Jumat, 26 Juli 2013

Caraku memaknai puasa

ilustrasi
HARI ini keempat kalinya aku berbuka puasa di kantor. Pada hari-hari tertentu seperti piket dan deadline, aku memang berbuka puasa di kantor jika tidak memungkinkan untuk pulang. Kalau pun pulang ya setelah berbuka dan salat magrib langsung balik lagi. Pulangnya nanti setelah semua pekerjaan atau tugas beres. Sekitar pukul sebelas malam.

Selama puasa boleh dibilang tidak ada ritme pekerjaan yang berubah. Seperti biasa aku tetap sudah berada di kantor pukul delapan pagi. Hanya saja pulang sorenya lebih awal, sekitar pukul lima atau setengah enam sore. Beban kerja juga seperti biasa, tapi karena aku menyukai pekerjaanku semua itu ya mengalir saja, sejauh ini aku sangat menikmatinya.

Ngomong-ngomong soal kerja di bulan puasa, aku sendiri merasa takjub. Soalnya aku nggak merasakan dampak berpuasa seperti yang banyak dikeluhkan orang. Aku tidak merasa kecapean atau kelaparan atau kehausan seperti layaknya orang berpuasa. Bisa jadi ini karena aku selalu menjaga sahur dan asupan air yang cukup di malam hari. Padahal aku sedang tidak mengonsumsi suplemen apapun. Tapi di sisi lain aku melihat bahwa ini berkah yang begitu besar dari Allah. Jika kita melakukannya dengan ikhlas maka kemudahan itu akan datang dengan sendirinya.

Bahkan saat tengah hari pun aku tak pernah merasa ngantuk. Padahal di hari-hari biasanya, setiap selesai makan siang mata ini pasti bawaannya ngantuk melulu. Ingin tidur, ingin istirahat, ingin ini ingin itu... yang ujung-ujungnya badan merasa capek sendiri. Benar seperti yang dijelaskan di artkel-artikel kesehatan, bahwa berpuasa bisa berdampak pada kesehatan.

Aku sendiri merasa badan lebih ringan, mungkin karena pola makan teratur dan makanan yang dikonsumsi juga tidak sembarangan, efeknya tubuh jadi lebih segar dan bugar. Tidak seperti biasanya, badan seperti terasa berat dan kadang-kadang merasa begah. Padahal jadwal istirahat selama berpuasa boleh dibilang berkurang.

Biasanya aku baru tidur menjelang pukul dua belas malam. Hanya tidur beberapa jam kemudian bangun lagi pukul empat pagi untuk menyiapkan sahur, setelah itu dilanjutkan dengan beres-beres rumah. Setelah salat subuh tidur sebentar kemudian berkemas untuk berangkat bekerja. Malamnya juga seperti itu, setelah salat tarawih memastikan rumah sudah beres, dan lanjut baca-baca buku atau menulis sampai akhirnya tidur.

Satu lagi, aku juga merasa lebih "enteng" pikirannya karena tidak menumpuk emosi negatif di pikiran. Selama berpuasa aku memang terus mencoba untuk bersikap easy going, di kerjaan misalnya, sebisa mungkin mengurangi rasa kesal yang berdampak tidak baik terhadap tekanan psikologis. Sekali lagi aku ngerasa bahwa kalimat pamungkas "aku sedang berpuasa" sangat manjur untuk mengendalikan emosi dan pikiran dari hal-hal negatif dan buruk.

Aku memaknai kalimat itu bukan hanya senjata saat kita berhadapan dengan orang lain. Tapi juga senjata kepada diri sendiri. Dalam diri kita, selain ada akal, juga ada hawa nafsu yang perlu ditaklukkan. Misalnya saat kesal kita bisa langsung katakan "aku sedang berpuasa", atau saat kita sedang ingin ini ingin itu yang sudah di luar batas kewajaran menurut saya juga bisa membatasi dengan perisai "aku sedang berpuasa" tadi. Ya, berpuasa dari marah-marah, berpuasa dari keinginan berbelanja muluk-muluk, berpuasa dari keinginan ngegosip, dll. Bagaimana dengan kamu?

Jika engkau puisi

ilustrasi
Jika engkau puisi maka setiap detil tubuhmu adalah narasi

Rasa yang tak pernah habis kutulisi

Atau kuceritakan

Senyummu adalah sajak yang lebih manis dari embun pagi

Yang selalu meninggalkan jejak tiap kali usai mengecupnya

Yang selalu menghadirkan gigil di antara kepungan rindu


Selamat Hari Puisi

Cinta dan rindu untukmu

Rabu, 24 Juli 2013

Mister eF

facebook
KEMARIN sore aku buka puasa bareng Ferhat dan Atien, keduanya saat ini menjadi rekan kerjaku di tempat yang sama. Ini merupakan kali kedua aku buka puasa bareng Ferhat, sebelumnya sore Minggu, 21 Juli 2013, bareng Nurul Fajri, wartawan di The Globe Journal yang biasa dipanggil Sinyak.

Kali ini aku mau cerita soal Ferhat, sosok teman yang satu ini menurutku cukup menyenangkan. Meski dia lulusan Sarjana Ekonomi tapi selera humornya tinggi. Orangnya easy going menurutku. Doi baru sebulan lebih bergabung di tempatku bekerja, tapi kami sudah kenal lama. Aku dan Ferhat satu kampus, hanya beda angkatan saja. Meski usia kami sama, aku dua tahun lebih awal masuk kuliah dibandingkan Ferhat. Kemarin sore baru tahu ternyata si Ferhat sempat nganggur setahun. Tapi aku lupa nanya, nganggurnya di mana, apa tamat TK, SMP atau SMA.

Pemuda yang pernah bekerja sebagai teller bank ini seorang penulis. Karyanya bertebaran di mana-mana, kadang-kadang aku iri sama keahliannya yang satu ini. Nah, cerita soal keahlian Ferhat, aku mau flashback ke waktu sepuluh tahun lalu.

Waktu itu pertengahan tahun 2002, aku baru saja menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri di Banda Aceh. Karena berasal dari daerah, aku terpaksa kost di Banda Aceh. Tapi aku sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu dan jauh dari orang tua. Karena sejak SMP sudah kost kok :-)

Bukan seperti Ferhat yang ahli, tapi aku punya sedikit hobi menulis. Saat kuliah kebetulan aku jadi anggota mading di UKM, dan itu ternyata berpengaruh pada hobi menulisku. Aku jadi senang menulis cerpen, puisi, note, jaman itu aku masih menulis di buku dan kertas.

Di kost ada kakak-kakak yang waktu itu masih kuliah di Akbid Depkes Banda Aceh. Dua tahun di atasku, namanya Lisna Unita aku biasa panggil Kak Lisna. Dari dialah aku dengar nama Ferhat pertama kalinya. Waktu itu Ferhat masih di SMA. Kak Lisna cerita katanya ada anak belakang rumah -kost-anku dekat rumah Ferhat- masih SMA tapi sudah pandai menulis. "Anak itu" katanya juga aktif di Forum Lingkar Pena. Waktu itu aku penasaran sekaligus takjub, gileee masih SMA udah jago nulis, terniat ingin belajar dan berharap Kak Lisna kenalin aku ke Ferhat waktu itu. Tapi nggak pernah kesampaian hingga akhirnya cerita soal Ferhat terlupakan begitu saja.

Entah gimana ceritanya Ferhat ternyata juga kuliah di Fakultas Ekonomi. Pokoknya aku kenal dia di Fakultas Ekonomi Unsyiah, tapi ya kenal-kenal gitu aja. Sampai akhirnya aku keluar dari kampus dan kami jarang sekali sharing soal tulis menulis. Setelah loss contact begitu lama, kami kembali bertemu di Facebook dan sering ngobrol. Sampai akhirnya aku dan Ferhat berniat untuk bikin buku bareng, tak lupa Ferhat mempromosikan temannya Sinyak. Itu tahun 2011 lalu.

Proyek buku pun berjalan, aku, Ferhat dan Sinyak jadi sering bertemu. Kami ketemuan di satu warung kopi ke warung kopi lainnya di Banda Aceh. Hasilnya buku itu setelah rampung 80 persen sampai sekarang nggak keurus lagi karena kesibukan masing-masing :-D (atau kemalasan). Tapi pertemanan kami nggak berakhir dong, kami bertiga sesekali masih sering bertemu sekedar untuk ngopi dan cerita ceriti sambil cekikikan di warung kopi.

Sampai akhirnya akhir bulan Juni lalu Ferhat bergabung di tempatku bekerja, kami jadi satu tim dan semakin sering bertemu. :-D Ferhat...Ferhat...[]

Selasa, 23 Juli 2013

Mak, maafkan aku nggak feminim

foto by blog.aglamslam
HARI ini sudah dua pekan ibadah puasa berlalu, artinya dua pekan lagi seluruh umat muslim di dunia akan menyambut hari besar Idul Fitri. Termasuk saya, yang selalu menyambut momen ini penuh suka cita dan hati girang. Apalagi kalau bukan karena bisa pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga.

Ngomong-ngomong soal hari raya, identik dengan baju baru meski itu bukan perkara wajib. Nah di keluarga kami hal ini juga berlaku, meski tak pernah bermewah-mewah tapi belum sekalipun alpa melewati tradisi ini. Biasanya sepekan sebelum hari raya ibu akan mengajak anak-anaknya ke kota untuk berbelanja pakaian.

Nah, saya sendiri sejak kecil termasuk tipe anak yang bukan tukang protes. Apa yang dibeli itu yang saya pakai, kalaupun tidak suka biasanya saya simpan di hati saja. Saya berfikir sudah dibelikan sudah syukur, jangan malah neko-neko. Sejak kecil ibu selalu membeli saya pakaian yang kasual seperti jeans, kemeja atau t-shirt. Setelah saya agak besar baru ibu sering membelikan saya baju perempuan karena lucu dan modelnya lebih beragam. Oh ya, saya perempuan lho bukan peria alias pria heheheh.

Saat saya SMP ibu mulai belajar menjahit, sejak itu saya jarang dibelikan baju kalau lebaran tapi sering dijahit dengan model pakaian perempuan yang macam-macam, busana muslim, blazer, rok kembang, ah pokoknya banyak deh.

Tapi ya dasar setiap orang itu punya karakter sendiri ya, saya cenderung lebih suka pakaian yang praktis dan fleksible, bisa dipakai untuk acara apapun. Dengan begitu baju-baju yang saya punya jadi terpakai semua tidak cuma disimpan di lemari. Tau-tahu sudah jelek, sudah kecil, sudah kusam padahal dipakai pun jarang.

Setelah besar (tamat kuliah) saya mulai sering belanja baju sendiri, tapi tetap saja kalau untuk beli baju lebaran ngajak ibu. Maklum, saya nggak terlalu pandai berbelanja fashion, saya juga nggak pandai nawar kalau belanja, dan parahnya saya nggak tahu model pakaian yang lagi trend, itu makanya saya lebih suka pilih kemeja. Kemeja pun saya lebih suka kemeja pria yang simple, tanpa kupnat dan nggak banyak detilnya.

Karena ini mau lebaran saya kembali teringat pada peristiwa dua tahun lalu. Waktu itu sekitar dua atau tiga hari lagi mau lebaran ibu mengajak saya ke pasar untuk beli baju baru. Dari semua anggota keluarga yang belum punya baju baru cuma saya :-D.

Pergilah saya dan ibu berdua ke pasar. Jangan bayangkan bagaimana sesaknya suasana pasar kalau mendekati hari raya begitu. Jalan-jalan protokol penuh sesak dengan lalu lalang kendaraan. Di lorong-lorong toko penuh sesak dengan lalu lintas manusia. Melihat itu saya rasa-rasanya mau pusing, mana puasa, perut kosong dan tenggorokan kering, tambah muter-muter lagi. Kami keluar dari satu toko ke toko yang lain.

Pertama-tama toko yang kami kunjungi tentu saja toko yang menjual pakaian perempuan, gaun-gaun cantik, modis dan terlihat stylish terpajang di manekin. Harganya jangan tanya, mahalnya masya Allah. Tapi baju-baju itu nggak ada yang bikin aku suka. Akhirnya kami ke luar dan pergi ke toko lainnya. Entah beberapa jam kami ke luar masuk toko dan tidak ada satupun yang terbeli. Ibu mulai kesal, aku juga, karena semua baju yang ditawari tidak sesuai seleraku. Padahal aku sudah bilang maunya kemeja saja.

Sembari masuk beberapa toko ibu sempat ngegeremeng alias ngomel kecil. Katanya jadi perempuan kok nggak modis sedikitpun. Mungkin karena sudah capek mutar-mutar bercampur gondok akupun menangis di pasar. Tapi nggak sampai mewek-mewek lah, air mata saja yang berlinang, tapi bikin nyesek di dada dan ngga bisa bicara. Ibu pun akhirnya kehabisan cara membujukku. Akhirnya kami pun pulang tanpa hasil. Aku nggak sedih meski nggak beli baju baru. Besoknya aku pergi ke pasar sendirian dan kubeli sebuah kemeja hitam yang menurutku cocok.

Bagiku berpakaian dan kenyamanan adalah dua hal yang tak terpisahkan, beberapa pakaian kubeli karena untuk menjaga perasaan ibuku saja. Tapi setelah itu jarang sekali kupakai. Sementara ibuku, menginginkan aku tampil feminim layaknya anak-anak gadis lain. Berlebaran dengan kaftan atau gamis berjuntai, bersepatu atau sendal hak tinggi, berjilbab anggun. Oh, sampai sekarang aku belum merindukan hal-hal seperti itu. Aku mashi nyaman dengan sepatu kets, kemeja atau baju kasual lainnya. Ternyata, pakai rok saja tidak membuatku terlihat feminim.[]

Minggu, 21 Juli 2013

Paradok cinta; Antara ingin melepaskan dan takut kehilangan*

ilustrasi by hdwallpapers.in
MALAM kemarin aku bertamu ke rumah tante sekaligus untuk berbuka puasa bersama di rumahnya. Karena kedatanganku tanpa pemberitahuan jadinya tante nggak nyiapin apa-apa. Menu berbuka nyaris tak ada yang istimewa, juice timun suri, balado tongkol, sayur rebus dan sambal terasi, beberapa potong risol dan tiga bungkus sate yang kubawa.

Acara buka puasa berlangsung akrab dan menyenangkan, sambil bercerita kami menyantap hidangan ala kadar itu dengan lahap. Setelah acara makan-makan selesai satu persatu di antara kami beranjak untuk menunaikan salat magrib. Setelah itu kami bersantai sambil melanjutkan obrolan yang tadi tertunda. Tiba-tiba tanteku nyeletuk. “Si kakak sudah punya calon,” katanya.

Si “kakak” yang dimaksud tanteku adalah anaknya yang nomor dua, adik sepupuku. Deg! Rasanya bagai ada yang tertohok di hatiku paling dalam. Serta merta, sambil kepala mengangguk-ngangguk dan bibir mekar tersenyum mendengar sambungan cerita tante, hitungan matematisku terus berlangsung dengan kilat.

Si sulung tanteku baru saja tamat SMA tahun ini, dua bulan lagi ia baru masuk ke universitas sebagai mahasiswa semester pertama. Umurnya, tentu saja terpaut jauh denganku yang mendekati kepala tiga. Sambil terus mendengarkan cerita tante, aku mencoba manahan rasa miris semacam cemburu yang diam-diam merayap di sanubari. Tiba-tiba, sepupuku yang satu lagi yang baru SMP ikut nyeletuk. “Kakak sudah punya calon?” tanyanya polos ke arahku. Ah, lagi-lagi aku hanya bisa nyengir.

Siangnya, seharian aku merasakan perasaan yang sama sekali tak bisa kulukiskan. Rona wajah bahagia tanteku semalam seolah terus menerus menerorku. Menghadirkan rasa sentimentil dalam diriku, dan menyentuh naluri perempuanku paling peka.

Aku berusaha mengingat-ngingat kenyataan, beberapa bulan lalu tante yang seumuran denganku baru saja melangsungkan pertunangan dengan pria yang dicintainya. Dua bulan berikutnya kakak sepupuku yang lain juga telah melangsungkan pernikahan. Juga dengan pria yang dicintainya. Sedangkan sepupu lelaki yang sebaya denganku dan paman yang berselisih dua tiga tahun denganku juga sudah bertunangan. Seorang sepupu yang usianya hanya terpaut setahun denganku bahkan sudah mempunyai dua anak.

Ya, tiba-tiba saja aku menjadi tambah sentimentil. Aku seperti “ngeh” bahwa usiaku tak lagi muda sebagai seorang perempuan. Idealnya aku sudah menikah, atau mungkin punya satu atau dua anak yang kecil-kecil. Aku merasa semakin “salah tingkah” menyadari adik lelakiku juga sudah menikah dan punya anak, ditambah paman yang seusia adikku juga sudah sibuk minta bertunangan dengan perempuan yang dicintainya. Lalu, bagaimana denganku?

Pulang dari rumah tante aku mampir di sebuah galeri, di sana aku bertemu dengan teman pria yang pernah satu tempat kerja denganku beberapa tahun lalu. kulihat ia menggendong putrinya yang berusia sekitar tiga atau empat tahun. Ah, banyak teman-teman sebayaku yang telah menikah dan mempunyai anak.

Mestinya aku tak perlu merasa uring-uringan, gelisah ataupun panik. Sebab aku juga mempunyai tambatan hati. Tempat berbagi cerita yang telah lebih sewindu kujalani. Selama ini aku hidup dalam kolam cinta kasih yang rasa-rasanya nggak bakalan kering atau susut. Hari-hariku selalu diliputi rasa senang, bahagia dan selalu berbunga-bunga. Aku hidup dalam stok cinta yang tak pernah kurang, hingga aku menyadari bahwa usiaku tak lagi muda.

Di ujung stok cinta yang makin meluber-luber itu aku pun seperti menemukan jawaban atas perasaanku selama ini. Tentang rasa sepi yang tak pernah tergantikan, yang telah diselimuti perasaan yang menggebu-gebu, tentang rasa tak bisa memiliki yang menyatu dengan fatamorgana tentang kesetiaan. Juga tentang harapan-harapan yang selalu tarik menarik antara hasrat, rasa dan logika. Ya, aku dikepung kemarahan dan sakit hati yang ditimbulkan oleh perasaan cintaku sendiri. Seperti terkapar, aku bahkan tak sanggup menolak ketika rasa itu menghujam bertubi-tubi terhadap diriku.

Sampai detik ini, saat aku menuliskan cerita ini aku masih diamuk gelora yang membara. Kuketahui itulah yang membuatku uring-uringan seharian ini, dan juga ketika aku diliputi rasa kesepian yang begitu panjang. Bahwa aku punya tambatan hati benar, tapi kenyataannya berbeda dari harapan-harapan yang selama ini menjadi topik pembicaraan antara aku dan dia. Berkali-kali aku berfikir, betapa bodohnya telah memerangkapkan diri dalam cinta yang seperti ini. Seperti kutub yang tak pernah menemui titik akhir. Maka cintaku adalah pengembaraan tanpa ujung. Seperti berada di padang pasir yang setitik pun tak kutemukan oase.

Bahwa aku mulai berfikir, cinta bukan hanya untuk memenuhi gejolak ruang batin yang cukup hanya sebatas melepas rindu. Tapi lebih dari itu, untuk membangun jembatan demi jembatan hingga akhirnya sampai pada tujuan hidup yang sebenarnya; Tuhan!

Bahwa cinta mestinya tak memberi rasa tertekan karena tak bisa memberikan kepastian. Cinta mestinya menjadikanku benar-benar perempuan, menjadikanku seorang istri dan ibu! Kukatakan bahwa dia adalah angin, ada, hanya saja mereka di sekelilingku tak bisa melihat wujudnya. Hanya aku yang bisa. Di usiaku yang lebih dari seperempat abad ini aku mulai menyadari bahwa mencintai rahasia itu misteri. Dia hanya ada untukku, bukan untuk orang-orang di sekelilingku. Sementara aku selalu dicecari oleh orang-orang terdekat yang selalu mempertanyakan keperempuananku. Mempertanyakan kenormalanku. Ah, aku ingin menangis rasanya ketika semua itu hanya kusimpan sendiri.

Aku tahu, Tuhan tahu aku mencintai dia dan juga sebaliknya. Aku ingin memilikinya, menjadikan seluruh panca inderanya hanya untukku seorang. Tapi di suara hatiku yang paling dalam aku menolak itu terjadi. Aku tak ingin melubangi tangki cintaku dan membiarkan stok kasih yang selama ini penuh tumpah hingga akhirnya kosong. Aku ingin dia selalu menjadi rahasia dan berdiam di hatiku. Paradok. Karena aku hanya bisa mengaduh, menangis diam-diam, entah menyesal, aku pun hanya bisa meraba-raba mengenai perasaanku ini.


Tuhan, aku selalu berharap takdirMu yang paling indah. Jadikan aku kuat, tenang dan lumuri aku dengan cintaMu yang tak berkesudahan.[]

*Dikutip dari sebuah akun facebook berinisial GJ, judul dan isi tanpa perubahan sedikitpun

Minggu, 14 Juli 2013

Rindu Kampung

Rindu Kampung
HARI ini Minggu, 14 Juli 2013 tepat memasuki hari kelima Ramadan. Saat-saat menunggu waktu berbuka adalah prosesi paling menyenangkan. Khususnya bagi saya, meski sajian berbuka tidak terlalu mewah tetap saja menjadi sangat istimewa. Apalagi kalau bukan momen berbukanya yang menjadi ajang berkumpul dengan keluarga tercinta.

Hari ini saya berbuka di kantor. Sembari menunggu waktu berbuka, saya mendengarkan lagu dan beberapa artikel di internet. Sampai akhirnya saya memilih untuk menulis catatan kecil ini di blog ketika ingatan saya melayang pada jarak beratus-ratus kilometer di Timur Aceh.

Hari pertama puasa yang jatuh pada Rabu, 10 Juli kemarin saya masih berada di sana. Menikmati momen berbuka puasa bersama keluarga tercinta, ibu, adik, ipar dan juga keponakan yang lucu dan menggemaskan. Kami berbuka puasa dengan antusias, menikmati hidangan yang sudah disiapkan sejak sore, ada kurma, es timun cincau, dan juga lauk-pauk.

Bagi saya momen seperti itu sangat berharga mengingat jarang sekali bisa berkumpul dengan mereka. Dalam setahun saya hanya pulang ke rumah ibu selama tiga kali, saat awal puasa, lebaran puasa dan saat lebaran haji. Itu pun dengan waktu yang sangat terbatas, paling hanya tiga hari saja atau maksimal lima hari sudah termasuk waktu di perjalanan.

Kerinduan tiba-tiba kembali terbit di hati saya meski beberapa hari yang lalu saya masih berada di rumah ibu. Tiba-tiba saya ingin kembali merasakan suasana rumah yang tenang, lapang dan nyaman. Yang selalu basah oleh cinta ibu saya.

Sejenak ingin bernostalgia, terkenang cerita-cerita lama dan merasa betapa sedikitnya waktu yang saya habiskan di rumah. Sekedar kilas balik, usai tamat SD saya sudah merantau. Jaraknya memang hanya beberapa puluh kilometer dari rumah kediaman ibu. Saya pulang seminggu sekali setiap akhir pekan atau saat liburan sekolah. Tapi hari-hari selama SMP banyak saya habiskan di ibu kota kecamatan di rumah kost. Parahnya selama tiga tahun itu tiga kali saya berpindah rumah kost.

Saat SMA, meski sudah tinggal sekampung dengan ibu tapi saya serumah dengan buyut alias Nek Tu saya. Meski sering bertemu ibu tapi tetap saja waktu malam yang biasanya menjadi ajang untuk bertemu keluarga saya habiskan di rumah buyut dan pesantren tempat mengaji. Tamat SMA saya pun kembali merantau ke Banda Aceh untuk meneruskan pendidikan dan akhirnya saya bekerja di sini. Intensitas bertemu keluarga semakin terbatas, jarak yang jauh memang jadi kendala utama untuk pulang ke kampung sebentar-sebentar.

Ah...waktu berbuka hanya tinggal sepuluh menit lagi, kerinduan tetaplah kerinduan, dan nyatanya teknologi tak mampu menolong banyak untuk itu.[]