Jumat, 31 Desember 2021

Thank You 2021, Welcome 2022



Hanya tinggal hitungan jam untuk mengatakan "selamat tinggal 2021" dan mengucapkan "selamat datang 2022". Saya bersyukur karena hingga menjelang pergantian tahun ini masih diberikan kesehatan oleh Sang Pemilik Semesta. Hari-hari yang saya lalui sepanjang tahun ini penuh kegembiraan, terasa menyenangkan, dan begitu produktif. Hari ini pun, yang notabenenya hari terakhir di tahun ini, saya memulai aktivitas dengan minum kopi. Representasi hidup tanpa beban hahaha.

Sekadar kilas balik, memasuki awal 2021 saya memulainya dengan kehilangan. Mulanya terasa ganjil. Ada yang kosong dalam hari-hari saya. Namun, semuanya berlalu dengan cepat. Aktivitas yang padat membuat perasaan kosong itu dengan sendirinya cepat menguap. Dan, aha! Saya baik-baik saja hingga detik ini. Ternyata, kehilangan tak selamanya semenakutkan apa yang ada di pikiran.

Menjelang memasuki tahun baru ini, saya ingin melakukan review atas perjalanan selama dua belas bulan terakhir. Ini bentuk lain rasa syukur saya atas segala yang telah Allah berikan kepada. Lebih dari itu, cerita hari ini akan menjadi kenangan di masa depan. Dengan menuliskan ini, saya ingin nanti di masa depan bisa bernostalgia dengan secuil kebahagiaan di masa lalu. 

Jalan-Jalan



Di awal-awal tahun, seperti yang sudah-sudah, aktivitas masih sangat longgar. Kesempatan ini saya gunakan untuk silaturahmi (baca: main-main) ke tempat teman. Awalnya saya berniat untuk pergi ke Sumatera Utara karena ada Kak Zatin yang saat itu masih bertugas di Sumut. Namun, setelah saya pikir-pikir ulang, dengan sisa waktu Kak Zatin di Sumut yang hanya beberapa hari lagi, waktu main-mainnya jadi kurang maksimal nanti. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk main ke Blang Pidie, Aceh Barat Daya.

Di sana ada Makbiet. Seseorang yang mulanya saya kenal dalam program fellowship USAID Lestari di pengujung 2017. Namun, meski program itu selesai, hubungan dengan sesama peserta program tetap berlanjut, salah satunya dengan Makbiet. Saya pun mengunjunginya di pertengahan Februari, hanya berselang beberapa hari setelah saya mengalami kehilangan. 

Beberapa hari di Blang Pidie, saya menyeberang ke Pulau Simeulue untuk mengunjungi adik yang tinggal di Kota Sinabang. Ini awalnya tanpa rencana sama sekali, tapi saat di Blang Pidie, saya bertemu dengan Nita, dan diperkenalkan pada Hasan. Hasan ternyata berniat mengunjungi temannya di Simeulu. Saya pun secara spontan minta ikut Hasan. Jadilah saya berada di Simeulue hingga awal Maret. 

Tak banyak berubah dari tahun-tahun yang lalu, perjalanan saya masih berkutat di dalam provinsi saja. Di barat selatan, perjalanan saya mencakup Kabupaten Simeulue, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya. Saya juga berkesempatan jalan (sambil bekerja) ke Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah. Di samping itu juga melakukan perjalanan ke Kota Lhokseumawe, Pidie, dan Kota Sabang.

Pelatihan dan Fellowship Jurnalistik



Sepanjang tahun ini, setidaknya ada dua fellowship yang saya jalankan. Pertama dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Dari Deutsche Welle yang bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Program dengan PPMN bertopik Perempuan dalam Ruang Publik berupa penulisan profil-profil perempuan yang berkiprah di masyarakat. Program ini berlangsung selama enam bulan dengan tambahan dua bulan setelahnya. 

Sedangkan dengan AJI berlangsung selama dua bulan untuk sesi pelatihan, dilanjutkan dengan satu bulan berikutnya untuk fellowship berupa liputan. Adapun topiknya tentang Jurnalisme dan Trauma. Setelah sesi pelatihan selesai, para peserta berkompetisi untuk mendapatkan fellowship dan alhamdulillah, saya termasuk salah satu yang lolos.

Dengan PPMN, saya juga mendapat kesempatan menjadi enumerator sekaligus administrator untuk menghimpun data sejumlah narasumber perempuan di Aceh yang akan diinput dalam data base program kerja sama antara PPMN--HiVOS. 

Selain dengan dua lembaga itu, saya juga mendapatkan pelatihan jurnalistik dengan Tempo Institut dengan tema Akuntabilitas Bencana (Investigasi). Kesempatan ini tida saja membuat saya bertambah dalam hal keterampilan teknis, tetapi juga mengasah leadership skill saya dalam hal manajemen waktu dan bekerja kelompok. Dan yang tak kalah pentingnya, kesempatan untuk berjejaring dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Saya selalu meyakini, jalinan perteman (baik formal atau tidak) selalu mendatangkan manfaat.

Buku



Tulis menulis menjadi "core" dari semua aktivitas yang saya lakukan. Sebagai individu yang mengawali aktivitas literasi melalui blog, saya lantas memutuskan untuk berkarier di jurnalistik. Pada akhirnya mengantarkan saya pada dunia perbukuan. 

Selama tahun ini, saya berkontribusi untuk beberapa  buku dengan topik yang berbeda baik fiksi maupun nonfiksi. Dalam proyek penulisan tersebut, saya terlibat sebagai penulis, penyunting, maupun enumerator. Buku-buku tersebut, yaitu: (1) Perintis dan Rektor Universitas Syiah Kuala; (2) 60 Tahun Universitas Syiah Kuala, Menuju Universitas yang Mandiri dan Modern, (3) Berjuang Menjemput Impian; (4) Bianglala; (5) De Atjehers 2: Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi, (6) Sejarah Asosiasi Kontraktor Aceh; (7) Tentang Kekasih; (8) Meruntuhkan Langit-Langit Kaca, dan (9) Experience.

Menulis Naskah Film



Ini menjadi pengalaman pertama yang begitu mengesankan. Teman di Aceh Documentary, Jamal, memercayai saya untuk menuliskan naskah film Tanpa Batas Waktu: Jejak Perang Dunia II di Sabang. Kesempatan ini membuka pintu ruang bagi saya untuk terus belajar. Hal-hal baru di luar yang biasa kita lakukan menjadi tantangan yang menyenangkan. 

Berpartisipasi dalam Kampanye Literasi Digital



Di samping rutinitas pekerjaan di media, dalam tahun ini saya juga mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari narasumber kampanye literasi digital yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Selain itu, saya juga berkesempatan untuk mengisi sejumlah kegiatan seperti yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, UIN Ar-Raniry, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, TVRI, Chanel News Asia, Komunitas Reqan, Forum Lingkar Pena Takengon, Universitas Bina Bangsa Getsempena, Solidaritas Perempuan, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.

Menerima Anugerah Atsiri Research Center 2021



Penghargaan ini sesuatu yang tidak terduga sama sekali. Memasuki usia kelima tahun, Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala memberikan penghargaan kepada sejumlah individu yang dinilai berkontribusi terhadap lembaga tersebut dalam mengembangkan industri nilam Aceh. Saya mendapatkan penghargaan untuk kategori wartawan/media.

Selain itu, dalam tahun ini saya juga memenangi dua lomba jurnalistik, masing-masing diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh bekerja sama dengan Unicef dan Bidang Humas Polda Aceh.

Hari-hari yang telah berlalu di sepanjang usia saya penuh dengan warna dan dinamika. Merasakan pasang surut, pahit manis, suka dan duka. Semua itu adalah bagian dari perjalanan menuju proses pematangan diri untuk mencapai semua kebaikan yang diharapkan. Saya bersyukur, perlu mengucapkan "terima kasih" untuk hari-hari yang telah lalu. 

Saya juga perlu mengucapkan selamat datang untuk hari-hari berikutnya. Mengawali 2022, tampaknya akan ada perbedaan ritme dibandingkan 2021. Saya akan mengawalinya dengan langsung "kejar setoran". Seorang kolega di kampus mengajak saya untuk berpartisipasi sebagai editor dalam proyek serial buku yang akan terbit di akhir tahun nanti. Saya dipercayakan untuk menggawangi serial bertema perempuan. Dua hari lalu, seorang rekan di salah satu instansi mengabarkan dan mengajak saya sebagai salah satu tim penulis untuk proyek buku mereka. Dan, menjelang tengah hari ini, seorang akademisi mengabarkan untuk kelanjutan program yang sudah berlangsung dua tahun sebelumnya. Akhir bulan lalu, saya dapat bocoran tentang fellowship yang akan saya jalankan dalam tahun ini. Semoga tidak ada perubahan dan bismillah....[]

Rabu, 01 Desember 2021

Perempuan Berdaya Memberdayakan Perempuan




PEREMPUAN berdaya memberdayakan perempuan. Kutipan itu disampaikan oleh Eni Mulia—Executive Director Perhimpunan Pengembangan Media Nusantaradalam diskusi terbatas dengan beberapa perempuan jurnalis di Indonesia tahun lalu. Dalam forum-forum khusus yang melibatkan perempuan, kutipan itu kini semakin sering bergaung. Seperti yang disampaikan oleh Eni, kutipan itu sering diulang-ulang untuk memotivasi perempuan agar semakin bersemangat dalam meraih mimpi-mimpi mereka. Seiring dengan itu, tentunya mereka akan bertumbuh dan harapannya bisa menginspirasi perempuan lain untuk mengikuti jejak mereka.

Saya berusaha mencerna dan meresapi arti di balik kutipan itu. Terdengar ringan, tetapi sebetulnya menyiratkan makna yang sangat dalam. Kutipan itu sangat berbobot karena terdapat dua kata kunci di dalamnya, yaitu “berdaya” dan “memberdayakan”. Karena itu pula, saya sengaja menjadikan kutipan itu sebagai judul tulisan ini.

Jika merujuk pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “berdaya” memiliki arti berkekuatan; berkemampuan; bertenaga. Arti ini bersinonim dengan mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Sedangkan “memberdayakan” dalam KBBI diartikan sebagai membuat berdaya. Itu artinya, sebelum memberdayakan (orang lain), maka seseorang haruslah berdaya terlebih dahulu sebagai individu. 

Kutipan itu seolah menemukan penjelasannya secara gamblang setelah hampir setahunan ini saya terlibat dalam program produksi konten perempuan dalam ruang publik yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Melalui program ini, setidaknya ada dua puluh perempuan yang kami angkat profilnya untuk dituliskan dan ditayangkan di laman perempuanleuser.com. Sebuah website komunitas yang juga diampu oleh sekelompok perempuan di Aceh. Latar belakang para perempuan yang berkiprah di ruang publik tersebut sangatlah beragam, mulai dari PNS/ASN, pengacara/paralegal, guru/dosen, aktivis lingkungan, pegiat literasi, pengusaha, ranger, hingga praktisi kesehatan. 

Kondisi sosial ekonomi mereka juga sangat beragam, begitu juga dengan level pendidikan, mulai dari yang “hanya” lulus sekolah menengah atas hingga bergelar profesor. Tempat tinggal dan wilayah aktivitas mereka pun sangat bervariasi, tidak hanya di ibu kota provinsi yang notabanenya sudah terbilang mudah dalam hal akses dan fasilitas. Namun, sebagian dari mereka juga tersebar di berbagai daerah sehingga dalam melakukan aktivitasnya ada yang harus keluar masuk desa demi bisa menjangkau sasarannya. Namun, ada satu persamaan yang menjadi benang merah dan simpul dari semua aktivitas yang dilakoni para perempuan tersebut, yakni mereka telah berdaya. Oleh karena itu pula, peran mereka di masyarakat sudah naik level sebagai pemberdaya, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Di antara sosok yang dituliskan dan merepresentasikan “perempuan berdaya memberdayakan perempuan” itu adalah Badriah M Thaleb yang berasal dari salah satu kampung pesisir di Kabupaten Aceh Utara. Badriah kini menjadi ibu tunggal bagi anak-anaknya setelah sekian lama menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia dinikahkan pada usia dini dan terpaksa memupus harapannya yang tengah menggelora untuk bersekolah. Cita-citanya untuk menjadi guru berakhir dengan sendirinya seiring dengan lahirnya anak-anak hasil pernikahan dengan lelaki pilihan orang tua. Namun, suami yang diharapkan bisa menjadi teman diskusi, pembimbing, dan penopang hidupnya malah menjerumuskan dirinya dalam ceruk kehidupan yang gelap dan mengerikan.

Jiwa Badriah sebagai entitas manusia mulai terkerangkeng setelah ijab kabul berlangsung. Pergaulannya dibatasi dan dilarang untuk bersosialisasi. Selama menikah, bahkan untuk bertandang ke rumah orang tuanya pun Badriah dilarang. Cara berpakaiannya diatur, hanya boleh mengenakan kain sarung dan kain panjang agar penampilannya tidak mencolok. Dia hanya boleh bertemankan cangkul dan menghabiskan hari-harinya di sawah. Selain itu, Badriah—sebagaimana orang Aceh lainnya—juga seorang penyintas konflik. Kampungnya di Aceh Utara termasuk salah satu daerah basis konflik bersenjata. Persoalan hidup yang dialaminya tentu semakin kompleks.

Namun, penderitaan Badriah akhirnya menemui ujung “berkat” bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Berawal dari program psikososial untuk para penyintas tsunami, kondisi psikologis Badriah yang sudah pada tahap waham akhirnya bisa “diselamatkan” dan dipulihkan. Sejak saat itulah muncul keberanian Badriah untuk memperjuangkan nasibnya yang selama ini tersandera. Sebagai entitas seorang manusia dan individu yang punya hak azazi. Dia akhirnya berhasil berjuang dan keluar dari cengkeraman jubah patriarki bernama suami.

Mengedepankan Empati

Saat menyebut kata berdaya, sebagian besar kita barangkali langsung berpikir tentang kemandirian secara finansial. Dalam praktiknya, tentu sangat komprehensif. Seseorang yang berkecukupan dari segi materi saja, tidak serta-merta bisa dikatakan berdaya jika hidupnya masih didikte oleh individu lain. Berdaya erat kaitannya dengan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal positif dan produktif dalam hidupnya, sekaligus bisa membuat pilihan dan keputusan dalam hidupnya. Terkait ini, sebagaimana laki-laki, maka perempuan juga harus memiliki persamaan hak untuk mendapatkan akses informasi, eksistensi di ruang publik, akses pada pendidikan, kesempatan kerja, layanan kesehatan, layanan hukum, hak untuk berpolitik, dan hak bersuara dalam ruang-ruang domestik (farah.id, November 2018).

Menjadi perempuan memang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki. Kondisi ini turut memengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) perempuan Indonesia yang berada di bawah laki-laki dengan nilai 69,18, sedangkan IPM laki-laki adalah 75,96. Nilai ini menunjukkan realita kalau ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan masih cukup tinggi di berbagai aspek, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kekerasan yang dialami perempuan.

Di sisi lain, jumlah populasi perempuan di Indonesia berdasarkan sensus 2020 mencapai angka 133,54 juta jiwa atau 49,42 persen. Hampir setengah dari total penduduk di negara ini. Itu bermakna, potensi perempuan dalam meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia sangat besar (kemenpppa.go.id, Maret 2021). Namun, kuncinya ialah dengan memberikan ruang dan porsi yang sepadan kepada perempuan untuk mendukung eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat. Perempuan dan laki-laki sejatinya adalah dua entitas yang sama sehingga seyogianya bisa menjadi mitra dan membangun relasi yang sehat dan setara, alih-alih bersaing dan merasa lebih unggul dibandingkan entitas lainnya.

Hal itu telah dibuktikan oleh setidaknya dua puluh perempuan yang profilnya ditayangkan di perempuanleuser.com. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat telah membawa setitik perubahan. Menariknya, dilihat dari kondisi ekonominya, mereka sama sekali tidak merepresentasikan individu-individu filantropis yang notabenenya berasal dari kalangan hartawan. Itu artinya, kerja-kerja sosial yang mereka lakoni tidak digerakkan karena kemapanan ekonomi, melainkan oleh ketulusan dan keikhlasan yang berasal dari hati. Beranjak dari sesuatu yang disebut sebagai empati. Inilah yang membuat para penggerak perubahan ini tidak hanya rela berkorban tenaga, pikiran, dan waktu saja, tetapi juga mengorbankan materi dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan.

Badriah misalnya, meski sebelumnya dia adalah penyintas konflik dan KDRT, tetapi dia mampu bangkit dan kini mendedikasikan diri sepenuhnya pada program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dia berkecimpung di organisasi perempuan dan terlibat pada kegiataan-kegiatan yang melibatkan anak muda dalam kampanye stop perkawinan pada anak. Dengan mengendarai sepeda motor usangnya, ia rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk masuk ke desa-desa di Kabupaten Aceh Utara demi menemui perempuan-perempuan yang membutuhkan pertolongan. Mereka umumnya adalah perempuan penyintas konflik yang juga mengalami KDRT. Tak mudah membuat mereka mau bicara dan terbuka sehingga bisa ditelusuri apa yang menjadi akar dari persoalan mereka. Para perempuan itu terbiasa hidup dalam tekanan dan ancaman, mengalami kekerasan fisik atau psikologis, dan selalu dikondisikan untuk “menerima” keadaan. Mereka memahaminya sebagai kodrat perempuan.

Namun, berkat ketulusan dan empatinya, Badriah mampu mendengar dan mereka pada akhirnya mau berbicara. Dia tidak mendatangi mereka sebagai “petugas”, tetapi sebagai sahabat yang menawarkan jalan keluar dan keamanan. Bercermin dari masa lalunya yang suram, Badriah menjadi lebih mudah memahami; banyak perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tidak hanya membutuhkan dukungan, tetapi juga uluran tangan agar bisa bangkit.

Badriah juga menyediakan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan-perempuan dari kelompok rentan, ia mengadvokasi anak-anak yang menjadi korban predator seksual. Di ranah hukum, dia bahkan pernah mengadvokasi anaknya sendiri hingga ke meja hijau akibat kesewenang-wenangan oknum tertentu. Ia membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar-lebar bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya bersama-sama mencari jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi.

Bercermin dari apa yang dilakukan Badriah dan perempuan berdaya lainnya, kemapanan finansial tidaklah menjadi tolok ukur seseorang berdaya. Namun, terletak pada sebesar apa visinya untuk menciptakan perubahan, baik untuk dirinya sendiri atau lingkungannya. Seseorang yang (ingin) berdaya tahu kapan harus start untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu yang buruk, tahu kapan harus menebus semua yang tergadai demi mendapatkan akses pada pendidikan (baca: ilmu pengetahuan), hubungan yang baik dengan keluarga, bersosialisasi dengan lingkungan, dan membangun jejaring untuk mewujudkan eksistensinya.[]

Ilustrasi foto dari Pixabay