungkin gambar pohon dan alam

Konon manusia itu selalu terikat dengan masa lalu. Istilah kerennya kenangan. Saya barangkali termasuk salah satu manusia yang seperti itu. Sulit melupakan momen-momen tertentu di dalam hidup saya. Khususnya masa-masa kecil yang membahagiakan dan menyenangkan.

Keluarga kami seperti keluarga kebanyakan di negeri ini, hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tetapi, mengapa saya merasa masa kecil saya sangat bahagia dan menyenangkan? Tak lain karena kehangatan keluarga, lingkungan tempat tinggal yang nyaman, dan karena saya masih bocah: belum tahu kalau hidup itu berat dan banyak persoalan.

Kehangatan itu tidak hanya ada di keluarga, tetapi juga dengan para penghuni kampung lainnya. Sesama anak-anak sangat kompak dan kami selalu bermain bersama. Mulai dari main karet gelang sampai main serimbang; pergi sekolah dan mengaji bersama; hingga mencari kayu bakar di kebun-kebun sambil mengangon ternak bagi yang punya ternak.

Para ibu sering saling berbagi makanan, bahkan terkadang memasak bersama, terutama saat bikin kue untuk hari raya. Padahal jarak satu rumah dengan rumah yang lain jauh-jauh.

Kampung saya dulu, seperti yang pernah saya tulis di cerita-cerita sebelumnya, berada di pelosok Aceh Timur. Dulu bagian dari Kecamatan Idi Rayek, setelah dimekarkan menjadi wilayah Kecamatan Darul Ihsan. Terusan dari kampung kami tembus ke PT Bumi Flora.

Jalannya belum beraspal (mungkin juga sampai sekarang ). Tidak ada listrik. Rumah-rumah penduduk berada di antara kebun-kebun, umumnya kelapa dan kakao. Tetapi kampungnya bersih. Rumah-rumah warga berpagar alami dari daun teh-tehan. Halamannya selalu bersih. Yang suka bebungaan seperti ibu saya, maka dipastikan halaman rumahnya penuh dengan bunga. Jenis bunga yang ditanam macam-macam, beberapa di antaranya pernah saya lihat saat ke Takengon. Termasuk juga aneka jenis keladi dan karena ini pula suatu malam pekarangan rumah kami menjadi serbuan babi.

Meski di kampung kami air bersih sesuatu yang langka, tetapi setiap harinya sebelum pukul lima sore kami sudah rapi jali. Mandi dan mencuci semuanya dilakukan di parit-parit yang jaraknya jauh sekali dari rumah. Karena itulah kami selalu mandi lebih awal karena kalau sudah sore pasti tak berani lagi pergi mandi.
Kalau malam, selain hanya mengandalkan terang dari lampu teplok, juga dari sinar bulan kalau sedang terang. Bertolak belakang dengan namanya Lorong Pelita.

Di kampung kami tidak ada masjid. Yang ada hanya langgar. Bentuknya panggung. Konstruksinya dari kayu beratapkan seng, tapi kokoh dan cukup memadai untuk menampung ibu-ibu wirid atau untuk salat Tarawih bagi warga Lorong Pelita yang bisa dihitung jari KK-nya. Dari jumlah yang minim itu pun tak semuanya rajin datang ke langgar.

Langgar itu terletak di sebidang tanah di tengah-tengah kebun warga. Semuanya kelapa dan kakao. Di sisi kanannya yang agak berbukit adalah kebun milik keluarga saya. Di sisi kiri langgar adalah kebun milik Keuchik Usman. Di tengah-tengah kawasan kebun ini terbentang parit kecil yang airnya hanya ada di musim hujan.

Tak ada satu rumah pun di sekitar langgar. Rumah-rumah warga bertumpuk-tumpuk: tumpuk CWC (eks kantor pertanian), tumpuk Wak Raban, tumpuk Wak Said, tumpuk Wak Pardi, dan tumpuk rumah kami. Hanya tumpuk rumah kami yang jaraknya paling dekat dengan langgar. Paling jauh tumpuk Wak Said dan tumpuk CWC dan tumpuk Wak Raban.

Oya, ada sebuah bak besar di depan langgar untuk menampung air hujan. Tak ada sumur atau sejenisnya di sana. Bak itu hanya terisi air, ya, ketika hujan turun. Dan jika air bak penuh, beberapa ibu datang untuk mencuci pakaian di sana.

Di malam hari, dengan kondisi tak ada penerangan apa pun, entah mengapa langgar ini jadi terkesan menyeramkan. Apalagi dengan adanya sebuah keranda yang digantung di bawah langgar. Maklum, letaknya di bawah bukit. Belum lagi kalau harus membayangkan pucuk-pucuk pohon yang bergoyang di kegelapan. Dalam gelap imajinasi kita memang sering di luar jangkauan.

Namun, suasananya berubah ketika bulan puasa tiba. Itu karena selepas magrib--sebagian--warga Lorong Pelita pasti datang ke langgar untuk salat Tarawih. Yang jadi imamnya Wak Min. Satu lampu petromax cukup untuk menerangi seluruh langgar. Yang sebentar-sebentar harus dipompa untuk menjaga nyalanya tetap stabil.

Laki-laki di baris depan paling banyak cuma dua saf itu pun sudah inklud para bocah. Di belakang, jamaah perempuan yang dibatasi dengan tabir kain merah juga tak lebih banyak. Bagi kami para bocah, yang memotivasi untuk pergi ke langgar sebetulnya karena tak ada pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Tak ada listrik, tak ada televisi, tak ada gadget atau lato-lato, siapa yang mau dikurung dalam gelap untuk disantap nyamuk?

Selain itu, kue-kue dan teh atau kopi yang dibawa untuk dinikmati usai Tarawih sangatlah menggiurkan. Selama bulan puasa setiap warga mendapat jatah membawa kue untuk jamaah Tarawih.
Maka, bagi para bocah, semakin sedikit jamaah yang hadir semakin bagus karena jatah kue bisa dapat lebih.

Setelah Tarawih selesai sekitar pukul sembilan, langgar kembali mencekam. Praktisnya langgar ini hanya berfungsi di waktu-waktu tertentu saja.

Karena letaknya yang tidak strategis, dalam artian tidak berada di jalan utama desa, langgar ini memang lebih banyak sepi sendiri. Belakangan warga sepakat memindahkan langgar ke pinggir jalan utama desa di tengah tengah antara tumpuk rumah kami dengan tumpuk CWC. Sejak saat itu langgar di kampung kami mulai ada rohnya.... Namun, ketika konflik memorakporandakan kampung kami, langgar kami kembali kehilangan rohnya...[]


Ilustrasi foto dari Pixabay


Rabu, 20 Juli 2022

Berjualan (Tak Perlu) Kaku



Beberapa hari lalu, saya mampir ke sebuah toko mainan di Ulee Kareng. Ini kali kedua saya ke toko itu. Saya bermaksud membeli sebuah mainan sebagai hadiah bagi anak seorang sahabat yang akan saya kunjungi. Sampai di sana, saya melihat-lihat mainan apa yang kira-kira cocok untuk balita laki laki.

Pilihan saya jatuh pada sebuah set mainan berisi kendaraan TNI: sebuah mobil patroli, mobil ambulans, motor gede, dan helikopter. 

Saya jatuh hati dengan set mainan ini. Selain harganya yang terjangkau, jenis mainannya juga ada beberapa. Dalam pikiran saya, pastilah yang menerimanya akan girang karena bisa mendapat beberapa mainan sekaligus.

Setelah memutuskan untuk membeli set mainan tersebut, saya pun menuju kasir. Ada dua perempuan muda yang bertugas sebagai kasir. Mereka berseragam khusus. Sebelum saya menghampiri mereka, keduanya terlihat sedang mengobrol.

Suasana toko memang sedang sepi. Hanya ada beberapa pengunjung. Mata saya menangkap seorang pengunjung dewasa, serta dua atau tiga pengunjung remaja membeli perlengkapan sekolah. Mungkin ada di belakang rak yang lain, tapi tak terjangkau oleh saya. 

Tiba di kasir, saya pun bertanya apa mainan yang saya beli bisa sekalian dibungkus menjadi kado. Salah satu di antara mereka menjawab bisa dan karena itu saya kembali ke rak tempat kertas-kertas kado dipajang. Saya memilih dua lembar kertas kado, masing-masing bermotif kids dan baby.

Kemudian saya kembali ke meja kasir dan menyerahkan set mainan tadi untuk dibungkus kado. Saya juga menyerahkan satu bungkusan berisi barang lain yang saya bawa dari rumah.

"Sekalian minta tolong kadoin yang ini, ya," kata saya, "dengan kertas yang ini," saya menunjuk kertas kado motif baby.

"Oh, barangnya bukan dari sini, ya? Tidak bisa!" jawab salah satu kasir dengan nada dan raut wajah yang datar. Temannya yang satu diam saja.

"Yang ini barang di sini," kata saya menunjuk set mainan, "kalau yang ini memang bukan, tapi saya minta tolong bisa, kan? Nanti tinggal dihitung saja berapa."

"Tidak bisa. Tidak ada orang. Kami cuma bertiga," jawabannya masih datar. Tanpa senyum pula.

"Oh, apakah tidak bisa tolong saya, toh kertas kadonya saya beli di sini juga," saya masih berharap mereka bersedia.

"Tidak bisa, kami tidak ada orang, ini sedang ramai." 

"Tapi kalau yang barangnya dibeli di sini, ada tukang bikin kadonya?" 

"Ada." 

"Okelah. Tolong kadokan yang ini saja." 

Terbersit di hati ingin mengatakan kalau pengunjung saat itu bisa dihitung jari, ditambah dua kasir juga sedang menganggur. Artinya, kalau mereka mau, bisa saja mereka membantu saya untuk membungkus kado. Mereka akan mendapat biaya tambahan. Plus satu kertas kado lagi akan terjual.

Namun, begitulah cerminan banyak pelayan(an) di tempat-tempat yang sering saya (kita) kunjungi. Entah itu di toko mainan, toko pakaian, kafe, toko kue, hingga hotel. 

Jargon "pembeli adalah raja" cuma kenangan indah masa lalu. Sekarang, yang ada pembeli dibikin ngenes dengan sikap pelayan/pekerja yang tak ramah. Padahal, pembeli datang ke sana untuk mengantarkan uang. Dengan uang itulah tenaga mereka bisa dibayar setiap bulannya. 

Ada hukum sebab akibat yang bisa menjadi rantai kelancaran rezeki seseorang. Misalnya, pelayanan pegawai yang baik akan membuat pelanggan senang, kemungkinan mereka akan kembali lagi, omzet toko meningkat, laba perusahaan naik, pekerja bisa dapat bonus. Siklus ini bisa juga sebaliknya. Tak sedikit ada usaha yang kolaps gara-gara kinerja pegawai yang tak baik. Mengapa "akhlak" pegawai menjadi sangat penting? Karena merekalah yang berada di front office. Mereka yang langsung berhadapan dengan konsumen. Mereka ujung tombak.

Namun, mengapa rasanya sulit sekali melayani dengan baik? Apakah otak kita telanjur memprogram atau terdoktrin bahwa melayani sama dengan menjadi individu kelas dua? Sehingga alih-alih menyambut pelanggan dengan senyum, seorang pramuniaga lebih senang bermuka masam; alih-alih memberi solusi, malah menimbulkan masalah baru; alih-alih mendengarkan keinginan pelanggan, malah mendebat mereka.

Berjualan tak perlu sekaku itu. Kita harus belajar menjadi pribadi yang fleksibel. Yang punya tenggang rasa. Yang selalu punya keinginan untuk memudahkan urusan orang lain. Yang punya kesadaran bahwa orang lain merupakan rantai kelancaran rezeki kita. Harus ada dalam sistem otak kita, bahwa melayani tidak akan membuat harga diri kita jatuh.[]

Senin, 18 Juli 2022

Perahu yang Tertambat di Tepi Sungai




DI BANTARAN sungai dengan pohon cemara berderet-deret, Nyak Ni duduk menyandarkan punggungnya pada salah satu pohon. Matanya nanar memandangi masjid kubah bawang berwarna hijau di seberang sungai. Kontras dengan air sungai yang sedang keruh. Hujan semalam tidak hanya membuat sungai menjadi serupa kopi susu, tetapi juga telah membuat rumahnya menjelma seperti sungai. Kopi susu. Minuman mewah yang sering diidamkan Nyak Ni. Mewah, sebab untuk meraciknya membutuhkan susu. Dan ibunya tak pernah sanggup membeli susu.

 

Nyak Ni suka menyendiri di bantaran sungai yang membelah kota menjadi dua bagian. Selain angin yang silir melenakan, duduk di sini menjadi hiburan tersendiri baginya. Dia sering hanyut pada pemandangan kapal-kapal nelayan yang parkir di pinggir sungai. Warnanya merah, kuning, biru, dan hijau. Semarak.

 

Namun, setiap kali duduk di bantaran sungai ini, pikirannya selalu terusik oleh percakapan antara dia dengan ibunya pada suatu siang.

 

"Kau lihat perahu itu, Ni?" 

 

"Yang mana, Mak?"

 

"Itu!" Ibunya, Maneh, menyeru sembari telunjuknya mengarah pada perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai, warnanya kusam, diikat pada sebatang bakau yang tumbuh di pinggir sungai. Perahu itu bergerak-gerak pelan mengikuti riak-riak air yang diempas angin. "Lalu kau lihat yang di sana!"

 

Sekali lagi Maneh mengarahkan telunjuknya pada deretan kapal-kapal bertenaga mesin yang parkir di sisi lain sungai. Beberapa ABK terlihat bergerak-gerak di atas kapal. Mungkin mereka sedang membersihkan kapal atau sedang mengisi bahan bakar.

 

"Kenapa dengan kapal-kapal itu, Mak?"

 

Maneh menghela napas. Dia tak ingin buru-buru menjawab pertanyaan sulungnya. Dia ingin menikmati kebersamaan itu. Jarang-jarang mereka punya waktu berdua untuk bercengkerama seperti ini. Kemiskinan telah merenggut banyak hal dari mereka, termasuk waktu bersama anak-anak. Maneh menghela napas. Berkali-kali. Mungkin sedang melakukan relaksasi sembari menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.

 

"Lautan yang luas itu kehidupan, Ni. Sebuah dunia. Di sana ada manusia, sama seperti di tempat kita sekarang. Kapal-kapal itu adalah manusianya. Juga perahu yang tertambat di sana.”

 

Nyak Ni menoleh pada ibunya. Sulit baginya untuk mencerna. Yang dia tahu, di laut itu hanya ada ikan, cumi-cumi, udang, mungkin juga monster, tetapi manusia ....

 

“Laut adalah tempat bertarung. Musuhnya adalah gelombang. Kapal-kapal itu bertarung dengan gelombang, yang kalah... akan tenggelam.”

 

“Dimakan hiu, Mak? Atau Paus?” timpalnya.

 

Maneh menoleh. Ditelisik mata sulungnya, masih memancarkan cahaya yang sehangat mentari pagi. Cahaya itulah yang menjadi penggerak turbin kehidupannya sejauh ini.

 

“Sedangkan perahu itu, riak sungai saja sudah membuatnya bergoyang-goyang, Ni, bagaimana mungkin bisa bertahan di lautan luas?”

 

Nyak Ni melihat mata ibunya berkaca-kaca. “Seperti perahu itulah kita, kamu, ayah, Mak, dan adik-adikmu.”

 

Sampai di sini Nyak Ni mulai paham apa yang dibicarakan ibunya. Entah mengapa, dia merasa kata-kata tadi begitu mengiris hatinya. Mengiris perasaannya sebagai anak.

 

“Apakah kita akan tenggelam, Mak?” pertanyaan itu, sekonyong-konyong saja keluar dari mulutnya.

 

Maneh tidak menjawab, hanya mengusap lembut pipi gadis kecilnya.

 

Pertanyaan itulah yang kembali mengusiknya saat ini. Padahal percakapan dengan ibunya itu sudah lama sekali, tetapi mengapa sangat sulit terhapus dari ingatannya. “Apakah kita akan tenggelam, Mak?” air matanya menitik saat mengulang kembali pertanyaan itu di hatinya.

 

Saat hujan turun sangat lebat seperti semalam, Nyak Ni yang sudah tertidur jadi terbangun karena tempias yang hinggap ke wajahnya. Rumah tempat mereka tinggal, ah, kata-kata rumah terdengar begitu mewah dan istimewa. Kenyataannya, tempat mereka berteduh lebih cocok disebut gubuk. Atapnya hanya beberapa lembar seng lapuk yang ditutupi dengan spanduk bekas. Dindingnya kayu-kayu bekas hasil pulungan ibunya. Ada dipan tempat biasa mereka tidur dan istirahat sehari-hari. Rumah itu tidak dilapisi semen atau pun tegel. Setelah hujan reda jadi tak ada bedanya dengan sawah.

 

Namun, itu masih terasa nyaman bagi Nyak Ni ketimbang aroma busuk yang nyaris saban waktu terhirup oleh hidungnya. Tak jauh dari situ memang terdapat tempat pembuangan akhir yang sangat luas. Sampah-sampah warga kota diangkut dengan truk-truk besar saban hari. Nyak Ni mengutuk TPA itu setiap kali ia bernapas. Sedangkan ibunya, selalu bersyukur karena di sanalah tempat ia mengais rezeki. Tapi itu dulu, sebelum ibunya banting setir menjadi pembakar arang milik salah seorang juragan. Meski selalu pulang dalam keadaan coreng-moreng, tetapi sejak bekerja di dapur arang, tidak ada bau busuk yang ikut menempel di baju ibunya.

 

Kantuk Nyak Ni benar-benar hilang saat disadari tanah di rumahnya menjadi basah. Awalnya hanya serupa rembesan dari sela-sela dinding, lama-lama alirannya menjadi semakin deras seiring dengan hujan yang kian lebat. Nyak Ni bangkit menyusul ibunya yang bergerak cepat memindahkan barang barang ke atas dipan. Atau digantung di mana pun yang memungkinkan. Sebuah kompor minyak, karung plastik berisi beras, peralatan makan, dan printilan lain. Rumah menjadi berisik dan penghuninya seperti anak tikus yang kocar-kacir. Dua adik Nyak Ni malah kegirangan dan sibuk bermain air.

 

“Mak, ayah ...”

 

Nyak Ni ingat ayahnya. Sudah sebulan ini ayahnya tidak tidur di rumah. Juga tidak pernah pulang ke rumah. Lelaki renta itu selalu tidur di pondok yang ada di ujung jalan. Saat hujan deras seperti ini, tentu ayahnya sangat kedinginan. Kalau anginnya kencang, malah pondoknya bisa-bisa diterbangkan.

 

"Ayah enggak apa-apa.”

 

Maneh menenangkan hati putrinya. Dia pun bukannya tidak peduli pada Noh. Dia kasihan pada lelaki itu. Tapi apa boleh buat, mereka sudah sepakat untuk mengurus hidup masing-masing. Noh bukan lagi suaminya.

 

Namun, demi dilihatnya hujan yang semakin deras, Maneh mematung di jendela. Air di rumahnya sudah tergenang di atas mata kaki. Matanya lurus menatap ke ujung jalan, dia berharap agar hujan bisa reda, tetapi yang tampak hanya butir-butir hujan yang menghalangi pandang. Lelaki itu, Noh, pasti sangat kedinginan. Jangan-jangan Noh pun belum makan. Bagaimana kalau Noh mati karena kelaparan dan kedinginan?

 

Seliris perasaan bersalah menyelinap dalam jiwa Maneh. Andai saja, andai saja dia tidak mengiyakan permintaan Noh saat itu, tentu Noh tak perlu tidur di pondok ujung jalan itu sebulan terakhir ini. Setidaknya masih ada tempat berteduh yang memadai.

 

“Aku tidak ingin terus-terusan jadi beban kamu, Maneh.”

 

Kata Noh tiap kali mengutarakan niatnya untuk berpisah dan Maneh selalu menolaknya. ''Kamu lihat sendiri bagaimana kondisiku, Neh. Aku sudah tua, aku penyakitan, kamu tidak bisa bekerja karena harus mengurus aku, sedangkan anak-anak juga perlu diberi makan. Aku tidak bisa memaafkan diriku, Neh. Aku malu, aku suami yang tidak berguna. Kalau kita berpisah, setidaknya bisa meringankan beban kamu, kamu tidak perlu mikirin aku, bisa bekerja dengan tenang..."

 

Pada akhirnya mereka berpisah juga. Namun, setiap kali Maneh melihat Noh tergeletak di pondok itu, setiap kali pula hatinya terluka. Dia merasa nasibnya tak ubahnya seperti perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai itu. Terombang-ambing. Untuk menahan riak sungai saja tak mampu. Konon lagi gelombang laut? 

 

Saban hari Maneh pergi ke dapur arang dengan air mata yang diperam di sanubarinya. Sewaktu-waktu pecah saat ia sedang sendirian. Entah di waktu salat, atau di saat menjelang tidur. 

 

Nyak Ni tersentak dari lamunannya. Ia memandangi perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai. Dia merasa perahu itu adalah dirinya. Sendiri. Ringkih. Tak berdaya. Tak ada yang peduli. Ibu dan ayahnya juga sudah tak lagi bersama. Meski setiap hari bisa menemui ayahnya di pondok, tetapi tetap ada yang hilang di hatinya.

 

Nyak Ni kembali teringat pada ayahnya. Dia belum melihat ayahnya sejak hujan semalam. Apakah semalam ayahnya kehujanan? Kedinginan? Apa ayahnya sudah makan? Kalau belum, dia akan pulang untuk mengambil sepiring nasi. Ibunya tidak akan marah.

 

Nyak Ni bangkit setelah mengambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke sungai. Tumbukan kerikil di permukaan air memunculkan gelombang berbentuk lingkaran. Kemudian hilang perlahan-lahan.

 

Ia menyusuri bantaran sungai dan bergegas menuju ke pondok tempat ayahnya tinggal selama ini. Selama itu, pikirannya terus dilanda kecamuk. Mengapa ayah ibunya berpisah, padahal Nyak Ni tidak pernah melihat mereka bertengkar. Nyak Ni ingin menanyakan itu pada ayahnya. Ia pun mempercepat langkah sambil sesekali melompat menggapai dahan cemara.

 

Untuk pertama kalinya dia merasa langkahnya sangat ringan. Hatinya terasa lebih lapang. Di kejauhan, dia melihat ayahnya masih meringkuk di pondok. Langkahnya semakin cepat. Saat jarak semakin dekat, Nyak Ni melihat ayahnya masih meringkuk di pondok dan berselimut selembar sarung usang. Kakinya mengintip dan tampak pucat.

 

Nyak Ni sampai di pondok. Ia duduk di samping ayahnya. Perlahan digoyangkan tubuh ayahnya. Tak ada Jawaban. Digoyangkan sekali lagi sambil memangilnya, tetap tak ada jawaban.[] 


Peulanggahan, Oktober 2021

 

Sabtu, 26 Maret 2022

Antara Mbak Rara dan Mbah Lasimun



JAUH sebelum saya tahu ada daerah yang namanya Mandalika. Yang belakangan telah melambungkan nama Mbak Rara si Pawang Hujan. Saya sudah begitu akrab dengan istilah pawang hujan. Sejak kanak-kanak. Dan itu sekitar tiga puluh tahun yang lalu. 😁 

Ada pawang hujan yang terkenal di kampung kami dulu. Omong-omong, kampung saya sangat jauh dari Mandalika. Berada di timur Aceh. Namanya Mbah Lasimun. Tinggal di Lorong Binjai. Kenapa namanya Lorong Binjai? Karena warganya banyak yang berasal dari Sumatera (termasuk Binjai) aka pujakesuma. 

Namun, saya hanya ingin cerita tentang Mbah Lasimun. Saya terkesan dengan sosoknya dan begitu memorable di alam ingat saya. Karena setiap ulang tahunnya selalu dimeriahkan dengan pertunjukan jaran kepang. Dulu, tinggal di kampung yang akses dengan kota sangat jauh, bisa menonton jaran kepang sudah sangat luar biasa terhibur. Syaratnya cuma satu: jangan pakai baju merah.

Secara fisik Mbah Lasimun ini perawakannya kecil. Pendek. Sebelas dua belas dengan Mbah Maridjan--kuncen Gunung Merapi yang meninggal terpanggang ketika Merapi meletus. Kebalikan dengan istri Mbah Lasimun yang tinggi besar dan gembrot sehingga dipanggil Mbah Robot. Mbah Robot memang sekuat namanya. Di usianya yang sudah tua pun dia masih kuat menyunggi ember berisi hasil panen biji kakao di kebunnya. 

Meski Mbah Lasimun ini mungil, orang-orang menaruh respek yang luar biasa padanya. Bahkan bagi beberapa orang dijadikan sebagai "guru" karena dianggap memiliki "kebisaan" tertentu.

Salah satu keahliannya adalah sebagai pawang hujan. Karena ini pula jasanya sering dipakai ketika ada warga yang mau buat hajatan pesta. Ketika sedang membahas soal Mbak Rara yang konon katanya bisa menghentikan hujan di langit Mandalika, ibu saya berceletuk: itu bahan-bahan sesajian yang dipakai Mbak Rara ya persis seperti yang dipakai Mbah Lasimun dulu. 

Tapi, ada satu yang saya ingat dari cerita ini. Suatu ketika ada tetangga yang bikin hajatan di bulan 12 yang identik dengan musim penghujan. Untuk mencegah hujan dimintalah jasa Si Mbah, tetapi hujan tetap turun dengan lebatnya. Lalu bisik-bisik muncul, coba buat acaranya di musim kemarau. Nggak perlu pawang pawang hujan. Kesimpulan saya, ending dari kisah Mbak Rara ini sudah "dibuktikan" oleh Mbah Lasimun puluhan tahun silam.

Masih soal Mbah Lasimun. Suatu ketika ayah saya kehilangan ayahmnya. Dicuri orang di kandang. Lalu ada tetangga yang menyarankan agar ayah pergi ke Mbah Lasimun untuk jak keumalon alias minta diterawang. 

Si Mbah bilang supaya ditunggu saja saat magrib, ayamnya pasti dikembalikan. Tetapi setelah ditunggu-tunggu si ayam tak kunjung kembali. Rupa-rupanya, gimana ayam itu mau kembali, dia sudah jadi gulai dan dagingnya sudah masuk ke perut kami. 

Jadi ceritanya, setelah dicuri, ayam itu dipotong dan dimasak di rumah kami pula. Hal ini terungkap belakangan. Bertahun-tahun kemudian.

Semoga Allah mengampuni kita dari hal-hal bodoh yang pernah dilakukan karena ketidaktahuan. Saya "bersyukur" dulu tinggal di kampung yang ternyata sangat kaya akan kearifan lokal. Suatu istilah yang belakangan ini semakin sering populer. Tetapi, searif-arifnya nilai-nilai lokal, tetaplah yang paling arif itu yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam).[]

Kamis, 24 Februari 2022

Tentang Anjing dan Azan



November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.

Narasumber kami berada di Desa Rembele, Kecamatan Bukit. Berada di lereng Gunung Burni Telong yang masyur itu. Di tengah-tengah hamparan kebun kopi yang luas.
Ada yang menarik perhatian kami selama berada di rumah narasumber tersebut. Kami memang menginap di rumah beliau, mengingat akses ke penginapan maupun transportasi yang lumayan sulit selama di sana.
Kami berangkat malam hari dari Banda Aceh dan tiba di Rembele menjelang subuh. Seekor anjing menyambut kedatangan kami. Hewan itu berdiri tak jauh dari mobil Hi-Ace yang kami tumpangi. Ekornya bergoyoang-goyang. Lidahnya menjulur-julur. Dalam bahasanya seolah-olah dia ingin menunjukkan keramahannya dan mengatakan, "Selamat datang."
Pemandangan seperti ini bisa dibilang lazim di Gayo, mengingat umumnya masyarakat di sana adalah petani kopi. Anjing-anjing ini sangat berguna sebagai teman saat berada di kebun. Dia akan menggonggong saat ada aroma-aroma babi di sekitarnya. Dia juga bertugas sebagai penjaga rumah, terutama ketika ditinggal pemiliknya.
Di kampung kami dulu, di Aceh Timur, ada juga tetangga yang memelihara anjing. Jadi, meskipun saya bukan penyuka anjing, tetapi tidak parno saat melihat ada anjing di rumah orang. Asalkan anjingnya tidak genit dan tidak menggonggong sembarangan (seperti anjing yang ada di seputaran kedai kopi favorit saya di belakang terminal labi-labi Keudah 😃).
Nah, balik lagi saat kami tiba di Desa Rembele. Tak lama setelah kami tiba, azan Subuh pun berkumandang. Yang membuat kami "takjub", saat azan berkumandang, sesaat kemudian lolongan anjing pun terdengar seperti menyahuti. Suaranya terdengar menyayat. Awalnya saya sempat bingung, mengapa anjing-anjing ini melolong berbarengan dengan waktu azan? Perihal ini jadi diskusi kami saat itu juga.
Subuh berikutnya, ketika azan berkumandang di kejauhan, lolongan anjing kembali terdengar memecah keheningan fajar. Saya dan Kak Dian kembali membicarakannya. Suaranya tetap terdengar menyayat hati. Kami pun menyimpulkan, bahwa anjing-anjing ini sebenarnya sedang "mengambil" peran membangunkan manusia-manusia yang sedang terlelap di balik selimut. So, bagi kami yang tak terbiasa dengan dingin yang menggigit tulang dan begitu lelap di balik selimut, justru (karena) suara anjinglah yang membuat kami terbangun untuk salat Subuh.[]

Rabu, 02 Februari 2022

Lingkungan Rusak Perempuan Binasa

Rubama @Ihan



Cerita-cerita tentang dampak kerusakan lingkungan hidup selama ini masih dipotret sebatas "peristiwa" bencana alam semata. Seolah-olah terjadi begitu saja karena faktor alam tanpa terlibat "campur tangan" manusia. Kenyataannya, bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, atau kekeringan tidak akan terjadi secara masif jika manusia bisa menjalin harmonisasi dengan alam. Tidak menjadikan lingkungan sebagai objek komoditas yang dieksploitasi terus-menerus. Lebih dari itu, masih minim yang memotret bagaimana relevansi antara lingkungan dengan keberlangsungan hidup dan kualitas perempuan. 


Hal ini menjadi perbincangan serius dalam focus group discussion yang diselenggarakan Perempuan Peduli Leuser (PPL) dan bekerja sama dengan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh pada Selasa, 1 Februari 2022. Diskusi ini berlangsung di Gampong Nusa. Sebuah desa yang apik dengan lanskap berupa gugusan perbukitan, persawahan, dan sungai yang terhubung ke laut. Desa yang berhasil disulap sehingga menjadi desa wisata dan baru-baru ini mendapatkan Anugerah Desa Wisata Kategori Homestay dalam Anugerah Pesona Indonesia 2022. 


Dengan berkunjung ke desa ini, peserta menjadi semakin terbuka wawasannya, bahwa ketika alam dijaga dan dirawat dengan baik, maka keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat setempat bisa lebih besar dan bersifat jangka panjang. Perempuan di desa setempat juga menjadi terberdayakan.


Adalah Rubama dan Refa, dua tokoh utama yang didapuk sebagai narasumber dalam FGD tersebut. Meski sama-sama bergiat di lingkungan, keduanya memiliki latar belakang aktivitas yang berbeda. Rubama bekerja untuk Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Kerja-kerjanya di lapangan lebih menitikberatkan pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, khususnya perempuan sebagai upaya penyelamatan lingkungan atau konservasi. Rubama juga tercatat sebagai warga asli di Gampong Nusa dan perubahan desa tersebut tak terlepas dari kerja kerasnya belasan tahun silam.


Sedangkan Refa, pengurus FJL Aceh dan sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis. FJL sebagai salah satu komunitas tempat para wartawan di Aceh berkumpul, fokus mengangkat dan mengawal pemberitaan terkait dengan isu-isu lingkungan seperti perdagangan satwa, kematian gajah sumatra, konservasi laut, dan lain-lain. Adapun para peserta FGD ini terdiri atas anggota PPL dan FJL. Mereka duduk di bawah teratak yang didirikan di pinggir sungai. Silir angin yang bebas berlalu-lalang menghalau hawa panas di tengah cuaca terik. Peserta dan narasumber berdiskusi sambil mengudap kacang rebus dan buah-buahan potong.


Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator PPL, Ayu 'Ulya, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi ruang kritis perempuan untuk saling bertukar pengetahuan, dan yang paling penting adalah seluruh peserta bisa mendapatkan persepsi yang sama bahwa memiliki korelasi yang erat antara (kerusakan) lingkungan dengan perempuan. Kolaborasi antara jurnalis dan warga diharapkan bisa semakin menggaungkan berbagai problem perempuan akar rumput yang muncul akibat kerusakan lingkungan.


Rubama yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan masyarakat, memaparkan lebih banyak potret buram kehidupan perempuan yang berhasil ia tangkap di lapangan. Kerusakan lingkungan maupun berkurangnya lahan sebagai sumber penghidupan karena terjadinya homogenisasi atau penyeragaman jenis tanaman, telah menimbulkan kemiskinan yang berdampak sangat besar terhadap perempuan. Perempuan mengalami beban ganda (double burden) karena harus bekerja mencari nafkah dengan tetap melakukan pekerjaan domestik.


Homogenisasi lahan kata Rubama, hanya mampu dilakukan oleh individu-individu dengan modal yang besar. Hal ini membuat tutupan hutan yang selama ini menjadi tempat bagi masyarakat untuk bergantung hidup, berubah menjadi areal perkebunan milik segelintir orang. Alhasil, masyarakat semakin kekurangan ruang sebagai tempat mencari nafkah. Efeknya tidak bisa dianggap sederhana, karena dengan berkurangnya sumber penghasilan bisa memicu tekanan psikologis yang berdampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.


"Ada banyak hal yang kami capture di lapangan ketika bicara lingkungan hidup dan perempuan," kata Rubama mengawali pembicaraanya, "ada banyak yang bikin sesak dada," katanya lagi.


Di antara yang sukar lekang dari ingatan Rubama adalah tentang seorang ibu muda di pedalaman Kabupaten Bener Meriah, Gayo, yang kini berusia 21 tahun dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun. Kisah hidup ibu muda ini bisa dibilang memilukan. Menikah di usia yang sangat dini, usia yang seharusnya masih dihabiskan di bangku sekolah. Di hari dia melahirkan anak pertamanya, suami yang seharusnya mendampingi entah ada di mana. Di hari ketiga suaminya pulang ke rumah.


"Tapi dengan membawa perempuan lain dan menalak istrinya. Bayinya masih sangat merah. Itu salah satu kasus yang ada hubungannya antara kemiskinan (akibat berkurangnya ketersediaan ruang untuk hidup) dengan kemiskinan yang menghancurkan perempuan," ujarnya.


Di antara persoalan yang terjadi terkait pengelolaan SDA



Contoh lain kerasnya hidup dialami perempuan di Aceh Singkil. Banyak perempuan di sana yang bekerja sebagai penjala ikan air tawar di sungai-sungai. Mereka mengayuh perahu menyusuri sungai, lalu melempar jala untuk menangkap ikan. Ikan-ikan itu kemudian disalai dan dijual untuk menopang ekonomi keluarga. Pekerjaan yang sangat berisiko tinggi.


Tutupan-tutupan hutan yang berkurang pun menjangkau wilayah-wilayah "haram" yang seharusnya dilindungi. Contohnya kata perempuan yang akrab disapa Ru ini, Kawasan Ekosistem Leuser yang terbentang di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara, dan 98 persennya berada di Aceh. Kawasan ini terus mengalami deforestasi yang jika dilihat setiap waktu maka ada saja pohon yang tumbang dan kawasan yang semakin plontos. Kawasan hutan yang harusnya cenderung gelap ketika dilihat dengan GIS, justru menjadi putih. Ilustrasi sederhananya mungkin seperti kita melihat hasil rontgent paru-paru yang sudah tidak sehat lagi. Penyebabnya tentu saja macam-macam. Ada yang untuk kepentingan warga hingga pembangunan.


Dampak dari terjadinya kerusakan di hulu tidak hanya mengancam perempuan-perempuan yang ada di wilayah sekitar hutan saja. Namun, juga mengancam hajat hidup orang banyak di daerah hilir. Misalnya, kerusakan wilayah hutan yang menjadi kantong-kantong sumber mata air telah memicu terjadinya kekeringan. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih. Lagi-lagi, perempuan selaku ibu rumah tangga yang notabenenya menghabiskan waktu lebih banyak di rumah akan kesulitan mendapatkan air bersih untuk memasak atau mencuci. Sejauh apa kita berpikir, bahwa kerusakan sumber mata air di hulu membuat orang-orang kota akan bergadang di malam hari? Atau tidak mandi saat pergi bekerja di pagi hari? Bahkan mungkin harus bertayamum untuk bisa melaksanakan kewajiban salat lima waktu?


Begitu juga saat terjadinya bencana alam. Penanganan yang berperspektif gender tampaknya masih jauh panggang dari api. Misalnya, bantuan yang disalurkan belum menjangkau kebutuhan perempuan seperti perlunya memasukkan tampon atau pembalut dalam daftar bantuan. Begitu juga tenda-tenda pengungsian yang tidak aman dan nyaman bagi perempuan dan anak, juga berpotensi munculnya kekerasan berbasis gender di lokasi bencana. 


Rubama menjelaskan, perempuan perlu terlibat lebih jauh dalam upaya penyelamatan lingkungan. Keterlibatan mereka tidak cukup pada sebatas partisipasi, tetapi sudah saatnya beraksi dan melakukan kontrol terhadap eksploitasi lingkungan atau sumber daya alam. Praktik baik ini sudah dilakukan oleh sekelompok perempuan di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Mereka pada akhirnya secara sukarela menjadi ranger demi menyelamatkan hutan yang akan diwariskan untuk anak cucu mereka ke depan. Namun, apa yang sebelumnya terjadi di desa ini sehingga para perempuan mengambil kendali?


"Pada tahun 2015 menjadi catatan sejarah bagi mereka, saat itu terjadi banjir bandang di Damaran Baru. Mereka sadar ada yang rusak di hulu, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Kemudian muncul keinginan dan kebutuhan untuk mengelola kawasan hutan agar tidak rusak," kata Ru lagi.


Di sinilah HAkA sebagai sebuah lembaga berbasis swadaya masyarakat memainkan perannya untuk menguatkan kapasitas perempuan di level akar rumput. Hasilnya memang tidak instan, tetapi berkat kegigihan dan keikhlasan para perempuan tersebut, "Damaran Baru kini menjadi referensi baik di Aceh maupun nasional dalam hal keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lingkungan," ujarnya.


Di sisi lain kata Ru, hal ini juga perlu menjadi renungan bagi banyak pihak, ketika peluang dan akses kepada perempuan dibuka, ternyata mereka bisa menunjukkan kecakapannya. Terbukti perempuan mampu bekerja dengan otak, alih-alih mengedepankan otot. Masyarakat di tingkat tapak, khususnya perempuan, perlu terus diberi penguatan karena ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup, mereka berada pada level pertama dari kelompok yang terkena dampak.  


"Partisipasi perempuan tidak hanya sebatas hadir, duduk, dan mendengarkan, tetapi harus ada aksi. Sekarang bukan lagi saatnya berpartisipasi, tetapi sudah saatnya merebut," ujar Ru.





Refa mengamini apa yang disampaikan oleh Ru. Ia tak menampik jika isu-isu lingkungan, apalagi yang berkaitan dengan perempuan memang belum mendapat porsi yang sesuai di media arus utama. Hal ini, selain karena jurnalis umumnya mengawal banyak isu sekaligus, juga karena minimnya jurnalis yang berperspektif lingkungan. Di sinilah kata Refa, FJL hadir sebagai jembatan untuk peningkatan kapasitas jurnalis agar lebih peka terhadap isu-isu lingkungan.


Produk-produk yang lahir dari tangan-tangan cekatan para jurnalis tidak saja akan meningkatkan perhatian publik terhadap suatu isu, tetapi juga akan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saat ini para jurnalis yang terhimpun di FJL sedang fokus mengawal kasus hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi di Aceh.


"Di FJL ada beberapa isu yang menjadi fokus saat ini, di antaranya marine, perdagangan dan perburuan satwa dilindungi," kata Refa. 


Menarik juga menyimak pengalaman Cut Nouval, anggota FJL yang saat masih kuliah dulu pernah melakukan KKN di sebuah desa yang bisa dikatakan kesadaran warganya untuk kebersihan masih sangat rendah. Sumur-sumur warga berada tidak jauh dari lokasi tumpukan sampah sehingga mencemari kualitas air sumur. Mengonsumsi air yang tercemar bertahun-tahun telah berdampak pada lahirnya anak-anak dengan kualitas kesehatan yang rendah. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengedukasi masyarakat.  Persoalan lingkungan kata Cut Noval, juga menjadi masalah serius bagi masyarakat urban. Tidak hanya berdampak pada ekonomi, lingkungan juga berpengaruh pada kesehatan individu.

 

Hal-hal semacam inilah yang menurut Refa perlu banyak dipotret. Dalam perjalanannya bersama rekan-rekan jurnalis beberapa waktu lalu, Refa melihat ada masyarakat yang terpaksa membabat hutan di area-area "terlarang" demi bertahan hidup. Di sisi lain ia juga melihat ada ranger yang sedang berupaya merestorasi lahan untuk menyelamatkan lingkungan. Kehidupan yang ideal tampaknya memang hanya sebuah utopia.[]

Rabu, 26 Januari 2022

Bersenang-senang dengan Lagu Indah Persahabatan



Dalam dunia jurnalistik ada istilah proximity atau kedekatan peristiwa terhadap khalayak (pembaca) yang menjadi salah satu indikator nilai berita (news value). Kedekatan ini biasanya meliputi tiga aspek, yaitu geografis, psikologis, dan ideologis. Itu sebabnya, cerita-cerita tentang diaspora Indonesia di luar negeri yang tayang di media-media lokal sering menarik perhatian kita (pembaca) karena faktor "kedekatan" tadi. Semakin "dekat" pembaca dengan peristiwa yang disajikan, kemungkinan media tersebut akan semakin digandrungi. 

Dalam film atau buku juga begitu. Kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan penonton atau pembaca akan semakin berpotensi mendulang viewer atau reader. Kedekatan itu juga tidak hanya dari sisi alur cerita yang relate dengan kehidupan penonton saja, tetapi juga bisa karena unsur-unsur lain. Misalnya, ada teman saya yang menonton sebuah serial karena dibintangi oleh Reza Rahadian yang sudah sukses memerankan film-film bagus. "Khusus instal aplikasinya hanya untuk menonton serial itu," katanya dalam perbincangan nirfaedah. Sementara teman lain yang juga menonton serial yang sama, justru menaruh perhatian khusus pada dialog-dialognya. Dia tampaknya ingin "menyelidiki" kepiawaian penulis naskahnya.

Ya, dalam banyak hal, jauh sebelum kita membeli tiket untuk menonton film atau membeli sebuah buku, kita sudah lebih dulu bertaruh dengan jaminan nama penulis, pemain, atau penerbit dari karya tersebut. Bahkan, jaminan itu kadang-kadang hanya berupa satu dua kalimat yang ada di sampul belakang. Bisa juga karena sampul atau judulnya yang menurut kita keren. 

Sebenarnya, itu juga yang terjadi pada saya ketika memutuskan ngebut membaca Lagu Indah Persahabatan. Dilihat dari judulnya saja sudah langsung bisa ditebak kira-kira akan seperti apa ceritanya. Apalagi buku antologi cerita anak. Tentunya tidak menjanjikan plot twist sebagaimana pembaca dewasa harapkan. Namun, nama Syarifah Aini yang tertera sebagai salah seorang penulis dalam buku ini menjadi jaminan bagi saya untuk segera membaca dan menamatkannya dalam waktu cepat. 

Syarifah Aini adalah teman akrab dan lekat saya. Profesinya adalah penulis cum penyunting. Saat ini dipercayakan mengemban amanah sebagai Ketua Forum Lingkar Pena Aceh. Ceritanya berjudul 'Pertunjukan Drama Lila' menjadi salah satu dari 25 cerita yang ditulis oleh 25 penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Judul ini pula yang pertama kali saya baca dan tentu saja ceritanya tidak mengecewakan. Salah satu penulisnya menjadi faktor yang "mendekatkan" saya dengan buku ini sehingga saya merasa harus segera membacanya.

Lazimnya cerita anak yang memang ditulis dengan sasaran pembaca usia anak, cerita-cerita dalam buku setebal lebih dari 350 halaman ini mengangkat tema-tema di sekitar kita yang dinarasikan melalui sudut pandang penceritaan seorang anak. Temanya beragam, mulai dari kepedulian terhadap lingkungan, taat pada orang tua, kasih sayang kepada makhluk hidup, kepedulian terhadap sesama, hingga yang "agak-agak" berbau fiksi futuristis. 

Pesan-pesannya disampaikan secara tersurat dan gamblang. Tidak ada yang bikin kening berkerut atau membutuhkan perenungan. Namun, ada satu dua cerita yang menurut saya alurnya justru berada di luar dari cara berpikir anak-anak. Memang, dalam menulis cerita fiksi, salah satu yang menjadi tantangannya adalah menghindari terjadinya rumpang alur.



Membaca buku ini rasanya seperti berada di play ground, meskipun saya tidak bisa menikmati sarana bermain yang ada di sana, tetapi saya bisa menikmati keriangan anak-anak yang bermain di sana. Begitulah, sambil membaca, sambil saya kembali ke masa lalu, membayangkan masa kanak-kanak saya yang menyenangkan.

Sampul buku ini juga sangat memikat. Perpaduan biru laut dan putihnya sangat klop, ilustrasinya menyimbolkan keriangan khas anak-anak yang diliputi kebahagiaan, font-nya juga bikin happy. Sementara di dalam, tata letak buku yang selaras antara jenis font, ukuran, spasi ganda, dan pernak-pernik ilustrasi bikin semarak. Memang sesuai untuk anak-anak. Kalaupun ada yang terasa tak sesuai, mungkin halamannya yang kelewat gembrot. Selamat membaca.[]