Sabtu, 02 Oktober 2021

Permen Kopi di Bandara




 "Ketika hati patah, ke mana kita membawanya agar kembali pulih?"

Pertanyaan itu. Aku lupa, entah siapa di antara kita yang melontarkannya. Kita adalah dua orang asing yang dipertemukan dalam satu perjalanan dengan tujuan yang sama. Kita sama-sama terjebak di bandara ini. Uhm, kata terjebak rasanya terlalu berlebihan. Tapi, apa bedanya, toh kita memang harus menunggu lama untuk keberangkatan subuh nanti.

Malamnya, seperti juga aku, kau memutuskan menginap di bandara. Ada rest area yang nyaman untuk tidur selama beberapa jam. Ada charging box juga, jadi aku bisa menambah daya dengan leluasa di sana.

Sayangnya, sofa bed yang tersedia, meski empuk, tak bisa membuatku leluasa untuk meluruskan kaki. Jadinya, aku harus tidur sambil meringkuk. Kucoba alihkan perhatian pada tayangan televisi LED yang ada di ruangan. Nyaris semua chanel menayangkan kondisi Kota Palu dan beberapa kabupaten lain di Sulawesi Tengah yang sepekan lalu baru saja dihantam gempa dan tsunami. Tayangan itu sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik.

Suhu di ruangan ini tak ubahnya seperti di dalam kulkas saja. Dan, seperti juga kamu, rasa dingin yang menggigit-giti tulang membuatku tak bisa memejamkan mata walau sesaat saja. Padahal, tubuhku terasa sangat letih. Perlu tidur. Aku memang kurang bersahabat dengan suhu yang terlalu rendah. Jaket dan kupluk yang kupakai untuk membalut tubuh tak begitu menolong. Hawa dingin dari sejumlah standing air conditioner rasanya seperti masuk ke rongga-rongga telinga dan hidungku. Bisa mati kalau aku terus bertahan di ruangan ini. 

Sama juga sepertimu, lalu kuputuskan untuk keluar dari ruang istirahat. Aku menuju ruang tunggu yang terasa lebih hangat. Mungkin karena ruangan yang lebih luas. Juga masih ada orang yang berlalu lalang, jadinya hawa sejuk itu terserap oleh banyak tubuh.  

Sudah pukul setengah dua malam. Ruang tunggu yang tadinya ramai dengan lalu-lalang manusia mulai tampak lengang. Sejumlah penumpang terlihat merebahkan tubuh di kursi-kursi. Satu-satunya yang kulihat masih teronggok di kursi hanya kamu. Kalau bukan karena senyummu yang menawarkan pertemanan, barangkali aku urung melangkah.

"Kedinginan juga?" pertanyaan itu membuatku memutuskan untuk duduk sejajar denganmu. Kata orang, mengobrol bisa mengatasi kebekuan. Aku tidak terlalu yakin, tetapi kenapa tidak dicoba saja, kan?

"Mau ke mana?" 

Pertanyaan basa basi khas orang orang yang bepergian. 

"Palu."

"Sebagai relawan?"

Aku mengangguk. Meski sebetulnya bukan, tetapi hingga detik itu kau masih orang asing bagiku. 

"Aku juga akan ke Palu."

"Sebagai relawan juga?"

Kau mengangguk. Aku menangkap keraguan pada anggukanmu, tetapi seperti halnya aku, sampai detik itu aku pun orang asing bagimu. 

Kau menawarkan aku kopi. Permen kopi tepatnya, yang kuterima dengan senang hati. 

"Orang-orang yang suka kopi konon memiliki hati yang hangat."

"Dan karena itu hati mereka nyaman untuk didiami?"

Aku tak berharap kau menanggapi seserius itu. Tetapi memang, berawal dari situlah semuanya bermula. Kita bukan lagi orang asing yang beberapa menit lalu baru saja berkenalan, tetapi kita adalah sahabat lama yang bertemu kembali di ruang tunggu terminal bandara. Banyak cerita yang mengalir. Dari yang remeh temeh hingga hal-hal yang menurut kita serius, seperti asal usul kita. 

Namun, entah mengapa, tidak ada seorang pun di antara kita yang berusaha untuk mengenalkan atau menanyai nama masing-masing. Terbersit di hatiku untuk bertanya, tetapi sejurus kemudian aku teringat. Mengapa nama seolah-olah menjadi begitu penting. Apakah haram bercerita karena kita tidak tahu siapa nama lawan bicara kita?

Bukankah menyenangkan bercerita pada orang asing. Tidak perlu merasa malu karena toh kita tak akan pernah ketemu lagi dengan mereka?

Kulihat kau menerawang. Aku mengekori tatapanmu tanpa sedikit pun ingin menyela. Meski begitu benderang, tetapi wajahmu terlihat agak samar. Aku benar-benar sudah tidak merasa mengantuk lagi. Padahal seharian ini waktuku habis untuk perjalanan. Tidak ada istirahat yang begitu berarti. Di pesawat siang tadi pun sebentar saja aku bisa tidur.

"Palu... Bukankah terlalu berisiko untuk seorang sepertimu? Maksudku, bukankah ini perjalanan pertamamu ke sana, dan keadaannya sekarang sedang bencana. Sewaktu-waktu masih bisa terjadi gempa... Atau tanah bergerak."

Aku tidak menampik. Tetapi aku juga tidak pergi tanpa persiapan. Aku menunjukkan lembaran berisi cek list berbagai persiapan yang telah kulakukan. 

"Wow! Kau begitu detail." 

Aku senang mendengar suaramu yang antusias. Seolah-olah yang kulakukan ini di luar kebiasaan. Padahal, siapa pun yang terbiasa bepergian, lazim melakukan ini. Disadari atau tidak.

"Memang tidak ada yang merisaukan aku selain ibuku, tetapi kupikir, aku tidak ingin menyesal jika terjadi hal hal buruk padaku. Makanya aku buat cek list sebanyak ini, setidaknya aku tahu harus menghubungi siapa dan menghindari kondisi yang bagaimana saat di sana nanti. Aku juga sudah mencari tahu hotel yang masih bisa diinapi."

"Aku bahkan tak lagi punya orang tua. Masih punya beberapa kerabat, tetapi kuyakin mereka tidak peduli padaku. Aku terbiasa hidup sendiri... Setidaknya sejak beberapa bulan terakhir. Mungkin karena itu, nyaris tidak ada persiapan yang kulakukan, selain beberapa helai pakaian, beberapa obat untuk pertolongan pertama, dan... Tentu saja uang yang banyak. Hahahaha."

"Sebelumnya?"

"I have some one yang... setidaknya ada yang merecoki hidupku. Membuat hari-hariku sedikit lebih berwarna. Sesekali aku mengiriminya foto-foto hasil karyaku di dapur, atau kadang kadang kami bercerita tentang aktivitas masing-masing."

"Kau pandai memasak?"

"Aku terbiasa mandiri sejak kecil, menurutku memasak bukan kepandaian, tetapi itu kecakapan hidup yang harus kita kuasai. Paling tidak, memasak mi instan atau menanak nasi, kan?"

"Ya, kau benar. Seharusnya, reaksiku biasa-biasa saja, ya, tak ada yang perlu diistimewakan," aku seolah mengklarifikasi reaksi spontanku tadi.

Kau tergelak. Mengangguk sebagai tanda persetujuan.

"Oh ya, ke mana seseorang itu sekarang?"

"She is gone."

"Ups..."

"Setidaknya itulah kesimpulanku, sebab sebelumnya komunikasi di antara kami baik-baik saja. Aku bahkan tak pernah menduga dia pergi dengan tiba-tiba. Tak ada masalah, tak ada perdebatan, semuanya menjadi dingin dan canggung tiba-tiba."

"Mengapa kau berpikir kalau dia meninggalkan kamu?"

"Uhm.... entahlah, tapi soal itu aku mempunyai perasaan yang tajam. Suatu hari aku menemukan sesuatu di media sosialnya."

Kau membuat tanda telinga kelinci saat menyebutkan sesuatu. Aku mengangguk, meski tak paham apa yang kaumaksud, tapi yang pasti itu sungguhlah membuatmu kecewa dan sakit hati.

"Sejak itu  aku tidak lagi menaruh harapan padanya. Kupikir, tugasku sudah usai... "

"Tugas?"

"Ya, membantunya melewati masa-masa sulit, membantunya menemukan jati diri setelah terpuruk dan terpukul oleh kehidupan. Aku bersyukur karena dia masih bisa melihat dunia yang lebih terang dan indah..."

"Kamu tidak berusaha mengonfirmasi?"

"Aku bukan wartawan," ucapmu dengan senyum lirih.

Ya ampun, kau bahkan masih berusaha untuk melucu. Atau memang begitulah cara orang-orang sepertimu menghibur diri?

"Mereka dengan hati yang hangat konon lebih sering tersakiti."

"Mengapa harus?"

"Karena mereka memiliki kepedulian yang tinggi, apalagi terhadap orang yang suka merecoki hidupnya. Aku mengenal beberapa orang yang punya hasrat berkorban tinggi sepertimu."

"Apa termasuk dirimu sendiri?"

Hahahah. Giliran aku yang tergelak. Sial! Pandai sekali kau memancing segala yang kusembunyikan di dalam diriku. 

"Orang-orang yang merecoki hidup kita dalam tanda kutip memang seperti pisau bermata dua. Sewaktu-waktu memang bisa berbalik melukai," lanjutmu kemudian.

"Dan karena itu kau ke Palu?"

"Uhmmm..."

"Seseorang pernah bilang padaku, saat hati terluka kita hanya perlu mencari kesibukan, itu sebabnya banyak orang yang terluka memutuskan untuk mengembara..."

"Apa kita pengembara?"

"Hahahaha...."

"Ada kesakitan yang paling sakit, saat kita menyadari yang hilang dalam diri kita bukanlah sesuatu yang berbentuk..."

Lalu hening. Dan saat tak ada suara-suara yang merambat, hawa dingin kembali terasa menusuk-nusuk. Aku membuka WhatsApp. Membaca status teratas dari beberapa teman. Sudah dinihari, tetapi masih saja ada yang belum tidur. Masih ada yang membuat status. Status-status bernada muram.

"Barangkali mereka juga seperti kita."

Sepertinya kau tahu apa yang bermain di pikiranku.

"Orang orang sekarang lebih beruntung karena punya media untuk meluapkan emosi, bisa bikin status di medsos atau WhatsApp. Itu termasuk ampuh untuk mengurangi beban psikologis."

"Ya, aku setuju, tetapi tetap saja, tempat bercerita yang menyenangkan adalah kepada manusia. Manusia bisa merespons. Bisa menunjukkan empati. Sedangkan benda, secanggih apa pun tidak pernah bisa..."

"Tetapi saat kita tidak bisa menemukan seseorang yang tepat untuk bercerita bagaimana?"

"Kita bisa menciptakan manusia. Pikiran kita bisa menciptakan apa saja..."

Tepat setelah kau mengatakan itu, aku jadi tersentak. Aku terkejut saat kudapati tidak ada seorang pun di sampingku. Kosong. Kuedarkan pandangan ke ruangan yang terhampar. Orang-orang masih tergeletak di kursi. Tidak ada satu manusia pun yang berlalu-lalang. Juga tidak ada tanda-tanda ada pernah ada orang di sampingku sebelumnya... tetapi...bungkus permen kopi ini...

Lamat-lamat, pertanyaan "Ketika hati patah, ke mana kita membawanya agar kembali pulih?" muncul kembali di dalam diriku.[]


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)