Rabu, 26 Januari 2022

Bersenang-senang dengan Lagu Indah Persahabatan



Dalam dunia jurnalistik ada istilah proximity atau kedekatan peristiwa terhadap khalayak (pembaca) yang menjadi salah satu indikator nilai berita (news value). Kedekatan ini biasanya meliputi tiga aspek, yaitu geografis, psikologis, dan ideologis. Itu sebabnya, cerita-cerita tentang diaspora Indonesia di luar negeri yang tayang di media-media lokal sering menarik perhatian kita (pembaca) karena faktor "kedekatan" tadi. Semakin "dekat" pembaca dengan peristiwa yang disajikan, kemungkinan media tersebut akan semakin digandrungi. 

Dalam film atau buku juga begitu. Kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan penonton atau pembaca akan semakin berpotensi mendulang viewer atau reader. Kedekatan itu juga tidak hanya dari sisi alur cerita yang relate dengan kehidupan penonton saja, tetapi juga bisa karena unsur-unsur lain. Misalnya, ada teman saya yang menonton sebuah serial karena dibintangi oleh Reza Rahadian yang sudah sukses memerankan film-film bagus. "Khusus instal aplikasinya hanya untuk menonton serial itu," katanya dalam perbincangan nirfaedah. Sementara teman lain yang juga menonton serial yang sama, justru menaruh perhatian khusus pada dialog-dialognya. Dia tampaknya ingin "menyelidiki" kepiawaian penulis naskahnya.

Ya, dalam banyak hal, jauh sebelum kita membeli tiket untuk menonton film atau membeli sebuah buku, kita sudah lebih dulu bertaruh dengan jaminan nama penulis, pemain, atau penerbit dari karya tersebut. Bahkan, jaminan itu kadang-kadang hanya berupa satu dua kalimat yang ada di sampul belakang. Bisa juga karena sampul atau judulnya yang menurut kita keren. 

Sebenarnya, itu juga yang terjadi pada saya ketika memutuskan ngebut membaca Lagu Indah Persahabatan. Dilihat dari judulnya saja sudah langsung bisa ditebak kira-kira akan seperti apa ceritanya. Apalagi buku antologi cerita anak. Tentunya tidak menjanjikan plot twist sebagaimana pembaca dewasa harapkan. Namun, nama Syarifah Aini yang tertera sebagai salah seorang penulis dalam buku ini menjadi jaminan bagi saya untuk segera membaca dan menamatkannya dalam waktu cepat. 

Syarifah Aini adalah teman akrab dan lekat saya. Profesinya adalah penulis cum penyunting. Saat ini dipercayakan mengemban amanah sebagai Ketua Forum Lingkar Pena Aceh. Ceritanya berjudul 'Pertunjukan Drama Lila' menjadi salah satu dari 25 cerita yang ditulis oleh 25 penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Judul ini pula yang pertama kali saya baca dan tentu saja ceritanya tidak mengecewakan. Salah satu penulisnya menjadi faktor yang "mendekatkan" saya dengan buku ini sehingga saya merasa harus segera membacanya.

Lazimnya cerita anak yang memang ditulis dengan sasaran pembaca usia anak, cerita-cerita dalam buku setebal lebih dari 350 halaman ini mengangkat tema-tema di sekitar kita yang dinarasikan melalui sudut pandang penceritaan seorang anak. Temanya beragam, mulai dari kepedulian terhadap lingkungan, taat pada orang tua, kasih sayang kepada makhluk hidup, kepedulian terhadap sesama, hingga yang "agak-agak" berbau fiksi futuristis. 

Pesan-pesannya disampaikan secara tersurat dan gamblang. Tidak ada yang bikin kening berkerut atau membutuhkan perenungan. Namun, ada satu dua cerita yang menurut saya alurnya justru berada di luar dari cara berpikir anak-anak. Memang, dalam menulis cerita fiksi, salah satu yang menjadi tantangannya adalah menghindari terjadinya rumpang alur.



Membaca buku ini rasanya seperti berada di play ground, meskipun saya tidak bisa menikmati sarana bermain yang ada di sana, tetapi saya bisa menikmati keriangan anak-anak yang bermain di sana. Begitulah, sambil membaca, sambil saya kembali ke masa lalu, membayangkan masa kanak-kanak saya yang menyenangkan.

Sampul buku ini juga sangat memikat. Perpaduan biru laut dan putihnya sangat klop, ilustrasinya menyimbolkan keriangan khas anak-anak yang diliputi kebahagiaan, font-nya juga bikin happy. Sementara di dalam, tata letak buku yang selaras antara jenis font, ukuran, spasi ganda, dan pernak-pernik ilustrasi bikin semarak. Memang sesuai untuk anak-anak. Kalaupun ada yang terasa tak sesuai, mungkin halamannya yang kelewat gembrot. Selamat membaca.[]

Jumat, 07 Januari 2022

Perjalanan Menemukan Jati Diri Bersama Gong Smash



Usai menamatkan GONG SMASH: Dari Raket ke Pena dari Lapangan ke Petualangan, kesimpulan saya cuma satu: Gol A Gong memiliki orang tua yang sangat hebat. 

Seperti yang sempat saya singgung di postingan sebelumnya "Mengawali Tahun Baru Dengan Orang Tak Dikenal", saya membaca buku ini menjelang pergantian tahun. Jujur saja, spirit dari buku ini menjadi semacam penyegaran dari segala rutinitas yang telah berjalan selama dua belas bulan. "Jalan-jalan" di akhir tahun yang menyenangkan.

Balik lagi ke kisah perjalanan hidup Gol A Gong, berkat kehebatan ayah ibunyalah Gol A Gong tumbuh menjadi seseorang hingga ia dikenal seperti sekarang. Jika kedua orang tuanya menjadi orang tua "rata-rata" yang membiarkan anaknya hanya "diubah" oleh nasib, mungkin kita tidak akan pernah mengenal nama Gol A Gong, alih-alih Heri Hendriana Harris, nama asli Gol A Gong yang diberikan orang tuanya ketika lahir.

Kita mengenal Mas Gong--sapaan akrabnya--sebagai penulis serbabisa. Sang mantan wartawan ini piawai menulis berita, skenario, puisi, maupun novel. Salah satu novelnya Balada Si Roy bahkan telah diangkat ke layar lebar dan Roy diperankan oleh Al Ghifari--putra Ustaz Jeffry Al Bukhari. Namun, selain dari karya-karyanya, kita juga mengenal Mas Gong sebagai penulis yang "luar biasa": seorang yang b(er)untung. 

Saya membayangkan, jika kecelakaan serupa dialami anak-anak lainnya, yang berakibat pada harus diamputasinya salah satu tangan mereka, barangkali mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang minim rasa percaya diri karena beban psikologis maupun sosial, kesempatan sekolah yang terbatas, dan bayangan akan masa depan yang suram karena harus terus bergantung pada orang lain. 

Namun, Mas Gong justru mengalami kondisi sebaliknya. Saat kecil dia terjatuh dari pohon dan menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi. Kondisi itu tidak sedikit pun menurunkan rasa percaya dirinya, dia tetapi bersekolah seperti anak-anak kebanyakan dengan fisik yang sempurna, menikmati masa remaja dengan segala kenakalannya yang warna-warni. Kecintaannya pada dunia olahraga mengantarkan dia menjadi atlet, khususnya badminton. Puncak kariernya adalah meraih prestasi FESPIC Games IV-pesta olahraga cacat se-Asia Pasifik--di Solo pada 1986. Dia berhasil mengumpulkan tiga emas masing-masing untuk tunggal, ganda, dan beregu. Atlet dengan perolehan emas terbanyak dalam ajang bergengsi itu. Fisiknya memang cacat, tetapi pikirannya tidak! Bukankah ini yang paling penting? 

Buku Mengubah Segalanya

Saat Gong kecil dirawat di rumah sakit di Jakarta dalam masa pemulihan tangannya pascaamputasi, ayahnya, Pak Harris, membelikan banyak buku untuk Gong. "... kalau Heri rajin membaca buku, Heri pasti akan lupa kalau bertangan satu." kata bapaknya suatu siang. 

Buku-buku cerita anak seperti Tom Sawyer Anak Amerika maupun komik silat seperti Si Buta dari Gua Hantu atau Panji Tengkorak menjadi santapan hari-harinya. Satu buku demi satu buku yang dilahapnya membuat imajinasinya bertumbuh, dia melanglang buana dan berkelana jauh dengan pikirannya. "Aku merasa jadi anak yang sudah bertualang ke negeri orang," kata Gong dalam bukunya.

Bacaan-bacaan inilah yang mengantarkan Gong akhirnya menjadi seorang penulis seperti sekarang. Ibarat istilah, apa yang masuk itu yang keluar, berbagai pengetahuan yang didapat Gong dari membaca mendorongnya untuk menulis. Selain rutin menulis diari, Gong juga membuat puisi atau cerita-cerita sandiwara untuk dikonsumsi teman-teman di sekolahnya. Sembari itu, Pak Harris terus menumbuhkan jiwa sportif Gong melalui aktivitas olahraganya yang terus diasah. Hal ini membuat Gong tumbuh sebagai pemuda yang bertalenta.

Begitu banyak manfaat dari membaca buku. Sesuatu yang diyakini kebenarannya hampir oleh semua orang, tetapi justru sedikit yang mau melakukannya. Padahal, kampanye membaca terus dimasifkan baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat. Gong sendiri, kini dengan statusnya sebagai Duta Baca Nasional, maupun melalui Rumah Dunia yang dibangunnya belasan tahun lalu, tak pernah jemu mengampanyekan ini.

Membaca tidak hanya membuat pengetahuan seseorang bertambah, tetapi juga bisa meningkatkan nilai atau value-nya. Bahkan bisa mendatangkan benefit finansial yang bisa dijadikan sebagai karier.

Berkaca dari apa yang dialami Gol A Gong, pengetahuan yang didapatnya dari membaca inilah yang telah menutupi segala kekurangan fisiknya. Dia tahu lebih banyak dibandingkan teman-teman seumurannya, wawasannya melampaui batas geografis tempat tinggalnya. Dia tidak mudah merasa tersinggung atau insecure pada penilaian orang terhadap dirinya. Jiwanya lebih stabil. Lebih dari itu, pada akhirnya aktivitas itulah yang membuatnya menjadi berdaya, yang dipilih sebagai karier setelah menyadari kariernya sebagai atlet sudah mentok. 

Semua orang punya kekurangan. Mestinya kita menyadari itu sehingga dengan sengaja mau berusaha untuk menutupi kekurangan tersebut dengan membaca. Seyogianya membaca juga membuat seseorang menjadi lebih bijaksana. Nyatanya, banyak orang sempurna fisiknya, tetapi cacat pikirannya atau cacat dalam berpikir. Namun, yang lebih menyayangkan sedikit orang yang sadar (mau mengakui) kalau ia punya kekurangan sehingga alih-alih menjadi bijaksana, yang ada malah sombong.

Buku ini bukan tentang parenting, tetapi ada banyak pesan tersirat yang bisa ditiru oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Di antaranya, menjadi orang tua "serbatahu" tempat anak-anaknya bertanya segala hal. Oleh karena itu, sebelum mengenalkan buku kepada anak-anak, para orang tua haruslah terlebih dahulu akrab dengan buku.

Sejatinya, setiap orang tua juga ingin anaknya unggul, berprestasi, atau selalu menjadi juara. Namun, membentuk pribadi anak untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dari sisi kalah atau menang, bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kematangan dalam berpikir, wawasan yang luas, dan memandang hidup sebagai rekreasi yang menyenangkan. Dengan begitu, saat menang tidak membuat jemawa, saat kalah pun tidak dicap sebagai pencundang. Karena setiap orang memiliki gilirannya masing-masing.

Lewat buku ini pula pembaca bisa merenungi perjalanan hidupnya sendiri melalui kisah-kisah yang dialami oleh Gong. Pernah tidak kita berpikir atau melakukan tapak tilas hingga kita sampai di titik sekarang ini. Berpikir, jika tidak seperti ini maka akan seperti apa? Jika tidak kekurangan/kehilangan sesuatu bagaimana kita akan bertumbuh? Jika ini sering dilakukan, pada akhirnya, pasti akan membuat kita lebih bersyukur dan tidak merutuki masa lalu.[]

Senin, 03 Januari 2022

Mengawali Tahun Baru dengan orang tak dikenal



SAYA telah menamatkan buku bacaan pertama di tahun 2022 ini. Hanya dalam waktu dua hari. Dalam dua kali duduk. Ini bisa dibilang fantastis dan menjadi "rekor" pribadi. Musim liburan kali ini saya tidak ke mana-mana. Tahun-tahun sebelumnya juga tidak ke mana-mana karena di keluarga kami memang tidak ada tradisi liburan. Saya pribadi jika waktu sedang longgar lebih suka menghabiskannya di rumah saja. Saya suka jalan-jalan, tapi saya tidak suka jalan-jalan ke tempat yang sama berulang-ulang. Terlebih yang di dalam kota. Sampai sekarang pun saya belum menemukan definisi yang tepat untuk jalan-jalan versi saya.

Di Banda Aceh dan Aceh Besar misalnya, bisa dihitung jari jumlah saya mengunjungi tempat-tempat wisata di sini. Atau tempat-tempat perbelanjaan modern yang jumlahnya sangat terbatas. Saya tidak begitu menikmati keramaian. Bikin capek jiwa raga. Yang paling sering saya datangi, ya, warung kopi, itu pun karena tidak ada alternatif lain. Karena itu pula, selama libur akhir tahun hingga awal tahun yang terbentur dengan weekend ini saya habiskan di rumah saja. 

Saya menghabiskan waktu di rumah dengan melakukan aneka pekerjaan rumah tangga, menonton televisi, memaksimalkan istirahat, menonton chanel YouTube, berselancar di Wikipedia, dan, tentu saja, membaca buku fisik. Persediaan buku untuk dibaca selalu ada. Karena hasrat untuk menumpuk buku selalu lebih besar dibandingkan untuk melahapnya. Beberapa buku bahkan lembarannya mulai menguning, tetapi isinya belum sempat ditamatkan. 

Menjelang akhir tahun lalu, ada beberapa koleksi buku baru yang bertambah. Di antaranya Gong Smash! yang ditulis Gol A Gong dan orang tak dikenal yang ditulis oleh Nazar Shah Alam. Gong Smash! saya tamatkan beberapa hari sebelum pergantian tahun. Saya pikir buku itu menjadi pemacu yang bagus untuk mendongkrak energi menyambut tahun baru. Membaca serupa dengan aktivitas rekreasi. Jadi, menyesuaikan bahan bacaan dengan waktu yang tersedia juga penting. 

Saya memilih menikmati membaca orang tak dikenal sebagai rekreasi di awal tahun. Pertama, tentu saja karena proximity alias kedekatan. Istilah ini barangkali lebih familier dalam dunia jurnalistik ketika seorang jurnalis perlu meramu berita-berita yang mengandung kedekatan dengan pembacanya untuk menarik pembaca. Unsur-unsur ini mencakup geografis, psikologis, maupun ideologis. Faktor ini pula yang membuat saya memutuskan membaca buku Gong terlebih dahulu ketimbang buku yang ditulis oleh Nazar Shah Alam. Supaya saya bisa menikmati karya vokalis Apache 13 itu tanpa tergesa-gesa. Saya ingin menyesapi dan meresapi setiap alur dan kisah yang dituliskan. 

Saya bukan penganut aliran speed reading. Yang membaca hanya untuk mengetahui garis besarnya saja. Seperti sajian di atas meja, setiap kalimat yang tertera di atas kertas pastilah lahir dari proses yang panjang. Melibatkan kejernihan pikiran, kelincahan berimajinasi, dan ketepatan dalam memilih dan memilah kata. Dengan begitu, kalimat demi kalimat akan menjadi padu, selaras, estetis. Maka, jika menemukan kata atau kalimat yang indah, saya akan berhenti sejenak, menutup mata, lalu membiarkan pikiran berkelana dengan kata atau kalimat tersebut.

Lebih dari itu, dengan dasar akademik Nazar yang alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tentu saya ingin "mencari" sesuatu dari novel ini. Sebut saja semacam metafora-metafora yang dipilih Nazar. Saya tidak ingin menceritakan apa yang saya temukan, karena setiap pembaca tentu memiliki pencarian yang berbeda-beda.

Sebagai pembaca yang notabenenya dibesarkan dalam situasi konflik bersenjata. Saya mengalami kedekatan yang benar-benar dekat dengan kisah dalam novel ini, tidak saja soal lokasi kejadian, tetapi juga secara psikologis maupun ideologisnya. Awalnya saya menduga Nazar akan menyamarkan nama-nama daerah yang menjadi latar cerita seperti yang lazim ditemui dalam novel-novel yang mengadaptasi suatu peristiwa bersejarah--misalnya Lampuki karya Arafat Nur. Dengan cara ini, pembaca akan dibuat bebas berkelana dan menyesuaikan lokasi-lokasi tersebut dengan segenap kemampuannya dalam berimajinasi. Inilah salah satu yang membuat saya senang membaca (novel), selalu ada ruang bagi pikiran saya untuk berimajinasi.

Nazar ternyata tidak melakukan itu. Dia menyebut dengan jelas nama-nama daerah yang menjadi setting dalam novelnya. Hal ini justru membuat pembaca (saya) seperti melakukan tapak tilas dan menjadi pengikut setia sang tokoh utamanya, Bastian. Dari barat selatan, melalui karakter Bastian, Nazar mengajak pembaca hingga sampai ke Lamteuba di Aceh Besar--kawasan yang sulit melepaskan diri dari imej ganja. Lalu menyaksikan kamuflase Bastian menjadi petani kunyit yang hidup serumah dengan istri gadungan, Loria. 

Sebelumnya saat di Rigaih, Aceh Jaya, Bastian juga pernah serumah dengan istri gadungan yang lain untuk sebuah misi sebagai OTK. Seseorang yang hanya dia sebut sebagai Zu. Saya menunggu-nunggu kekhilafan Bastian atau "istrinya" yang tiba-tiba menempel di tubuh "suaminya" seperti cecak. Tapi, meski tangan mereka sama-sama berlumur darah dan identitas "OTK" membuat mereka harus menyaru sebagai suami istri, serta perasaan mereka sedikit terkontaminasi dengan hal-hal yang bersifat melankolia, tetapi agaknya mereka tetap menjunjung "profesionalitas". Kontaminasi perasaan antara Bastian, Loria, dan Zu menjadi garam yang menggurihkan cerita.

Lewat Bastian pula, kita bisa melihat bagaimana transformasi pemuda-pemuda sangak di masa konflik yang putus sekolah, tidak punya keahlian khusus, tetapi karena sepercik dendam yang terus menyala di sanubari mereka, mampu menjelma menjadi sosok yang (seolah-olah) berwibawa, merasa diri seorang hero, ingin menyelamatkan bangsa, dan karenanya menuai simpatik dari warga. Pada akhirnya malah menjadi boneka dari orang-orang pintar, tetapi licik.



Kedua, saya menemukan sisi lain dari kisah dalam buku ini. Sisi yang barangkali hanya menjadi "sampingan" saja dalam cerita-cerita bertema konflik Aceh. Petunjuknya ada di judul novel ini. Istilah "orang tak dikenal" atau OTK memang sangat akrab di telinga orang Aceh saat masih konflik. Kejadian-kejadian tanpa pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang berkonflik (GAM-RI) selalu ditujukan kepada OTK ini. Pertanyaan yang selalu mengusik ruang sehat dan kewarasan kita adalah, "Siapa OTK itu?"

Dalam novel ini--meskipun kita tahu ini hanyalah kisah fiksi yang tidak bisa ditelan mentah-mentah sebagai sebuah kebenaran--pembaca mendapat gambaran tentang OTK, bagaimana mereka menjadi OTK, untuk siapa mereka bekerja, apa motivasinya, apa yang mereka kerjakan, bagaimana mereka bekerja, dan ke mana uang yang mereka dapatkan sebagai OTK itu dihabiskan. Tidak mengejutkan jika ada dalang di belakang para OTK ini. Setiap dalang memiliki OTK-nya masing-masing. Mereka dipelihara dan difasilitasi. Setiap OTK memiliki target masing-masing dan di lain waktu mereka sendiri yang menjadi target (untuk dihabisi). Sialnya, korban para OTK ini tak pernah mendapat peradilan dunia. Siapa pula yang mau repot-repot mengurai benang kusut untuk membuka kedok atau identitas OTK?

Potongan demi potongan dalam cerita ini membuat saya memutar ulang berbagai memori masa lalu konflik Aceh. Gedung-gedung sekolah dan rumah warga yang dibakar, orang-orang tak bersalah yang diculik dan dibunuh dengan keji, perampokan, berbagai peristiwa kontak senjata, termasuk kisah-kisah berangta yang membumbui sederet peristiwa tersebut, seperti lakon sebuah film. Sebuah film, tentu ada skenario dan sutradaranya 'kan? Bedanya, jika dalam novel ada konklusinya, maka di kehidupan nyata semuanya serba di awang-awang. Sebuah lakon yang menguatkan pemeo "perangnya ecek-ecek, matinya beneran".

Entah mengapa, nama-nama tokoh dalam novel ini, seperti Ampon Mustafa, Tuan Yusuf, Tu Sem, berikut tempat tinggal mereka yang disebut sebagai istana, membuat pikiran saya menjadi liar dan mengait-ngaitkannya dengan beberapa nama dan kejadian di dunia nyata. Merekalah sutradaranya. Seseorang (geng) yang sangat dekat dengan kita, berjubah sebagai pelindung atau pemberi rasa aman, tapi ternyata lintah yang tega mengisap darah bangsanya sendiri.

Kisah dalam buku ini seolah menegaskan kembali, dalam kondisi sesempit apa pun, selalu ada orang yang mengambil keuntungan, ada orang yang dijadikan tumbal dan dibodohkan sehingga mudah dicucuk hidungnya, dan banyak yang menjadi pion tanpa sadar karena terbuai dengan sedikit sanjung puja semacam label "pejuang" atau "pembela tanah air".[]