Selasa, 27 November 2018

Menikmati Kopi Meresapi Cinta

Ilustrasi foto dari majalah.ottencoffee.co.id


Barangkali aku termasuk salah satu orang yang terlanjur mensugesti diri dengan kopi. Bahwa kopi itu sumber inspirasi. Sumber semangat. Hari akan terasa lebih asyik dan hangat bila diawali dengan secangkir kopi.

Secangkir kopi yang pahit, dengan sedikit rasa manis yang menjadikannya legit. Ditambah krema yang kental. Hmm...adakah yang lebih nikmat dari mencecapi itu? Ada, tentu saja ada. Mencecapi kekasih...

Nyaris setiap pagi sebelum memulai aktivitas, aku selalu memulai hariku dengan secangkir kopi. Rasanya seperti ada yang tak lengkap bila belum menikmati kopi di pagi hari. Omong-omong, aku menjadi penikmat kopi sejak masih usia sekolah dasar. Sekarang usiaku sudah lebih seperempat abad.

Saat ini aku sedang tergila-gila dengan sanger. Racikan kopi yang sepertiganya dicampur dengan krimer kental manis. Ini bukan kopi susu. Cocok bagi mereka yang bukan pencandu kopi, tetapi tetap ingin menikmati aroma dan cita rasa kopi yang khas.

Belakangan, seiring dengan promosi yang sangat masif, sanger menjadi naik daun. Minuman ini memang terus dipromosikan sebagai minuman lokal khas Aceh yang pamornya diharapkan bisa seperti kopi nantinya. Menjadi minuman kelas dunia. Beberapa tahun terakhir bahkan sudah digelar secara rutin Festival Sanger.

Bisa kukatakan kalau sanger ini menjadi minuman terfavorit kedua di Aceh setelah kopi hitam.

"Kalau di Italia ada kapucino, di Aceh ada sanger," begitulah komentar Fahmi Yunus, yang digadang-gadangkan sebagai "Bapak Sanger" saat menikmati kopi bersama rombongan dari Kementerian Kehutanan dan Uni Eropa di salah satu kedai kopi di Blang Padang pada Rabu, 21 November 2018 lalu.

Sejarah di balik lahirnya sanger

Sanger mini espresso @ihansunrise


Banyak yang memplesetkan sanger menjadi 'sangar', tak sedikit pula yang mengatakan kalau sanger merupakan akronim dari istilah 'sama-sama ngerti'. Berdasarkan sejarahnya, nama sanger memang berasal dari istilah sama-sama ngerti yang disingkat sanger. Belakangan istilah ini menjadi populer dan dengan sendirinya menjadi nama sebuah racikan minuman.

Konon di akhir-akhir era Orde Baru, saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis yang membuat kantong-kantong masyarakat melilit. Tak terkecuali kalangan mahasiswa. Dengan kondisi seperti itu mau tak mau gaya hidup terpaksa harus disesuaikan dengan situasi kantong. Para mahasiswa yang biasanya hobi minum kopi susu (baca: kopi krimer kental manis) sebagai pembangkit energi dan semangat, terpaksa mencari alternatif lain yang harganya lebih bersahabat.

Namanya saja mahasiswa. Pastilah selalu muncul ide-ide brilian dari otak mereka. Dalam situasi kantong terjepit sekalipun mereka tak kehilangan sisi kreativitasnya. Mereka pun bersiasat. Melakukan tawar menawar dengan si pemilik warung. Ingin tetap menikmati kopi susu yang gurih, tetapi dengan harga yang miring. Solusinya, kopinya dibanyakin, susu (krimer)nya dikurangin. Inilah hasil dari kesepakatan tak tertulis dari "sama-sama ngerti". Dengan begini simbiosis mutualisme tetap terjaga.

Saya jadi teringat cerita Prof. Sarwidi, pakar Rekayasa Kegempaan dan Dinamika Struktur dari UUI Yogyakarta dalam ceramahnya di Banda Aceh pada 12 September 2018 lalu. Ia mengatakan, dalam situasi sulit tak jarang malah menciptakan kondisi sebaliknya. Memunculkan peluang baru. Hal ini biasanya terjadi di lokasi-lokasi bekas bencana alam yang lama kelamaan menjadi sebagai destinasi wisata baru. Aktivitas ekonomi pun terjadi.

Begitu juga dengan munculnya sanger sebagai varian baru dalam khazanah kuliner Indonesia khususnya di Aceh. Siapa sangka, di balik kesusahan mahasiswa zaman itu, sanger kini menjadi minuman yang digilai sejuta umat. Tak peduli dia berkantong tebal atau kempes. Bukan lagi monopoli mahasiswa berkantong kering.

Beda Penyajian Beda Cita Rasa

Bila Anda sering mendengar istilah kupi sareng, sanger juga bisa diracik seperti itu. Belakangan sejak kopi Arabika 'mewabah', sanger yang tadinya diracik dengan kopi Robusta dengan cara disaring secara manual, kini disajikan dengan cara yang berbeda.

Bubuk kopi dipres dengan mesin espresso untuk mendapatkan sari pati kopi yang lebih kuat. Kremanya, yaitu cairan kuning tua yang muncul saat sari pati kopi terekstraksi lebih pekat dan terasa. Belakangan aku sendiri lebih suka menikmati sanger espresso ketimbang sanger yang diracik secara manual. Sudah lupa kapan terakhir minum sanger Robusta. Ya, beda cara penyajian tentu saja menghasilkan cita rasa yang berbeda. Dan soal rasa, setiap orang pasti punya pilihan yang berbeda.

Ada kebiasaan kecil yang kulakukan sebelum mengaduk cairan kopi dengan krimer di dalam cangkir, menghirup aromanya kuat-kuat. Membiarkan aromanya meresap jauh memasuki ujung-ujung syaraf. Kurasa itulah efek sugesti tertinggi yang kudapat saat minum kopi.

Menikmati Kopi Meresapi Cinta

Cinta dan kopi, menurutku memiliki persamaan. Sama-sama pahit, tetapi sama-sama digilai. Justru di situlah terasa nikmatnya. Rasa pahit yang melekat di ujung lidah, sama seperti nyeri perasaan karena sesak oleh rindu. Dari rasa pahit itulah kejujuran sebuah rasa tercipta.[]

-->

Senin, 16 April 2018

Pesona Seribu Bukit


GEROMBOLAN angin yang mencuri-curi masuk lewat celah jendela minibus L300 membangunkan saya pagi itu. Udara dingin menyergap. Menyelinap menembusi jaket yang membalut tubuh. Merasuk hingga ke tulang. Bahkan, syal berbahan wol yang saya lilitkan di leher tak membantu banyak untuk memberikan rasa hangat.
Saya mengerjap-ngerjap, menghilangkan sisa kantuk yang masih melekat di pelupuk mata. Matahari belum sempurna terbit. Sekelebat pemandangan tiba-tiba tertangkap oleh indera. Sungai lebar yang berkelok-kelok di kejauhan, sawah hijau yang berundak-undak, rumah-rumah penduduk, begitu padu dengan lanskap di sekitarnya yang hijau. Pucuk-pucuk pinus menjulang di lembah dan puncak bukit.
Kabut yang masih mengapung di udara menambah kesyahduan pagi itu. Perlahan mentari mulai muncul di ufuk timur. Menumpahkan cahaya jingganya ke pucuk-pucuk pohon.
"Saya sudah sampai ke Gayo Lues.” Hati saya membatin penuh girang. Kegirangan yang sama agaknya juga dirasakan teman-teman.
Belakangan saya tahu, jalan mulus berliku-liku di tubir bukit dengan hamparan pemandangan memesona itu ada di Kecamatan Pantan Cuaca. Pemandangan yang kurang lebih sama juga terhampar di sepanjang Kecamatan Rikit Gaib, hingga ke Kota Blangkejeren, Ibu Kota Gayo Lues.
Mata yang tadi masih dihinggapi kantuk jadi membelalak. Tak peduli lagi pada rasa gigil yang serasa menggigit tulang, saya justru nekat membuka setengah kaca jendela. Mencondongkan wajah dan membiarkan angin menampar-nampar kulit. Ingin merasakan langsung hawa sejuknya yang selama ini cuma mampir di telinga. Lalu sebisa mungkin mengabadikan keindahannya lewat lensa kamera. Tapi sayang, pacu mobil yang terlalu cepat tak memberi saya kesempatan untuk itu.
Ternyata saya juga tak cukup kuat menantang suhu yang teramat dingin. Terpaksa kembali saya rapatkan kaca jendela mobil. Sudah cukup puas walau hanya memandangi kepingan keindahan itu dari balik jendela yang berkabut.
Di sisa perjalanan sebelum sampai ke Kota Blangkejeren, tak henti-hentinya saya mengucap syukur. Kagum pada keindahan daerah yang dijuluki Negeri Seribu Bukit ini.
+++

Senin, 16 Oktober 2017 lalu, untuk yang pertama kalinya bagi saya dan kelima teman perempuan: Yelli, Seila, Cut, Ayu, dan Uswah menjejakkan kaki di tanah Gayo Lues.  Kabupaten muda yang mendiami gugusan Bukit Barisan. Yang setiap lekukannya seolah menebarkan aroma segar dari sere wangi. Salah satu komoditas unggulan daerah ini.
Kami semua berangkat dari Banda Aceh, beberapa di antaranya baru saling kenal jelang keberangkatan pada sore sebelumnya. Karena ini pengalaman pertama, tingkah kami terkadang agak norak. Tapi kami menikmatinya. Terutama saat merasakan betapa sejuknya wilayah ini. Berbeda dengan suhu Kota Banda Aceh yang panas karena berada di pesisir.
Kedatangan kami ke kota ini untuk belajar. Saya, bersama lebih dari 20 perempuan yang berasal dari Banda Aceh, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara mendapat kesempatan mengikuti Serial Perempuan Peduli Leuser yang dibuat USAID Lestari. Program beasiswa ini berakhir pada Maret 2018.
Gayo Lues sebagai salah satu zona inti Kawasan Ekosistem Leuser, dipilih USAID Lestari sebagai tempat pelaksanaan workshop pertama. Selanjutnya, pada November nanti workshop yang kedua akan digelar di Tapaktuan, Aceh Selatan.
Sesuai arahan panitia kami sudah tiba sejak Senin pagi, dengan asumsi sisa hari itu akan kami gunakan untuk beristirahat. Tentu saja agar saat workshop dimulai esok harinya kami sudah segar dan siap menerima informasi. Tapi, rasanya sayang sekali jika sudah jauh-jauh ke sana, menempuh perjalanan lebih dari dua belas jam dari Banda Aceh, hanya untuk tidur di hotel.
Sekitar pukul sembilan, usai check in kami memutuskan mencari sarapan. Walaupun semalam sempat mengisi lambung dengan martabak di Pante Raya, Bener Meriah tapi sepagi itu perut sudah minta diisi lagi. Mungkin karena dingin, atau karena penasaran ingin mencicipi kuliner khas Gayo Lues. Rachmi, peserta dari Aceh Selatan yang juga baru tiba bergabung dengan kami.
Rupa-rupanya mencari sarapan di sana tak semudah yang kami bayangkan. Dari Hotel Mulia, tempat kami menginap di Jalan Kuta Panjang, kami harus berjalan kaki hingga ke Jalan Kolonel Muhammad Din. Tak begitu jauh.  Sebuah warung dengan nama penyanyi terkenal Syahrini menjadi tempat perhentian.
Di warung ini saya memilih menu belut goreng dan ikan mas acar. Ikan air tawar memang menjadi menu andalan di warung-warung di daerah ini. Maklum, lokasinya yang sangat jauh dari pantai, tentu saja tak mudah menemukan ikan laut di sini. Namun di hari terakhir di Blangkejeren, saat berkeliling pasar tradisional di Kampung Durin, saya melihat seorang pedagang ikan menjajakan ikan tongkol.
+++

Setelah memekarkan diri dari Aceh Tenggara pada 2002 silam, Gayo Lues terus bergerak menuju kabupaten yang mandiri. Posisinya yang berada di gugusan Bukit Barisan tentunya menjadi daya jual yang luar biasa. Ditambah sebagian besar wilayahnya merupakan area Taman Nasional Gunung Leuser. Dua hal ini saja sudah membuat Gayo Lues begitu memikat. Terutama bagi para penikmat keindahan lanskap alam dan peneliti lingkungan.
Belakangan tari saman yang berasal dari Gayo Lues, ditetapkan menjadi warisan dunia takbenda oleh UNESCO pada 2012 silam. Hal ini semakin menjadikan Gayo Lues bak mercusuar yang menarik perhatian dari seluruh penjuru mata angin. Lapangan Seribu Bukit menjadi saksi dua event saman massal yang digelar pada 2014 dan Agustus 2017.
Bagi saya pribadi, setiap jengkal tanah Gayo Lues ini adalah keindahan.  Beberapa lokasi wisatanya sudah akrab di telinga. Sebut saja Bukit Cinta di Tenggulun, dataran tinggi Genting di Kecamatan Pining yang berbatasan dengan Aceh Timur, dan objek wisata Kedah yang menjadi pintu masuk menuju Taman Nasional Gunung Leuser di Gayo Lues. Dan masih banyak objek wisata lainnya yang tersebar di sebelas kecamatan.
Karena keterbatasan waktu, kami hanya sempat main-main ke Bukit Cinta dan Genting. Plus mengunjungi Masjid Asal yang sudah berusia delapan abad di Kampung Penampaan, Blangkejeren di hari terakhir. Setidaknya, masih ada alasan bagi saya untuk kembali mengunjungi Gayo Lues di lain waktu.
Menuju ke kabupaten ini bisa ditempuh dari Aceh Tengah, maupun dari Aceh Tenggara dengan pintu masuknya dari Sumatera Utara. Hanya saja jalur lintas ke Aceh Tengah baru dilalui angkutan umum setelah konflik antara GAM dan Pemerintah RI berakhir. Kondisi ini membuat Gayo Lues pernah menjadi wilayah yang sangat terisolir di Aceh.
Lima Daerah Aliran Sungai yang ada di Gayo Lues, yaitu DAS Alas, Tamiang, Perlak, Jambo Aye, dan Kuala Tripa menjadi pemasok sumber air ke belasan kabupaten. Ini membuktikan, meski Gayo Lues bagi sebagian kita seolah-olah berada di ‘negeri asing’, namun sangat krusial.
Kehangatan dan keramahtamahan orang Gayo menjadi bagian dari cerita yang tak terlupakan. Kesan ini saya dapatkan setelah bertamu ke rumah keluarga Nurcahya dan Hasan di Blangbengkik, Kecamatan Blang Pegayon. Putri mereka, Eva, adalah teman kuliah Yelli saat sama-sama menjadi mahasiswa di Unsyiah. Eva telah berbaik hati membawa kami ke Genting. Sebagai gantinya saya dan Yelli –sembari memulangkan sepeda motor- bertamu ke rumah Eva.
Nurcahya, di usianya yang sudah paruh baya masih terlihat muda dan bersemangat. Cerita-cerita mengenai keunikan dan kekhasan Gayo Lues lebih banyak mengalir dari mulutnya. Berbeda dengan suaminya yang agak pendiam. Hasan hanya menimpali obrolan kami sesekali saja.
“Kalau di Dabun Gelang tempat anakku lewati tadi, banyak sere wangi di sana. Kalau kopi banyak tumbuh di Pantan Cuaca. Kalau di daerah sini sayur-sayuran pun banyak, ada kemiri juga, coklat,” ujar Nurcahya. “Besok datang lagi biar ibu ajak ke ladang, foto-foto nanti kita di sana, pemandangannya bagus.”
Soal ini, Nurcahya tidaklah mengada-ngada. Dalam perjalanan pulang, dari ketinggian pedesaan di Blang Pegayon saya menyaksikan pendar-pendar lampu dari pusat kota. Seperti laiknya gugusan bitang di galaksi. Menakjubkan.
Saya menyimak setiap kata yang diucapkan Nurcahya, sambil diselingi canda tawa. Kami tidak merasa kikuk sama sekali. Nurcahya juga mengatakan, 80 persen penduduk Gayo Lues adalah suku Gayo asli, sisanya pendatang seperti Aceh, Padang, atau Jawa. Hal yang sama sebelumnya dikatakan oleh tukang becak yang membawa kami ke Bukit Cinta.
Lewat kehangatan yang diberikan Nurcahya, saya mendapat kesempatan untuk mengenakan upuh ules. Yaitu kain panjang kerawang Gayo dengan kombinasi warna kuning, hitam, dan merah, bermotifkan mata itik. Kain ini menjadi bawaan wajib atau isi talam dari pengantin pria kepada pengantin wanita, bersama seperangkat pakaian lainnya yang disebut kain selingkuh.
Pengalaman tak terlupakan berikutnya saya dapatkan dari seorang nenek yang dipanggil Mak Eda. Kami bertemu dengannya di tangga Masjid Asal. Meminjam istilah Ayu, Mak Eda adalah pop up yang membawa kami masuk jauh dalam kehangatan masyarakat Gayo.
Dia juga seorang pemasar yang luar biasa. Terbukti, usai berkenalan dengannya kami membawa pulang beberapa souvenir dan kopi Gayo sebagai oleh-oleh. Mak Eda juga memberikan kami sumpit, karung kecil yang terbuat dari anyaman pandan duri sebagai kenang-kenangan.
Lewat Mak Eda kami berkenalan dengan Ridwan, pedagang kopi yang tinggal di Kampung Arul Lemu. Kampung ini tak begitu jauh dari pusat kota. Tapi saat dibawa dengan berjalan kaki, itupun setelah kami berkeliling kota untuk mencari souvenir, perjalanan menuju rumah Ridwan menjadi cukup melelahkan. Kami justru takjub pada Mak Eda yang usianya sudah di atas 60 tahun, namun masih cukup prima.
Dia bahkan sama sekali tidak kesulitan saat harus melewati alur yang terhubung ke sungai Arul Lemu yang berhulu ke Porang, dan melintasi Kampung Penampaan di bawah sana. Sayangnya Mak Eda tak bisa menemani kami lebih lama di rumah Ridwan, karena hari sudah semakin sore.
Ketika senja semakin gelap kami meninggalkan kediaman Ridwan dengan membawa sepotong cerita yang berkesan. Di ufuk barat semburat jingga perlahan memudar. Pucuk-pucuk pohon kini dikulum gelap. Kami bergegas disertai lambaian Ridwan yang mengantar hingga ke persimpangan. Perlahan saya kembali merasakan hawa dingin yang menusuk-nusuk.[]

Senin, 04 Desember 2017

Traveling with My Boy Bike #2: Gagal Menaklukkan Pentagon



Menjadi seorang goweser, benarlah seperti yang aku duga. Membutuhkan stamina dan fisik yang kuat. Itu kalau kita memang ingin menjadi pengayuh sepeda, yang bisa mengayuh ke mana pun hati inginkan. Si goweser pemula ini sudah kena 'batunya' gara-gara ingin menyaingi para senior. Kapok? Justru itu bikin semangat untuk gowes jadi kian berapi-api.
Ceritanya, dua minggu lalu aku mengajak teman untuk gowes di hari Minggu. Dia bilang ayuk. Kami sepakat untuk 'nebeng' sebuah klub sepeda yang hari itu sudah merencanakan mau ke Pentagon. Konfirmasinya aku dapat jelang tengah malam.
Saking semangatnya, aku lupa menanyakan di mana itu Pentagon, bagaimana rutenya, dan memungkinkan atau tidak buat pemula seperti aku. Pentagon adalah nama yang 'sexy' bagi sejumlah kalangan komunitas sepeda di Banda Aceh, khususnya komunitas sepeda gunung. Setidaknya, teman-teman di dua komunitas sepeda yang aku kenal, menyebutkan kalau Pentagon cukup berarti untuk dituju.
Lalu, di mana itu Pentagon? Bukan, bukan di Amerika, melainkan di pedalaman Indrapuri sana, di Aceh Besar. Di gugusan Bukit Barisan. Ini salah satu lokasi persembunyian tentara GAM di masa lalu. Wajar kan kalau aku jadi sangat penasaran dengan lokasi ini.
Besok paginya, usai salat Subuh aku langsung bersiap-siap. Pukul 06:30 WIB harus sudah kumpul di Blang Padang. Dari sini kami loading (pergi dengan mobil) menuju Indrapuri. Aku girang bukan kepalang, kegirangan yang hanya seusia es batu yang dikeluarkan dari freezer. Begitu cepatnya ia menyublim.
See... pemandangannya sangat menakjubkan bukan?

Sampai di Indrapuri, mobil berhenti di masjid. Parkir di sini. Inilah titik start kami. Usai berdoa kami semua mulai bergerak, pelan tapi pasti aku mulai mendayung. Mengekor senior yang menjadi kepala suku. Mula-mula tak ada kendala apa pun. Aku mengayuh dengan santai, sambil sesekali merasakan uap tubuh yang hangatnya terasa lain. Sisa demam tak jadi beberapa hari yang lalu. Meski begitu aku terus berafirmasi, i can do it, i can do it.
Tapi i can do it saja ternyata tidak cukup. Saat mulai memasuki area yang berbukit, aku mulai kewalahan. Napas mulai ngos-ngosan, keringat keluar segede-gede gaban. Bisa ditebak, posisiku jadi yang paling cembret. Terakhir, aku memilih turun dan mendorong sepedaku agar sampai ke puncak. Sementara yang lain asyik saja mendayung dengan santai.
Sampai akhirnya, untuk menuntun sepeda pun aku tak sanggup lagi. Jalanku bagai siput. Di saat yang tepat seorang senior yang sudah di puncak turun lagi untuk mengambil sepedaku. Aku? Ya ampuuuunnn... ini sebenarnya 'aib' untuk diceritakan, tapi tak apalah. Aku malah terkulai tak berdaya di pinggir jalan. Tiba-tiba pitam dan gelap. Kemudian muntah-muntah. Duh... betapa memalukan. Di tengah situasi itu, temanku malah usil meledekku. Dia bilang aku jadi begitu gara-gara nggak pakai helm dan sarung tangan. Ingin rasanya kutimpuk bokongnya dengan kerikil.
Setelah pitamnya hilang aku dan teman tadi menuju ke bukit tempat yang lainnya sudah menunggu. Kalimat yang pertama kudengar adalah: gimana, mau lanjut atau balik aja?
Menyatu bersama embun
Tanpa memedulikan 'harga diri', aku langsung jawab, balik aja deh. Dan ini lagi-lagi jadi kesempatan buat si teman untuk menggoda. Ketika balik seorang diri aku baru tahu, rute yang kami lalui tadi ternyata sudah jauh melewati Pesantren Umar Diyan. Hanya saja kami masuk dari jalur yang berbeda. Walaupun gagal ke Pentagon, tapi ada rasa puas yang hinggap di hati. Oh, ini puas yang sebenarnya, bukan dalam rangka hanya untuk menghibur diri.
Pulangnya karena sudah sendiri, kecepatan gowesnya jadi suka-suka dong. Kalau lelah aku berhenti, sambil foto-foto, atau tiduran di rumput sambil merasakan embun yang tersisa. Hhh... inilah kedekatan paling tak berjarak dengan alam. Ada kedamaian yang merasuk ke jiwa. Sisanya, aku harus menempuh jarak Indrapuri-Banda Aceh yang jauhnya lebih dari 25 kilometer. Menghabiskan hingga tiga jam waktu karena harus berhenti hingga di beberapa tempat.
Mengayuh sepeda ibarat terus mengulang-ngulang doa, suatu saat kita akan sampai pada titik yang dituju. Buatku, bersepeda bukan sekadar untuk mendapatkan 'lelah'. Tetapi cara mudah untuk bersyukur kepada Pemilik Semesta.[]

Kamis, 30 November 2017

Berburu Oleh-oleh di Balikpapan dengan Tiket Pesawat Murah

via. tempatwisataseru.com

Mendengar nama Balikpapan, yang terpikirkan di benak kita adalah kota ini sangat dipenuhi dengan berbagai macam kegiatan industry dan pertambangan.
Namun jangan salah, di Ballikpapan ternyata banyak sekali tempat-tempat wisata menarik yang wajib untuk dikunjungi. Mulai dari hutan bakau hingga pantai, dengan ciri khas unik sehingga menjadikan Balikpapan sebagai salah satu tujuan wisata yang wajib didatangi.
Tidak heran rasanya jika kita melihat banyak orang yang memesan tiket pesawat ke Balikpapan untuk keperluan bisnis, namun kemudian betah berlama-lama di kota ini karena keindahan wisatanya.
Selain itu, melakukan perjalanan ke Balikpapan tidak lengkap pula rasanya mencicipi makanan khasnya. Di kota ini sendiri tersedia berbagai macam pilihan makanan yang bisa dicicipi langsung hingga dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Apalagi, masih banyak yang belum tahu apakah sebenarnya Balikpapan punya kuliner khasnya sendiri.
Jadi, jika sudah memesan tiket pesawat ke Balikpapan dan sudah mengunjungi tempat-tempat wisatanya, sekarang saatnya berburu oleh-oleh apa saja yang sebaiknya dicicipi. Berikut beberapa diantaranya:
1. Mantau
via.pondokmantau.com

Mendengar nama Mantau kita pastinya akan teringat dengan kue khas dari Tiongkok. Kue yang proses pembuatannya di kukus ini ternyata merupakan salah satu oleh-oleh khas dari Balikpapan.
Di Balikpapan, Mantau diolah lagi sehingga jadi terlihat berbeda dengan Mantau dari Tiongkok. Bahkan beberapa inovasi pun dilakukan oleh pembuat Mantau di Balikapapan.
Salah satunya adalah dengan menyediakan Mantau Lada Hitam yang kini tengah populer sebagai salah satu oleh-oleh dari Balikpapan.
Apalagi jika ditambahkan dengan isi daging didalamnya, dipastikan kue Mantau khas Balikapapan ini punya cita rasa yang sangat lezat.
2. Pisang gapit

via. prokal.co

Oleh-oleh khas berikutnya dari Balikpapan adalah Pisang Gapit. Bagi masyarakat lokal Blikapapan, oleh-oleh ini disebut pisang jepit.
Pisang khas Balikpapan ini ini dibuat dengan menggunakan bahan baku pisang gepok. Pisang tersebut kemudian dibakar dengan menggunapan api dari arang. Ketika sudah matang, pisang dijepit dengan alat dari kayu dan kembali dibakar hingga menjadi lebih matang.
Nah, untuk menambah kelezatan dari pisang, biasanya pembuat Pisang Gapit akan menambahkannya dengan kuah cokelat plus aroma nangka, gula merah dan santan. Penasaran? Yuk, cicipi oleh-oleh ini langsung di Balikpapan.
3. Aneka olahan kepiting

via. bandanaku.wordpress.com

Salah satu makanan utama yang pasti akan selalu ada di Balikpapan adalah kepiting. Hampir di setiap restoran atau warung makan yang ada di Balikpapan menyediakan kepiting sebagai salah satu menunya.
Tidak heran rasanya jika kepiting ini kemudian diolah lagi, sehingga menjadi ciri khas oleh-oleh yang akan dibawa pulang bagi pendatang yang berkunjung singkat ke Balikpapan.
Berbagai oleh-oleh yang bisa dibawa pulang ini diantaranya adalah kepiting tauco, kepiting mentega, hingga kepiting lada hitam.
Namun, selain makanan tersebut, kepting di Balikapapan juga diolah menjadi makanan lainnya, yaitu menjadi abon.
Cara pembuatannya hampir sama dengan abon yang menggunakan bahan dasar populer seperti sapi atau ayam. Namun, kali ini menggunakan bahan dasar kepiting.


via abonkepiting.com

Salah satu ciri khas yang biasanya akan dirasakan saat mencicipi abon kepiting bersama nasi putih hangat adalah, tekstrunya yang halus, namun menghadirkan rasa yang lebih gurih dan nikmat, apalagi jika ditambahkan dengan olahan sambal pedas.
Dijamin, kepiting abon dari Balikpapan ini punya cita rasa yang tidak ada duanya. Nah, jika sudah memesan tiket pesawat ke Balikpapan, dan kemudian sudah puas mengunjungi tempat wisatanya, jangan lupa untuk membeli salah satu abon kepiting di Balikpapan.

Sebagai rekomendasi abon kepiting dengan merek Botting biasanya akan diburu oleh para pendatang yang sedang berkunjung ke Balikpapan untuk berwisata.[] 

Sabtu, 25 November 2017

Traveling with My Boy Bike: Gowes di Aceh Selatan

ADALAH pengalaman tak terlupakan dalam ingatan saat kita bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan. Bersepeda akhir-akhir ini memang menjadi salah satu hobi yang mendapat prioritas, selain tetap menulis seperti biasa. 

Seperti halnya hobi-hobi yang lain, makin dilakukan makin bikin penasaran dan makin menantang. Bersepeda kini menjadi hobi yang makin menarik untuk kulakoni. Ini pula yang membuatku bela-belain memboyong sepedaku ke Aceh Selatan pada 13-17 November, tujuannya agar tetap bisa bersepeda di sela-sela padatnya workshop.

Dan ternyata benar, padatnya agenda workshop nyaris tak memberiku kesempatan untuk itu. Syukurlah kami datang sehari sebelum acara, jadi ada sedikit waktu untuk mengeksplore sebagian wilayah Aceh Selatan dengan sepeda.

Daerah itu adalah Kecamatan Samadua, yang berbatasan langsung dengan Kota Tapaktuan, Ibu Kota Kabupaten Aceh Selatan. Cerita seru tentang perjalanan ini akan aku tulis belakangan, sementara aku tampilkan beberapa foto-fotonya dulu ya. Berikut foto-fotonya: 


Di lokasi air terjun Air Dingin di Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Capture by Seila Azzafira


Di bawah marka jalan di ruas jalan nasional Aceh Barat Daya-Aceh Selatan, di Kecamatan Samadua. Capture by Seila Azzafira

Di jembatan gantung di sungai Gunung Sikabu, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Capture by Seila Azzafira

Di perjalanan menuju jembatan gantung Gunung Sikabu, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Capture by Seila Azzafira

Berenang bersama bocah di kolam di bawah air terjun Air Dingin Samadua, Aceh Selatan. 

Lelah mendayung, akhirnya 'nebeng' kawan hehehe. Capture by Seila Azzafira


Selasa, 10 Oktober 2017

Saturday with My Boy Bike


BERSEPEDA kini menjadi aktivitas baru yang sangat menyenangkan buatku. Selain rutin berlatih aikido dua kali seminggu, bersepeda masuk dalam daftar aktivitas mingguan yang kulakukan. Terutama di akhir pekan dan waktu-waktu senggang. Alhasil kegiatan berlari yang sebelumnya juga rutin kulakukan terpaksa dipending dulu untuk waktu yang tidak terbatas.
Karena susah menyocokkan waktu dengan teman-teman, jadinya aku lebih sering bersepeda sendirian. Teman-teman di komunitas selalu gowes bareng di hari Minggu, sementara aku pada hari itu malah kerja. Jadinya belum sekalipun niat gowes bareng mereka terwujud sampai hari ini. Kalau ingin bersepeda dengan rute yang jauh aku harus melakukannya di hari Sabtu, karena hari itu aku libur.
Setelah sebelumnya sempat bikin janji dengan dua teman untuk bersepeda bersama di Sabtu pagi, eee.... lagi-lagi aku harus gowes sendirian. Teman yang satu malamnya harinya terpaksa membatalkan karena ibunya datang dari kampung. Mira juga membatalkan karena ada acara di kampus. Karena memang sudah diniatkan untuk gowes, aku tetap bergerak.
Kali ini aku menjajal rute menuju arah matahari terbit. Pukul delapan pagi aku mulai bergerak dari markas di Peulanggahan, Banda Aceh menyusuri jalanan kota yang lengang. Setidaknya cukup nyaman saat harus melewati Jalan Teungku Chik Ditiro yang sedang ada proyek pembangunan jalan layang. Untuk keluar dari Kota Banda Aceh aku memilih menyusuri jalan kampung di sepanjang bantaran Krueng Aceh. Debit air sungai terlihat lebih banyak dari biasa dan warnanya kecokelatan.
Sampai di Lamteungoh, lewat bundaran Lambaro, aku memutuskan mampir di rumah Kak Syarifah Aini. Teman sesama blogger dan juga anggota Forum Aceh Menulis (FAMe). Ide ini muncul tiba-tiba di tengah perjalanan saat aku berhenti sebentar di Pagar Air untuk sarapan. Selain untuk menyambung silaturrahmi, bisa sekalian istirahat kan? Di rumah Kak Aini aku disuguhi secangkir kopi. Dalam obrolan singkat itu kami mendiskusikan dua hal yaitu tentang buku dan disleksia.
Setelah kopi habis dan obrolan pun dirasa cukup, aku berpamitan setelah sebelumnya melihat-lihat kelinci di kandang samping. Kak Aini ini adalah seorang lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dan sangat suka pada kelinci. Bersama suaminya Bang Yudi, ia berternak kelinci. Sekali waktu saat buka puasa bersama ia membawa kelinci rendang. Dan ternyata rasanya..... sangat enak lho!

Tujuanku selanjutnya adalah menuju Gampong Lubuk Sukun di Kecamatan Ingin Jaya. Lubuk Sukon ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh kementerian terkait pada 2013 lalu. Aku sering melewati desa ini karena ada kerabat yang tinggal di Paleuh Blang. Desa ini cukup menarik secara visual, suasana desanya masih sangat kental. Ciri khas desa ini adalah rumah-rumah berpagar tanaman perdu yang kita kenal sebagai teh-tehan atau bak te. Memberikan kesan asri dan teduh. Di sini juga masih banyak dijumpai Rumoh Aceh.
Karena sendirian, aku tidak berlama-lama di sini, lagipula rute yang harus kutempuh masih panjang. Dari Lubuk aku langsung mengambil jalan pintas melewati Gedung SKB dan tembus ke Gampong Dham Cukok. Terus mendayung hingga bertemu jalan besar menuju Bandara SIM, dari sini aku mengarahkan kemudi ke kanan melewati Gampong Gani, lalu belok kiri melintasi Gampong Lam Siem.
Rute ini sudah tidak asing lagi buatku, dulu aku sering melintasinya dengan sepeda motor. Dan kali ini ingin kembali menjajalnya dengan kereta angin alias sepeda. Walaupun jam digital sudah menunjukkan angka di pukul sepuluh lebih, namun matahari masih sangat bersahabat. Melewati perkampungan yang hijau dengan paparan matahari yang tidak begitu garang sangat mengasyikkan.

Sampai di Gampong Lam Baet aku berhenti sejenak di pinggir sawah untuk minum dan meluruskan kaki. Harusnya ada kopi ya, biar santainya jadi lebih terasa. Jalanan ini cukup lengang, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Di Lam Baet ini sebenarnya ada juga seorang teman, tapi aku urung menghubunginya dengan pertimbangan harus sampai ke rumah sebelum Zuhur. Benar saja, kalau aku telat pasti sudah kehujanan. Sebab tak lama setelah aku sampai di rumah hujan turun dengan lebatnya.
Setelah jembatan Cot Irie sebelum SPBU aku kembali berhenti. Setumpuk kelapa muda di sebuah kedai bakso seketika menjadi sangat menggoda. Air kelapa muda bagus untuk mengganti ion tubuh yang hilang.

Tiang warna-warni yang memisahkan Taman Bustanussalatin atau Taman Sari Banda Aceh dengan Masjid Raya Baiturrahman adalah pemberhentian terakhirku kemarin. Azan Zuhur baru saja usai berkumandang saat aku tiba di sini. Sudah lama aku ingin mengabadikan sepedaku dengan tiang warna-warni yang menyolok tersebut, tapi baru kesampaian kemarin. Alhamdulillah....[]

Sabtu, 02 September 2017

Traveling with My Boy Bike #1: Menjajal Rute Mata Ie - Lhok Nga Seorang Diri


DEMI menguji adrenalin, aku bertekad dan nekat menjajal rute Mata Ie - Lhok Nga dengan my Boy Bike, panggilan khusus untuk si Polygon Xtrada punyaku. Mengapa kukatakan nekat? Sebab aku belum pernah melewati rute ini sebelumnya. Jadi masih blank ke mana tembusnya. Kali ini aku kembali mengandalkan feeling sebagai guide.

Dan, mengapa aku bertekad? Ya, karena aku sekarang punya Boy Bike, rugi kalau dibiarkan menganggur. Dan rasanya kurang menantang jika mengayuh di rute yang aman dan nyaman seperti di seputar perkotaan saja.

Setelah sehari sebelumnya sempat tanya-tanya ke Zelda berapa jarak Mata Ie - Lhok Nga, --yang dijawab dengan tidak serius-- Sabtu pagi, 26 Agustus 2017, sebelum pukul delapan pagi aku mulai bertolak dari kost-an di Peulanggahan, Banda Aceh.

Sebelum bertolak jauh aku terlebih dahulu berhenti di gerbang depan Masjid Raya Baiturrahman yang menghadap ke Sinbun Sibreh. Di sini aku mengabadikan si Boy Bike dengan latar gerbang masjid berornamen Pintoe Aceh.

Kini saatnya untuk bergerak. Aku mulai mengayuh dari pusat kota menuju arah Mata Ie di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sampai di gerbang Gampong Punie aku berbelok menuju arah Gampong Ulee Tuy. Tujuanku melewati area persawahan dengan view yang sangat keren di sepanjang jalan tembus Ulee Tuy - Asrama TNI di Japakeh.

Sebelumnya aku mampir di warung kecil lewat Masjid Punie untuk sarapan. Saat masih tinggal di Mata Ie, beberapa kali aku pernah sarapan di warung ini. Nasi gurihnya enak. Aku memesan seporsi nasi dengan lauk ayam goreng. Bismillah....

Setelah perut terisi, tenaga jadi full kembali. Semangat untuk melanjutkan mengayuh kembali berapi-api. Usai membayar dan jeda sesaat, segera kuraih sepasang 'tangan' si Boy Bike, kutunggangi sadelnya dan kembali kami berlayar di jalanan. Saat melewati jalan beraspal yang membelah areal persawahan menuju Japakeh, aku berhenti dan mengambil beberapa foto di sini.




Zelda yang pertama sekali memberi tahu rute ini. Dan sejak saat itu aku langsung jatuh cinta pada lokasinya yang keren banget. Areal persawahan dengan latar belakang Bukit Barisan di kejauhan yang tampak hijau. Waktu masih tinggal di Mata Ie, beberapa kali aku pernah melewatu jalur ini saat lari pagi. Udaranya bersih dan sejuk. Pagi itu aku mengulang kembali beberapa fragmen indah yang pernah tercipta di sepanjang jalur ini. Ada debar yang menjalar perlahan di sanubari.

Perjalanan dengan rute yang lebih menantang dimulai dari sini. Setelah menempuh jarak lebih kurang sekitar satu kilometer, sampailah aku di kaki bukit gunung Mata Ie yang sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi karena sambil bersepeda, aku memilih untuk mendorong saja sepedaku. Belum cukup tenaga dan belum terlatih untuk mengayuh di jalanan menanjak.




Alhasil, sepanjang jalur 1,3 kilometer tersebut aku hanya mendorong saja si Boy Bike. Itupun ditambah berhenti beberapa kali. Perjalanan ini sungguh menguras tenaga. Apalagi hanya seorang diri pula, tidak ada teman untuk bertukar cerita. Mau kirim pesan via aplikasi chatting? Ah, tidak ada sinyal pula di bukit itu. Syukurnya, primata yang biasa kerap memunculkan diri saat ada manusia lewat hari itu entah ke mana mereka. Kalau tidak, mungkin aku sudah panik karena takut ha ha ha.

Di suatu titik, aku benar-benar kelelahan. Aku terpaksa berhenti di bawah pohon rindang dan merapatkan punggungku dengan aspal yang diteduhi tajuk pohon. Namun saat aku sedang asyik menikmati desau angin, suara deru mobil mengagetkanku. Si pemilik mobil pun tampaknya kaget, kulihat ia membuka kaca jendela mobilnya dan melongokkan kepala ke arahku. Mungkin setelah memastikan aku baik-baik saja, mobil tersebut kembali melaju kencang.

Dari sini aku bebas membuang pandangan ke mana saja. Saat mataku bertumbuk ke bukit, ada rasa nyeri yang menjalar hebat. Bukit-bukit itu nyaris gundul usai terbakar beberapa waktu lalu. Di tubir bukit ada sebuah spanduk berisi larangan membakar hutan berlogo instansi kepolisian lengkap dengan pasal dan nominal dendanya. Aku tak yakin spanduk itu membantu banyak untuk menyelamatkan hutan kita dari tangan-tangan jahil. Tapi setidaknya sudah berusaha kan?





Setelah merasa cukup punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan, kembali aku menggamit tangan Boy Bike. Kami kembali menyusuri sisa tanjakan di tengah sengatan matahari yang perlahan namun pasti, mulai menunjukkan kegarangannya. Dan.... akhirnya tibalah kami di puncak bukit. Harapan baru kembali berkecambah. Terbayang sudah 'kenikmatan' melewati jalur menurun yang tak kalah panjangnya dengan jalur mendaki tadi. Itu artinya, aku bisa bersantai di atas sadel tanpa perlu bersusah payah mengayuh.

Di turunan ini, tempat pertama yang menjadi lokasi pemberhentianku adalah gerbang waterpark Mata Ie Hillside. Rasanya kurang lengkap tanpa meninggalkan jejak di sini berupa satu atau dua lembar foto. Seorang pekerja terlihat sedang memperbaiki pagar di dekat gerbang. Kulempar senyum untuknya saat aku akan meninggalkan lokasi ini.



Melewati jalur ini dengan sepeda benar-benar menyenangkan. Sepanjang kiri kanan jalan adalah kebun-kebun warga yang umumnya didominasi oleh tanaman tua seperti kemiri. Di beberapa tempat aku melihat ada pembukaan lahan baru dengan cara membakar kebun. Beberapa kali juga aku berpapasan dengan petani setempat. Di sepanjang kawasan ini tampak beberapa rumah --mungkin juga gubuk-- milik warga. Mereka menawarkan senyum ramah yang membuatku semakin nyaman melewati jalur tersebut. Meski bersepeda sendirian tak ada sedikitpun rasa khawatir atau cemas. 




Gambar di bawah ini adalah spot yang paling berkesan buatku dalam perjalanan akhir pekan lalu. Rasanya semua lelah dan keringat yang bercucuran nggak ada apa-apanya dibandingkan rasa senang yang menguar di dalam hati. Rasa senang itu yang membuatku tak tahan untuk tidak mengabarkan Zelda. "Rasanya puaaaassss kali," sepotong pesan meluncur untuk Zelda begitu aku sampai di rumah. Plus selembar foto yang merujuk pada gambar di bawah ini.




Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, menjadi pemberhentian terakhirku hari itu. Matahari mulai menanjak, cuaca tak lagi bersahabat. Jam digital di gawaiku menunjukkan angka 10:30 AM. Saatnya bergerak pulang.



Di sisa perjalanan hari itu ada syukur yang bertubi-tubi kupanjatkan kepada Tuhan. Atas nikmat tak terhingga. Atas kesempatan yang tak semua orang bisa menikmati. Atas keberanian yang tak terduga. Atas kekuatan yang tak terbayangkan. Juga untuk Zelda...[]