Jumat, 24 Agustus 2018

Minuman yang Tak Sempat Kami Habiskan

Ilustrasi by me


“Abang mau minum apa? Kopi?” tanyaku pada Zenja malam itu.

“Malam-malam kok minum kopi. Nggak bisa tidur kita nanti.”

Sementara Zenja sibuk melihat-lihat daftar menu, kugunakan kesempatan itu untuk memandangi wajahnya. Wajah yang selalu kurindukan. Karena di sana terdapat sepasang mata yang selalu menatapku penuh rindu dan sungging senyum yang melegakan setiap kali aku melihatnya.

Malam itu, akhirnya kami bisa bertemu setelah melewati hari demi hari yang sangat lama dan panjang. Aku lebih dulu sampai sekitar lima belas menit dari waktu yang telah kami sepakati. Zenja tertahan karena arus lalu lintas yang sangat padat menjelang pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh VII. Sabtu malam itu Banda Aceh memang tampak lebih ramai dari biasanya.

Kami, tepatnya aku, memilih sebuah kafe di sudut Taman Bustanussalatin untuk lokasi pertemuan. Tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Tak begitu jauh pula dari tempat Zenja menginap malam itu.

Selain itu, aku suka pada tata letak kafe tersebut. Sebuah bangunan lama yang ditata kembali dengan sentuhan yang lebih modern dan artistik. Berbeda dengan sebelumnya yang sangat kental dengan suasana ‘warung kopi’. Setelah lama tak berfungsi, rumah bergaya lama dengan material kayu itu pun kembali berfungsi menjadi sebuah kafe. Tak heran bila para pengunjung umumnya dari kalangan anak muda.

Lagipula aku ingin bernostalgia. Di tempat yang sama, bertahun-tahun sebelumnya, kami pernah berada di ruang dan tempat yang sama. Aku dengan urusanku, Zenja dengan urusannya. Kami saling melempar senyum dari jauh, saling memandang, saling mengirimkan pesan-pesan kerinduan. Meski sudah bertahun-tahun aku tak pernah lupa pada sekeping momen itu. Bukan hanya itu, aku mengingat semua momen yang pernah kami lewati bersama.

“Apa dong kalau bukan kopi?” tanyaku.

Aku ingin menertawainya. Betapa teraturnya hidup Zenja-ku. Berbeda denganku yang tak pernah peduli pada waktu bila sudah ingin minum kopi. Lalu, kadang-kadang aku mengeluh karena terserang insomnia akibat kafein.  “Nanti kita akan punya waktu yang panjang untuk minum kopi berdua,” kata Zenja suatu ketika.

“Ya, itu artinya kita juga akan punya waktu yang lama dan panjang untuk saling bertukar cerita.”

“Pasti dong.”

“Abang jus kiwi aja,” kata Zenja kemudian. Membuyarkan lamunanku.

Aku segera menuliskan pesanannya. Kemudian memanggil pramusaji yang melintas di dekat meja kami.

“Jus kiwinya nggak ada,” kata pramusaji pria yang mengambil pesanan kami.

“Ya sudah, ganti saja dengan lemon tea hangat,” jawab Zenja.

“Cerewet kali beberapa hari ini…”

Komentar pertama Zenja sebagai pembuka obrolan kami malam itu membuatku nyaris tergelak. Aku tersipu manakala telingaku menangkap kosakata ‘cerewet’. Setelah sadar aku malah jadi bersungut-sungut.

“Iya dong. Masak kalem-kalem aja.”

Lalu mengalirlah cerita-cerita yang ingin kudengar dari mulutnya. Cerita-cerita yang selama ini cuma bisa kami pertukarkan melalui perantara berupa perangkat teknologi. Yang ketika kesal, marah, senang, atau sedih, hanya bisa diwakilkan oleh emoticon-emoticon tertentu.

Belasan menit kemudian pesanan kami sampai. Sayangnya kami tak bisa lama-lama di sana, karena pertimbangan waktu pula, minuman yang telah kami pesan tak sempat kami habiskan. Tepatnya kami sudah tak haus lagi. Sebab kami datang ke sana memang bukan untuk menghilangkan dahaga. Namun untuk menyembuhkan rindu yang sekarat.

Kami bergegas. Meninggalkan kafe dengan lampu-lampu kekuningan dan bayang-bayang pohon dari pantulan pendar bulan di ketinggian sana. Kami memilih menyusuri ruas-ruas jalan kota ini sambil menikmati silir angin. Menikmati waktu-waktu yang kian susut. Waktu yang tak bisa dipersingkat atau diperpanjang. Waktu yang kami gunakan untuk menerjemahkan bertumpuk-tumpuk rindu. Juga cinta.[]


 Ditulis sebagai kenang-kenangan masa lalu di masa depan
 4 Agustus 2018



Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)