Jumat, 31 Desember 2021

Thank You 2021, Welcome 2022



Hanya tinggal hitungan jam untuk mengatakan "selamat tinggal 2021" dan mengucapkan "selamat datang 2022". Saya bersyukur karena hingga menjelang pergantian tahun ini masih diberikan kesehatan oleh Sang Pemilik Semesta. Hari-hari yang saya lalui sepanjang tahun ini penuh kegembiraan, terasa menyenangkan, dan begitu produktif. Hari ini pun, yang notabenenya hari terakhir di tahun ini, saya memulai aktivitas dengan minum kopi. Representasi hidup tanpa beban hahaha.

Sekadar kilas balik, memasuki awal 2021 saya memulainya dengan kehilangan. Mulanya terasa ganjil. Ada yang kosong dalam hari-hari saya. Namun, semuanya berlalu dengan cepat. Aktivitas yang padat membuat perasaan kosong itu dengan sendirinya cepat menguap. Dan, aha! Saya baik-baik saja hingga detik ini. Ternyata, kehilangan tak selamanya semenakutkan apa yang ada di pikiran.

Menjelang memasuki tahun baru ini, saya ingin melakukan review atas perjalanan selama dua belas bulan terakhir. Ini bentuk lain rasa syukur saya atas segala yang telah Allah berikan kepada. Lebih dari itu, cerita hari ini akan menjadi kenangan di masa depan. Dengan menuliskan ini, saya ingin nanti di masa depan bisa bernostalgia dengan secuil kebahagiaan di masa lalu. 

Jalan-Jalan



Di awal-awal tahun, seperti yang sudah-sudah, aktivitas masih sangat longgar. Kesempatan ini saya gunakan untuk silaturahmi (baca: main-main) ke tempat teman. Awalnya saya berniat untuk pergi ke Sumatera Utara karena ada Kak Zatin yang saat itu masih bertugas di Sumut. Namun, setelah saya pikir-pikir ulang, dengan sisa waktu Kak Zatin di Sumut yang hanya beberapa hari lagi, waktu main-mainnya jadi kurang maksimal nanti. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk main ke Blang Pidie, Aceh Barat Daya.

Di sana ada Makbiet. Seseorang yang mulanya saya kenal dalam program fellowship USAID Lestari di pengujung 2017. Namun, meski program itu selesai, hubungan dengan sesama peserta program tetap berlanjut, salah satunya dengan Makbiet. Saya pun mengunjunginya di pertengahan Februari, hanya berselang beberapa hari setelah saya mengalami kehilangan. 

Beberapa hari di Blang Pidie, saya menyeberang ke Pulau Simeulue untuk mengunjungi adik yang tinggal di Kota Sinabang. Ini awalnya tanpa rencana sama sekali, tapi saat di Blang Pidie, saya bertemu dengan Nita, dan diperkenalkan pada Hasan. Hasan ternyata berniat mengunjungi temannya di Simeulu. Saya pun secara spontan minta ikut Hasan. Jadilah saya berada di Simeulue hingga awal Maret. 

Tak banyak berubah dari tahun-tahun yang lalu, perjalanan saya masih berkutat di dalam provinsi saja. Di barat selatan, perjalanan saya mencakup Kabupaten Simeulue, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya. Saya juga berkesempatan jalan (sambil bekerja) ke Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah. Di samping itu juga melakukan perjalanan ke Kota Lhokseumawe, Pidie, dan Kota Sabang.

Pelatihan dan Fellowship Jurnalistik



Sepanjang tahun ini, setidaknya ada dua fellowship yang saya jalankan. Pertama dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Dari Deutsche Welle yang bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Program dengan PPMN bertopik Perempuan dalam Ruang Publik berupa penulisan profil-profil perempuan yang berkiprah di masyarakat. Program ini berlangsung selama enam bulan dengan tambahan dua bulan setelahnya. 

Sedangkan dengan AJI berlangsung selama dua bulan untuk sesi pelatihan, dilanjutkan dengan satu bulan berikutnya untuk fellowship berupa liputan. Adapun topiknya tentang Jurnalisme dan Trauma. Setelah sesi pelatihan selesai, para peserta berkompetisi untuk mendapatkan fellowship dan alhamdulillah, saya termasuk salah satu yang lolos.

Dengan PPMN, saya juga mendapat kesempatan menjadi enumerator sekaligus administrator untuk menghimpun data sejumlah narasumber perempuan di Aceh yang akan diinput dalam data base program kerja sama antara PPMN--HiVOS. 

Selain dengan dua lembaga itu, saya juga mendapatkan pelatihan jurnalistik dengan Tempo Institut dengan tema Akuntabilitas Bencana (Investigasi). Kesempatan ini tida saja membuat saya bertambah dalam hal keterampilan teknis, tetapi juga mengasah leadership skill saya dalam hal manajemen waktu dan bekerja kelompok. Dan yang tak kalah pentingnya, kesempatan untuk berjejaring dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Saya selalu meyakini, jalinan perteman (baik formal atau tidak) selalu mendatangkan manfaat.

Buku



Tulis menulis menjadi "core" dari semua aktivitas yang saya lakukan. Sebagai individu yang mengawali aktivitas literasi melalui blog, saya lantas memutuskan untuk berkarier di jurnalistik. Pada akhirnya mengantarkan saya pada dunia perbukuan. 

Selama tahun ini, saya berkontribusi untuk beberapa  buku dengan topik yang berbeda baik fiksi maupun nonfiksi. Dalam proyek penulisan tersebut, saya terlibat sebagai penulis, penyunting, maupun enumerator. Buku-buku tersebut, yaitu: (1) Perintis dan Rektor Universitas Syiah Kuala; (2) 60 Tahun Universitas Syiah Kuala, Menuju Universitas yang Mandiri dan Modern, (3) Berjuang Menjemput Impian; (4) Bianglala; (5) De Atjehers 2: Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi, (6) Sejarah Asosiasi Kontraktor Aceh; (7) Tentang Kekasih; (8) Meruntuhkan Langit-Langit Kaca, dan (9) Experience.

Menulis Naskah Film



Ini menjadi pengalaman pertama yang begitu mengesankan. Teman di Aceh Documentary, Jamal, memercayai saya untuk menuliskan naskah film Tanpa Batas Waktu: Jejak Perang Dunia II di Sabang. Kesempatan ini membuka pintu ruang bagi saya untuk terus belajar. Hal-hal baru di luar yang biasa kita lakukan menjadi tantangan yang menyenangkan. 

Berpartisipasi dalam Kampanye Literasi Digital



Di samping rutinitas pekerjaan di media, dalam tahun ini saya juga mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari narasumber kampanye literasi digital yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Selain itu, saya juga berkesempatan untuk mengisi sejumlah kegiatan seperti yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, UIN Ar-Raniry, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, TVRI, Chanel News Asia, Komunitas Reqan, Forum Lingkar Pena Takengon, Universitas Bina Bangsa Getsempena, Solidaritas Perempuan, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.

Menerima Anugerah Atsiri Research Center 2021



Penghargaan ini sesuatu yang tidak terduga sama sekali. Memasuki usia kelima tahun, Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala memberikan penghargaan kepada sejumlah individu yang dinilai berkontribusi terhadap lembaga tersebut dalam mengembangkan industri nilam Aceh. Saya mendapatkan penghargaan untuk kategori wartawan/media.

Selain itu, dalam tahun ini saya juga memenangi dua lomba jurnalistik, masing-masing diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh bekerja sama dengan Unicef dan Bidang Humas Polda Aceh.

Hari-hari yang telah berlalu di sepanjang usia saya penuh dengan warna dan dinamika. Merasakan pasang surut, pahit manis, suka dan duka. Semua itu adalah bagian dari perjalanan menuju proses pematangan diri untuk mencapai semua kebaikan yang diharapkan. Saya bersyukur, perlu mengucapkan "terima kasih" untuk hari-hari yang telah lalu. 

Saya juga perlu mengucapkan selamat datang untuk hari-hari berikutnya. Mengawali 2022, tampaknya akan ada perbedaan ritme dibandingkan 2021. Saya akan mengawalinya dengan langsung "kejar setoran". Seorang kolega di kampus mengajak saya untuk berpartisipasi sebagai editor dalam proyek serial buku yang akan terbit di akhir tahun nanti. Saya dipercayakan untuk menggawangi serial bertema perempuan. Dua hari lalu, seorang rekan di salah satu instansi mengabarkan dan mengajak saya sebagai salah satu tim penulis untuk proyek buku mereka. Dan, menjelang tengah hari ini, seorang akademisi mengabarkan untuk kelanjutan program yang sudah berlangsung dua tahun sebelumnya. Akhir bulan lalu, saya dapat bocoran tentang fellowship yang akan saya jalankan dalam tahun ini. Semoga tidak ada perubahan dan bismillah....[]

Rabu, 01 Desember 2021

Perempuan Berdaya Memberdayakan Perempuan




PEREMPUAN berdaya memberdayakan perempuan. Kutipan itu disampaikan oleh Eni Mulia—Executive Director Perhimpunan Pengembangan Media Nusantaradalam diskusi terbatas dengan beberapa perempuan jurnalis di Indonesia tahun lalu. Dalam forum-forum khusus yang melibatkan perempuan, kutipan itu kini semakin sering bergaung. Seperti yang disampaikan oleh Eni, kutipan itu sering diulang-ulang untuk memotivasi perempuan agar semakin bersemangat dalam meraih mimpi-mimpi mereka. Seiring dengan itu, tentunya mereka akan bertumbuh dan harapannya bisa menginspirasi perempuan lain untuk mengikuti jejak mereka.

Saya berusaha mencerna dan meresapi arti di balik kutipan itu. Terdengar ringan, tetapi sebetulnya menyiratkan makna yang sangat dalam. Kutipan itu sangat berbobot karena terdapat dua kata kunci di dalamnya, yaitu “berdaya” dan “memberdayakan”. Karena itu pula, saya sengaja menjadikan kutipan itu sebagai judul tulisan ini.

Jika merujuk pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “berdaya” memiliki arti berkekuatan; berkemampuan; bertenaga. Arti ini bersinonim dengan mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Sedangkan “memberdayakan” dalam KBBI diartikan sebagai membuat berdaya. Itu artinya, sebelum memberdayakan (orang lain), maka seseorang haruslah berdaya terlebih dahulu sebagai individu. 

Kutipan itu seolah menemukan penjelasannya secara gamblang setelah hampir setahunan ini saya terlibat dalam program produksi konten perempuan dalam ruang publik yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Melalui program ini, setidaknya ada dua puluh perempuan yang kami angkat profilnya untuk dituliskan dan ditayangkan di laman perempuanleuser.com. Sebuah website komunitas yang juga diampu oleh sekelompok perempuan di Aceh. Latar belakang para perempuan yang berkiprah di ruang publik tersebut sangatlah beragam, mulai dari PNS/ASN, pengacara/paralegal, guru/dosen, aktivis lingkungan, pegiat literasi, pengusaha, ranger, hingga praktisi kesehatan. 

Kondisi sosial ekonomi mereka juga sangat beragam, begitu juga dengan level pendidikan, mulai dari yang “hanya” lulus sekolah menengah atas hingga bergelar profesor. Tempat tinggal dan wilayah aktivitas mereka pun sangat bervariasi, tidak hanya di ibu kota provinsi yang notabanenya sudah terbilang mudah dalam hal akses dan fasilitas. Namun, sebagian dari mereka juga tersebar di berbagai daerah sehingga dalam melakukan aktivitasnya ada yang harus keluar masuk desa demi bisa menjangkau sasarannya. Namun, ada satu persamaan yang menjadi benang merah dan simpul dari semua aktivitas yang dilakoni para perempuan tersebut, yakni mereka telah berdaya. Oleh karena itu pula, peran mereka di masyarakat sudah naik level sebagai pemberdaya, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Di antara sosok yang dituliskan dan merepresentasikan “perempuan berdaya memberdayakan perempuan” itu adalah Badriah M Thaleb yang berasal dari salah satu kampung pesisir di Kabupaten Aceh Utara. Badriah kini menjadi ibu tunggal bagi anak-anaknya setelah sekian lama menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia dinikahkan pada usia dini dan terpaksa memupus harapannya yang tengah menggelora untuk bersekolah. Cita-citanya untuk menjadi guru berakhir dengan sendirinya seiring dengan lahirnya anak-anak hasil pernikahan dengan lelaki pilihan orang tua. Namun, suami yang diharapkan bisa menjadi teman diskusi, pembimbing, dan penopang hidupnya malah menjerumuskan dirinya dalam ceruk kehidupan yang gelap dan mengerikan.

Jiwa Badriah sebagai entitas manusia mulai terkerangkeng setelah ijab kabul berlangsung. Pergaulannya dibatasi dan dilarang untuk bersosialisasi. Selama menikah, bahkan untuk bertandang ke rumah orang tuanya pun Badriah dilarang. Cara berpakaiannya diatur, hanya boleh mengenakan kain sarung dan kain panjang agar penampilannya tidak mencolok. Dia hanya boleh bertemankan cangkul dan menghabiskan hari-harinya di sawah. Selain itu, Badriah—sebagaimana orang Aceh lainnya—juga seorang penyintas konflik. Kampungnya di Aceh Utara termasuk salah satu daerah basis konflik bersenjata. Persoalan hidup yang dialaminya tentu semakin kompleks.

Namun, penderitaan Badriah akhirnya menemui ujung “berkat” bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Berawal dari program psikososial untuk para penyintas tsunami, kondisi psikologis Badriah yang sudah pada tahap waham akhirnya bisa “diselamatkan” dan dipulihkan. Sejak saat itulah muncul keberanian Badriah untuk memperjuangkan nasibnya yang selama ini tersandera. Sebagai entitas seorang manusia dan individu yang punya hak azazi. Dia akhirnya berhasil berjuang dan keluar dari cengkeraman jubah patriarki bernama suami.

Mengedepankan Empati

Saat menyebut kata berdaya, sebagian besar kita barangkali langsung berpikir tentang kemandirian secara finansial. Dalam praktiknya, tentu sangat komprehensif. Seseorang yang berkecukupan dari segi materi saja, tidak serta-merta bisa dikatakan berdaya jika hidupnya masih didikte oleh individu lain. Berdaya erat kaitannya dengan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal positif dan produktif dalam hidupnya, sekaligus bisa membuat pilihan dan keputusan dalam hidupnya. Terkait ini, sebagaimana laki-laki, maka perempuan juga harus memiliki persamaan hak untuk mendapatkan akses informasi, eksistensi di ruang publik, akses pada pendidikan, kesempatan kerja, layanan kesehatan, layanan hukum, hak untuk berpolitik, dan hak bersuara dalam ruang-ruang domestik (farah.id, November 2018).

Menjadi perempuan memang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki. Kondisi ini turut memengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) perempuan Indonesia yang berada di bawah laki-laki dengan nilai 69,18, sedangkan IPM laki-laki adalah 75,96. Nilai ini menunjukkan realita kalau ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan masih cukup tinggi di berbagai aspek, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kekerasan yang dialami perempuan.

Di sisi lain, jumlah populasi perempuan di Indonesia berdasarkan sensus 2020 mencapai angka 133,54 juta jiwa atau 49,42 persen. Hampir setengah dari total penduduk di negara ini. Itu bermakna, potensi perempuan dalam meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia sangat besar (kemenpppa.go.id, Maret 2021). Namun, kuncinya ialah dengan memberikan ruang dan porsi yang sepadan kepada perempuan untuk mendukung eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat. Perempuan dan laki-laki sejatinya adalah dua entitas yang sama sehingga seyogianya bisa menjadi mitra dan membangun relasi yang sehat dan setara, alih-alih bersaing dan merasa lebih unggul dibandingkan entitas lainnya.

Hal itu telah dibuktikan oleh setidaknya dua puluh perempuan yang profilnya ditayangkan di perempuanleuser.com. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat telah membawa setitik perubahan. Menariknya, dilihat dari kondisi ekonominya, mereka sama sekali tidak merepresentasikan individu-individu filantropis yang notabenenya berasal dari kalangan hartawan. Itu artinya, kerja-kerja sosial yang mereka lakoni tidak digerakkan karena kemapanan ekonomi, melainkan oleh ketulusan dan keikhlasan yang berasal dari hati. Beranjak dari sesuatu yang disebut sebagai empati. Inilah yang membuat para penggerak perubahan ini tidak hanya rela berkorban tenaga, pikiran, dan waktu saja, tetapi juga mengorbankan materi dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan.

Badriah misalnya, meski sebelumnya dia adalah penyintas konflik dan KDRT, tetapi dia mampu bangkit dan kini mendedikasikan diri sepenuhnya pada program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dia berkecimpung di organisasi perempuan dan terlibat pada kegiataan-kegiatan yang melibatkan anak muda dalam kampanye stop perkawinan pada anak. Dengan mengendarai sepeda motor usangnya, ia rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk masuk ke desa-desa di Kabupaten Aceh Utara demi menemui perempuan-perempuan yang membutuhkan pertolongan. Mereka umumnya adalah perempuan penyintas konflik yang juga mengalami KDRT. Tak mudah membuat mereka mau bicara dan terbuka sehingga bisa ditelusuri apa yang menjadi akar dari persoalan mereka. Para perempuan itu terbiasa hidup dalam tekanan dan ancaman, mengalami kekerasan fisik atau psikologis, dan selalu dikondisikan untuk “menerima” keadaan. Mereka memahaminya sebagai kodrat perempuan.

Namun, berkat ketulusan dan empatinya, Badriah mampu mendengar dan mereka pada akhirnya mau berbicara. Dia tidak mendatangi mereka sebagai “petugas”, tetapi sebagai sahabat yang menawarkan jalan keluar dan keamanan. Bercermin dari masa lalunya yang suram, Badriah menjadi lebih mudah memahami; banyak perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tidak hanya membutuhkan dukungan, tetapi juga uluran tangan agar bisa bangkit.

Badriah juga menyediakan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan-perempuan dari kelompok rentan, ia mengadvokasi anak-anak yang menjadi korban predator seksual. Di ranah hukum, dia bahkan pernah mengadvokasi anaknya sendiri hingga ke meja hijau akibat kesewenang-wenangan oknum tertentu. Ia membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar-lebar bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya bersama-sama mencari jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi.

Bercermin dari apa yang dilakukan Badriah dan perempuan berdaya lainnya, kemapanan finansial tidaklah menjadi tolok ukur seseorang berdaya. Namun, terletak pada sebesar apa visinya untuk menciptakan perubahan, baik untuk dirinya sendiri atau lingkungannya. Seseorang yang (ingin) berdaya tahu kapan harus start untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu yang buruk, tahu kapan harus menebus semua yang tergadai demi mendapatkan akses pada pendidikan (baca: ilmu pengetahuan), hubungan yang baik dengan keluarga, bersosialisasi dengan lingkungan, dan membangun jejaring untuk mewujudkan eksistensinya.[]

Ilustrasi foto dari Pixabay

Senin, 15 November 2021

Ceroboh

Ilustrasi


Saya meyakini, ketelitian pasti akan membawa pada manfaat. Untung. Sebaliknya, kecerobohan pasti akan berujung pada kemudaratan. Rugi. Terlepas apakah untung dan ruginya besar atau kecil itu persoalan lain. Begitu juga bentuk untung ruginya, bisa macam-macam. Tak melulu berkaitan dengan uang. Sore tadi, saya mengalami kerugian akibat kecerobohan pemilik warung kopi. 

Ceritanya, selepas asar tadi, saya pergi ke warung kecil di bantaran Krueng Aceh. Sudah lama saya tidak ke warung itu dan tiba-tiba saat terjaga dari tidur siang tadi, terlintas di pikiran saya untuk ke sana. Seperti biasa, saya membawa laptop dan buku. Tergantung mana yang akan saya dahulukan setiba di sana: mengetik atau membaca.

Warung itu letaknya di ujung kampung. Pemiliknya salah satu warga di sana. Bangunannya sederhana saja, seluruh konstruksinya bermaterial kayu. Tiang-tiangnya terpacak di dalam sungai. Lantai kayunya agak sedikit berderik saat dipijak dan membuat saya pelan-pelan saat melangkah. Khawatir menimbulkan derik-derik yang mengusik pengunjung lain. 

Yang membuat nyaman duduk di sana, selain angin pesisir yang lalu-lalang dengan bebas karena kedainya terbuka, juga dimanjakan dengan hijaunya area sekitar yang ditumbuhi bakau. Ada dermaga kecil yang digunakan nelayan untuk menambatkan perahu-perahu mereka. Sesekali lewat perahu bermesin berbadan jumbo. 

Begitu tiba di warung dan sebelum duduk di kursi yang menghadap ke seberang sungai, saya memesan sirup ABC dingin. Sore-sore, meski langit tampak mendung, pasti enak menikmati yang segar-segar dan asam.

Tak lama setelah saya duduk, pemilik warung, perempuan paruh baya yang juga terlihat segar menghidangkan segelas sirup berperisa jeruk. Gelondongan es kristal tampak mengapung. Es yang menyublim melahirkan butiran embun di badan gelas. Saya terbayang pada iklan di televisi yang mempromosikan jeruk dari salah satu negara di Afrika. Ah... betapa segarnya.

Namun, bayangan akan kesegaran itu dengan sendirinya kabur dari pikiran setelah saya mendapati banyak butiran halus berwarna cokelat tua di bibir gelas. Bahkan, ada juga yang sudah bercampur dengan air. Saya menduga, butiran halus itu semacam bubuk kayu atau orang Aceh biasa menyebutnya boh jawa. Menempel di bibir gelas yang diletakkan atau ditelungkupkan (Aceh: gom) di tempat/rak yang sebelumnya sudah ditumpahi bubuk kayu.


Akan tetapi, setelah saya lihat-lihat lagi, itu bukan boh jawa.  Entahlah! Saya tidak berhasil mengidentifikasinya. Yang pasti, saya sudah tidak berminat lagi untuk meminumnya.


Saya terpikir untuk memberi tahu pemilik warung, kalau ia sudah ceroboh. Tak mungkin benda halus yang mencolok seperti itu luput dari pandangannya. Saya ingin komplain. Sebagai pelanggan, saya berhak, kan? Berhak pula mendapat ganti minuman yang baru. Namun, mengingat banyak orang di warung yang kecil itu, saya urungkan keinginan untuk mengomplain.

Akhirnya saya putuskan untuk memesan teh manis. Hati kecil saya bilang, "Sudah, pesan yang lain saja, jangan beri tahu pemiliknya kalau minuman itu ada kotorannya. Tak mengapa rugi sedikit, paling-paling hanya beberapa ribu." 

Saya beralasan minuman yang tadi dimasuki lalat, padahal tak satu pun ada lalat yang melintas selama saya duduk. 

Dengan cepat pemilik warung menyuguhkan minuman baru. Kali ini, untuk mengantisipasi lalat-lalat nakal yang kemungkinan gerah dan ingin berenang, minumannya ditutup dengan plastik.

Sebelumnya, sempat saya dengar si Ibu berkata pada suaminya, "Sayang sekali, padahal belum sempat diminum."

Saya meneguk teh manis yang sangat manis itu. Biarlah saya rugi beberapa ribu, tapi 'untung' banyak.[]

Senin, 01 November 2021

Selamat Datang, November

sumber foto: allaboutof.com


Selamat datang, November.

Biar seperti orang-orang, aku pun ingin menyambut hadirmu dengan sepotong basa-basi.

Hari ini, langit yang mula-mula begitu cerah, pada akhirnya takluk pada mendung, lalu hujan benar-benar mengambil alih cuaca.

November dan hujan. Seolah seperti karib yang tampak enggan berjauhan. Dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, guru Ilmu Pengetahuan Alam-ku bilang, Indonesia ini cuma punya dua musim; kemarau dan penghujan. 

Musim kemarau akan datang sepanjang Januari hingga Juni, seterusnya, akan masuk musim penghujan. Semua bulan yang berakhir dengan -ber akan menjadi bagian dari musim penghujan. Salah satunya kamu, November. Tapi kini, akibat anomali cuaca, hal itu sepertinya tidak lagi bisa menjadi patokan. Sama seperti hujan yang bisa datang kapan saja, kemarau pun seperti itu.

Di masa kanak-kanak dulu, aku selalu menantikan hujan. Bermain hujan selalu menghadirkan kesenangan tersendiri, walaupun setelah itu aku akan demam, asmaku kumat. Karena itu pula, Ayah selalu melarangku bermain hujan. Namun, jika hujan turun dan Ayah tidak di rumah, aku akan tetap bermain hujan. Merengek-rengek pada Ibu sampai hatinya luluh. Lalu saat hujan mulai reda buru-buru aku menyudahi dan selanjutnya tidur. Salah satu trik untuk mengelabui Ayah, seolah-olah aku tidak bermain hujan. 

Namun, manakala malam harinya atau esoknya tubuhku mulai memanas dan aku mulai kesulitan bernapas, Ayah akan segera tahu kalau aku pasti bermain hujan. Tetapi Ayah tidak pernah memarahiku, paling-paling cuma mengatakan itulah akibatnya kalau aku tidak mendengarkan amaran mereka.

Selamat datang, November.

Hari ini, saat melihat kalender di gawaiku dan mendapati sudah tanggal 1 November, aku merasa 'takjub' sendiri. Oh, betapa cepatnya waktu berjalan, uhm, padahal aku tahu, waktu itu bukanlah makhluk yang kasat mata, alih-alih punya kaki untuk berjalan. 

Rasa-rasanya, baru kemarin tahun berganti. Rasa-rasanya baru kemarin aku menikmati euforia tahun baru. Tahu-tahu, sekarang kau sudah tiba dan itu artinya enam puluh hari sejak hari ini, tahun akan kembali berganti.

Hari-hari yang begitu amat cepat berjalan, membuatku tak sempat untuk menengok ke dalam nganga luka di hati. Aku berterima kasih pada kesibukan yang telah merenggut sebagian besar waktuku, hingga sedikit sekali waktu yang kupunya untuk meresapi kehilangan. 

Satu hal yang kusyukuri dari waktu yang terus bergerak maju, yakni usiaku yang terus bertambah. Usia yang matang, membuatku kini punya banyak jendela untuk memandangi kesedihan yang terbit dari sebuah kehilangan. Kesedihan, sama halnya seperti kebahagiaan, harus dinikmati dengan paripurna. Kesedihan, yang sering kali hadir karena suatu kehilangan, merupakan jalan untuk membuka pintu bagi yang datang dan menjanjikan kebahagiaan.

Selamat datang, November.

Aku teringat pada sebuah kidung yang mengatakan bahwa tak selamanya mendung itu kelabu. Ya, hanya karena suatu kehilangan, tak lantas dunia jadi berubah muram, kan? Satu kehilangan, harus menjadi pemicu untuk menghadirkan tunas-tunas baru. Aku selalu meyakini, untuk melihat warna dunia, hanya pada bagaimana kacamata diletakkan.[] 



Sabtu, 30 Oktober 2021

Hujan, Kopi, dan Semangkuk Soto Daging



Aroma soto daging dengan rajangan daun bawang dan sepotong tomat segar langsung membiusku saat pramusaji menghidangnya di meja. 

"Soto dagingnya," ujar pramusaji yang kutaksir usianya lebih separuh abad sambil menaruh semangkuk soto, sepiring nasi putih yang masih mengepulkan asap, kecap, dan sambal rawit halus. 

"Terima kasih, Pak."

Sebelumnya aku juga memesan kopi dan sepiring camilan campuran tempe, sosis, kentang, nuget, dan kentang goreng. Tanpa menunggu kedatangan dua hidangan lain, aku segera menyantap hidangan soto dengan nasi putih yang harum dan pulen. Kulumuri nasi dengan sesendok demi sesendok kuah soto yang sudah kutuang habis sambal rawit dan perasan sepotong jeruk nipis. Isi sotonya minimalis; cuma ada potongan daging dan tauge saja.

Aku mulai melahap santapan siang ini. Perutku memang sudah mulai terasa lapar, padahal belum pun pukul dua belas. Pagi tadi, saat berangkat ke kampus, aku hanya sempat "sarapan" air putih saja. 

Ya, pagi tadi aku sudah bergerak dari rumah sejak pukul setengah delapan pagi. Karena aku akan pergi ke Kampus UIN Ar-Raniry di Darussalam dengan Trans Kutaraja, mau tak mau aku harus berangkat lebih pagi. Supaya tidak terlambat. Hari ini perdana aku mengisi kelas jurnalistik dari tiga hari yang telah disepakati dengan panitia dari Jurusan Teknologi Informasi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry. Sudah menjadi kebiasaan, entah itu sebagai peserta, lebih-lebih sebagai pemateri, aku selalu mengusahakan datang lebih awal. Baik itu daring maupun luring. Pagi tadi, aku sudah berada di tempat acara sebelum pukul setengah sembilan. 

Akhir-akhir ini jadwalku bisa dibilang sangat padat. Aku merasa nyaris kekurangan istirahat. Intensitas aktivitasku meningkat mulai setelah Iduladha lalu; menjadi tim penulis tiga buku di Universitas Syiah Kuala, menjadi asisten riset di sebuah lembaga dan harus bertungkus lumus dengan banyak dokumentasi untuk disarikan; dan terlibat beberapa fellowship, seperti dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara-Kedutaan Kerajaan Belanda sejak awal tahun, Deutsche Welle (DW)-AJI Indonesia, dan terakhir dengan Tempo. 

Sepanjang dua fellowship yang kusebut terakhir, membuatku intensitasku nge-Zoom meningkat drastis. Minimal sekali Zoom bisa berlangsung selama lima jam, bahkan yang dengan Tempo karena jadwalnya dipres menjadi empat hari, diskusi daringnya berlangsung dari pukul sembilan hingga pukul lima sore. Secara tenaga, aku merasa staminaku betul-betul tersedot. Malamnya sering merasa kelelahan, tetapi rutinitas lainnya tetap harus dilakukan, toh? Namun, setidaknya aku harus bersyukur, karena setiap kali pagi tiba, aku merasa energiku selalu pulih kembali.

Puncaknya memasuki Oktober ini. Diawali kelas intensif dengan Tempo selama empat hari berturut-turut yang diakhiri dengan membuat proposal liputan, dilanjutkan membuat proposal untuk DW. Membuat proposal untuk Tempo sangat menyita waktu karena dua hari berturut-turut aku harus  ke lapangan untuk melakukan reportase dan juga mewawancarai beberapa warga untuk mendapatkan informasi awal. Proposal ini harus kami presentasikan di hadapan dewan juri pada Selasa, 23 Oktober 2021. 

Di sela-sela menyelesaikan proposal, aku menyegarkan diri dengan mengikuti diskusi grup terpumpun yang dibuat oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Aceh. Barulah pada Sabtu dan Minggu aku pergi ke daerah Aceh Besar untuk reportase lapangan. 

Sabtu malam, sembari merampungkan proposal, aku juga sempat nge-Zoom untuk berbagi informasi seputar jurnalisme berperspektif anak yang digagas oleh Komunitas Revisi Qanun. 

Sepanjang minggu ini, aku memulai kesibukan dengan mempresentasikan proposalku di hadapan dewan juri pada Selasa. Ini sungguh mendebarkan, meskipun berlangsung secara daring, tetapi berhadapan dengan tiga dewan redaksi Tempo yang bertindak sebagai juri bukan persoalan gampang. Aku tak masalah dengan presentasinya, tetapi ide liputannya yang kurang sesuai dengan topik liputan investigasi membuatku masuk dalam kelompok yang tak lolos. Dari 20 peserta, juri hanya memilih enam orang saja untuk dibiayai. 

Aku malah bersyukur saat dua hari berikutnya diumumkan dan namaku tak masuk sebagai peserta yang lolos. Berkali-kali aku mengucapkan hamdalah. Selanjutnya, aku menyiapkan diri untuk webinar Penguatan Literasi Agama bagi Penghulu yang diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh pada Rabu, 27 Oktober. Sorenya setelah asar, dilanjutkan dengan proses penjurian calon Raja dan Ratu Baca Provinsi Aceh tahun 2021 yang dibuat oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh. 

Kamis pagi, aku menghadiri opening ceremonial di UIN Ar-Raniry untuk kegiatan yang dimulai pada hari ini. Selanjutnya kelas akan berlangsung dua kali Sabtu  berikutnya (jadwal tatap muka) dan Kamis (konsultasi/diskusi secara daring di grup WA). Karena ini pula aku terpaksa menolak tawaran menjadi moderator FGD untuk kegiatan yang diselenggarakan Kemenag. Sorenya, lanjut rapat dewan juri Raja dan Ratu Baca untuk membahas mekanisme pada penjurian hari terakhir.



Kemarin, seharian waktuku tersita untuk penjurian di DPKA. Aku pulang dan sampai ke rumah setelah azan Magrib berlalu, di tengah hujan yang mulai jatuh rintik-rintik. Tepat sampai ke rumah dan aku turun dari ojek online, hujan pun turun dengan lebatnya. Rupanya hujan semalam begitu awet, sampai pagi tadi langit masih dikulum mendung kemudian berubah menjadi titik-titik hujan yang meriangkan tumbuh-tumbuhan.

Aku bersantap siang seorang diri. Kupilih sebuah kafe di bilangan Jalan Panglima Nyak Makam. Hujan sudah turun sejak aku masih di kampus. Setelah kutimbang-timbang, aku urung pulang naik kendaraan umum, tetapi demi kulihat beberapa mahasiswi yang ada di area parkir, entah mengapa spontan aku menawarkan diri agar menjadi salah satu tumpangan mereka. Mahasiswi yang baik hati itu pun bersedia mengantarkanku hingga ke tujuan.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di sebuah kafe dengan konsep terbuka dan berada di dekat areal pertanian milik salah satu instansi. Aku menikmati makan siangku dengan santai. Tak lama kemudian pesana kopi dan camilan dihidangkan. Hujan-hujan seperti ini, menghirup kepulan uap kopi yang masih panas, rasanya.... ughhh..... Tapi, tiba-tiba saja aku terusik oleh rasa kangen yang jeri.[]

Rabu, 13 Oktober 2021

Surat-Surat untuk Arunika

Ilustrasi studybahasainggris.com


 

INI hari kelima Arunika menghabiskan dua puluh empat jam waktunya di rumah. Hari pertama, ia merasa happy-happy[1] saja, bahkan sangat menikmatinya. Bisa tidur dengan puas. Sesuatu yang terasa sangat mahal selama ini. Lalu bangun dan makan. Bisa leyeh-leyeh sambil menonton acara-acara favorit di situs penyedia layanan media streaming digital. Hari kedua Arunika mulai bereksperimen di dapur. Membuat puding dan sup iga favoritnya. Makan dengan hidangan yang dimasak sendiri ternyata bisa senikmat itu. Ia makan sampai dua kali tambah. Arunika jadi sedikit menyesal, mengapa selama ini ia membiarkan kesibukan merenggut nyaris seluruh waktunya. Hingga tak punya lagi tenaga untuk memasak.

Usai bersantap, Arunika bisa menghabiskan waktu sambil membaca buku-buku yang sudah kusam dan berdebu karena tak pernah disentuh selama ini. Keasyikan membaca hanya ia sudahi ketika azan bergema. Arunika tak pernah menyangka, di rumah saja selama berhari-hari ternyata senikmat ini. Otot-ototnya terasa regang dan longgar. Pikirannya yang selama ini selalu keruh karena beban pekerjaan menjadi lebih jernih. Sebagai seorang pekerja di lembaga bantuan hukum, Arunika telah menjelma menjadi sosok yang supersibuk. Makanya, momen di rumah ini sangat ia nikmati.

Namun, di hari-hari berikutnya Arunika mulai merasa jenuh. Aktivitas yang ia lakukan mulai terasa monoton. Tidur, bangun, mandi, makan, menonton, membaca, memasak, atau chatting, menjadi tidak asyik lagi. Arunika jadi kangen suasana kantor yang ramai. Kangen ketemu Inga yang masakannya juara dan sesekali memasak untuk mereka. Kangen celotehan Aryana yang mengalahkan cericit burung beo. Kadang-kadang terbit juga rasa kangen diomeli Bu Rani, bosnya yang sering kumat-kumatan galaknya. Kangen juga pada sapaan Pak Isa, satpam kantor yang tak pernah benar menyebut namanya.

“Selamat pagi, Bu Arungka.” Begitulah ia selalu menyapa Arunika.

“Arunika,” jawab Arunika yang tak pernah bosan mengoreksi.

“Eh, iya, Bu Arungka. Maaf, khilaf,” jawab Pak Isa lagi sambil tersenyum dan mengangguk-anguk.  

Kalau sudah begitu Arunika hanya bisa menggeleng-geleng sambil mengulum senyum yang tak mampu ia sembunyikan. “Khilaf apanya. Lidah Pak Isa perlu dikerok sama koin emas tuh kayaknya, seperti burung jalak, biar nggak khilaf lagi,” jawab Arunika sambil berlalu. Ia meninggalkan Pak Isa dengan wajah tersipu-sipu.

Membayangkan semua kebersamaan itu membuat Arunika semakin merasa terbelenggu. Semakin ia berusaha menghalau kejenuhan itu, semakin besar pula rasa jenuh itu muncul. Menjelma menjadi kerangkeng raksasa yang membuatnya tak bisa ke mana-mana. Kerangkeng itu adalah rumahnya sendiri. Dan ini baru hari kelima, sementara ia masih harus mengerangkeng dirinya di rumah selama belasan hari lagi.

Arunika merutuki dirinya. Ia kembali memutar otak. Dari siapa ia terinfeksi virus bermahkota itu. Namun, semakin dicari-cari rasanya tak kunjung ketemu di mana titiknya. Sebelumnya ia memang pernah bertemu dengan beberapa klien, tetapi ia merasa sudah mematuhi semua protokol kesehatan. Tak pernah lupa memakai masker, rajin cuci tangan, dan rutin menggunakan disinfektan. Hingga pekan lalu, saat bangun tidur Arunika merasa tubuhnya menggigil, penciumannya sedikit terganggu. Merasa curiga, ia pun memeriksakan dirinya ke laboratorium. Hasilnya? Sudah bisa ditebak.

Arunika bahkan tak berani membayangkan. Dia yang mobilitasnya sangat tinggi, tiba-tiba harus dipingit seperti ini. Kalau dipingit sebagai calon pengantin barangkali akan lain ceritanya. Pingitan ini membuatnya takut. Sulit sekali menyugesti diri kalau semuanya akan baik-baik. Kematian sesekali membayanginya. Mati sendirian. Dikubur tanpa dihadiri sanak keluarga. Arunika bergidik.

***

Nyaris seharian ini Arunika tidak melakukan apa-apa. Bahkan hampir tidak keluar kamar kecuali untuk ke kamar mandi ataupun salat. Rasa malas mulai menderanya. Ia merasa kehilangan gairah. Pesan-pesan yang masuk ke ponselnya untuk memberikan dukungan moral terus masuk. Kiriman makanan, buah, vitamin, susu, dan sayuran juga tak pernah putus. Arunika bersyukur banyak yang memperhatikannya. Namun, tetap saja ia merasa nelangsa. Arunika juga dibebaskan dari tugas-tugas kantor agar bisa fokus pada pemulihannya. Namun, beban kantor yang bertumpuk-tumpuk rasanya lebih baik daripada di rumah sendiri seperti ini tanpa seorang pun diperbolehkan menjenguk. Arunika merasa roda hidupnya berputar bukan karena virus sedang bersarang di tubuhnya, tetapi karena dia tidak bisa melihat hiruk pikuk di luar sana. Dia berusaha untuk bersikap normal, tetapi tetap saja semuanya tak sama.

Parahnya lagi, efek kebanyakan tidur di siang hari, sudah dua malam ini Arunika dilanda insonia. Dia baru tertidur setelah dini hari. Kondisi ini bukan saja membuat tubuhnya terasa lelah, tetapi juga pola istirahatnya jadi terganggu. Rasa suntuknya mulai bercabang-cabang.

Hari berikutnya Arunika baru bangun saat jarum jam genap pukul sebelas. Mungkin karena semalam ia baru bisa tidur menjelang pagi. Bisa juga karena sisa hujan semalam yang membuat langit hari ini dikulum mendung. Membuatnya tak sadar hari sudah siang. Cuaca seperti ini memang membuat malas. Namun, Arunika memaksa diri untuk tetap bangkit. Gontai ia melangkah dan membuka jendela kamar. Udara dan sedikit cahaya berebut masuk ke kamarnya. Bersamaan dengan itu, hidungnya menangkap aroma petrikor yang segar. Bersenyawa dengan aroma melati yang tumbuh di dekat jendela. Arunika menghirupnya berkali-kali. Suasana hatinya sedikit lebih baik.

Keasyikan menghidu perpaduan aroma itu membuat Arunika jadi berlama-lama berdiri di dekat jendela. Hingga netranya menangkap ada benda yang tergantung di pintu pagar. Sebuah beluam dari serat berwarna cokelat muda. “Apa itu?” batin Arunika.

Rasa penasaran membuatnya segera berlari ke luar untuk mengambil beluam itu. Beluam itu pasti sengaja ditaruh di sana dan memang ditujukan untuk Arunika karena posisinya ada di bagian dalam pagar. Arunika yakin itu sehingga diambilnya beluam itu tanpa ragu. Dipandanginya sebentar beluam yang di bagian lehernya diikat dengan pita merah. Arunika penasaran. Apa isi di dalamnya? Demi menenangkan rasa penasarannya yang mulai meronta-ronta, Arunika membuka beluam itu. Betapa terkejutnya dia saat tahu isinya hanya sebuah pesawat kertas.

Di bagian sayap sebelah kanan tertulis “Untuk Arunika”. Tak salah lagi. Beluam dengan isi pesawat kertas ini jelas-jelas tertuju untuknya. Namun, siapa yang mengirimnya? Apakah ini pesawat mata-mata? Arunika meneliti ke sayap sebelah kiri dan bagian perut pesawat. Tidak ada tulisan apa pun. Akhirnya ia putuskan untuk membongkar tubuh pesawat yang terbuat dari kertas HVS biru muda itu. Terdapat banyak kata-kata di dalamnya.

“Untuk Arunika Nirmala.”

Arunika membaca kalimat pertama itu dengan hati berdebar-debar. Siapa sih orang iseng yang menuliskan namanya dengan sangat lengkap. Dia selalu merasa tersanjung setiap kali namanya disebut dengan utuh. Ada kebahagiaan tersendiri yang merayapi relung batinnya. Saraf-saraf bibirnya mengendur.

“Andai kau tahu arti namamu. Atau kau memang sudah mengetahuinya?”

Arunika berhenti membaca. Ia malah jadi menyebut-nyebut namanya sendiri. Arunika Nirmala. Arunika Nirmala. Apa artinya?

Selama ini ia tak pernah berpikir tentang arti namanya. Orang-orang bilang namanya bagus, tetapi itu sama sekali tidak menggelitiknya untuk mencari tahu artinya. Arunika hanya tahu, nirmala adalah nama salah satu panti asuhan di kota ini. Arunika? Mungkinkah itu saudara jauhnya Srebenika? Ibunya juga tak pernah bercerita mengenai sejarah di balik pemberian nama itu.

“Barangkali kau tidak akan membiarkan matahari pagi berlalu begitu saja.” Refleks Arunika mengerutkan alis. Apa maksud orang ini menuliskan begitu?

“Memingit dirimu itu baik, karena itu artinya kau menjaga orang lain agar tidak ikut sepertimu. Tetapi mengurung diri terus-terusan di dalam rumah itu yang tidak baik.”

Alis Arunika semakin berkerut. Orang ini sudah menceramahinya. Ada sesuatu yang bergolak di dalam diriku. Arunika tidak terima. Bukannya Arunika tak tahu kalau berjemur di pagi hari baik untuk kesembuhannya.

“Keluarlah. Biarkan arunika menyiramimu.”

Hei. Orang ini menyebut namanya lagi. Eh, tapi tunggu dulu. Dia menuliskan arunika dengan huruf a kecil. Kalau sebuah nama seharusnya a besar, kan? Apa maksudnya arunika menyiramimu. Arunika semakin penasaran.

“Dua puluh atau tiga puluh menit di bawah matahari pagi tidak akan serta-merta membuatmu menjadi cokelat. Kalaupun iya, memangnya kenapa? Kau justru akan terlihat seperti Rihanna atau Chef Farah Quinn?”

Ha ha ha. Arunika tiba-tiba jadi terbahak-bahak. Padahal baru saja beberapa detik sebelumnya emosinya sedikit terusik. Namun, kini ia malah bisa tertawa lepas seperti itu. Otaknya langsung menghadirkan dua sosok mungil selebritas dengan kulit yang eksotis. Lalu ia alihkan perhatian pada kulitnya yang pucat.

Arunika masih ingin membaca surat itu, tapi sayangnya sudah tak ada kata-kata lagi yang bisa dibaca. Semuanya terasa menggantung. Si pengirim surat kaleng tampaknya sengaja membuat Arunika penasaran dan mencari sendiri apa makna dari namanya itu. Lalu buru-buru ia buka Google dan mengetikkan kata “arunika dan nirmala” secara terpisah di pencarian. Betapa takjubnya dia. Artinya sangat indah. Rasa hangat menjalari hatinya. Ingin dia berterima kasih pada orang itu.

Setelah membaca surat kaleng itu Arunika seperti mendapat suplai energi baru. Dilipatnya kembali kertas itu hingga menjadi seperti semula dan diletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sedangkan beluam tadi ia gantung di paku di ruang tamu. Arunika bergegas mandi. Dia jadi merasa lebih segar. Dan sepanjang itu pula senyum kecil senantiasa menghias bibirnya. Sesekali Arunika kembali tertawa lebar. Bagaimana bisa dia terpesona pada surat tak jelas itu?

Pagi ini Arunika bangun lebih awal. Pagi yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Tanpa cuci muka terlebih dahulu Arunika segera melongok ke pagar lewat jendela kamarnya. Kembali tergantung sebuah beluam dari kain beludru putih bersih. Buru-buru Arunika melesat ke halaman untuk mengambil beluam itu. Kali ini isinya sebuah buku. Sebuah novel terbitan terbaru dari penulis kenamaan. Dia tahu penulis itu, tapi belum pernah membaca buku-bukunya. Arunika tak suka buku-buku bergenre sastra.

“Wow!” Arunika takjub sambil membolak-balikkan novel tersebut.

Sampulnya manis. Seorang perempuan berkimono ungu dengan rambut tergerai memegang payung motif bunga sakura. Segera dibukanya buku itu. Namun, saat Arunika sedang membolak-balik halamannya, seperempat lembar kertas terjatuh. Juga tertulis: Untuk Arunika.

“Dalam keadaan seperti ini, bacalah buku-buku yang lebih ringan. Topik-topik tentang hukum atau yang berat-berat lainnya nanti saja dibacanya, Arunika Nirmala. Suplai pikiranmu dengan bacaan-bacaan yang menyenangkan. Buku ini asyik. Aku jamin!”

“Siapa sih kamu?” wajah Arunika jadi berubah serius.

Hari-hari berikutnya Arunika selalu mendapatkan kiriman tak bertuan setiap paginya. Arunika bingung, kapan seseorang yang menurutnya tak ada kerjaan itu menaruh beluam-beluam itu di pagar. Suatu malam, Arunika mematung di jendela kamarnya hingga lewat tengah malam untuk mengintai. Arunika ingin menangkap basah orang itu. Namun, tak ada siapa pun. Ia hanya melihat tetangganya yang bekerja di sebuah laboratorium baru pulang kerja. Seorang pemuda yang berprofesi sebagai dokter. Jarang sekali mereka berinteraksi karena memang sama-sama sibuk.

Pernah juga setelah salat Subuh ia coba memantau kembali, tetapi tetap tidak ada gelagat yang mencurigakan. Namun, saat hari sudah terang dan dia membuka jendela, selalu didapatinya ada yang tergantung di pintu pagar. Isinya macam-macam. Ada gantungan kunci. Lukisan mini. Beberapa butir permen. Bahkan pernah isinya cuma batu pipih yang sudah dilukis gambar daun. Pesannya pun sangat menggelitik: masih ada beberapa hari lagi, aku sudah bingung ingin memberimu apa. Bagaimana Arunika tak penasaran.

Tanpa sadar Arunika sudah berada di rumah genap tujuh belas hari. Empat belas hari masa karantina plus tiga hari untuk memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sehat. Tiba-tiba saja ia jadi menyadari satu hal. Bagaimana mungkin waktu selama itu bisa terlalui begitu saja? Ke mana rasa jenuh dan frustrasi yang pernah menyerangnya hebat di beberapa hari pertama karantina? Mengapa hari-harinya yang sempat terasa gloomy[2] tiba-tiba menjadi secerah mentari pagi. Meskipun seorang diri melewati semua itu, tetapi Arunika merasa seperti ada teman yang khusus menemani. Siapa dia? Hati kecil Arunika berbisik. Setiap kali bertanya pada diri sendiri, setiap kali pula ia teringat pada beluam-beluam yang tergantung di pagar. Selalu terbit pula senyumnya. Namun, pagi ini ia tidak melihat ada beluam yang tergantung di pagar. Hatinya sempat pias.

Buru-buru ia tepis perasaan tidak nyaman itu. Arunika pun pergi ke kamar mandi dan perlu bersiap-siap untuk ke laboratorium. Dia ingin melakukan rapid test, untuk memastikan bahwa dia sudah tidak reaktif lagi.

Di luar apa yang Arunika pikirkan, tetangga depan rumahnya yang sudah siap dengan setelan dinasnya tampak terburu-buru menggantungkan beluam biru muda di pagar rumah Arunika. Semalam dia tidur sangat pulas sehingga terlewatkan menggantungkan beluam yang biasa dilakukannya setiap kali bangun untuk salat Tahajud. Dialah yang sebelumnya memeriksa sampel Arunika di laboratorium. Dokter muda itu sempat kaget saat melihat nama tetangganya berada di daftar antrean tabung sampel yang harus diuji. Saat hasilnya keluar dan Arunika diketahui positif Covid-19, dia sempat ingin memberitahukannya secara langsung. Namun, ia tak cukup punya nyali.

Lalu sebuah ide konyol tiba-tiba muncul di pikirannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk “menemani” hari-hari Arunika selama masa karantina. Dia tahu Arunika gadis yang sibuk, tapi dia juga tidak begitu kuat untuk melewati semuanya. Dia harus mendukungnya.

 

Untuk Arunika:

Hebat! Kamu sudah melewati tujuh belas hari dengan baik. Semoga ke depan tak ada lagi yang memenjarakanmu seperti ini. Kecuali... kecuali terpenjara oleh rasa penasaran. :-D

 

Jantung Arunika jadi tak karuan setelah membaca isi surat kaleng itu yang disertai dengan sebuah cokelat premium. Berkali-kali ia meyakinkan diri kalau sesaat sebelum dirinya ke kamar mandi tadi, tak ada apa pun di pagar. Bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu sudah ada beluam di sana? Tiba-tiba ia mendengar suara sepeda motor tetangganya yang berangkat kerja. “Dokter Oding?” ia menebak-nebak.[]

 

Cerpen ini mendapatkan penghargaan Terbaik II Lomba Penulisan Cerita Wana be the Best Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh 2020

 

[1] Senang

[2] Muram 



Sabtu, 02 Oktober 2021

Permen Kopi di Bandara




 "Ketika hati patah, ke mana kita membawanya agar kembali pulih?"

Pertanyaan itu. Aku lupa, entah siapa di antara kita yang melontarkannya. Kita adalah dua orang asing yang dipertemukan dalam satu perjalanan dengan tujuan yang sama. Kita sama-sama terjebak di bandara ini. Uhm, kata terjebak rasanya terlalu berlebihan. Tapi, apa bedanya, toh kita memang harus menunggu lama untuk keberangkatan subuh nanti.

Malamnya, seperti juga aku, kau memutuskan menginap di bandara. Ada rest area yang nyaman untuk tidur selama beberapa jam. Ada charging box juga, jadi aku bisa menambah daya dengan leluasa di sana.

Sayangnya, sofa bed yang tersedia, meski empuk, tak bisa membuatku leluasa untuk meluruskan kaki. Jadinya, aku harus tidur sambil meringkuk. Kucoba alihkan perhatian pada tayangan televisi LED yang ada di ruangan. Nyaris semua chanel menayangkan kondisi Kota Palu dan beberapa kabupaten lain di Sulawesi Tengah yang sepekan lalu baru saja dihantam gempa dan tsunami. Tayangan itu sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik.

Suhu di ruangan ini tak ubahnya seperti di dalam kulkas saja. Dan, seperti juga kamu, rasa dingin yang menggigit-giti tulang membuatku tak bisa memejamkan mata walau sesaat saja. Padahal, tubuhku terasa sangat letih. Perlu tidur. Aku memang kurang bersahabat dengan suhu yang terlalu rendah. Jaket dan kupluk yang kupakai untuk membalut tubuh tak begitu menolong. Hawa dingin dari sejumlah standing air conditioner rasanya seperti masuk ke rongga-rongga telinga dan hidungku. Bisa mati kalau aku terus bertahan di ruangan ini. 

Sama juga sepertimu, lalu kuputuskan untuk keluar dari ruang istirahat. Aku menuju ruang tunggu yang terasa lebih hangat. Mungkin karena ruangan yang lebih luas. Juga masih ada orang yang berlalu lalang, jadinya hawa sejuk itu terserap oleh banyak tubuh.  

Sudah pukul setengah dua malam. Ruang tunggu yang tadinya ramai dengan lalu-lalang manusia mulai tampak lengang. Sejumlah penumpang terlihat merebahkan tubuh di kursi-kursi. Satu-satunya yang kulihat masih teronggok di kursi hanya kamu. Kalau bukan karena senyummu yang menawarkan pertemanan, barangkali aku urung melangkah.

"Kedinginan juga?" pertanyaan itu membuatku memutuskan untuk duduk sejajar denganmu. Kata orang, mengobrol bisa mengatasi kebekuan. Aku tidak terlalu yakin, tetapi kenapa tidak dicoba saja, kan?

"Mau ke mana?" 

Pertanyaan basa basi khas orang orang yang bepergian. 

"Palu."

"Sebagai relawan?"

Aku mengangguk. Meski sebetulnya bukan, tetapi hingga detik itu kau masih orang asing bagiku. 

"Aku juga akan ke Palu."

"Sebagai relawan juga?"

Kau mengangguk. Aku menangkap keraguan pada anggukanmu, tetapi seperti halnya aku, sampai detik itu aku pun orang asing bagimu. 

Kau menawarkan aku kopi. Permen kopi tepatnya, yang kuterima dengan senang hati. 

"Orang-orang yang suka kopi konon memiliki hati yang hangat."

"Dan karena itu hati mereka nyaman untuk didiami?"

Aku tak berharap kau menanggapi seserius itu. Tetapi memang, berawal dari situlah semuanya bermula. Kita bukan lagi orang asing yang beberapa menit lalu baru saja berkenalan, tetapi kita adalah sahabat lama yang bertemu kembali di ruang tunggu terminal bandara. Banyak cerita yang mengalir. Dari yang remeh temeh hingga hal-hal yang menurut kita serius, seperti asal usul kita. 

Namun, entah mengapa, tidak ada seorang pun di antara kita yang berusaha untuk mengenalkan atau menanyai nama masing-masing. Terbersit di hatiku untuk bertanya, tetapi sejurus kemudian aku teringat. Mengapa nama seolah-olah menjadi begitu penting. Apakah haram bercerita karena kita tidak tahu siapa nama lawan bicara kita?

Bukankah menyenangkan bercerita pada orang asing. Tidak perlu merasa malu karena toh kita tak akan pernah ketemu lagi dengan mereka?

Kulihat kau menerawang. Aku mengekori tatapanmu tanpa sedikit pun ingin menyela. Meski begitu benderang, tetapi wajahmu terlihat agak samar. Aku benar-benar sudah tidak merasa mengantuk lagi. Padahal seharian ini waktuku habis untuk perjalanan. Tidak ada istirahat yang begitu berarti. Di pesawat siang tadi pun sebentar saja aku bisa tidur.

"Palu... Bukankah terlalu berisiko untuk seorang sepertimu? Maksudku, bukankah ini perjalanan pertamamu ke sana, dan keadaannya sekarang sedang bencana. Sewaktu-waktu masih bisa terjadi gempa... Atau tanah bergerak."

Aku tidak menampik. Tetapi aku juga tidak pergi tanpa persiapan. Aku menunjukkan lembaran berisi cek list berbagai persiapan yang telah kulakukan. 

"Wow! Kau begitu detail." 

Aku senang mendengar suaramu yang antusias. Seolah-olah yang kulakukan ini di luar kebiasaan. Padahal, siapa pun yang terbiasa bepergian, lazim melakukan ini. Disadari atau tidak.

"Memang tidak ada yang merisaukan aku selain ibuku, tetapi kupikir, aku tidak ingin menyesal jika terjadi hal hal buruk padaku. Makanya aku buat cek list sebanyak ini, setidaknya aku tahu harus menghubungi siapa dan menghindari kondisi yang bagaimana saat di sana nanti. Aku juga sudah mencari tahu hotel yang masih bisa diinapi."

"Aku bahkan tak lagi punya orang tua. Masih punya beberapa kerabat, tetapi kuyakin mereka tidak peduli padaku. Aku terbiasa hidup sendiri... Setidaknya sejak beberapa bulan terakhir. Mungkin karena itu, nyaris tidak ada persiapan yang kulakukan, selain beberapa helai pakaian, beberapa obat untuk pertolongan pertama, dan... Tentu saja uang yang banyak. Hahahaha."

"Sebelumnya?"

"I have some one yang... setidaknya ada yang merecoki hidupku. Membuat hari-hariku sedikit lebih berwarna. Sesekali aku mengiriminya foto-foto hasil karyaku di dapur, atau kadang kadang kami bercerita tentang aktivitas masing-masing."

"Kau pandai memasak?"

"Aku terbiasa mandiri sejak kecil, menurutku memasak bukan kepandaian, tetapi itu kecakapan hidup yang harus kita kuasai. Paling tidak, memasak mi instan atau menanak nasi, kan?"

"Ya, kau benar. Seharusnya, reaksiku biasa-biasa saja, ya, tak ada yang perlu diistimewakan," aku seolah mengklarifikasi reaksi spontanku tadi.

Kau tergelak. Mengangguk sebagai tanda persetujuan.

"Oh ya, ke mana seseorang itu sekarang?"

"She is gone."

"Ups..."

"Setidaknya itulah kesimpulanku, sebab sebelumnya komunikasi di antara kami baik-baik saja. Aku bahkan tak pernah menduga dia pergi dengan tiba-tiba. Tak ada masalah, tak ada perdebatan, semuanya menjadi dingin dan canggung tiba-tiba."

"Mengapa kau berpikir kalau dia meninggalkan kamu?"

"Uhm.... entahlah, tapi soal itu aku mempunyai perasaan yang tajam. Suatu hari aku menemukan sesuatu di media sosialnya."

Kau membuat tanda telinga kelinci saat menyebutkan sesuatu. Aku mengangguk, meski tak paham apa yang kaumaksud, tapi yang pasti itu sungguhlah membuatmu kecewa dan sakit hati.

"Sejak itu  aku tidak lagi menaruh harapan padanya. Kupikir, tugasku sudah usai... "

"Tugas?"

"Ya, membantunya melewati masa-masa sulit, membantunya menemukan jati diri setelah terpuruk dan terpukul oleh kehidupan. Aku bersyukur karena dia masih bisa melihat dunia yang lebih terang dan indah..."

"Kamu tidak berusaha mengonfirmasi?"

"Aku bukan wartawan," ucapmu dengan senyum lirih.

Ya ampun, kau bahkan masih berusaha untuk melucu. Atau memang begitulah cara orang-orang sepertimu menghibur diri?

"Mereka dengan hati yang hangat konon lebih sering tersakiti."

"Mengapa harus?"

"Karena mereka memiliki kepedulian yang tinggi, apalagi terhadap orang yang suka merecoki hidupnya. Aku mengenal beberapa orang yang punya hasrat berkorban tinggi sepertimu."

"Apa termasuk dirimu sendiri?"

Hahahah. Giliran aku yang tergelak. Sial! Pandai sekali kau memancing segala yang kusembunyikan di dalam diriku. 

"Orang-orang yang merecoki hidup kita dalam tanda kutip memang seperti pisau bermata dua. Sewaktu-waktu memang bisa berbalik melukai," lanjutmu kemudian.

"Dan karena itu kau ke Palu?"

"Uhmmm..."

"Seseorang pernah bilang padaku, saat hati terluka kita hanya perlu mencari kesibukan, itu sebabnya banyak orang yang terluka memutuskan untuk mengembara..."

"Apa kita pengembara?"

"Hahahaha...."

"Ada kesakitan yang paling sakit, saat kita menyadari yang hilang dalam diri kita bukanlah sesuatu yang berbentuk..."

Lalu hening. Dan saat tak ada suara-suara yang merambat, hawa dingin kembali terasa menusuk-nusuk. Aku membuka WhatsApp. Membaca status teratas dari beberapa teman. Sudah dinihari, tetapi masih saja ada yang belum tidur. Masih ada yang membuat status. Status-status bernada muram.

"Barangkali mereka juga seperti kita."

Sepertinya kau tahu apa yang bermain di pikiranku.

"Orang orang sekarang lebih beruntung karena punya media untuk meluapkan emosi, bisa bikin status di medsos atau WhatsApp. Itu termasuk ampuh untuk mengurangi beban psikologis."

"Ya, aku setuju, tetapi tetap saja, tempat bercerita yang menyenangkan adalah kepada manusia. Manusia bisa merespons. Bisa menunjukkan empati. Sedangkan benda, secanggih apa pun tidak pernah bisa..."

"Tetapi saat kita tidak bisa menemukan seseorang yang tepat untuk bercerita bagaimana?"

"Kita bisa menciptakan manusia. Pikiran kita bisa menciptakan apa saja..."

Tepat setelah kau mengatakan itu, aku jadi tersentak. Aku terkejut saat kudapati tidak ada seorang pun di sampingku. Kosong. Kuedarkan pandangan ke ruangan yang terhampar. Orang-orang masih tergeletak di kursi. Tidak ada satu manusia pun yang berlalu-lalang. Juga tidak ada tanda-tanda ada pernah ada orang di sampingku sebelumnya... tetapi...bungkus permen kopi ini...

Lamat-lamat, pertanyaan "Ketika hati patah, ke mana kita membawanya agar kembali pulih?" muncul kembali di dalam diriku.[]


Jumat, 24 September 2021

Life Begin After Coffee with Scarlett Series

Foto Ihan Sunrise


FELICYA ANGELISTA. Nama artis yang satu ini memang akrab di kupingku. Bukan cuma nama, melainkan wajahnya pun sangat sering kulihat di layar kaca. Itu karena salah satu chanel televisi di rumah kami menayangkan sinema elektronik yang diperankan oleh Feli. Yap! Dunia Terbalik judulnya. Di sinetron itu, Feli memerankan karakter Tuti yang ikonik dan kejenakaannya sukses mengocok perut. Apalagi saat dia memanggil Momski dengan gaya manja untuk ibunya yang diperankan Mike Amalia.

Belakangan nama Feli menjadi ramai dibicarakan. Bukan, bukan karena dia terlibat gosip murahan seperti beberapa selebritas lainnya. Atau membuat gimmick tertentu untuk menarik perhatian publik. Namun, karena ia berhasil membuat brand beauty miliknya menjadi ramai diperbincangkan publik. Scarlett by Felicya Angelista. Begitulah jenama yang dipilih untuk mewakili aneka produk kecantikan, kosmetik, dan perawatan diri yang lahir dari tangan dingin artis muda kelahiran seperempat abad silam itu. 

Sampai di sini, tanpa bermaksud berlewah-lewah, saya kagum dengan sosoknya yang cukup merepresentasikan anak muda yang pantas ditiru. Feli adalah perpaduan sosok anak muda yang energik, mandiri, dan produktif. Sama seperti empunya, Scarlett pun berhasil tampil sebagai jenama produk yang merepresentasikan kemewahan dan ekslusif.

Felicya Angelista @Pikiran Rakyat


Sebagai new comer, Scarlett bisa dibilang cukup cepat diterima masyarakat. Ini bisa dilihat dari banyaknya jenis produk Scarlett yang berseliweran di lini masa media sosial (ku). Surprise-nya lagi, pada suatu malam, di grup WhatsApp yang isinya teman-teman lamaku, mereka membahas beberapa produk Scarlett yang sudah mereka pakai. 

"... dibanding dengan produk artis lain, Scarlett cukup rekomended dan harganya terjangkau," kata seorang teman setelah menyebutkan jenis produk yang dia pakai. 

"... Saya juga pengin coba yang warna putih. Mana tahu lebih wangi dari orange. Haha," kata teman yang ternyata sudah lama memakai Scarlett body lotion.  

"Saya pakai warna ini, sebelumnya warna kuning, sekarang waktunya coba warna ini, suka ditanya orang2 aku pakai parfum apa, padahal cuma pakai hand body Scarlett," komen teman yang lain.

Begitulah. Obrolan demi obrolan dengan topik perawatan tubuh dari Scarlett terus berlanjut di grup. Aku cuma menyimak, soalnya sampai detik itu, belum ada satu pun produk Scarlett yang pernah kucoba. Namun, testimoni dari teman-teman membuatku akhirnya mencoba tiga jenis produk perawatan kulit dasar dari Scarlett, yaitu body scrub, brightening shower scrub, dan body lotion masing-masing dengan aroma kopi yang memikat dan jolly yang lembut. Tiga produk ini termasuk rangkaian body care atau perawatan tubuh dari Scarlett.

Tiga varian produk Scarlett untuk perawatan tubuh dasar harian dan mingguan @Ihan Sunrise


Aku memang bukan tergolong orang yang telaten merawat kulit dengan pergi ke tempat spa atau klinik kecantikan lainnya, tetapi untuk perawatan dasar seperti scrubing dan memakai body lotion, rutin kulakukan. Jadi, meskipun kulitku cenderung eksotis, tetapi tetap sehat lo. Tidak kering dan kusam.

By the way, sebagai pencinta kopi, aku begitu klik dengan varian produk yang ini. Aromanya membuatku teringat pada roti boi. Andai bisa dicolek dikit dan dinyam-nyam... ha ha ha.

Life Begin After Coffee

Yess! Kopi memang cocok banget sebagai mood booster untuk memulai aktivitas harian. Sebagai pencinta--kalau tidak dibilang pencandu--kopi, aku tahu betul efek sugesti kopi. Secangkir kopi di pagi hari, akan menjadi penanak energi untuk sepanjang hari. Rutinitas pekerjaan yang kadang terasa menjemukan, menjadi lebih relaks kalau sudah meneguk secangkir kopi hitam atau sanger. Nah, jika biasanya menyesap kopi baru kumulai setelah tiba di kedai kopi atau kafe, dengan hadirnya dua varian produk berupa Scarlett scrubb dan shower scrub varian kopi, aku sudah bisa menyesap semerbak kopi sejak di kamar mandi.

Memiliki kulit yang sehat memang harapan semua orang, khususnya perempuan. Kulit yang sehat juga akan memberikan efek positif berupa meningkatnya rasa percaya diri. Namun, untuk mendapatkan kulit sehat tak cukup hanya dengan mengasup makanan dari dalam tubuh saja, tetapi juga penting memberikan sentuhan eksternal untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sebagai organ terluar manusia, kulit menjadi "lapangan" tempat mendaratnya partikel-partikel debu atau kotoran lainnya. Efeknya kulit jadi kusam, tak jarang malah ada yang sampai bersisik. Salah satu sebabnya karena menumpuknya sel-sel kulit mati dan berkembang biaknya kuman atau bakteri.

Namun, tak perlu khawatir, sel kulit mati ini bisa dikikis kok dengan eksfoliasi atau pengelupasan yang lazimnya dikenal dengan istilah scrubbing. Syaratnya cuma perlu telaten melakukan minimal dua kali seminggu. 

Scarlett Body Scrub mengandung vitamin E dan glutathione yang bermanfaat untuk: 

1. Membantu mengangkat sel kulit mati, 

2. Mengembalikan kelembaban kulit, 

3. Membantu mencerahkan kulit, 

4. Membantu melancarkan peredaran darah, 

5. Sebagai sarana untuk relaksasi tubuh, 

6. Meregenerasi kulit setelah eksfoliasi, 

7. Meningkatkan kadar hidrasi yang dibutuhkan kulit.

Bagi kamu yang suka varian lain juga tersedia varian Romansa dan Pomegrante dengan floral-fruity gourmand.

Cara scrubbing juga sangat mudah, kamu bisa melakukannya di pagi hari dan hanya perlu mempercepat jadwal mandimu beberapa menit saja dari biasanya. Pertama, balurkan scrub ke bagian tubuh yang ingin di-scrubbing, kemudian diamkan sekitar 3-5 menit atau setengah mengering (sembari ini kamu bisa gosok gigi :-D), selanjutnya gosok perlahan scrub sehingga sel-sel kulit mati di tubuhmu bisa terangkat.

Shower scrub
Setelah selesai bilas tubuh dengan menggunakan shower scrub untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Berbeda dengan scrub, kamu bisa menggunakan shower scrub setiap hari. Setelah selesai mandi, baru deh kamu mengaplikasikan body lotion ke seluruh tubuh untuk menutrisi kembali. 

Shower scrub ini mengandung colagen, glutathione, vitamin E, dan beads yang berfungsi untuk membantu memaksimalkan saat membersihkan tubuh, membantu mengangkat sel-sel kulit mati, membuat kulit jadi lebih halus setelah eksfoliasi, membantu mengembalikan kelembaban kulit, dan membantu mencerahkan kulit. Selain yang varian coffee, juga ada wangi mango, cucumber, dan pomegrante.

Body lotion varian Jolly 

Sedangkan yang body lotion variannya lebih beragam, seperti romansa, fantasia, charming, freshy, dan jolly. Berbagai aroma ini bisa disesuaikan dengan kepribadian kamu. Kalau yang jolly, seperti yang saat ini kupakai, aromanya lembut dan menurutku sangat feminin. Meski begitu, tetap menyatu meskipun aku mandi dengan shower scrub aroma kopi. Dengan Shower Scrub dan Body Scrub Perfect Coffee Edition ini, aku bisa mendapatkan double manfaat: untuk kulit dan mood yang menenangkan. Horeee......

Oh ya, sebagai info tambahan untuk kamu yang penasaran dengan rangkai body series dari Scarlett, produk ini sudah mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia lo, sudah teregister juga di Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) RI. Selain itu juga aman dipakai oleh ibu hamil, tetapi untuk lebih yakin ada baiknya konsultasi dengan dokter kamu dulu. Harganya, seperti yang dibilang sama temenku juga ekonomis. Body scrub isi 250 mili,  shower scrub isi 300 mili, dan body lotion isi 300 mili masing-masing hanya Rp75 ribu. Kamu juga bisa mendapatkan produknya dengan membeli secara online via:

Line @scarlett_whitening
Shopee: Scarlett_Whitening
Shopee Mall: Scarlett Whitening Official Shop
Whatsapp: 0877-0035-3000

***

Jumat, 09 Juli 2021

Love Me Like There's No Tomorrow


 

Cintai aku seperti tidak ada hari esok.

Kira-kira, seperti itulah terjemahan dari judul tulisan ini. Kalimat itu kutemukan di awal paragraf salah satu bab dalam Time of Your Life--Bagimu, masa muda hanya sekali-- yang ditulis Rando Kim, seorang profesor di Seuol National University. Kalimat itu terdengar romantis. Bagi penggemar Freddie Mercury, mungkin lagu ini sudah familier di telinga mereka. Namun, tidak denganku. Satu-satunya lagu Freddie-Queen yang akrab di telingaku cuma I want to break free. Yeah! Aku ingin bebas!

Kalimat itu membuatku gayang. Tentu bukan dalam arti sebenarnya. Setidaknya, membuatku tergerak untuk membuka laman ini dan terbersit ingin menuliskan sesuatu. Walaupun, walaupun setelah layar terbuka dan jari-jemari sudah bertengger di atas kibor, aku malah dilanda kebingungan. Apa yang harus kutulis? Pada akhirnya, aku cuma bisa menatapi layar ....

Dua tahun lalu, aku mewawancarai seorang pria paruh baya. Kami sepakat membuat janji temu di salah satu kafe premium di kota ini. Soal tempat, kubiarkan dia yang memutuskan. Walau bagaimana pun, kenyamanan orang yang akan diwawancarai tetaplah menjadi prioritasku. Selama, tempat itu mudah diakses, terbuka untuk publik, dan, tentu saja, ini yang paling penting: tidak berisik.

Kami janji ketemu sore hari setelah asar, tetapi pria itu datang agak terlambat. Itu tidak masalah buatku karena sepanjang sore hingga magrib memang sudah kusediakan waktu untuknya. Jadi, kalaupun dia datang terlambat, masih ada waktu untuk berbincang. 

Pria itu mengenakan setelah jin dan kemeja lengan pendek. Meskipun kepalanya tertutupi topi sejenis beret, jelas sekali kalau kepalanya sudah dipenuhi uban. Usia memang tak bisa menipu. Namun, ia masih terlihat gagah. Posturnya yang tinggi besar meneguhkan kesan itu. Jalannya masih tegak. Selera humornya juga bagus. Barangkali itu resep dia tampak lebih segar dan bersemangat meski usianya sudah setengah abad lebih. Sepanjang wawancara berlangsung, suasana terasa sangat cair. Lebih mirip obrolan dengan seorang kenalan baru. Dia juga tak canggung saat menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tentang keluarganya, tentang siapa dirinya.

"Keluarga kami bukan orang berada," katanya di tengah perbincangan, "ayah saya meninggal dunia terlalu cepat," katanya lagi.

Itu sebabnya, sebagai anak lelaki tertua, dia mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih besar menggantikan ayahnya. Adik-adiknya perlu sekolah, mereka juga perlu biaya hidup, dialah yang harus memenuhi biayanya. 

"... itu sebabnya anak saya masih kecil," dia menunjuk ke arah seorang remaja berusia sekolah menengah atas, menuntun seorang balita yang tak lain adalah adiknya. 

Keduanya adalah anak pria yang duduk di hadapan saya. Dia lantas menyuruh mereka menunggu di kursi lain.

Aku menyimak ceritanya. Pria itu, saat teman-teman sebayanya sibuk menjalin kisah asmara, bersekolah tanpa perlu dipusingkan dengan biaya SPP, dia malah mengabaikan segala kesenangan masa mudanya untuk mengurus adik-adiknya. Di akhir cerita, adiknya lulus sebagai sarjana, saat itu, dia merasa etape terberatnya sebagai seorang abang sedikit berkurang. Barulah kemudian dia memikirkan dirinya sendiri, menemukan belahan jiwa, menikah, dan... meniti kariernya yang memang telah dibangun sejak awal.

Ketika malam ini aku membaca Time of Your Life dan menemukan judul tembang lagu yang menjadi judul tulisan ini, entah mengapa ingatanku malah melayang pada pria paruh baya itu. Aku menemukan makna dari kalimat itu. Makna yang sangat dalam. Itulah ekspresi cinta yang sebenarnya. Yang membuat kita selalu tak sabaran, bahkan terpikir bahwa tak ada lagi hari esok untuk mengekspresikan cinta. Cinta yang besar, yang tak bisa menunggu waktu, selalu berbarengan dengan pengorbanan, kan? Meskipun pria itu tak pernah mengatakan "i love you", tetapi bukti cintanya pada keluarga tentulah sangat besar.

Sebagai individu yang pernah merasakan jatuh cinta. Aku pun kerap begitu. Cinta selalu membuatku tak pernah bisa bersabar. Misalnya, aku selalu merasa malam selalu panjang; hanya agar aku bisa mengucapkan selamat pagi pada kekasihku. Atau, aku merasa waktu dua belas bulan di Bumi seperti di Pluto, karena aku ingin selalu menjadi yang pertama memberi ucapan ketika kekasihku berulang tahun. 

Namun, ternyata ketidaksabaranku itu masih tidak ada apa-apanya dibandingkan ketidaksabaranku jika menyangkut dengan ibu. Satu-satunya orang tua yang kupunya sekarang. 

Aku masih ingat betapa jarak Banda Aceh--Idi Rayek terasa sangat jauh saat pulang untuk menengok ibu yang telah dibawa ke rumah sakit. Begitu juga jarak Idi Rayek--Banda Aceh, yang rasanya seperti tak sampai-sampai saat mendampingi ibu di dalam ambulans yang membawanya ke rumah sakit terbesar di Banda Aceh. Menyaksikannya termegap-megap seperti ikan menggelepar di daratan, aku bahkan tak sempat berpikir jika hari esok masih ada. Saat berbulan-bulan ibu dirawat di ruang intensif, aku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Dan karena terlalu banyak berdiri, betisku sudah seperti balok kerasnya. Aku bahkan tak lagi bisa merasakan seperti apa rasanya lelah. Begitulah, aku selalu merasa bahwa esok adalah misteri, waktu yang kupunya untuk menunjukkan bahwa aku sangat mencintai ibuku hanya hari itu. Saat itu. Jadi aku tak ingin melewatkan sedikit pun kesempatan. Jangan ada sedetik pun yang sia-sia. Ibu harus tahu kalau aku mencintainya. 

Itulah, itulah yang selalu kulakukan pada orang-orang yang kucintai; aku tak pernah sungkan menyatakan perasaanku. Entah dengan sikap, perlakuan, emosi, atau dengan sesuatu. Selalu berusaha mendahulukan selama memungkinkan. Walaupun, kadang-kadang, ego juga melunjak. 

Sekali waktu di Hari Ibu. Sambil memeluk dan menciumnya, kuselipkan sepotong kertas bertuliskan perasaan cinta yang dalamku padanya. Di waktu yang lain, ketika aku sudah punya uang lebih, kubelikan sepotong kue tar dan selembar baju gamis untuk ibu di Hari Ibu. Tangisnya pecah. Kata terima kasih disertai doa panjang terucap di bibirnya. Itulah, itulah cinta yang seolah seperti tak ada hari esok.

Begitu juga pada kekasihku. Sekali waktu, aku memberikan lukisan sebagai kado hari ulang tahunnya. Di lain waktu, aku hanya bisa menuliskan pesan pendek yang kukirim ke ponselnya. Tentang hari esok... aku tidak tahu, apakah aku masih mencintainya, ataukah dia masih mencintaiku. Esok, entah dia masih mau bertemu denganku, atau justru aku yang sudah enggan bertemu dengannya. Karena esok, aku tidak pernah tahu, cinta yang dalam dan besar entah masih perlu disampaikan dengan pesan dan lisan, atau cukup dikirimkan lewat doa-doa yang pendek saja; semoga selalu bahagia, selalu hidup dalam cinta, selalu ... selalu... selalu....

Jadi, kupikir, berusaha datang lebih awal dalam setiap janji temu, adalah ekspresi dari cinta. Berusaha memberi meskipun tak pernah dipinta, juga ekspresi cinta. Tetapi kadang-kadang, merelakan juga bagian dari ekspresi cinta... sebab, jika hari ini kita tak pernah bisa merelakan, besok pun mungkin tak pernah bisa...[]

Jumat, 02 Juli 2021

Kapan Terakhir Kali Kita Berdua?

Sumber foto: pixabay


Kapan terakhir kali kita berdua? Duduk, untuk saling sekadar menautkan jari jemari di atas meja. Saling menatap dalam diam. Membiarkan perasaan melanglang buana. Seperti elang yang mengepakkan sayap di cakrawala.

Kau, mungkin, sambil menikmati secangkir cokelat panas. Yang dihidangkan dalam cangkir porselen bergambar abstrak. Aku? Mungkin hanya memesan secangkir kopi. Mungkin. Karena akhir-akhir ini kami mulai tak bersahabat. 

Setiap minum kopi, malamnya aku selalu terjaga, bahkan hingga menjelang pagi. Itu menyiksa. Bukan, bukan karena tak bisa tidur. Tetapi karena insomnia selalu melahirkan konspirasi. Menghadirkanmu dalam berbagai fragmen kebersamaan kita. Itu sangat menyiksa.

To the Bone-nya Pamungkas mengalun lembut. Aku suka bait-baitnya. Merepresentasikan apa yang kurasa saat ini. Matahari mulai tinggi. Tetapi aku masih di sini, menikmati hangat yang bercampur semilir angin. Duduk di tepi sungai. Memandangi permukaannya yang bergelombang dipermainkan angin. Ikan-ikan kecil sesekali tampak bergerombol. Mereka sedang bercanda atau ada pemangsa yang sedang mengejar?

Beberapa perahu tertambat di pinggir sungai. Aku memperhatikannya satu-satu. Berwarna-warni. Ada merah, hijau, kuning, putih. Tapi itu bukan pelangi. Meskipun itu pelangi, aku bukanlah pengagum pelangi. 

Perahu itu... apa bedanya dengan manusia. Kita, dilahirkan untuk kemudian berkelana di laut lepas. Kehidupan ini adalah lautan mahaluas, kan? Pada saatnya, kita tetap perlu menepi dan berlabuh. Perlu dermaga untuk melempar sauh. Atau jangkar. 

Saat itu, mungkin kita akan memulai kehidupan baru. Mungkin juga karena terlampau lelah. Perlu waktu sejenak untuk beristirahat. Atau karena sudah terlampau rapuh dan tak berdaya? Siapa yang sanggup terus-terusan digumul gelombang? Siapa yang sanggup terus-terusan dipanggang matahari. Yang, ketika di samudra ukurannya terasa lebih besar dan cahayanya terasa seperti besi yang meleleh.

Berlabuh artinya berhenti seumur hidup? Berlabuh, artinya, pergi untuk selama-lamanya? Entahlah ....

***

Kapan terakhir kali kita berdua. Pertanyaan itu sangat klise. Aku pun mulai enggan bertanya. Di tepi sungai, aku masih duduk sambil memandangi rumput sebagai alas duduk. Ujung-ujungnya lancip, serupa pensil yang diraut dengan pisau lipat. Dengannya seseorang bisa menuliskan apa saja tentang kisah hidupnya; di atas lembar daun sewarna cengkih kering, atau di atas papan lusuh sewarna sabut kelapa. 

Angin masih bertiup. Matahari makin meninggi. Cahayanya menyilaukan. Di seberang sana jejak-jejak masa lalu kembali muncul. Dan kau muncul sebagai seorang musafir.[]


Minggu, 25 April 2021

Edukasi Bencana di Produk Kerupuk Teripang Raja Gubang

Kerupuk Teripang Raja Gubang @Bukalapak


KERUPUK teripang? Bagi sebagian orang mungkin masih asing dengan nama olahan kerupuk yang satu ini. Tetapi bagi masyarakat Kabupaten Simeulue, ini menjadi salah satu produk UMKM andalan yang telah mengangkat nama kabupaten itu. Teripang merupakan jenis hewan laut dengan tekstur tubuh yang lunak (avertebrata) dan menyukai dasar laut. 

Di tangan kreatif warga Simeulue, hewan ini mampu disulap menjadi kudapan yang gurih dan bergizi tinggi. Produk ini turut menghiasi stan Kabupaten Simeulue dalam UMKM Expo 2019 yang dihelat oleh Dinas Koperasi dan UKM Aceh pada 22-26 November 2019 lalu di Banda Aceh.

Usaha kerupuk teripang ini dirintis oleh seorang pria bernama Zulfikar Zaintisa dengan istrinya yang dimulai antara tahun 2006-2007 silam. Kini telah lebih dari sepuluh tahun, produk yang dipasarkan dengan jenama Kerupuk Teripang Raja Gubang ini masih mampu bertahan. 

Saat berbincang-bincang dengan Sukma pada 23 November 2019 lalu, Zulfikar mengakui bila dalam merintis usaha ini ada tantangan tersendiri. Terutama dalam mendapatkan bahan baku, ia harus menyelam hingga kedalaman 30 meter di bawah permukaan laut. Apalagi saat cuaca buruk, tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Itu pula yang membuatnya kadang-kadang juga membeli teripang dari nelayan yang harganya sangat mahal untuk kualitas terbaik, mencapai Rp3 juta per kilogram.

“Untuk produk ini kita menggunakan teripang kualitas terbaik,” ujarnya kepada Tabloid Sukma.

Selain teripang, bahan baku lain yang digunakan untuk mengolah produk ini adalah tepung sagu dan rumput laut. Diracik dengan rempah-rempah lain seperti bawang putih, sedikit gula dan garam untuk menambah cita rasa. Selain memiliki rasa original, Zulfikar juga membuat varian lain di antaranya kerupuk teripang rasa jengkol. 

“Kami tidak menggunakan penyedap, pengawet, maupun pewarna buatan, jadi ini sangat alami, sehat dan aman dikonsumsi,” ujarnya.

Teripang ini kata Zulfikar, tidak hanya nikmat di lidah, tetapi juga memiliki manfaat kesehatan seperti kandungan kolagen yang dipercayai mampu memperbaiki sel-sel tulang rawan dengan cepat, membantu percepatan penyembuhan luka, reumatik, encok, asam urat, diabetes, maaf, dan hepatitis. 

Saat ekspo digelar, Zulfikar tidak hanya menyajikan kerupuk untuk pengunjung, tetapi juga sup teripang yang disajikan dengan campuran mi hun. Produknya juga sudah lulus uji LPPOM Majelis Ulama Aceh. Sehingga dari segi kehalalan tak perlu diragukan lagi.

 Saat ini, usaha yang dikelola Zulfikar mampu mempekerjakan enam pegawai yang sebagian besarnya adalah keluarganya sendiri. Pria itu mengaku memiliki ketertarikan khusus pada semangat berwirausaha, oleh karena itu setelah menikah ia fokus mengembangkan usaha berbasis bahan baku lokal.

“Walaupun untuk saat ini produk kami masih dipasarkan di Aceh dan sesuai dengan permintaan konsumen saja, apalagi ini produk baru bukan seperti kopi yang memang sudah dikenal luas, membuat produk ini memiliki tingkat kesulitannya sendiri,” ujarnya. 

Namun, yang disyukuri oleh Zulfikar, pemerintah telah turun tangan dalam membantu usahanya melalui dukungan peralatan dan melibatkannya dalam pameran-pameran UMKM seperti itu.

Dengan distribusi produk yang masih terbatas, omzet yang didapatnya masih berkisar di angka Rp3-5 juta per bulan. Soal distribusi ini kata Zulfikar, turut dipengaruhi oleh letak Simeulue yang masih sulit dijangkau. Memerlukan waktu lama untuk sampai ke sana. Ia mencontohkan, kalau dari Banda Aceh bisa sampai dua harian baru sampai ke Simeulue, itu pun tergantung cuaca.

“Jadi kalau ingin berkunjung ke Simeulu itu harus mempunyai mental baja,” kata Zulfikar lagi sambil tertawa ramah.

Namun sebagai pengusaha ia mengaku harus siap dengan segala kondisi. Oleh karenanya, meskipun jarak yang cukup jauh, tetapi ia bertekad bisa berpartisipasi dalam event yang digelar Pemerintah Aceh ini. Dengan begitu produknya bisa semakin dikenal luas oleh masyarakat.

“Saya berharap pasar-pasar UMKM diperbanyak, ini bukan saja untuk memperkenalkan produk lokal, tapi juga membuat usaha masyarakat hidup,” katanya.

Menariknya, Zulfikar juga menyelipkan pesan-pesan edukasi mitigasi bencana dalam produknya. Ini merupakan terobosan baru dalam pengemasan produk UMKM. Melalui inovasi ini Zulfikar setidaknya telah mengajarkan kepada kita bahwa kearifan lokal yang mengangkat nilai-nilai maupun pesan-pesan tradisi bisa disandingkan di mana saja.

Berikut syair yang terdapat di kemasan produk Kerupuk Teripang Raja Gubang:

Smong dumek-dumekmo

Linon uwak-uwakmo

Elai kedang-kedangmi

Kilek sulu-sulumo

 

Tsunami mandi-mandimu

Gempa buaian-buaianmu

Gemuruh gendang-gendangmu

Petir cahaya-cahayamu


Tibo nelinon fesang

Uwek asen suruik

Mahea kumuding mek delong

Saat gempa datang

Air laut surut

Segera lari ke gunung