Jumat, 28 Desember 2018

I Need You, Not Google

@ihansunrise


Di era kecanggihan teknologi seperti sekarang, mudah sekali sebenarnya mencari informasi. Kita tinggal buka mesin pencari, memasukkan kata kunci, lalu bisa berselancar sepuasnya.

Saking mudahnya, kadang-kadang kalau kita bertanya pada seseorang dengan topik tertentu tak jarang dijawab: coba cari di Google. Jawaban ini menurut hemat saya ada dua kemungkinan, pertama yang ditanya benar-benar nggak tahu jawabannya. Kedua, dia malas menjawab. Syukur dia nggak berpikir 'ya ampun, gitu aja pake nanya' atau 'ni orang pasti malas googling deh'. 

Kadang kita kerap lupa bahwa kita adalah manusia yang selalu berharap ada umpan balik dari setiap interaksi. Ciri makhluk sosial. Seintrovert dan seindividualis apapun orang tersebut, dia tetap membutuhkan manusia lain.

Selengkap dan sebanyak apapun 'jawaban' yang bisa diberikan oleh teknologi, tetap saja dia tidak bisa merespons, misalnya dengan mengucapkan kalimat 'gimana, jawabannya memuaskan, nggak?' atau saat dia melihat kening kita berkerut karena kebingungan atau sedang menganalisis sesuatu, tiba-tiba dia berceletuk: gitu aja bingung, sini aku jelasin lagi.

Itulah bedanya kita sebagai manusia, yang dianugerahi kecerdasan untuk saling memahami emosi dan pikiran. Bila ada orang yang bertanya kepada kita, jangan buru-buru dicap bahwa dia malas mencari informasi. Bisa jadi, dengan pertanyaannya itu justru menstimulasi kita untuk ikut berpikir, mencari jawaban, belajar menelaah, saling mengemukakan pendapat/ide dan argumentasi, hingga menemukan jawaban yang saling memuaskan.

Atau bisa jadi, seseorang itu menaruh kepercayaan lebih kepada kita. Kita tahu, orang tidak akan sembarangan bertanya pada orang yang tidak dia kenal/dekat/percayai kecuali untuk urusan tertentu. Orang juga tidak akan sembarangan mengeluarkan pikiran-pikirannya pada orang yang tidak membuat mereka nyaman.

Jadi, bila ada yang bertanya pada kita janganlah buru-buru memutuskan 'silaturahmi kata' dengan jawaban seperti di atas. Kecuali memang sudah benar-benar mentok. Akan ada saatnya di mana kita membutuhkan orang lain untuk sekadar didengar.[]

Selasa, 25 Desember 2018

Dianggap Ada dan Penting

Ilustrasi reuters


Di tengah obrolan santai kami melalui Whatsapp, tiba-tiba Zenja memintaku untuk membuatkan sebuah tulisan yang menurutnya cukup representatif untuk memperingati gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Aku yang langsung ngeh dengan permintaannya segera merespons.

"Status di mana?"

"WA."

Berselang menit kukirimkan sebuah kalimat beraroma kontemplasi. 

"Thanks, Say," balasnya.

"Iya, Cinta."

"Kenapa kamu memintaku yang membuatnya. Padahal kamu bisa bikin sendiri, kan?"

"Kamu jagonya," jawabnya.

Seketika hatiku jadi mekar.

"He he he. Aku jadi tersanjung."

"Hmmm..."

"Makasih atas pujiannya. Aku senang kalau itu kamu yang bilang."

"Benar kok."

Lalu kami jadi sibuk bernostalgia. Membicarakan kembali percakapan-percakapan indah yang pernah kami bincangkan.

Memang bukan sekali ini saja Zenja memintaku membuatkan kalimat-kalimat yang ingin ia bagikan kepada publik. Barangkali karena ia tahu aku menggeluti dunia literasi, sehingga hal-hal penting seperti itu ia percayakan padaku.

Lebih dari itu, buatku pribadi ini merupakan hal terindah, ketika orang yang kita sayangi dan cintai menganggap kita ada dan penting. Kami memang sering berdiskusi berbagai hal, mulai dari yang ringan-ringan seperti kegemarannya memasak dan kegemaranku menyantap makanan, hingga yang berat-berat seperti isu-isu politik menjelang pemilu 2019. Aku bersyukur, secara politik kami memiliki pandangan yang sama. Kalau pun tidak, ya enggak masalah, justru karena perbedaanlah kami bisa saling mencintai dan melengkapi.

Dianggap ada dan penting oleh orang-orang terdekat kita menurutku sangatlah penting. Sebab, dengan orang-orang di 'ring 1' inilah kita sering berinteraksi dan berkomunikasi. Disadari atau tidak, hasil interaksi tersebut akan menghasilkan dua energi yang saling bertolak belakang, yaitu energi positif dan negatif. Dua energi ini otomatis akan menjadi roda penggerak bagi kehidupan seseorang. Nah, bergerak seperti apa, ya tergantung dominannya energi apa yang mereka terima.

Dianggap ada dan penting oleh orang-orang terdekat akan membuat seseorang merasa lebih semangat, produktif, dan optimis. Bikin hidup jadi terasa lebih hidup. Membuat kita selalu berupaya melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Begitulah.[]

Rabu, 05 Desember 2018

Menggenapkan Postingan Ke-1.000



"Blogku postingannya sudah 999 lo. Satu lagi genap seribu," kataku pada Zenja dengan hati mekar.
"Mantap."
"Sebagian besar isinya terinspirasi dari kamu."
"Good."
"Menemani perjalanan cinta kita."
"Hmmm..."

Lalu kami tertawa bersama. Membicarakan hal remeh-temeh dengan Zenja selalu menyenangkan. Termasuk berbagi kesenangan mengenai jumlah postingan di blogku. Buatku itu jadi pencapaian tersendiri. Sebagai tanda bahwa aku cukup konsisten menulis di blog.

Tak berlebihan juga bila aku memilih berbagi kebahagian kecil ini dengannya. Blog ini tumbuh sejalan dengan usia pertemanan kami. Dia yang selalu mendukung langkahku yang memilih berkarier di dunia kepenulisan. 

Aku masih ingat saat dulu masih kuliah, saat masih aktif di pers kampus. Melalui Zenja aku mendapatkan narasumber pertamaku. Zenja pula yang membuatku terhubung dengan salah satu pejabat humas di sebuah perusahaan terbesar di Aceh. Dan dari pejabat humas itu kami banyak berdiskusi mengenai ilmu-ilmu kehumasan. Namun aku sudah lupa semuanya ha ha ha. Love you forever, Zenja...

Sekadar flash back, aku mulai aktif mengelola blog ini sejak 2006, setelah sebelumnya sempat aktif di Multiply, Friendster, dan berbagai platform blog yang aku sudah tak ingat lagi namanya. Sebagai mantan operator warnet yang nyaris saban hari terkoneksi dengan internet, berselancar di dunia maya telah menjadi sesuatu yang dicandu sejak belasan tahun silam. Utak-atik blog selalu menjadi aktivitas yang menyenangkan dan bikin penasaran. 

Kondisi itu pula yang membuatku bertekad agar di kemudian hari bisa bekerja di "ladang" yang ada sangkut pautnya dengan internet. Semata-mata agar bisa internetan gratis hahaha. Kala itu tak terbayang bila perkembangan teknologi informasi bakal secepat ini. Murah pula. Sekarang, siapa sih yang tak tergantung pada internet? Bahkan yang belum paham apa itu email pun tak bisa lepas dari aktivitas berinternet.

Selama belasan tahun pula konten-konten di blog ini masih senada. Beraroma kembang sakura yang merah jambu. Sesuai dengan tagline blog yang kuusung: memotret kehidupan dalam perspektif perempuan, rasa, dan cinta.

Terlepas apakah aku seorang perempuan atau bukan, dunia perempuan selalu menarik untuk kuselami. Aku menemui banyak perempuan dengan kehidupan yang sangat kompleks. Menemukan keunikan-keunikan pada setiap individu. Aku berusaha belajar setiap kali berinteraksi dengan mereka. Bagaimana mereka membangun kekuatan diri, menahan perasaan yang terpendam, melawan ketakutan, menghadapi ketidakberdayaan, kepasrahan, pergolakan cinta, bangkit setelah terpuruk, ketidakadilan, menghadapi ketidakpastian, hingga kenyatan yang tak sesuai harapan.

Berbagai kenyataan itu, menginspirasiku untuk menghasilkan puluhan cerita pendek, puisi, dan prosa-prosa yang semata-mata kutulis untuk mengobati kegelisahanku. Dalam kondisi tertentu aku merasa menjadi perempuan tidaklah mudah. Perempuan ibarat seorang pelakon di atas panggung, dipapari lampu sorot, dipandangi berpasang-pasang mata, menjadi objek gumaman, objek bisik-bisik, objek kritikan, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Mirisnya, bahkan untuk kesalahan yang tidak ia lakukan sendiri. 

Ada kebahagiaan tersendiri ketika ada perempuan-perempuan yang membaca cerita-cerita di blog ini kemudian mengatakan: terima kasih sudah menuliskannya untukku.

Ah, padahal cerita itu ditulis untuk perempuan yang lain. Begitulah, ada banyak kesamaan kisah, cerita, dan kejadian yang dialami oleh satu perempuan dengan perempuan lainnya.  Hanya saja banyak di antara mereka tidak berani berterus terang dengan apa yang dialaminya. Walaupun hanya menuliskannya di atas kertas atau di halaman-halaman blog. 

Lihatlah, betapa kuatnya mereka menyimpan kisah hidupnya di dalam hati mereka yang sangat rapat. Tak mereka biarkan seorang pun untuk tahu. Bahkan diri mereka sendiri. Adakah penjara perasaan yang lebih kejam dari itu?

Beruntunglah para perempuan yang bisa menentukan pilihan dan arah hidupnya sendiri, bisa memilih untuk mencintai dan dicintai oleh siapa, memilih merindui dan ingin dirindui oleh siapa, memilih ingin memimpikan apa dan siapa. Beruntunglah. Beruntunglah para perempuan yang seperti itu. 

Aku berharap kehadiran blog ini bisa melengkapi itu semua.[]

Selasa, 27 November 2018

Menikmati Kopi Meresapi Cinta

Ilustrasi foto dari majalah.ottencoffee.co.id


Barangkali aku termasuk salah satu orang yang terlanjur mensugesti diri dengan kopi. Bahwa kopi itu sumber inspirasi. Sumber semangat. Hari akan terasa lebih asyik dan hangat bila diawali dengan secangkir kopi.

Secangkir kopi yang pahit, dengan sedikit rasa manis yang menjadikannya legit. Ditambah krema yang kental. Hmm...adakah yang lebih nikmat dari mencecapi itu? Ada, tentu saja ada. Mencecapi kekasih...

Nyaris setiap pagi sebelum memulai aktivitas, aku selalu memulai hariku dengan secangkir kopi. Rasanya seperti ada yang tak lengkap bila belum menikmati kopi di pagi hari. Omong-omong, aku menjadi penikmat kopi sejak masih usia sekolah dasar. Sekarang usiaku sudah lebih seperempat abad.

Saat ini aku sedang tergila-gila dengan sanger. Racikan kopi yang sepertiganya dicampur dengan krimer kental manis. Ini bukan kopi susu. Cocok bagi mereka yang bukan pencandu kopi, tetapi tetap ingin menikmati aroma dan cita rasa kopi yang khas.

Belakangan, seiring dengan promosi yang sangat masif, sanger menjadi naik daun. Minuman ini memang terus dipromosikan sebagai minuman lokal khas Aceh yang pamornya diharapkan bisa seperti kopi nantinya. Menjadi minuman kelas dunia. Beberapa tahun terakhir bahkan sudah digelar secara rutin Festival Sanger.

Bisa kukatakan kalau sanger ini menjadi minuman terfavorit kedua di Aceh setelah kopi hitam.

"Kalau di Italia ada kapucino, di Aceh ada sanger," begitulah komentar Fahmi Yunus, yang digadang-gadangkan sebagai "Bapak Sanger" saat menikmati kopi bersama rombongan dari Kementerian Kehutanan dan Uni Eropa di salah satu kedai kopi di Blang Padang pada Rabu, 21 November 2018 lalu.

Sejarah di balik lahirnya sanger

Sanger mini espresso @ihansunrise


Banyak yang memplesetkan sanger menjadi 'sangar', tak sedikit pula yang mengatakan kalau sanger merupakan akronim dari istilah 'sama-sama ngerti'. Berdasarkan sejarahnya, nama sanger memang berasal dari istilah sama-sama ngerti yang disingkat sanger. Belakangan istilah ini menjadi populer dan dengan sendirinya menjadi nama sebuah racikan minuman.

Konon di akhir-akhir era Orde Baru, saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis yang membuat kantong-kantong masyarakat melilit. Tak terkecuali kalangan mahasiswa. Dengan kondisi seperti itu mau tak mau gaya hidup terpaksa harus disesuaikan dengan situasi kantong. Para mahasiswa yang biasanya hobi minum kopi susu (baca: kopi krimer kental manis) sebagai pembangkit energi dan semangat, terpaksa mencari alternatif lain yang harganya lebih bersahabat.

Namanya saja mahasiswa. Pastilah selalu muncul ide-ide brilian dari otak mereka. Dalam situasi kantong terjepit sekalipun mereka tak kehilangan sisi kreativitasnya. Mereka pun bersiasat. Melakukan tawar menawar dengan si pemilik warung. Ingin tetap menikmati kopi susu yang gurih, tetapi dengan harga yang miring. Solusinya, kopinya dibanyakin, susu (krimer)nya dikurangin. Inilah hasil dari kesepakatan tak tertulis dari "sama-sama ngerti". Dengan begini simbiosis mutualisme tetap terjaga.

Saya jadi teringat cerita Prof. Sarwidi, pakar Rekayasa Kegempaan dan Dinamika Struktur dari UUI Yogyakarta dalam ceramahnya di Banda Aceh pada 12 September 2018 lalu. Ia mengatakan, dalam situasi sulit tak jarang malah menciptakan kondisi sebaliknya. Memunculkan peluang baru. Hal ini biasanya terjadi di lokasi-lokasi bekas bencana alam yang lama kelamaan menjadi sebagai destinasi wisata baru. Aktivitas ekonomi pun terjadi.

Begitu juga dengan munculnya sanger sebagai varian baru dalam khazanah kuliner Indonesia khususnya di Aceh. Siapa sangka, di balik kesusahan mahasiswa zaman itu, sanger kini menjadi minuman yang digilai sejuta umat. Tak peduli dia berkantong tebal atau kempes. Bukan lagi monopoli mahasiswa berkantong kering.

Beda Penyajian Beda Cita Rasa

Bila Anda sering mendengar istilah kupi sareng, sanger juga bisa diracik seperti itu. Belakangan sejak kopi Arabika 'mewabah', sanger yang tadinya diracik dengan kopi Robusta dengan cara disaring secara manual, kini disajikan dengan cara yang berbeda.

Bubuk kopi dipres dengan mesin espresso untuk mendapatkan sari pati kopi yang lebih kuat. Kremanya, yaitu cairan kuning tua yang muncul saat sari pati kopi terekstraksi lebih pekat dan terasa. Belakangan aku sendiri lebih suka menikmati sanger espresso ketimbang sanger yang diracik secara manual. Sudah lupa kapan terakhir minum sanger Robusta. Ya, beda cara penyajian tentu saja menghasilkan cita rasa yang berbeda. Dan soal rasa, setiap orang pasti punya pilihan yang berbeda.

Ada kebiasaan kecil yang kulakukan sebelum mengaduk cairan kopi dengan krimer di dalam cangkir, menghirup aromanya kuat-kuat. Membiarkan aromanya meresap jauh memasuki ujung-ujung syaraf. Kurasa itulah efek sugesti tertinggi yang kudapat saat minum kopi.

Menikmati Kopi Meresapi Cinta

Cinta dan kopi, menurutku memiliki persamaan. Sama-sama pahit, tetapi sama-sama digilai. Justru di situlah terasa nikmatnya. Rasa pahit yang melekat di ujung lidah, sama seperti nyeri perasaan karena sesak oleh rindu. Dari rasa pahit itulah kejujuran sebuah rasa tercipta.[]

-->

Rabu, 17 Oktober 2018

Dua Jam Bersama Senja

Dua Jam Bersama Senja
44045292_10213020196086669_1590135680552402944_n.jpg
Senin sore kemarin, 15 Oktober 2018 tiba-tiba saja ingin bertemu Senja. Maka bertemulah kami di sebuah kedai kopi di pinggiran jalan protokol di Jalan Ali Hasyimi Banda Aceh. Menunaikan janji temu yang sebelumnya sempat tertunda karena kesibukan masing-masing.
Menikmati petang dengan secangkir kopi pilihan masing-masing. Memberi jeda bagi diri untuk menikmati waktu di sela-sela rutinitas. Saat aku tiba secangkir espresso telah terhidang di hadapan Senja yang lebih dulu tiba. Teksturnya yang pekat berfungsi ganda, sebagai medium bagi Senja untuk membuat skestsa.
Aku memilih memesan sanger, sajian kopi dengan cita rasa yang lebih ringan karena bercampur krim kental manis. Melengkapi sajian spesial itu, aku memesan semangkuk bakso dan seporsi bakwan korea dengan kuah manis dan rajangan seledri yang segar.
Sesaat kemudian Senja menyodorkan kertas . "Ayo kita bikin sketsa..."
Hah! Aku terpelongoh. Apa yang akan kugambar? Senja tertawa. Itulah komentar paling mainstream yang sering ia dengar dari orang-orang sepertiku. Yang sama sekali tak bisa menggambar. Baiklah, dengan segala keterbatasan aku pun mencobanya.
Memilih cangkir di depanku sebagai pemantik imajinasi. Hasilnya seperti di bawah ini.
IMG20181015171605.jpg
Pola cangkir yang kubuat
IMG20181015171745.jpg
Senja memberikan sentuhan terakhir dari pola yang kubuat supaya tampak lebih simetris
IMG20181015172259.jpg
Senja memberikan sentuhan terakhir dengan efek kopi.
IMG20181015172556.jpg
Hasil akhirnya seperti ini. Keren ya?
Bertemu Senja selalu menyenangkan. Selalu ada topik menarik yang bisa didiskusikan. Sore kemarin misalnya, sambil menyelesaikan sketsa, kami mengobrolkan apa saja. Tentang gambar, tentang menulis, tentang gunung, tentang hutan, tentang wakaf, tentang syariat Islam, dan juga tentang cinta.
Oh ya, satu lagi yang membuatku selalu merasa senang mengobrol dengannya. Kami benar-benar mengobrol, tak memberi ruang bagi perangkat apa pun untuk mencuri kebersamaan kecuali untuk mengabadikan potongan-potongan cerita seperti di atas. Bukankah sejatinya pertemuan memang untuk itu? Memberi kesempatan bagi lisan tanpa perantara kata dalam wujud huruf dan angka di layar gawai.[]

Selasa, 16 Oktober 2018

Tak Sesederhana Puisi Sapardi



Nyatanya, mencintaimu tak sesederhana puisi yang pernah dituliskan Sapardi Djoko Damono.

Aku memanggil namamu dalam helaan hening. Sebagai isyarat jutaan ucap yang ingin kusampaikan lewat kata-kata. Lalu aku menunggu. Sampai pagi tiba. Bunga-bunga mimpi mengambil alih semua khayaliku tentangmu.

“Aku rindu,” kataku. “Aku ingin bertemu,” kataku lagi.

Pertemuan itu pun, tak sesederhana pertemuan pada lazimnya. Pertemuan itu mengulum mendung, yang bisa melahirkan hujan sewaktu-waktu. Menyekap kata-kata, hingga akhirnya kita nyaris seperti makhluk bisu.

Aku menyesap kopi. Kau menikmati secangkir cokelat panas. Aku mencicipi minumanmu, bukan karena aku sangat ingin menikmati cokelat itu. Tapi agar aku bisa mengecup bibirmu melalui perantara cangkir itu. 

Lihatlah, bahkan untuk saling mengecup pun kita harus meminta bantuan cangkir. Lalu di mana sederhananya mencintaimu?

“Aku ingin menikmati kota ini denganmu.”

Sesederhana itu keinginanku. Tidur beralaskan rumput. Memandangi pendar-pendar keperakan bercampur emas di atas kepala kita. Dan kilau cahaya di sepasang matamu. Mata yang selalu ingin aku tatap. Mata yang ingin kutenggelamkan diriku ke dalamnya.

Jawabanmu mematahkan keinginanku yang sederhana itu. Nyatanya tak sesederhana itu. Kadang-kadang ‘ya’ saja tak cukup sebagai jawaban.[]

-->

Jumat, 24 Agustus 2018

Minuman yang Tak Sempat Kami Habiskan

Ilustrasi by me


“Abang mau minum apa? Kopi?” tanyaku pada Zenja malam itu.

“Malam-malam kok minum kopi. Nggak bisa tidur kita nanti.”

Sementara Zenja sibuk melihat-lihat daftar menu, kugunakan kesempatan itu untuk memandangi wajahnya. Wajah yang selalu kurindukan. Karena di sana terdapat sepasang mata yang selalu menatapku penuh rindu dan sungging senyum yang melegakan setiap kali aku melihatnya.

Malam itu, akhirnya kami bisa bertemu setelah melewati hari demi hari yang sangat lama dan panjang. Aku lebih dulu sampai sekitar lima belas menit dari waktu yang telah kami sepakati. Zenja tertahan karena arus lalu lintas yang sangat padat menjelang pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh VII. Sabtu malam itu Banda Aceh memang tampak lebih ramai dari biasanya.

Kami, tepatnya aku, memilih sebuah kafe di sudut Taman Bustanussalatin untuk lokasi pertemuan. Tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Tak begitu jauh pula dari tempat Zenja menginap malam itu.

Selain itu, aku suka pada tata letak kafe tersebut. Sebuah bangunan lama yang ditata kembali dengan sentuhan yang lebih modern dan artistik. Berbeda dengan sebelumnya yang sangat kental dengan suasana ‘warung kopi’. Setelah lama tak berfungsi, rumah bergaya lama dengan material kayu itu pun kembali berfungsi menjadi sebuah kafe. Tak heran bila para pengunjung umumnya dari kalangan anak muda.

Lagipula aku ingin bernostalgia. Di tempat yang sama, bertahun-tahun sebelumnya, kami pernah berada di ruang dan tempat yang sama. Aku dengan urusanku, Zenja dengan urusannya. Kami saling melempar senyum dari jauh, saling memandang, saling mengirimkan pesan-pesan kerinduan. Meski sudah bertahun-tahun aku tak pernah lupa pada sekeping momen itu. Bukan hanya itu, aku mengingat semua momen yang pernah kami lewati bersama.

“Apa dong kalau bukan kopi?” tanyaku.

Aku ingin menertawainya. Betapa teraturnya hidup Zenja-ku. Berbeda denganku yang tak pernah peduli pada waktu bila sudah ingin minum kopi. Lalu, kadang-kadang aku mengeluh karena terserang insomnia akibat kafein.  “Nanti kita akan punya waktu yang panjang untuk minum kopi berdua,” kata Zenja suatu ketika.

“Ya, itu artinya kita juga akan punya waktu yang lama dan panjang untuk saling bertukar cerita.”

“Pasti dong.”

“Abang jus kiwi aja,” kata Zenja kemudian. Membuyarkan lamunanku.

Aku segera menuliskan pesanannya. Kemudian memanggil pramusaji yang melintas di dekat meja kami.

“Jus kiwinya nggak ada,” kata pramusaji pria yang mengambil pesanan kami.

“Ya sudah, ganti saja dengan lemon tea hangat,” jawab Zenja.

“Cerewet kali beberapa hari ini…”

Komentar pertama Zenja sebagai pembuka obrolan kami malam itu membuatku nyaris tergelak. Aku tersipu manakala telingaku menangkap kosakata ‘cerewet’. Setelah sadar aku malah jadi bersungut-sungut.

“Iya dong. Masak kalem-kalem aja.”

Lalu mengalirlah cerita-cerita yang ingin kudengar dari mulutnya. Cerita-cerita yang selama ini cuma bisa kami pertukarkan melalui perantara berupa perangkat teknologi. Yang ketika kesal, marah, senang, atau sedih, hanya bisa diwakilkan oleh emoticon-emoticon tertentu.

Belasan menit kemudian pesanan kami sampai. Sayangnya kami tak bisa lama-lama di sana, karena pertimbangan waktu pula, minuman yang telah kami pesan tak sempat kami habiskan. Tepatnya kami sudah tak haus lagi. Sebab kami datang ke sana memang bukan untuk menghilangkan dahaga. Namun untuk menyembuhkan rindu yang sekarat.

Kami bergegas. Meninggalkan kafe dengan lampu-lampu kekuningan dan bayang-bayang pohon dari pantulan pendar bulan di ketinggian sana. Kami memilih menyusuri ruas-ruas jalan kota ini sambil menikmati silir angin. Menikmati waktu-waktu yang kian susut. Waktu yang tak bisa dipersingkat atau diperpanjang. Waktu yang kami gunakan untuk menerjemahkan bertumpuk-tumpuk rindu. Juga cinta.[]


 Ditulis sebagai kenang-kenangan masa lalu di masa depan
 4 Agustus 2018



Selasa, 14 Agustus 2018

Yang Lebih Kurindukan Daripada



"Selamat pagi, Cinta."

Sayup-sayup kudengar suaramu mampir ke telingaku. Aku menggeliat. Menarik selimut dan bersiap untuk tidur kembali.

"Sayang?"

Kembali kudengar suaramu. Aku mengerjap-ngerjap. Mengumpulkan seluruh kesadaranku. Kutoleh ke kiri, mataku langsung menangkap berkas-berkas cahaya yang menembusi jendela kaca berlapis tirai putih dan cokelat muda.

"Sudah pagi rupanya..." aku membatin seraya menangkap sosokmu di sudut ruang.

Beberapa saat kemudian setelah mandi dan berkemas-kemas aku segera ke ruang makan. Setelah sebelumnya mendapat hadiah berupa pelukan yang hangat dan erat darimu, serta ciuman yang membuatku nyaris terbakar. Kau menyusul belakangan.

"Mau kopi?" tanyaku.

Kau menggeleng. Kau memilih jus jeruk segar dan beberapa potong sus. Sedangkan aku memilih sarapan dengan secangkir kopi, dua potong puding dan beberapa potong dadu semangka. Rasanya itu menjadi ritual pagi yang menyenangkan.

"Kita ke bawah saja," katamu sesaat setelah kita usai sarapan. "Di sana kita bisa ngobrol dengan leluasa."

"Kamu tampak lebih kurus," ujarmu semalam, sesaat sebelum kita menyusuri kota ini sambil bergandengan tangan.

"Itu karena tergerus rindu," jawabku setengah bercanda.

Kau ikut tertawa. Sangat bahagia rasanya bisa melihatmu tertawa seperti itu. Aku suka melihat senyum.

"Kita sudah lama tidak bertemu. Kamu punya cerita apa? Aku ingin mendengarnya..." suaramu bercampur dengan deru angin yang meliukkan pohon-pohon di sekitar kafe tempat kita duduk. 

"Aku hanya ingin memelukmu. Menyatukan detak jantung kita," jawabku. "ada kalanya duduk diam, saling menatap, saling bertukar senyum lebih kurindukan daripada kalimat-kalimat panjang kita."[]


Minggu, 12 Agustus 2018

Duet di Panggung Bareng Mira Maisura



Akhirnya, bisa juga dapat kesempatan duet bareng @rahmanovic aka Mira di panggung. Rasanya? Uhg... deg-degan.

Jadi ceritanya pada Jumat sore, 10 Agustus 2018 kemarin aku dan Mira didapuk untuk mengisi talkshow seputar Steemit dan blog di panggung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh. Selama satu jam dari pukul lima sampai pukul enam sore kami cuap-cuap melalui pelantang suara.

Sebenarnya ini bukan panggung kami, melainkan jatahnya Bang @rismanrachman. Sejak awal aku mengusulkan kepada panitia agar materi tentang Steemit dan blog dimasukkan dalam agenda kegiatan. Pasalnya dua topik ini sangat erat kaitannya dengan literasi digital. Literasi memang salah satu isu yang menjadi fokus kerjanya instansi ini.

Namun karena Bang Risman tak bisa, akhirnya kamilah yang mewakili tampil di atas panggung. Eh, nggak juga ding, itu pun setelah sang Ketua KSI Banda Aceh @kems13 alias Kemal juga tak bisa karena acaranya dibuat di hari kerja. Tapi senang juga sih ha ha ha.

Karena kami sama-sama bloger dan sama-sama steemian, aku dan Mira bagi-bagi tugas. Aku bicara mengenai blog dan Mira memaparkan tentang Steemit. Sejak awal kami sepakat tidak menjadikan fulus sebagai bahasan utama kami. Uyeee... sesuai prediksi, bahkan sejak awal sang moderator langsung menyosor dengan pertanyaan yang sudah kami antisipasi itu.

Steemit dan uang memang menjadi 'gosip' yang selalu menyenangkan untuk dibahas. Terutama oleh mereka yang tak tahu gimana berdarah-darahnya para steemian bertahan dalam kondisi seperti sekarang. Makanya aku bersyukur tahu Steemit awalnya dari Mira yang sama-sama alumni Multiply. Fokus kami cuma menulis, menulis, dan menulis. Reward itu bonus. Na hek pasti na hak.

Aduh! Jadi ngelantur, padahal cuma mau bilang, aku happy bukan main bisa sepanggung dengan Mira. Bisa dengerin Mira cuap-cuap soal Steemit, jadi tahu kalau Mira banyak tahu mengenai platform yang satu ini. Tak rugilah selama ini aku sering ngerecokin dia hak hak hak. Sudah gitu saja![]

Selasa, 07 Agustus 2018

Kecup Terakhirmu Itu



Apa pun yang terjadi denganmu akan kucatat sedetail-detailnya. Jika tak mampu kunarasikan dengan baik, akan kucatat di dalam memori terbaikku. Agar kelak semua itu menjadi kenangan indah buat kita. Ya kan, Zenja?
Terima kasih untuk waktumu. Terima kasih untuk cintamu yang besar. Untuk tatapanmu yang selalu penuh gebu dan cinta. Untuk kecupan hangat yang kau daratkan di keningku. Untuk genggaman erat di jemariku. Untuk lenganmu yang bisa kugandeng dengan mesra.
Untuk langkahmu saat membersamaiku menyusuri sebagian lekuk kota ini. Untuk peluk yang menenangkan dan meredam semua emosi. Untuk ruang dan waktu yang hanya milik kita berdua. Ya, hanya milik kita berdua. Untuk kesabaranmu menghadapiku yang sering tak pernah sabar.
Aku tak pernah menghitung sudah seberapa jauh perjalanan kita. Yang kutahu jarak agar kita bisa bersama semakin pendek. Semakin singkat. Kepada Tuhan kita selalu berdoa bukan?
Setiap kali memandangmu aku selalu mendapatkan kekuatan baru. Melihat senyummu, hatiku ikut mengembang. Berubah menjadi energi besar untuk hari-hari berikutnya tanpamu. Semuanya memang tak mudah, tapi yang tak mudah itu mengajarkan kita banyak hal. Mengajarkan kita tentang apa itu bersabar.
Aku jatuh cinta (lagi) padamu, Zenja. Cinta yang tak bisa kunarasikan dengan baik. Cinta yang mengacaukan segala emosi. Cinta yang menerbitkan senyum matahari.
Januari atau Juli, kehadiranmu di kota ini selalu memekarkan bunga-bunga angsana di tepi jalan. Dan kecup terakhirmu itu, Sayang... akan kuingat hingga aku lupa bagaimana caranya mengingat.[]

Senin, 30 Juli 2018

Selamat Ulang Tahun Guru Kami Yarmen Dinamika

Selamat Ulang Tahun Guru Kami Yarmen Dinamika
Sudah lama saya ingin menuliskan sesuatu tentang Pak Yarmen, tetapi belum ketemu momen yang tepat. Malam tadi, begitu pergantian waktu dari 'pm to am', di beranda Facebook saya langsung berganti pula nama teman-teman yang berulang tahun. Salah satunya muncul nama Yarmen Dinamika. Aha! Hati saya berteriak girang. Inilah saat yang tepat menuliskan tentangnya.

Sungguh, jika semalam saya belum memosting tulisan di Steemit beberapa saat sebelum pukul 00.00 WIB, maka saya akan menayangkan postingan ini. Anggaplah ini sebagai kado dari seorang murid kepada gurunya. Sebagai bentuk apresiasi dan rasa terima kasih atas ilmu-ilmu yang ia berikan untuk kami (saya) selama ini.

Saya sangat bangga bisa menjadi muridnya hampir setahunan ini melalui wadah Forum Aceh Menulis (FAMe). Merasa beruntung karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti yang saya dapatkan. Selama belasan tahun saya hanya mendengar namanya saja, bukankah istimewa jika pada akhirnya saya menjadi salah satu muridnya?



Pertama kali saya mendengar nama dan melihat Pak Yarmen pada 2005 atau 2006 silam. Waktu itu beliau menjadi salah satu narasumber untuk pelatihan jurnalistik yang dibuat oleh BEM Unsyiah. Saya salah satu pesertanya. Namun ingatan saya tak bisa memutar ulang fragmen masa lalu itu dengan baik. Memori saya juga tak mampu merekam seperti apa wajah Pak Yarmen ketika itu. Yang saya ingat, salah satu narasumbernya dari Serambi Indonesia.

Saya malah lebih ingat pada Srikawati, salah satu peserta pelatihan yang berasal dari Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah. Srikawati waktu itu kontributor untuk salah satu media di Jakarta. Jujur saja, itu sangat keren kedengarannya.

Nama Pak Yarmen mulai sering saya dengar sejak saya bekerja di The Atjeh Post dalam rentang waktu 2012-2014. Di pengujung 2013, untuk yang kedua kalinya kami berada di forum yang sama. Hari itu saya mendengar namanya disebut-sebut dalam diskusi seminar tesis Bang Alfi Rahman di Magister Kebencanaan Unsyiah. Beliau sempat berbicara, tapi sayang saya tak bisa melihat wajahnya.

Pertengahan tahun lalu ketika ada ajakan untuk mengikuti kelas yang diampu oleh Pak Yarmen, saya tak berpikir dua kali. Saya termasuk orang yang memercayai teori sederhana ini: bahwa manusia terbentuk berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Maka saya memutuskan untuk membentuk diri saya dengan melihat, mendengar, dan merasakan apa yang diajarkan langsung oleh Pak Yarmen. Sejak saat itu saya memutuskan agar bisa menjadi murid yang baik. Saya meyakini beliau adalah guru yang bisa mendekatkan saya pada impian-impian saya di ranah literasi.

Setelah hampir genap setahun menjadi muridnya, saya merasa menyesal. Duh, kok terlambat sekali saya mengenalnya sih? Kenapa tidak dari dulu. Aduh! Ke mana saja saya selama ini. Pada @hayatullahpasee sering saya katakan, betapa beruntungnya kami bisa menjadi murid Pak Yarmen.



Pak Yarmen guru yang asyik. Ia tak hanya menguasai banyak ilmu tetapi juga sangat baik dalam mentransfer pengetahuannya. Ia juga kerap mengedifikasi murid-muridnya di depan koleganya. Beberapa nama cukup sering ia promosikan di dalam forum.  Sikap positif yang ia tunjukkan ini tentunya akan menambah kepercayaan diri murid-muridnya.

Ia juga seseorang yang sangat rendah hati. Saya sering tak habis pikir, bagaimana mungkin orang sekaliber Pak Yarmen bersedia mengajarkan kami menulis sambil lesehan di kolong rumoh Aceh. Banyak waktu yang seharusnya ia habiskan bersama keluarga di akhir pekan justru ia habiskan bersama kami untuk kelas-kelas khusus. Ia juga menularkan semangat dan keikhlasannya kepada para koleganya sehingga kami, khususnya anak-anak FAMe bisa mendapatkan ilmu-ilmu lainnya secara gratis.

Tapi itulah Pak Yarmen kami. Hari ini usianya genap 53 tahun. Usia setengah abad rasa seperempat abad. Itulah Pak Yarmen kami. Guru kami. Semoga Allah memanjangkan usianya. Selalu melimpahkan kesehatan untuknya. Memudahkan rezekinya. Selamat ulang tahun guru kami Yarmen Dinamika.[]

Minggu, 22 Juli 2018

Kita Bergandengan Tangan



Aku memimpikanmu semalam, Zenja. Kita bergandengan tangan. Lalu berjalan beriringan. Mungkinkah kita sama-sama sibuk, sampai lupa saling menyapa, lalu mimpi mengingatkan kita?

Ah, apa pun itu, percayalah aku akan selalu menunggumu di lorong-lorong waktu yang pernah kita lalui itu. Meneguk hangatnya minuman yang kau racik dengan cinta di pagi hari. Menunggu atau memberi kabar dari dan untukmu selalu mendebarkan.

Menunggu September tiba. Rumah tempat aku berpulang. Aku boleh pergi dan mengembara sejauh-jauhnya, tetapi pada Septemberlah aku kembali. September begitu nyaman dan hangat. Karena memang di sana hati dan dirimu berada.

Tak banyak yang bisa kutuliskan. Mungkinkah kata-kata telah mengendap? Entahlah, Zenja...[]





Selasa, 29 Mei 2018

(Don't Say Good) Bye



Ada satu kata yang paling tidak ingin kudengar, yaitu bye. Dalam bahasa Inggris kosakata ini artinya selamat tinggal. Ketika seseorang mengucapkan bye padamu, kau tahu itu artinya apa? Secara harfiah dia tentu akan meninggalkanmu. Meninggalkanmu di suatu tempat yang jauh, atau meninggalkanmu dari kehidupannya.

Kau lebih suka yang mana? Kalau aku tak inginkan kedua-duanya, walaupun itu mustahil. Antara meninggalkan dan ditinggalkan tak bisa dihindari, tak bisa hanya memilih salah satunya, sama seperti datang dan pergi yang menjadi sunnatullah. Tetapi ditinggalkan dengan penegasan kata 'selamat tinggal' sungguhlah tidak mengenakkan. Itu artinya ada pintu yang tertutup, mungkin juga akan tergembok rapat. Tipis harapan untuk berharap bisa bertemu kembali.

Dalam satu fragmen hidupku, aku pernah merasakan keduanya sekaligus. Pada saat yang bersamaan aku harus meninggalkan dan juga merasakan nyerinya ditinggal. Itu terjadi ketika usiaku masih belasan tahun. Saat aku belum begitu mengenal siapa diriku sendiri. Saat aku belum bisa memaknai bahwa keduanya sangat tidak menyenangkan.

Itulah saat aku harus meninggalkan kampung halaman karena direnggut konflik. Dan saat aku ditinggalkan oleh kerabat, oleh teman-teman sepermainan. Mereka pergi ke tempat-tempat yang jauh, dan sampai sekarang tak pernah bertemu lagi. Yang tinggal cuma kenangan, ya, cuma kenangan.

Kalau saja saat itu kami sempat saling mengucapkan selamat tinggal, mungkin emosiku takkan begitu teraduk-aduk. Karena tak perlu lagi berharap untuk bertemu, cukup dengan saling berkirim doa saja. Berharap kehidupan kami bisa lebih baik setelah ditinggalkan dan meninggalkan. Selalu ada kehidupan baru yang menanti bukan?

Tapi lagi-lagi itu soal takdir, siapa yang bisa menghalau kehendak Yang Kuasa? Siapa yang bisa memprediksi kejadian besok? Ahli nujum pun tidak bisa...[]