Jumat, 30 Oktober 2015

Catatan di RSZA: Diagnosa Penyakit Mak

Catatan di RSZA: Diagnosa Penyakit Mak
MAK perempuan yang hebat, kuat dan tegar. Beliau lahir di Tamiang 47 tahun silam. Di usianya yang belum genap setengah abad, Mak mempunyai segudang kisah hidup yang jika ditulis bisa menjadi berjilid-jilid. Kepingan alur cerita hidupnya sering menjadi pengantar tidur saat kami masih kecil. Dibandingkan kisah bahagia, lebih banyak cerita satir yang membuat mata berembun ketika mendengarnya. Tapi Mak mampu melewati semuanya dengan tegar. Mak tak pernah mengeluh apalagi menyesali takdir hidupnya.

Kini ketegaran itu seolah takluk pada penyakit yang dideritanya. Hampir dua bulan Mak terbaring di ranjang rumah sakit. Pindah dari satu ruang ke ruang lain. Bobot tubuhnya menyusut drastis, matanya cekung, senyum di bibirnya seketika hilang, kalah pada sakit yang menggerogoti tubuhnya. Tenaganya ikut sirna, bahkan untuk memegang piring atau gelas saja tak kuat lagi. Saya bersyukur sebab harapannya untuk sembuh tidak ikut tenggelam, walaupun kadang-kadang tampak sesekali binar matanya meredup.

Seumur hidupnya Mak hanya pernah dirawat di Puskesmas sekali waktu hamil si bungsu 16 tahun silam. Seingat saya Mak memang jarang sakit, kalaupun sakit hanya flu dan demam seperti yang dialami banyak orang. Tapi sejak ayah meninggal pada 2008 lalu kondisi kesehatan Mak mulai terganggu. Soal kesehatan yang terganggu ini agak susah untuk dijelaskan. Mak menderita penyakit non medis alias peunyaket donya. Entah sudah berapa banyak orang pintar yang didatangi Mak. Mulai dari orang Aceh hingga orang Batak, dari orang Teumieng hingga Jawa. Uang yang habis juga tak terhitung banyaknya. Rumah kami berkali-kali 'dicuci' dengan garam. Tetap saja Mak tidak sembuh. Indikasi sembuh pada penyakit yang tak kasat mata memang tak bisa diukur.

Selama itu pula hampir Setiap malam Mak mengalami mimpi buruk. Mak seringkali mengigau sampai berteriak-teriak. Kadang ia mimpi dikejar orang berjubah hitam, kadang mimpi seperti diterkam anjing hitam dan binatang lainnya. Setiap orang yang mengobati Mak bilang sakit Mak 'turunan' dari almarhum ayah yang juga terkena peunyaket donya.

Dua tahun belakangan Mak mulai menderita penyakit degeneratif -mungkin karena faktor stres- seperti diabetes mellitus dan asam urat. Lambungnya juga mulai bermasalah. Ketiga penyakit ini membuat Mak sering mengonsumsi obat obatan, baik obat medis maupun ramuan tradisional. Atau obat herbal yang dibeli di toko Cina.

Awal September lalu tiba-tiba Mak ngedrop dan masuk ICU. Sehari sebelumnya,  Sabtu, 5 September Mak menelepon saya. Kami ngobrol lama, suara Mak terdengar lemah. Tanpa diberi tahu pun saya sudah tahu kalau Mak sakit. Tapi karena hari libur Mak menunda rencana ke rumah sakit hingga hari Senin nanti. Rupanya belum sampai Senin Mak sudah masuk rumah sakit duluan karena terserang sesak nafas berat pada Minggu sekitar jam empat pagi. Mak pun langsung dilarikan ke RS Graha Bunda Idi Rayek.

Mendapat kabar Mak masuk rumah sakit, Minggu siang saya langsung pulang kampung. Jelang tengah malam saya sampai di rumah sakit. Sejumlah keluarga menunggui Mak di rumah sakit. Saat masuk ke ruang ICU masih teringat dengan jelas waktu itu Mak tidur dengan napas tersengal sengal. Di hidungnya menempel selang oksigen. Cairan infus masuk ke pembuluh darahnya melalui jarum. Tengah malam saat Mak terbangun dan melihat saya di sampingnya, Mak nampak lega walaupun tidak diucapkan.

Enam hari di rumah sakit kondisi Mak semakin parah. Sesak napasnya semakin menjadi jadi, dua hari terakhir Mak mulai batuk-batuk. Keluarga akhirnya meminta rujukan agar Mak dibawa ke Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin di Banda Aceh.

Jumat, 11 September pukul tiga sore akhirnya Mak dibawa ke Banda Aceh dengan ambulans. Tiba sekitar pukul sebelas malam. Hiruk pikuk IGD menyambut kedatangan kami. Untuk proses administrasi awal diurus oleh perawat pendamping. Dokter jaga di IGD langsung menangani Mak dengan cepat. Semuanya berlangsung begitu cepat, mereka mengambil darah Mak untuk diperiksa di laboratorium, ada juga yang menanyakan perihal riwayat penyakit Mak pada saya. Selanjutnya Mak dibawa ke ruang radiologi. Dokter yang memeriksa Mak curiga ada yang tidak beres di paru paru Mak setelah punggung kiri dan kanan ditepuk tepuk.

Malam pertama di RSZA saya dibuat takjub. Pasalnya hasil foto rontgen nya langsung jadi nggak lebih dari lima belas menit. Salut sama petugas medis yang begitu sigap seolah nggak ada beda antara siang dengan malam. Usai di rontgen Mak kembali dibawa ke IGD. Selanjutnya dua dokter pria menjelaskan hasil foto rontgen tadi pada saya. Intinya ada cairan di pleura paru Mak. Tapi cairan ini bukan karena trauma, melainkan karena efusi.

"Efusi itu apa dok?" Tanya saya.

Walaupun sudah larut malam konsentrasi saya masih oke. Penjelasan dokter saya simak baik-baik. Yang tidak paham langsung tanya saja. Ini memudahkan saya untuk menjelaskan pada keluarga yang umumnya sangat awam dengan dunia medis.

"Efusi itu cairan yang berasal dari infeksi," kata dokter menjelaskan.

Singkatnya, pleura atau pembungkus paru Mak sudah kelebihan cairan. Sehingga membuat Mak seperti orang tenggelam saat bernafas. Selain didiagnosa efusi pleura, Mak juga didiagnosa terkena pneumonia dan sepsis. Tentang penyakit ini akan saya tulis terpisah.

Sakit paru yang dialami Mak membuat kami kaget. Selama ini Mak tidak pernah mengalami sesak atau batuk. Tidak ada gejala yang mengindikasikan paru nya bermasalah. Yang membuat kami heran Mak bahkan pernah memeriksakan paru nya pada dokter spesialis tapi dinyatakan bersih.

Setelah menjelaskan tentang kondisi Mak, dokter lantas meminta persetujuan keluarga untuk penyedotan cairan paru. Surat tanda persetujuan keluarga ditandatangani oleh adik saya. Sekitar jam setengah empat pagi Mak lantas dibawa ke ruang operasi untuk pemasangan water seal drainase atau WSD. Operasi hanya dilakukan oleh dua dokter dibantu seorang perawat. Masuk waktu subuh operasi pun selesai. Setelah itu Mak kembali dibawa ke ruang radiologi untuk foto rontgen post WSD. Sejak saat itu Mak resmi menjadi 'warga' rumah sakit.[]

*ditulis di sela-sela gesa di ruang rawat bedah Jeumpa 3 RSZA



Rabu, 28 Oktober 2015

Catatan di RSZA; Ketika Kami Jadi Warga Rumah Sakit

Catatan di RSZA; Ketika Kami Jadi Warga Rumah Sakit
MENJADI warga rumah sakit? Sama sekali tidak pernah terlintas di benak saya, apalagi hingga berpuluh-puluh hari. Sekeren dan setinggi apapun tipe rumah sakit tersebut, tetap saja saya dan keluarga tidak pernah mengidam-idamkannya untuk menjadi salah satu pasiennya.

Kenyataannya hingga hari ini, Rabu, 28 Oktober 2015, sudah 53 hari kami menjadi warga rumah sakit. Enam hari di RS Graha Bunda Idi Rayek, sisanya di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh. Semua cerita ini berawal dari sakitnya Ibu; perempuan terkasih yang saya panggil Mak.

Hampir dua bulan berada di rumah sakit bukanlah waktu yang sebentar. Banyak hal yang kami (saya) rasakan namun sulit untuk diungkapkan, apalagi dituliskan. Sebagai orang yang beriman, kami tidak lupa kalau ini bagian dari Qada dan Qadar-nya Allah. Saya selalu menguatkan Mak agar ikhlas dan sabar (bukan berarti menyerah), karena sakit akan menggugurkan dosa-dosa kecil seseorang. Sedangkan saya sebagai anak, menjadikan kondisi ini sebagai ladang amal dan ladang jihad saya. Saya merawatnya dengan sepenuh hati. Yang terbayang di mata saya adalah betapa lelahnya Mak dulu saat merawat saya yang menderita asma ketika masih kecil. Inilah saatnya gantian.

Selama Mak sakit aktivitas saya juga berubah total. Hampir dua bulan ini saya tidak pernah mencium bau kantor (terimakasih saja rasanya tidak cukup untuk membayar pengertian teman-teman Sikureung Sipakat). Konon lagi untuk nongkrong bersama teman sambil menikmati kopi hitam yang nikmat. Saya sudah rindu bau anyir pantai Ulee Lheue sambil makan jagung bakar bersama karib saya Nita Liana. Rindu bermalas-malasan setelah pulang kerja di rumah sahabat saya Etty Livia Harahap. Saya juga sudah rindu kasur busuk saya di rumah, tempat saya membuang penat dan menyulam mimpi.

Aktivitas saya hanya berkutat di sekitar rumah sakit saja; mengantre di apotik untuk mengambil obat; kadang ke laboratorium untuk mengantar sampel darah Mak, mengantre di Bank Darah untuk mengantarkan sampel darah untuk keperluan crossmatch atau mengambil darah untuk transfusi, selebihnya memang lebih banyak di kamar menjaga Mak.

Banyak yang penasaran dan bertanya-tanya kenapa fokus saya tiba-tiba hanya terpusat pada Mak, Mak dan Mak. Kenapa sampai saya tidak bisa membagi sedikit waktupun untuk nyambi masuk kantor. Atau tetap bekerja sambil merawat Mak misalnya. Atau sekadar untuk santai sejenak di kantin rumah sakit seperti keluarga pasien lainnya. Menjelaskan ini memang tidak mudah. Dan tidak semua orang bisa memahami.

Kondisi Mak tidak memungkinkan saya untuk meninggalkannya lama-lama (tentang diagnosa penyakit Mak saya ceritakan lain waktu). Komplikasi penyakit membuat tubuhnya sangat lemah, yang paling kentara adalah sesak. Karena sesak ini pula Mak sempat mendapatkan perawatan khusus di Intensive Care Unit atau ICU. Paru kirinya yang tidak normal membuat Mak hanya bisa tidur terlentang, tidak bisa berbalik ke kiri ataupun ke kanan. Berbalik sedikit saja langsung batuk dan sesak berat. Selain itu, di rusuk kirinya juga dipasang selang Water Seal Drainase atau  WSD untuk menyedot cairan di paru. Otomatis ruang gerak Mak semakin terbatas.

Suhu tubuhnya juga tidak stabil, demamnya naik turun. Belum lagi reaksi obat yang membuatnya sepanjang hari dan malam mual muntah. Mual muntah ditambah sesak napas, ditambah nyeri punggung dan pinggang hebat sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisinya. Kadang Mak hanya bisa terkulai di bahu saya karena tidak sanggup lagi menahan tubuhnya. Tenaganya terkuras habis untuk mengeluarkan isi perutnya yang tinggal cairan. Hingga hari ini, semua kegiatan Mak hanya berlangsung dari tempat tidur. Untuk mengurangi sakitnya yang kami lakukan adalah memijit dan mengipasinya sampai ia tertidur.

Tidur adalah sesuatu yang paling kami dambakan agar bisa dialami Mak. Kesempatan kami untuk beristirahat adalah ketika Mak tidur. Entah itu sekadar untuk menghirup udara segar sejenak ke luar ruangan, atau merebahkan badan untuk mengendurkan syaraf, atau untuk tidur sebentar. Tapi sayangnya Mak tidak pernah bisa tidur lama. Ini juga yang membuatnya semakin lelah.

Bukan hanya Mak yang lelah, kami anak-anaknya juga lelah. Lelah fisik yang kami rasakan tida seberapa dibandingkan lelah psikologis. Melihat mata Mak yang kadang-kadang redup karena hampir putus asa adalah siksaan berat bagi kami, khususnya saya. Adakalanya cerita yang kami sampaikan untuk menghibur Mak sama sekali tidak berguna. Saya hanya bisa menahan kesedihan itu di hati, kalau sudah tidak tahan lagi saya tinggal masuk ke kamar mandi dan menangis sepuasnya di sana.[]

*Ditulis di sela-sela gesa di  depan ruang ICU RSUZA


Jumat, 02 Oktober 2015