Selasa, 15 Agustus 2023

Ayah, Ibu, dan Anak Bernama Damai

 

Ilustrasi

TERNYATA sudah delapan belas tahun usia perdamaian Aceh. Sejak GAM dan Pemerintah RI menandatangani selembar surat keramat di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.

 

Dalam imajinasi saya, perdamaian itu wujudnya adalah seorang anak. Maka sekarang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Mungkin kelas satu, bisa jadi kelas dua. Uhm, dalam imajinasi saya juga, anak itu adalah anak laki-laki. Maka di usia segitu biasanya juga sudah mulai (mengenal) merokok.

 

Lalu siapa orang tua anak ini? Ya, tentu saja Indonesia dan Aceh. Indonesia, kita taruhlah sebagai ayah yang perkasa. Yang dulu pernah memohon-mohon agar bisa menikahi ibu yang mestinya tak perlu tersakiti andai tak menerima atau terbuai bualan ayah.

 

Tapi, ibu perempuan, terkadang ia menjadi amat emosional. Sedikit saja menyentuh sisi paling femininnya, dengan bumbu-bumbu romantisme dan cerita utopia tentang kesetiaan, mudah sekali luluh.

 

Tapi, ayah laki-laki. Ucapannya sering seperti telur di ujung tanduk. Sedikit saja lengah, kata-kata manis itu pun meleset, melesat entah ke mana.

 

Di puncak rasa frustrasi dan kekecewaannya, ibu ingin bercerai, tetapi ayah pun berusaha mempertahankan mati-matian agar tidak berpisah.

 

Bagi ibu, berpisah berarti memperjuangkan harga diri yang selama ini diinjak-injak oleh yang semestinya menjadi pelipur lara.

 

Bagi ayah, tetap bersama ibu juga artinya memperjuangkan harga diri agar muruahnya sebagai laki-laki tetap terjaga. Tetapi, kita curiga, harga diri ayah terletak pada harta yang ibu punya.

 

Dan dalam kondisi mati-matian itu, ayah bukannya menunjukkan sikap baik, tapi cenderung represif. Bukan cenderung, melainkan memang represif. Ayah sangat ringan tangan. Hobinya memang mengancam. Mungkin memang ada sedikit darah-darah tertentu dalam saluran nadinya. Ia mudah murka.

 

Ibu pun, tak mau kalah. Ia melempari ayah dengan piring, atau gelas, atau kobokan untuk menunjukkan bahwa dirinya berdaya. Tangan lawan tangan. Begitu prinsipnya. Mungkin pun dalam darah ibu ada mengalir satu dua zat-zat yang lain. Sehingga sering pula dia menyebut-nyebut dirinya sebagai “yang terlebih”.

 

Sampai akhirnya suara ribut-ribut itu mengusik tetangga. Mereka pun akhirnya melibatkan diri. Sebagai tetangga, terkadang memang susah melawan desakan moral di dalam diri kita. Atas nama manusia, kita memang sering iba, empati, yang anehnya tidak dirasakan oleh dua orang yang sedang berselisih. Alhasil satu dua tetangga yang ingin menolong mental. Salto dengan teratur. Syukur-syukur tidak kena mental karena menghadapi dua manusia bebal.

 

Ini memang dua manusia keras kepala dengan ego setinggi Gunung Everest. Sedalam Palung Mariana. Sampai akhirnya, muncul seorang tetua dari ujung kampung, yang barangkali, karena sudah tua, pengalamannya banyak, sehingga ibu dan ayah sedikit melunak dan mau menerima kehadiran mereka hingga di beranda rumahnya.

 

Tapi, dalam kondisi melunak itu pun, mereka tetap masih gontok-gontokan. Tak peduli pada kepala yang benjol, atau paha yang memar-memar, yang penting tetap merasa diri paling benar. Kemudian terjadilah banjir besar. Rupanya ayah dan ibu sama-sama tak bisa berenang. Dan karena tidak bisa berenang itu rupanya kewarasan mereka kembali. Mereka dulu memang orang waras, tetapi entah kenapa belakangan jadi sangat gila.

 

Saat mereka waras, nasihat-nasihat dari tetua di ujung kampung itu lebih gampang masuk ke otak mereka. Tak lagi banyak cincong, tanpa alasan ini alasan itu, pokoknya mereka tak jadi bercerai. Sebagai bukti, ditandatanganilah selembar kertas keramat itu. Kelak ketika mereka berselisih, kertas keramat itu pula yang sering menjadi sebab musababnya.

 

Konsekuensi dari gagalcerai itu adalah lahirnya damai. Yang hari ini usianya tepat delapan belas tahun.

 

Bagi orang tua yang sudah sepuh, apalagi yang tak pernah berhasil menghalau curiga dari sanubari mereka, punya anak delapan belas tahun itu melelahkan. Laki-laki pula. Mungkin sedang bergajul-bergajulnya. Apalagi kalau sejak awal sudah salah asuh, yang berakibat pada salah arah. Dibilang A dijawab B, dibilang E dikira F.

 

Jadi, kalau banyak yang menaruh harap pada anak laki-laki seusia delapan belas tahun, mungkin kita perlu bilang hooo hooo tunggu dulu, jangan terlalu punya ekspekstasi lebih. Cebok saja belum beres dia. Mungkin pun, seperti anak lelaki satu-satunya: buet han geuyue, boh han geukoh. Ya sudah, begitu terus sebagaimana adanya. Syukur-syukur dia tak selamanya menetek pada ibunya. 


Jadi, meski usia perdamaian Aceh sudah delapan belas tahun, apa yang bisa kita harapkan berubah dari keadaan itu? Karena dia telanjur lahir sebagai anak broken home, kita cuma bisa berharap dia tak salah langkah. Semoga![]


Selasa, 04 Juli 2023

Agar Rumoh Geudong Tak Jadi Dongeng


 

RUMOH  GEUDONG adalah rumah milik seorang uleebalang (hulubalang) yang berdiri sejak tahun 1818 di Gampong Bili Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie. Rumah ini kemudian menjadi begitu lekat di ingatan masyarakat Aceh karena fungsinya di masa Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah.  

Dalam rentang operasi tersebut sejak ‘89—‘98, rumoh geudong yang telah lama kosong dijadikan pos militer tanpa sepengetahuan pemiliknya. Dari sinilah semua bermula. Rumah yang menjadi salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Aceh itu akhirnya berubah menjadi “sarang maut”.  

Seperempat abad kemudian, negara melalui pernyataan Presiden Jokowi pada Rabu, 11 Januari 2023, mengakui bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan satu dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh yang masuk 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dua lainnya, yakni peristiwa Simpang KKA (1999) di Aceh Utara dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan (2003).    

Enam bulan setelah pengakuan tersebut, nama rumoh geudong kembali menjadi “buah bibir”. Kali ini bukan karena fungsinya, melainkan karena dia akan “diantar” ke peristirahatan terakhirnya nun di negeri dongeng. Sebagai gantinya, di atas tanah itu nantinya akan dibangun masjid. Sebuah bangunan yang ketika kita berada di dalamnya, maka kita akan lupa pada semua dendam dan beban hidup. Seiring dengan itu, perlahan-lahan ingatan kita tentang rumoh geudong pun memudar dengan sendirinya.  

Saya di depan prasasti rumoh geudong di Gampong Bili Aroen, Kec. Geulumpang Tiga, Kab. Pidie pada 20 Agustus 2020.


Sejarah kelam rumoh geudong sebagian besar sudah lama menjadi abu sejak masyarakat membakar rumah tersebut pada tahun ‘98. Namun, mereka punya alasan. Yarmen Dinamika—Wartawan Serambi Indonesia—sebagai saksi hidup yang sempat menyaksikan bara api terakhir di rumoh geudong bersama rekannya, Risman A. Rachman, mengatakan, pembakaran tersebut merupakan usaha masyarakat untuk mencegah kembali terjadinya penyiksaan di rumoh geudong.    

Dalam diskusi Nestapa Duka Rumoh Geudong yang diselenggarakan Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (Fokusgampi) pada Sabtu malam (24/6/2023), Yarmen memutar ulang ingatannya 25 tahun silam. Suatu hari di bulan Agustus 1998, Biro Serambi Indonesia di Sigli mendapat telepon dari seorang pria. Telepon itu dijawab oleh Yarmen yang ketika itu baru tiba di biro tersebut karena ketinggalan rombongan Baharuddin Lopa yang hendak melakukan investigasi ke rumoh geudong.   

Penelepon itu sebenarnya  mencari Nona, wartawati  Serambi di Sigli, tetapi Nona sudah berangkat dengan rombongan Baharuddin Lopa. Yarmen pun memperkenalkan dirinya sebagai wartawan Serambi. Kemudian si penelepon memberi tahu kalau  mereka akan  membakar rumoh geudong. “Kalau Abang mau melihat, datang sekarang! Kalau tidak, tetap akan kami bakar,” cerita Yarmen di hadapan puluhan anak muda yang mengikuti diskusi malam itu.    

Yarmen sejenak ragu dengan informasi tersebut. Namun, setelah diskusi singkat dengan Risman, mereka memutuskan untuk menyewa labi-labi (angkot) dan segera pergi ke Bili Aron. “Begitu kami sampai di simpang itu, sudah terlihat api yang membara. Ketika tiba di lokasi, yang tersisa hanya beranda depan dan langsung saya potret dengan kamera poket,” ujar Yarmen.  

Sebulan sebelum  Baharuddin Lopa ke sana, sudah lebih dulu berkunjung Hari Sabarno yang pada tahun ‘97—’99 menjadi Ketua Fraksi ABRI MPR/DPR RI. Sebelum kunjungan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) itu, semua tahanan di rumoh geudong diungsikan sementara dan rumah tersebut dipoles sedemikian rupa untuk menghilangkan jejak kejahatan HAM. Namun, setelah kunjungan usai, para tahanan kembali dibawa ke rumoh geudong dan penyiksaan pun kembali berlanjut.    

“Jadi, ketika Hari Sabarno datang ke sana, tidak ada tahanan di rumoh geudong sehingga terkesan apa yang disampaikan pegiat HAM atau jurnalis itu bohong. Masyarakat di situ sudah tahu, kalau pejabat datang, maka tahanan diungsikan. Atas dasar itulah  masyarakat  melakukan tindakan yang di luar perkiraan semua orang. Maka setelah kunjungan Baharuddin Lopa ke rumoh geudong, rumah itu dibakar supaya para tahanan tidak dibawa kembali ke rumoh geudong. Mereka sudah belajar dari pengalaman kunjungan Hari Sabarno,” kata salah satu penulis buku Aceh Bersimbah Darah  itu.  

Selain Yarmen, diskusi itu juga mendaulat Munawar Liza Zainal (juru runding GAM), Cut Asmaul  Husna (aktivis perempuan asal Pidie), Masthur Yahya (Ketua KKR Aceh), dan Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh) sebagai pembicara. Semua pembicara sepakat bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan peristiwa sejarah yang tak boleh dilupakan, apalagi dimusnahkan. Kalaupun ingin dibangun sesuatu di atasnya, maka yang tepat adalah museum untuk merawat seluruh ingatan tentang apa yang pernah terjadi di sana. “Situs inilah yang kelak menjadi bukti bagi generasi selanjutnya bahwa ini bukan dongeng,” kata Cut Asmaul Husna.  

Munawar Liza Zainal yang pernah menjadi wali Kota Sabang mengatakan, menghilangkan situs-situs konflik dengan dalih menghilangkan dendam merupakan penghinaan terhadap nalar manusia. 

“Bisa tidak seseorang yang diperkosa atau dibunuh ayahnya disuruh lupakan saja, tidak boleh itu dalam kemanusiaan!” imbuhnya. 

Dalam  hal ini, menurutnya, pemerintah perlu belajar dari negara-negara lain bagaimana cara merawat ingatan mereka tentang sejarah kelam, seperti Jerman atau Kamboja. Melalui situs-situs yang masih terpelihara sampai sekarang, negara-negara itu telah mengajarkan kepada dunia tentang peristiwa dan model-model kekerasan/penyiksaan terhadap manusia yang pernah ada dengan tujuan tidak terulang lagi, baik di negara mereka atau di tempat lain.  

Demikian juga harapannya dengan rumoh geudong. Apalagi, meskipun rumoh geudong secara administratif berada di Kabupaten Pidie, tetapi sejatinya “kenangan” itu adalah milik rakyat Aceh, Indonesia, bahkan masyarakat dunia.  

“Rumoh geudong ini bisa jadi tempat bagi dunia untuk belajar bahwa di Aceh pernah terjadi kekerasan yang tidak masuk akal. Kekerasan yang tidak boleh dilakukan oleh negara dan itu melanggar hukum negara. Tetapi mengapa ada yang ingin menutup ini, padahal negara sudah mengakui itu?” kata Munawar Liza.  

Tampak sisa-sisa bangunan rumoh geudong di lahan yang kini sudah dibersihkan dan nantinya akan dibangun masjid. Foto diambil pada 20 Agustus 2020.


Kick off penyelesaian nonyudisial terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi di lokasi rumoh geudong, Selasa, 27 Juni 2023. Ketua KKR Aceh, Masthur  Yahya, dalam diskusi Fokusgampi itu mengatakan sudah ada komitmen dengan tim PP HAM bahwa tangga rumoh geudong tidak dirobohkan setelah kick off. “Itu harus kita kawal bersama, kita percaya tim Presiden mengedepankan kearifan lokal. KKR bersama mereka untuk memberikan sumbang saran,” katanya.  

Namun, sebagaimana disampaikan Koordinator KontraS, Azharul Husna, kick off yang dilakukan di tengah  kesibukan orang Aceh  menyambut Iduladha (sibuk mak meugang), jangan sampai melengahkan perhatian publik terhadap upaya “mendongengkan” rumoh geudong. Sedikit saja lalai, bukan tidak mungkin tangga itu pun akan raib ditelan ambisi dengan dalih melenyapkan dendam masa lalu. 

Kata Yarmen, jika tangga yang menjadi satu-satunya sisa dari rumoh geudong itu pun turut dihancurkan, maka itulah “bab penutup” ingatan tentang kamp konsentrasi penyiksaan paling parah di Aceh.[]

Tulisan ini telah tayang di Serambi Indonesia edisi Jumat, 30 Juni 2023.   

Selasa, 28 Maret 2023

Memoar Matahari Terbit #3: Tentang Sebuah Langgar



Konon manusia itu selalu terikat dengan masa lalu. Istilah kerennya kenangan. Saya barangkali termasuk salah satu manusia yang seperti itu. Sulit melupakan momen-momen tertentu di dalam hidup saya. Khususnya masa-masa kecil yang membahagiakan dan menyenangkan.

Keluarga kami seperti keluarga kebanyakan di negeri ini, hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tetapi, mengapa saya merasa masa kecil saya sangat bahagia dan menyenangkan? Tak lain karena kehangatan keluarga, lingkungan tempat tinggal yang nyaman, dan karena saya masih bocah: belum tahu kalau hidup itu berat dan banyak persoalan.

Kehangatan itu tidak hanya ada di keluarga, tetapi juga dengan para penghuni kampung lainnya. Sesama anak-anak sangat kompak dan kami selalu bermain bersama. Mulai dari main karet gelang sampai main serimbang; pergi sekolah dan mengaji bersama; hingga mencari kayu bakar di kebun-kebun sambil mengangon ternak bagi yang punya ternak.

Para ibu sering saling berbagi makanan, bahkan terkadang memasak bersama, terutama saat bikin kue untuk hari raya. Padahal jarak satu rumah dengan rumah yang lain jauh-jauh.

Kampung saya dulu, seperti yang pernah saya tulis di cerita-cerita sebelumnya, berada di pelosok Aceh Timur. Dulu bagian dari Kecamatan Idi Rayek, setelah dimekarkan menjadi wilayah Kecamatan Darul Ihsan. Terusan dari kampung kami tembus ke PT Bumi Flora.

Jalannya belum beraspal (mungkin juga sampai sekarang ). Tidak ada listrik. Rumah-rumah penduduk berada di antara kebun-kebun, umumnya kelapa dan kakao. Tetapi kampungnya bersih. Rumah-rumah warga berpagar alami dari daun teh-tehan. Halamannya selalu bersih. Yang suka bebungaan seperti ibu saya, maka dipastikan halaman rumahnya penuh dengan bunga. Jenis bunga yang ditanam macam-macam, beberapa di antaranya pernah saya lihat saat ke Takengon. Termasuk juga aneka jenis keladi dan karena ini pula suatu malam pekarangan rumah kami menjadi serbuan babi.

Meski di kampung kami air bersih sesuatu yang langka, tetapi setiap harinya sebelum pukul lima sore kami sudah rapi jali. Mandi dan mencuci semuanya dilakukan di parit-parit yang jaraknya jauh sekali dari rumah. Karena itulah kami selalu mandi lebih awal karena kalau sudah sore pasti tak berani lagi pergi mandi.
Kalau malam, selain hanya mengandalkan terang dari lampu teplok, juga dari sinar bulan kalau sedang terang. Bertolak belakang dengan namanya Lorong Pelita.

Di kampung kami tidak ada masjid. Yang ada hanya langgar. Bentuknya panggung. Konstruksinya dari kayu beratapkan seng, tapi kokoh dan cukup memadai untuk menampung ibu-ibu wirid atau untuk salat Tarawih bagi warga Lorong Pelita yang bisa dihitung jari KK-nya. Dari jumlah yang minim itu pun tak semuanya rajin datang ke langgar.

Langgar itu terletak di sebidang tanah di tengah-tengah kebun warga. Semuanya kelapa dan kakao. Di sisi kanannya yang agak berbukit adalah kebun milik keluarga saya. Di sisi kiri langgar adalah kebun milik Keuchik Usman. Di tengah-tengah kawasan kebun ini terbentang parit kecil yang airnya hanya ada di musim hujan.

Tak ada satu rumah pun di sekitar langgar. Rumah-rumah warga bertumpuk-tumpuk: tumpuk CWC (eks kantor pertanian), tumpuk Wak Raban, tumpuk Wak Said, tumpuk Wak Pardi, dan tumpuk rumah kami. Hanya tumpuk rumah kami yang jaraknya paling dekat dengan langgar. Paling jauh tumpuk Wak Said dan tumpuk CWC dan tumpuk Wak Raban.

Oya, ada sebuah bak besar di depan langgar untuk menampung air hujan. Tak ada sumur atau sejenisnya di sana. Bak itu hanya terisi air, ya, ketika hujan turun. Dan jika air bak penuh, beberapa ibu datang untuk mencuci pakaian di sana.

Di malam hari, dengan kondisi tak ada penerangan apa pun, entah mengapa langgar ini jadi terkesan menyeramkan. Apalagi dengan adanya sebuah keranda yang digantung di bawah langgar. Maklum, letaknya di bawah bukit. Belum lagi kalau harus membayangkan pucuk-pucuk pohon yang bergoyang di kegelapan. Dalam gelap imajinasi kita memang sering di luar jangkauan.

Namun, suasananya berubah ketika bulan puasa tiba. Itu karena selepas magrib--sebagian--warga Lorong Pelita pasti datang ke langgar untuk salat Tarawih. Yang jadi imamnya Wak Min. Satu lampu petromax cukup untuk menerangi seluruh langgar. Yang sebentar-sebentar harus dipompa untuk menjaga nyalanya tetap stabil.

Laki-laki di baris depan paling banyak cuma dua saf itu pun sudah inklud para bocah. Di belakang, jamaah perempuan yang dibatasi dengan tabir kain merah juga tak lebih banyak. Bagi kami para bocah, yang memotivasi untuk pergi ke langgar sebetulnya karena tak ada pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Tak ada listrik, tak ada televisi, tak ada gadget atau lato-lato, siapa yang mau dikurung dalam gelap untuk disantap nyamuk?

Selain itu, kue-kue dan teh atau kopi yang dibawa untuk dinikmati usai Tarawih sangatlah menggiurkan. Selama bulan puasa setiap warga mendapat jatah membawa kue untuk jamaah Tarawih.
Maka, bagi para bocah, semakin sedikit jamaah yang hadir semakin bagus karena jatah kue bisa dapat lebih.

Setelah Tarawih selesai sekitar pukul sembilan, langgar kembali mencekam. Praktisnya langgar ini hanya berfungsi di waktu-waktu tertentu saja.

Karena letaknya yang tidak strategis, dalam artian tidak berada di jalan utama desa, langgar ini memang lebih banyak sepi sendiri. Belakangan warga sepakat memindahkan langgar ke pinggir jalan utama desa di tengah tengah antara tumpuk rumah kami dengan tumpuk CWC. Sejak saat itu langgar di kampung kami mulai ada rohnya.... Namun, ketika konflik memorakporandakan kampung kami, langgar kami kembali kehilangan rohnya...[]


Ilustrasi foto dari Pixabay



Rabu, 20 Juli 2022

Berjualan (Tak Perlu) Kaku



Beberapa hari lalu, saya mampir ke sebuah toko mainan di Ulee Kareng. Ini kali kedua saya ke toko itu. Saya bermaksud membeli sebuah mainan sebagai hadiah bagi anak seorang sahabat yang akan saya kunjungi. Sampai di sana, saya melihat-lihat mainan apa yang kira-kira cocok untuk balita laki laki.

Pilihan saya jatuh pada sebuah set mainan berisi kendaraan TNI: sebuah mobil patroli, mobil ambulans, motor gede, dan helikopter. 

Saya jatuh hati dengan set mainan ini. Selain harganya yang terjangkau, jenis mainannya juga ada beberapa. Dalam pikiran saya, pastilah yang menerimanya akan girang karena bisa mendapat beberapa mainan sekaligus.

Setelah memutuskan untuk membeli set mainan tersebut, saya pun menuju kasir. Ada dua perempuan muda yang bertugas sebagai kasir. Mereka berseragam khusus. Sebelum saya menghampiri mereka, keduanya terlihat sedang mengobrol.

Suasana toko memang sedang sepi. Hanya ada beberapa pengunjung. Mata saya menangkap seorang pengunjung dewasa, serta dua atau tiga pengunjung remaja membeli perlengkapan sekolah. Mungkin ada di belakang rak yang lain, tapi tak terjangkau oleh saya. 

Tiba di kasir, saya pun bertanya apa mainan yang saya beli bisa sekalian dibungkus menjadi kado. Salah satu di antara mereka menjawab bisa dan karena itu saya kembali ke rak tempat kertas-kertas kado dipajang. Saya memilih dua lembar kertas kado, masing-masing bermotif kids dan baby.

Kemudian saya kembali ke meja kasir dan menyerahkan set mainan tadi untuk dibungkus kado. Saya juga menyerahkan satu bungkusan berisi barang lain yang saya bawa dari rumah.

"Sekalian minta tolong kadoin yang ini, ya," kata saya, "dengan kertas yang ini," saya menunjuk kertas kado motif baby.

"Oh, barangnya bukan dari sini, ya? Tidak bisa!" jawab salah satu kasir dengan nada dan raut wajah yang datar. Temannya yang satu diam saja.

"Yang ini barang di sini," kata saya menunjuk set mainan, "kalau yang ini memang bukan, tapi saya minta tolong bisa, kan? Nanti tinggal dihitung saja berapa."

"Tidak bisa. Tidak ada orang. Kami cuma bertiga," jawabannya masih datar. Tanpa senyum pula.

"Oh, apakah tidak bisa tolong saya, toh kertas kadonya saya beli di sini juga," saya masih berharap mereka bersedia.

"Tidak bisa, kami tidak ada orang, ini sedang ramai." 

"Tapi kalau yang barangnya dibeli di sini, ada tukang bikin kadonya?" 

"Ada." 

"Okelah. Tolong kadokan yang ini saja." 

Terbersit di hati ingin mengatakan kalau pengunjung saat itu bisa dihitung jari, ditambah dua kasir juga sedang menganggur. Artinya, kalau mereka mau, bisa saja mereka membantu saya untuk membungkus kado. Mereka akan mendapat biaya tambahan. Plus satu kertas kado lagi akan terjual.

Namun, begitulah cerminan banyak pelayan(an) di tempat-tempat yang sering saya (kita) kunjungi. Entah itu di toko mainan, toko pakaian, kafe, toko kue, hingga hotel. 

Jargon "pembeli adalah raja" cuma kenangan indah masa lalu. Sekarang, yang ada pembeli dibikin ngenes dengan sikap pelayan/pekerja yang tak ramah. Padahal, pembeli datang ke sana untuk mengantarkan uang. Dengan uang itulah tenaga mereka bisa dibayar setiap bulannya. 

Ada hukum sebab akibat yang bisa menjadi rantai kelancaran rezeki seseorang. Misalnya, pelayanan pegawai yang baik akan membuat pelanggan senang, kemungkinan mereka akan kembali lagi, omzet toko meningkat, laba perusahaan naik, pekerja bisa dapat bonus. Siklus ini bisa juga sebaliknya. Tak sedikit ada usaha yang kolaps gara-gara kinerja pegawai yang tak baik. Mengapa "akhlak" pegawai menjadi sangat penting? Karena merekalah yang berada di front office. Mereka yang langsung berhadapan dengan konsumen. Mereka ujung tombak.

Namun, mengapa rasanya sulit sekali melayani dengan baik? Apakah otak kita telanjur memprogram atau terdoktrin bahwa melayani sama dengan menjadi individu kelas dua? Sehingga alih-alih menyambut pelanggan dengan senyum, seorang pramuniaga lebih senang bermuka masam; alih-alih memberi solusi, malah menimbulkan masalah baru; alih-alih mendengarkan keinginan pelanggan, malah mendebat mereka.

Berjualan tak perlu sekaku itu. Kita harus belajar menjadi pribadi yang fleksibel. Yang punya tenggang rasa. Yang selalu punya keinginan untuk memudahkan urusan orang lain. Yang punya kesadaran bahwa orang lain merupakan rantai kelancaran rezeki kita. Harus ada dalam sistem otak kita, bahwa melayani tidak akan membuat harga diri kita jatuh.[]

Senin, 18 Juli 2022

Perahu yang Tertambat di Tepi Sungai




DI BANTARAN sungai dengan pohon cemara berderet-deret, Nyak Ni duduk menyandarkan punggungnya pada salah satu pohon. Matanya nanar memandangi masjid kubah bawang berwarna hijau di seberang sungai. Kontras dengan air sungai yang sedang keruh. Hujan semalam tidak hanya membuat sungai menjadi serupa kopi susu, tetapi juga telah membuat rumahnya menjelma seperti sungai. Kopi susu. Minuman mewah yang sering diidamkan Nyak Ni. Mewah, sebab untuk meraciknya membutuhkan susu. Dan ibunya tak pernah sanggup membeli susu.

 

Nyak Ni suka menyendiri di bantaran sungai yang membelah kota menjadi dua bagian. Selain angin yang silir melenakan, duduk di sini menjadi hiburan tersendiri baginya. Dia sering hanyut pada pemandangan kapal-kapal nelayan yang parkir di pinggir sungai. Warnanya merah, kuning, biru, dan hijau. Semarak.

 

Namun, setiap kali duduk di bantaran sungai ini, pikirannya selalu terusik oleh percakapan antara dia dengan ibunya pada suatu siang.

 

"Kau lihat perahu itu, Ni?" 

 

"Yang mana, Mak?"

 

"Itu!" Ibunya, Maneh, menyeru sembari telunjuknya mengarah pada perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai, warnanya kusam, diikat pada sebatang bakau yang tumbuh di pinggir sungai. Perahu itu bergerak-gerak pelan mengikuti riak-riak air yang diempas angin. "Lalu kau lihat yang di sana!"

 

Sekali lagi Maneh mengarahkan telunjuknya pada deretan kapal-kapal bertenaga mesin yang parkir di sisi lain sungai. Beberapa ABK terlihat bergerak-gerak di atas kapal. Mungkin mereka sedang membersihkan kapal atau sedang mengisi bahan bakar.

 

"Kenapa dengan kapal-kapal itu, Mak?"

 

Maneh menghela napas. Dia tak ingin buru-buru menjawab pertanyaan sulungnya. Dia ingin menikmati kebersamaan itu. Jarang-jarang mereka punya waktu berdua untuk bercengkerama seperti ini. Kemiskinan telah merenggut banyak hal dari mereka, termasuk waktu bersama anak-anak. Maneh menghela napas. Berkali-kali. Mungkin sedang melakukan relaksasi sembari menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.

 

"Lautan yang luas itu kehidupan, Ni. Sebuah dunia. Di sana ada manusia, sama seperti di tempat kita sekarang. Kapal-kapal itu adalah manusianya. Juga perahu yang tertambat di sana.”

 

Nyak Ni menoleh pada ibunya. Sulit baginya untuk mencerna. Yang dia tahu, di laut itu hanya ada ikan, cumi-cumi, udang, mungkin juga monster, tetapi manusia ....

 

“Laut adalah tempat bertarung. Musuhnya adalah gelombang. Kapal-kapal itu bertarung dengan gelombang, yang kalah... akan tenggelam.”

 

“Dimakan hiu, Mak? Atau Paus?” timpalnya.

 

Maneh menoleh. Ditelisik mata sulungnya, masih memancarkan cahaya yang sehangat mentari pagi. Cahaya itulah yang menjadi penggerak turbin kehidupannya sejauh ini.

 

“Sedangkan perahu itu, riak sungai saja sudah membuatnya bergoyang-goyang, Ni, bagaimana mungkin bisa bertahan di lautan luas?”

 

Nyak Ni melihat mata ibunya berkaca-kaca. “Seperti perahu itulah kita, kamu, ayah, Mak, dan adik-adikmu.”

 

Sampai di sini Nyak Ni mulai paham apa yang dibicarakan ibunya. Entah mengapa, dia merasa kata-kata tadi begitu mengiris hatinya. Mengiris perasaannya sebagai anak.

 

“Apakah kita akan tenggelam, Mak?” pertanyaan itu, sekonyong-konyong saja keluar dari mulutnya.

 

Maneh tidak menjawab, hanya mengusap lembut pipi gadis kecilnya.

 

Pertanyaan itulah yang kembali mengusiknya saat ini. Padahal percakapan dengan ibunya itu sudah lama sekali, tetapi mengapa sangat sulit terhapus dari ingatannya. “Apakah kita akan tenggelam, Mak?” air matanya menitik saat mengulang kembali pertanyaan itu di hatinya.

 

Saat hujan turun sangat lebat seperti semalam, Nyak Ni yang sudah tertidur jadi terbangun karena tempias yang hinggap ke wajahnya. Rumah tempat mereka tinggal, ah, kata-kata rumah terdengar begitu mewah dan istimewa. Kenyataannya, tempat mereka berteduh lebih cocok disebut gubuk. Atapnya hanya beberapa lembar seng lapuk yang ditutupi dengan spanduk bekas. Dindingnya kayu-kayu bekas hasil pulungan ibunya. Ada dipan tempat biasa mereka tidur dan istirahat sehari-hari. Rumah itu tidak dilapisi semen atau pun tegel. Setelah hujan reda jadi tak ada bedanya dengan sawah.

 

Namun, itu masih terasa nyaman bagi Nyak Ni ketimbang aroma busuk yang nyaris saban waktu terhirup oleh hidungnya. Tak jauh dari situ memang terdapat tempat pembuangan akhir yang sangat luas. Sampah-sampah warga kota diangkut dengan truk-truk besar saban hari. Nyak Ni mengutuk TPA itu setiap kali ia bernapas. Sedangkan ibunya, selalu bersyukur karena di sanalah tempat ia mengais rezeki. Tapi itu dulu, sebelum ibunya banting setir menjadi pembakar arang milik salah seorang juragan. Meski selalu pulang dalam keadaan coreng-moreng, tetapi sejak bekerja di dapur arang, tidak ada bau busuk yang ikut menempel di baju ibunya.

 

Kantuk Nyak Ni benar-benar hilang saat disadari tanah di rumahnya menjadi basah. Awalnya hanya serupa rembesan dari sela-sela dinding, lama-lama alirannya menjadi semakin deras seiring dengan hujan yang kian lebat. Nyak Ni bangkit menyusul ibunya yang bergerak cepat memindahkan barang barang ke atas dipan. Atau digantung di mana pun yang memungkinkan. Sebuah kompor minyak, karung plastik berisi beras, peralatan makan, dan printilan lain. Rumah menjadi berisik dan penghuninya seperti anak tikus yang kocar-kacir. Dua adik Nyak Ni malah kegirangan dan sibuk bermain air.

 

“Mak, ayah ...”

 

Nyak Ni ingat ayahnya. Sudah sebulan ini ayahnya tidak tidur di rumah. Juga tidak pernah pulang ke rumah. Lelaki renta itu selalu tidur di pondok yang ada di ujung jalan. Saat hujan deras seperti ini, tentu ayahnya sangat kedinginan. Kalau anginnya kencang, malah pondoknya bisa-bisa diterbangkan.

 

"Ayah enggak apa-apa.”

 

Maneh menenangkan hati putrinya. Dia pun bukannya tidak peduli pada Noh. Dia kasihan pada lelaki itu. Tapi apa boleh buat, mereka sudah sepakat untuk mengurus hidup masing-masing. Noh bukan lagi suaminya.

 

Namun, demi dilihatnya hujan yang semakin deras, Maneh mematung di jendela. Air di rumahnya sudah tergenang di atas mata kaki. Matanya lurus menatap ke ujung jalan, dia berharap agar hujan bisa reda, tetapi yang tampak hanya butir-butir hujan yang menghalangi pandang. Lelaki itu, Noh, pasti sangat kedinginan. Jangan-jangan Noh pun belum makan. Bagaimana kalau Noh mati karena kelaparan dan kedinginan?

 

Seliris perasaan bersalah menyelinap dalam jiwa Maneh. Andai saja, andai saja dia tidak mengiyakan permintaan Noh saat itu, tentu Noh tak perlu tidur di pondok ujung jalan itu sebulan terakhir ini. Setidaknya masih ada tempat berteduh yang memadai.

 

“Aku tidak ingin terus-terusan jadi beban kamu, Maneh.”

 

Kata Noh tiap kali mengutarakan niatnya untuk berpisah dan Maneh selalu menolaknya. ''Kamu lihat sendiri bagaimana kondisiku, Neh. Aku sudah tua, aku penyakitan, kamu tidak bisa bekerja karena harus mengurus aku, sedangkan anak-anak juga perlu diberi makan. Aku tidak bisa memaafkan diriku, Neh. Aku malu, aku suami yang tidak berguna. Kalau kita berpisah, setidaknya bisa meringankan beban kamu, kamu tidak perlu mikirin aku, bisa bekerja dengan tenang..."

 

Pada akhirnya mereka berpisah juga. Namun, setiap kali Maneh melihat Noh tergeletak di pondok itu, setiap kali pula hatinya terluka. Dia merasa nasibnya tak ubahnya seperti perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai itu. Terombang-ambing. Untuk menahan riak sungai saja tak mampu. Konon lagi gelombang laut? 

 

Saban hari Maneh pergi ke dapur arang dengan air mata yang diperam di sanubarinya. Sewaktu-waktu pecah saat ia sedang sendirian. Entah di waktu salat, atau di saat menjelang tidur. 

 

Nyak Ni tersentak dari lamunannya. Ia memandangi perahu kecil yang tertambat di pinggir sungai. Dia merasa perahu itu adalah dirinya. Sendiri. Ringkih. Tak berdaya. Tak ada yang peduli. Ibu dan ayahnya juga sudah tak lagi bersama. Meski setiap hari bisa menemui ayahnya di pondok, tetapi tetap ada yang hilang di hatinya.

 

Nyak Ni kembali teringat pada ayahnya. Dia belum melihat ayahnya sejak hujan semalam. Apakah semalam ayahnya kehujanan? Kedinginan? Apa ayahnya sudah makan? Kalau belum, dia akan pulang untuk mengambil sepiring nasi. Ibunya tidak akan marah.

 

Nyak Ni bangkit setelah mengambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke sungai. Tumbukan kerikil di permukaan air memunculkan gelombang berbentuk lingkaran. Kemudian hilang perlahan-lahan.

 

Ia menyusuri bantaran sungai dan bergegas menuju ke pondok tempat ayahnya tinggal selama ini. Selama itu, pikirannya terus dilanda kecamuk. Mengapa ayah ibunya berpisah, padahal Nyak Ni tidak pernah melihat mereka bertengkar. Nyak Ni ingin menanyakan itu pada ayahnya. Ia pun mempercepat langkah sambil sesekali melompat menggapai dahan cemara.

 

Untuk pertama kalinya dia merasa langkahnya sangat ringan. Hatinya terasa lebih lapang. Di kejauhan, dia melihat ayahnya masih meringkuk di pondok. Langkahnya semakin cepat. Saat jarak semakin dekat, Nyak Ni melihat ayahnya masih meringkuk di pondok dan berselimut selembar sarung usang. Kakinya mengintip dan tampak pucat.

 

Nyak Ni sampai di pondok. Ia duduk di samping ayahnya. Perlahan digoyangkan tubuh ayahnya. Tak ada Jawaban. Digoyangkan sekali lagi sambil memangilnya, tetap tak ada jawaban.[] 


Peulanggahan, Oktober 2021

 

Sabtu, 26 Maret 2022

Antara Mbak Rara dan Mbah Lasimun



JAUH sebelum saya tahu ada daerah yang namanya Mandalika. Yang belakangan telah melambungkan nama Mbak Rara si Pawang Hujan. Saya sudah begitu akrab dengan istilah pawang hujan. Sejak kanak-kanak. Dan itu sekitar tiga puluh tahun yang lalu. 😁 

Ada pawang hujan yang terkenal di kampung kami dulu. Omong-omong, kampung saya sangat jauh dari Mandalika. Berada di timur Aceh. Namanya Mbah Lasimun. Tinggal di Lorong Binjai. Kenapa namanya Lorong Binjai? Karena warganya banyak yang berasal dari Sumatera (termasuk Binjai) aka pujakesuma. 

Namun, saya hanya ingin cerita tentang Mbah Lasimun. Saya terkesan dengan sosoknya dan begitu memorable di alam ingat saya. Karena setiap ulang tahunnya selalu dimeriahkan dengan pertunjukan jaran kepang. Dulu, tinggal di kampung yang akses dengan kota sangat jauh, bisa menonton jaran kepang sudah sangat luar biasa terhibur. Syaratnya cuma satu: jangan pakai baju merah.

Secara fisik Mbah Lasimun ini perawakannya kecil. Pendek. Sebelas dua belas dengan Mbah Maridjan--kuncen Gunung Merapi yang meninggal terpanggang ketika Merapi meletus. Kebalikan dengan istri Mbah Lasimun yang tinggi besar dan gembrot sehingga dipanggil Mbah Robot. Mbah Robot memang sekuat namanya. Di usianya yang sudah tua pun dia masih kuat menyunggi ember berisi hasil panen biji kakao di kebunnya. 

Meski Mbah Lasimun ini mungil, orang-orang menaruh respek yang luar biasa padanya. Bahkan bagi beberapa orang dijadikan sebagai "guru" karena dianggap memiliki "kebisaan" tertentu.

Salah satu keahliannya adalah sebagai pawang hujan. Karena ini pula jasanya sering dipakai ketika ada warga yang mau buat hajatan pesta. Ketika sedang membahas soal Mbak Rara yang konon katanya bisa menghentikan hujan di langit Mandalika, ibu saya berceletuk: itu bahan-bahan sesajian yang dipakai Mbak Rara ya persis seperti yang dipakai Mbah Lasimun dulu. 

Tapi, ada satu yang saya ingat dari cerita ini. Suatu ketika ada tetangga yang bikin hajatan di bulan 12 yang identik dengan musim penghujan. Untuk mencegah hujan dimintalah jasa Si Mbah, tetapi hujan tetap turun dengan lebatnya. Lalu bisik-bisik muncul, coba buat acaranya di musim kemarau. Nggak perlu pawang pawang hujan. Kesimpulan saya, ending dari kisah Mbak Rara ini sudah "dibuktikan" oleh Mbah Lasimun puluhan tahun silam.

Masih soal Mbah Lasimun. Suatu ketika ayah saya kehilangan ayahmnya. Dicuri orang di kandang. Lalu ada tetangga yang menyarankan agar ayah pergi ke Mbah Lasimun untuk jak keumalon alias minta diterawang. 

Si Mbah bilang supaya ditunggu saja saat magrib, ayamnya pasti dikembalikan. Tetapi setelah ditunggu-tunggu si ayam tak kunjung kembali. Rupa-rupanya, gimana ayam itu mau kembali, dia sudah jadi gulai dan dagingnya sudah masuk ke perut kami. 

Jadi ceritanya, setelah dicuri, ayam itu dipotong dan dimasak di rumah kami pula. Hal ini terungkap belakangan. Bertahun-tahun kemudian.

Semoga Allah mengampuni kita dari hal-hal bodoh yang pernah dilakukan karena ketidaktahuan. Saya "bersyukur" dulu tinggal di kampung yang ternyata sangat kaya akan kearifan lokal. Suatu istilah yang belakangan ini semakin sering populer. Tetapi, searif-arifnya nilai-nilai lokal, tetaplah yang paling arif itu yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam).[]

Kamis, 24 Februari 2022

Tentang Anjing dan Azan



November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.

Narasumber kami berada di Desa Rembele, Kecamatan Bukit. Berada di lereng Gunung Burni Telong yang masyur itu. Di tengah-tengah hamparan kebun kopi yang luas.
Ada yang menarik perhatian kami selama berada di rumah narasumber tersebut. Kami memang menginap di rumah beliau, mengingat akses ke penginapan maupun transportasi yang lumayan sulit selama di sana.
Kami berangkat malam hari dari Banda Aceh dan tiba di Rembele menjelang subuh. Seekor anjing menyambut kedatangan kami. Hewan itu berdiri tak jauh dari mobil Hi-Ace yang kami tumpangi. Ekornya bergoyoang-goyang. Lidahnya menjulur-julur. Dalam bahasanya seolah-olah dia ingin menunjukkan keramahannya dan mengatakan, "Selamat datang."
Pemandangan seperti ini bisa dibilang lazim di Gayo, mengingat umumnya masyarakat di sana adalah petani kopi. Anjing-anjing ini sangat berguna sebagai teman saat berada di kebun. Dia akan menggonggong saat ada aroma-aroma babi di sekitarnya. Dia juga bertugas sebagai penjaga rumah, terutama ketika ditinggal pemiliknya.
Di kampung kami dulu, di Aceh Timur, ada juga tetangga yang memelihara anjing. Jadi, meskipun saya bukan penyuka anjing, tetapi tidak parno saat melihat ada anjing di rumah orang. Asalkan anjingnya tidak genit dan tidak menggonggong sembarangan (seperti anjing yang ada di seputaran kedai kopi favorit saya di belakang terminal labi-labi Keudah 😃).
Nah, balik lagi saat kami tiba di Desa Rembele. Tak lama setelah kami tiba, azan Subuh pun berkumandang. Yang membuat kami "takjub", saat azan berkumandang, sesaat kemudian lolongan anjing pun terdengar seperti menyahuti. Suaranya terdengar menyayat. Awalnya saya sempat bingung, mengapa anjing-anjing ini melolong berbarengan dengan waktu azan? Perihal ini jadi diskusi kami saat itu juga.
Subuh berikutnya, ketika azan berkumandang di kejauhan, lolongan anjing kembali terdengar memecah keheningan fajar. Saya dan Kak Dian kembali membicarakannya. Suaranya tetap terdengar menyayat hati. Kami pun menyimpulkan, bahwa anjing-anjing ini sebenarnya sedang "mengambil" peran membangunkan manusia-manusia yang sedang terlelap di balik selimut. So, bagi kami yang tak terbiasa dengan dingin yang menggigit tulang dan begitu lelap di balik selimut, justru (karena) suara anjinglah yang membuat kami terbangun untuk salat Subuh.[]