Sabtu, 28 April 2012

Sepi Yang Menganiaya


Aku hampir tua dalam kembaraku, warna-warna langit kulihat berubah dari satu warna ke warna yang lain, begitu juga dengan cara angin menyentuh kulitku, kadang perlahan, kadang bergerak liar menjelajahi ari-ari kulit.

Tapi cinta masih terus mengambang dalam makna yang sesungguhnya, betapa definisi tidak mampu menjelaskan tentang getaran yang hinggap, apalagi tentang rasa yang sering pecah tertabrak cahaya.

Selasa, 10 April 2012

Menanti Purnama Usai

MALAM beranjak renta. Bungkuknya hampir serupa perempuan penikmat purnama itu. Dengan kaki yang dijulurkan ke tangga rumahnya, mata berselaput abu-abu milik perempuan itu tak sedetik pun melepaskan pandangannya dari langit.
Angin berhembus kuat, menusuk hingga ke tulangnya yang telah berpuluh-puluh tahun diserang reumatik. Tapi ia tak peduli, sebab pendar purnama itu telah demikian mujarabnya menyembuhkan semua luka di hidupnya.
Perempuan itu bersandar ke pintu, duduknya serupa patung yang tertancap dalam liang tanah yang padat. Sesekali ia meraba wajahnya yang keriput, merasakan serat-serat kulit tangannya yang kasar melekat di sana.
Wajah kaku dan dingin yang telah menyaksikan banyak luka, air mata dan juga amis darah, juga kesepian maha panjang yang telah mendera hingga ke dasar ulu hatinya.
“Akan tiba suatu malam di mana engkau menginginkan purnama segera berakhir,” kata lelaki suaminya berpuluh-puluh tahun lalu.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Di bawah perak bulan ia meraih cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Di bawah bayang-bayang pohon dikunyahnya ubi rebus secara perlahan. Di tengah kepungan belantara tak ada lagi yang membuatnya bahagia kecuali bisa bersama suaminya.
“Purnama tidak akan pernah berakhir,” ucapnya sepotong.
Lelaki itu tersenyum simpul.

Minggu, 08 April 2012

Perempuan Almarhum

Perempuan Almarhum
AKU baru berumur sepuluh tahun saat pertama kali bertemu dengannya. Perempuan itu mengenakan kebaya berbahan katun berwarna ungu yang telah pudar. Di beberapa tempat dipenuhi bercak tahi lalat berwarna hitam. Binatang jahil, tega sekali ia memberaki baju usang seorang perempuan tua sepertinya.
Perempuan itu menyapaku. Memamerkan giginya yang hitam dipenuhi karat getah sirih bercampur pinang yang telah dikunyahnya sepanjang umurnya. Aku agak takut. Dalam pikiran kanak-kanakku seringainya tak lebih seperti senyum mak lampir. Menghadirkan hawa kengerian.

Rambutnya kelabu, dengan gumpalan warna putih di sana-sini menjulur dari balik songkoknya. Songkok rajut dari bahan wol yang telah cokelat dimakan usia. Di sisi sebelah kirinya terlihat sobek dan dijahit dengan benang warna hitam ala kadarnya.


Aku mencium canggung tangan keriputnya. Aroma terasi dan bawang menyengat halus ke syaraf hidungku. Menghadirkan sensasi mual yang naik hingga ke ubun-ubun. Sejak saat itu aku telah sah menjadi murid Mak Itam, sebutan bagi perempuan tersohor yang berprofesi sebagai guru ngaji di kampung itu.

Minggu, 01 April 2012

Hikayat Hati (Dua)

ilustrasi
Juga pada kali itu, mestinya takdir adalah milik kita Cinta. Tapi aku hanya bisa menyentuh rumput kering itu serupa menyentuh wajahmu dalam ketinggian imajiku, di kota itu, malam itu aku berjanji bahwa aku akan kembali untuk mencium jejakmu.

Di dinding langit aku mencari sketsa wajahmu, di antara baluran mendung dan kerlip bintang yang hanya satu-satu, di sudut kota itu kau pernah menceritakan tentang purnama kepadaku.

Dan, seolah-olah pendarnya kurasakan malam itu meski aku tahu bahwa bulan sabit pun tidak, bau rumput itu Cinta sungguh semerbak, seperti serbuan wangi tubuhmu ketika kurapatkan hidungku ke dahimu. Seolah sama hinggapnya seperti ketika kau labuhkan bekas ciumanmu ditubuhku.