Selasa, 10 Oktober 2017

Saturday with My Boy Bike


BERSEPEDA kini menjadi aktivitas baru yang sangat menyenangkan buatku. Selain rutin berlatih aikido dua kali seminggu, bersepeda masuk dalam daftar aktivitas mingguan yang kulakukan. Terutama di akhir pekan dan waktu-waktu senggang. Alhasil kegiatan berlari yang sebelumnya juga rutin kulakukan terpaksa dipending dulu untuk waktu yang tidak terbatas.
Karena susah menyocokkan waktu dengan teman-teman, jadinya aku lebih sering bersepeda sendirian. Teman-teman di komunitas selalu gowes bareng di hari Minggu, sementara aku pada hari itu malah kerja. Jadinya belum sekalipun niat gowes bareng mereka terwujud sampai hari ini. Kalau ingin bersepeda dengan rute yang jauh aku harus melakukannya di hari Sabtu, karena hari itu aku libur.
Setelah sebelumnya sempat bikin janji dengan dua teman untuk bersepeda bersama di Sabtu pagi, eee.... lagi-lagi aku harus gowes sendirian. Teman yang satu malamnya harinya terpaksa membatalkan karena ibunya datang dari kampung. Mira juga membatalkan karena ada acara di kampus. Karena memang sudah diniatkan untuk gowes, aku tetap bergerak.
Kali ini aku menjajal rute menuju arah matahari terbit. Pukul delapan pagi aku mulai bergerak dari markas di Peulanggahan, Banda Aceh menyusuri jalanan kota yang lengang. Setidaknya cukup nyaman saat harus melewati Jalan Teungku Chik Ditiro yang sedang ada proyek pembangunan jalan layang. Untuk keluar dari Kota Banda Aceh aku memilih menyusuri jalan kampung di sepanjang bantaran Krueng Aceh. Debit air sungai terlihat lebih banyak dari biasa dan warnanya kecokelatan.
Sampai di Lamteungoh, lewat bundaran Lambaro, aku memutuskan mampir di rumah Kak Syarifah Aini. Teman sesama blogger dan juga anggota Forum Aceh Menulis (FAMe). Ide ini muncul tiba-tiba di tengah perjalanan saat aku berhenti sebentar di Pagar Air untuk sarapan. Selain untuk menyambung silaturrahmi, bisa sekalian istirahat kan? Di rumah Kak Aini aku disuguhi secangkir kopi. Dalam obrolan singkat itu kami mendiskusikan dua hal yaitu tentang buku dan disleksia.
Setelah kopi habis dan obrolan pun dirasa cukup, aku berpamitan setelah sebelumnya melihat-lihat kelinci di kandang samping. Kak Aini ini adalah seorang lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dan sangat suka pada kelinci. Bersama suaminya Bang Yudi, ia berternak kelinci. Sekali waktu saat buka puasa bersama ia membawa kelinci rendang. Dan ternyata rasanya..... sangat enak lho!

Tujuanku selanjutnya adalah menuju Gampong Lubuk Sukun di Kecamatan Ingin Jaya. Lubuk Sukon ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh kementerian terkait pada 2013 lalu. Aku sering melewati desa ini karena ada kerabat yang tinggal di Paleuh Blang. Desa ini cukup menarik secara visual, suasana desanya masih sangat kental. Ciri khas desa ini adalah rumah-rumah berpagar tanaman perdu yang kita kenal sebagai teh-tehan atau bak te. Memberikan kesan asri dan teduh. Di sini juga masih banyak dijumpai Rumoh Aceh.
Karena sendirian, aku tidak berlama-lama di sini, lagipula rute yang harus kutempuh masih panjang. Dari Lubuk aku langsung mengambil jalan pintas melewati Gedung SKB dan tembus ke Gampong Dham Cukok. Terus mendayung hingga bertemu jalan besar menuju Bandara SIM, dari sini aku mengarahkan kemudi ke kanan melewati Gampong Gani, lalu belok kiri melintasi Gampong Lam Siem.
Rute ini sudah tidak asing lagi buatku, dulu aku sering melintasinya dengan sepeda motor. Dan kali ini ingin kembali menjajalnya dengan kereta angin alias sepeda. Walaupun jam digital sudah menunjukkan angka di pukul sepuluh lebih, namun matahari masih sangat bersahabat. Melewati perkampungan yang hijau dengan paparan matahari yang tidak begitu garang sangat mengasyikkan.

Sampai di Gampong Lam Baet aku berhenti sejenak di pinggir sawah untuk minum dan meluruskan kaki. Harusnya ada kopi ya, biar santainya jadi lebih terasa. Jalanan ini cukup lengang, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Di Lam Baet ini sebenarnya ada juga seorang teman, tapi aku urung menghubunginya dengan pertimbangan harus sampai ke rumah sebelum Zuhur. Benar saja, kalau aku telat pasti sudah kehujanan. Sebab tak lama setelah aku sampai di rumah hujan turun dengan lebatnya.
Setelah jembatan Cot Irie sebelum SPBU aku kembali berhenti. Setumpuk kelapa muda di sebuah kedai bakso seketika menjadi sangat menggoda. Air kelapa muda bagus untuk mengganti ion tubuh yang hilang.

Tiang warna-warni yang memisahkan Taman Bustanussalatin atau Taman Sari Banda Aceh dengan Masjid Raya Baiturrahman adalah pemberhentian terakhirku kemarin. Azan Zuhur baru saja usai berkumandang saat aku tiba di sini. Sudah lama aku ingin mengabadikan sepedaku dengan tiang warna-warni yang menyolok tersebut, tapi baru kesampaian kemarin. Alhamdulillah....[]

Sabtu, 07 Oktober 2017

Zahida


Ini merupakan siluet sahabatku Nurzahidah Getlatela. Foto ini kuambil pekan lalu saat kami sama-sama berkonsultasi pada seorang psikolog. Barangkali kami sudah sama-sama 'gila', sebab itulah kami tak merasa canggung dan merasa perlu menjaga privasi saat konsultasi pada psikolog yang sama, di hari yang sama, pada waktu dan ruangan yang sama pula. Selama ia berkonsultasi, aku duduk manis sambil mendengar curcolnya yang sangat menggelitik. Dan selama aku berkonsultasi, dia juga mendengarkan sambil duduk (tak) manis. Yang sama-sama menjadi pertanyaan kami begitu waktu konsultasi selesai adalah; mengapa tidak ada salah seorang pun di antara kami yang membahas mengenai calon pasangan hidup di depan psikolog? Ini membuktikan, yang memiliki 'masalah' ternyata bukan kami, melainkan orang-orang di sekeliling kami. Yang tak pernah bosan tanya kapan? Kapan? Kapan? :-D Pertemanan kami belum terlalu lama, baru genap setahun. Bermula dari memesan sekotak donat hasil kreasinya, jadilah kami berteman hingga detik aku menuliskan catatan ini. Dan dalam beberapa waktu terakhir ini kupercayakan dia untuk menampung sedikit cerita gilaku yang itu-itu saja. Nyaris tiada hari yang terlewatkan tanpa membahas satu topik yang itu-itu saja, bukankah itu gila namanya? Dan siang tadi, di sebuah bengkel, kegilaan yang setengahnya masih rahasia itu hampir terbongkar hihihi... Kemarin, sejak siang hingga magrib kami menghabiskan waktu bersama-sama. Ibarat musafir, kami berpindah dari satu masjid ke masjid lain untuk salat Zuhur dan Asar. Serta pindah dari warung kopi menuju beberapa rumah untuk silaturrahmi. Tetap yang menjadi topik obrolan kami selama itu adalah yang gila-gila itu saja hahaha. Ngomong-ngomong, dia pun tak malu lagi menceritakaan kegilaannya padaku hahahah. Ini tentang Nurzahida. Namanya memiliki unsur 'Z' yang sangat kusukai. Ngomong-ngomong hampir semua cerpen-cerpenku nama tokohnya memiliki konsonan Z. Zahida ini menurutku unik, sanguinnya lebih menonjol dibandingkan dua karakter personaliti lain yang ada dalam dirinya yaitu koleris dan melankoli. Dua personaliti terakhir ini yang membuatnya mampu mengembangkan Getlatela hingga sudah berusia tiga tahun. Btw Getlatela ini adalah industri rumah tangga yang memproduksi donat dengan bahan dasar utama labu dan ketela. Sudah banyak testimoni tentang usahanya ini, jika kamu penasaran tinggal stalking saja di beranda Facebook-nya atau googling. Berbagai penghargaan pun sudah ia dapatkan berkat mengelola usaha tersebut. Sudah sering diminta jadi pembicara di mana-mana untuk sharing mengenai wirausaha. Tiga hal positif tentangnya adalah; cerdas, pekerja keras, humoris. Sementara karakter sanguin membuatnya menjadi seseorang dengan pribadi yang menyenangkan dan ramah. Keramahtamahan inilah yang membuat obrolan pertama kami melalui beranda ini berlanjut ke ruang private lainnya, hingga akhirnya kami sudah berteman lebih dari 365 hari. Dan siapa sangka, dengan usia pertemanan yang baru 'segitu' kami sudah menghadap ke psikolog hihihihi.[]

Dipindahkan dari status Facebook pada 19 September 2017

Minggu, 01 Oktober 2017

(Bukan) Makan Malam Biasa


KUSEBUT ini bukan makan malam biasa. Sebab kami baru makan saat perut(ku) sudah tak lapar lagi. Saat orang-orang kukira sudah mengosongkan lambungnya dan bersiap-siap untuk istirahat.

***

Sudah pukul sepuluh tepat saat kakiku melangkah masuk ke sebuah kafe di Jalan Teuku Umar, Banda Aceh pada Rabu malam. Riuh live music menyambutku. Panggung kecil di sudut kanan depan ruangan langsung menyita perhatianku. Ada seperangkat alat musik dan seorang biduan yang menjadi asal muasal 'keriuhan' itu.

Aku memilih duduk di kursi yang berlawanan arah. Dua deret meja kayu memberi jarak dengan panggung. Posisi ini memberiku keleluasaan untuk mengamati isi ruangan, juga ke arah jalan raya. Memudahkanku yang sedang menunggu. Hingga tiga puluh menit kemudian aku menunggu kedatangan Zelda ditemani bait-bait tembang yang sama sekali tak kuingat lagi liriknya.

Kusebut ini bukan makan malam biasa, sebab seporsi martabak India yang kupesan setelah Zelda tiba sama sekali bukan menu yang ingin kusantap. Juga mie goreng yang dipesan Zelda. Aku mencicipinya sedikit, rasanya asin. Dan karena itulah Zelda sengaja menyisakan setengah hidangannya. "Semoga yang meraciknya mau mencicipinya sedikit, biar tahu rasanya seperti apa," kata Zelda iseng.

Ini memang bukan malam biasa, sebab tujuan awal kami memang bukan untuk bersantap di kafe ini. Melainkan sebuah kafe di lokasi yang sama yang jaraknya hanya terpaut beberapa puluh meter saja. Kwetiaw siram di kafe itu berhasil memikatku dan aku ingin menikmatinya kembali bersama Zelda. Tapi sayangnya selera makan yang sudah kusiapkan sejak awal itu terpaksa menguap, bercampur dengan angin malam yang semakin senyap.



Segelas jeruk peras dingin yang kupesan di kafe itu ternyata tak bisa menahanku untuk berlama-lama di sana. Entah aku yang datang terlalu malam, entah kafe dengan banyak lampu kerlap-kerlip itu yang terlalu cepat menghentikan aktivitasnya. Yang pasti, lima belas menit setelah aku memesan es jeruk kafe itu pun tutup. Tiga menit sebelumnya aku sempat mengabarkan Zelda, kalau aku ingin pulang saja. Tak ingin lagi meneruskan rencana makan malam kami.

Tapi syukurlah ia cepat merespons, tidak seperti biasanya. Dan kali ini, karena alasan keterlambatannya cukup 'syar'i', aku tak mempermasalahkan. Itu artinya, dengan sadar dan rela aku harus pindah ke kafe lain dan menunggu Zelda untuk waktu yang tidak sebentar.

Ada banyak kata untuk menggambarkan seperti apa Zelda. Tapi dua hal ini menurutku sangat identik dengannya; in time dan kocak. Soal in time ini, jangan bayangkan kalau dia --selama membuat janji denganku-- hadir jauh sebelum waktu yang disepakati tiba. Lazimnya adalah setelah itu, bahkan hingga berpuluh-puluh menit.

Pernah suatu pagi di akhir pekan, kami sudah sepakat untuk bersepeda bersama. Hari itu dia benar-benar membuatku dongkol karena harus menunggu lebih dari satu jam. Lebih mengesalkannya lagi, dia menyuruhku menunggu di tempat yang salah. Hanya saja hari itu aku bisa melampiaskan dengan menghujaninya tinjuan-tinjuan kecil. Sebuah protes yang tidak mungkin kulakukan malam kemarin. Selain karena alasannya terlambat sangat bisa dimaklumi, juga karena itu di tempat umum.

Lagipula melihatnya muncul dengan masih berbalut baju kerja, dan senyum yang sudah jatuh duluan --dengan lelah yang tak bisa disembunyikan-- rasanya tak adil jika harus berunjukrasa. Lagipula, sebuah perjalinan sejatinya adalah perwujudan dari sebuah pemakluman. Dan untuk itu ada kalanya ada ego pribadi yang harus ditundukkan untuk menegakkan ego yang lain.

***



Kusebut itu bukan makan malam biasa. Sebab kami harus menyantap hidangan sambil bertukar cerita dengan volume suara yang terpaksa harus dikeraskan. Agar suara kami tak kalah dengan suara musik. Tidakpun kuingat lagi apa yang kami bicarakan semalam, sebab aku sama sekali tak ingin mengingat percakapannya. Aku hanya ingin mengabadikan fragmen pertemuannya saja.

Dan, oh ya, jauh-jauh hari sebelum rencana makan malam itu terlaksana aku sudah menyimpan satu pertanyaan untuk Zelda. Tapi hingga acara makan malam itu berakhir, dan kami berpisah jelang pukul 00:00, pertanyaan itu urung kutanyakan. Mungkin akan kutanyakan di lain waktu, atau tidak sama sekali.[]