Senin, 26 Februari 2018
Kamis, 22 Februari 2018
Memoar Matahari Terbit #2; Gadis Kecil di Keranjang Rotan
Keranjanganya bukan model seperti ini, tapi cukuplah untuk mengilustrasikannya. Foto diambil dari bukalapak.com
Tahun 1990
Usiaku belum genap lima tahun ketika itu. Tidak banyak yang bisa kuingat pada masa-masa sebelum itu. Kecuali beberapa potong fragmen saja. Misalnya, di suatu sore yang cerah, Ibu memakaikan aku baju terusan kembang selutut. Berwarna putih dengan kombinasi hijau. Rambut panjangku dikucir dua. Aku menonton permainan voli di halaman rumah Wak Baren yang luas.
Namun ada satu fragmen yang tidak mungkin kulupakan. Kenangan itu telah berubah menjadi piringan hitam, kapan pun aku ingin memutarnya, tinggal kutekan tombol on di memori ingatanku. Lalu muncullah gambar-gambar bergerak tentang sepasang gadis kecil di dalam keranjang rotan di jok sepeda motor Ayah. Kepala mereka menjulur-julur. Mirip kepala kura-kura yang melongok-longok keluar dari cangkang untuk melihat situasi. Gadis kecil di dalam keranjang itu adalah aku dan sepupuku, Rina.
Keranjang itu biasa digunakan Ayah untuk menggalas. Biasanya yang diisi di sana cabai atau biji kakao. Tapi hari itu digunakan untuk mengangkut manusia-manusia mungil. Sementara yang lainnya keluar dari kampung sambil berjalan kaki.
Pagi menjelang siang hari itu, aku sedang asyik bermain ayunan di samping rumah. Tiba-tiba datang Kak Isah dan Bang Pudin, lari terbirit-birit dengan keringat jagung membulir di wajah mereka. Melihat kondisi mereka aku jadi ketakutan. Panik. Pun Ibu, yang sedang memegang pisau mengupas mancang untuk kami. Kak Isah adalah sepupuku, anak kedua dari kakak Ayah. Sedang Bang Pudin adalah anaknya Wak Ren. Masih kerabat jauh kami juga.
"Rumah sekolah dibakar!"
Kata Kak Isah masih terngiang-ngiang di telingaku sampai hari ini. Aku berusaha mengingat-ingat, beberapa malam terakhir rumah kami selalu ramai. Ada topik-topik tertentu yang dibicarakan sambil berbisik-bisik. Orang tua kami sepertinya memang sudah menduga-duga sesuatu. Dan kabar rumah sekolah yang dibakar itu adalah puncak dari desas-desus itu.
Siapa pun yang pernah tinggal di Aceh pasti tahu, tahun 1989 adalah awal dari pemberlakuan Darurat Operasi Militer di Aceh. Operasi ini dibentuk untuk memburu gerakan sipil yang ketika itu disebut Gerakan Pengacau Keamanan oleh pemerintah. Hari-hari setelah itu menjadi hari-hari yang gelap bagi rakyat Aceh. Di setiap pelosok terdapat pos tentara. Bahkan sudah dimulai jauh dari sebelum itu.
Ibu segera menyuruh Kak Isah dan Bang Pudin ke Lhok Jeuruweng. Di sanalah ladang-ladang warga Lorong Pelita ketika itu digarap. Mereka membuka kebun, menanam cabai, kacang kuning, sayuran. Ayah, Wawak, dan beberapa warga bertani di sana. Aku menduga Kak Isah dan Bang Pudin pastilah menggunakan jurus terbangnya hari itu. Karena jarak dari desa ke Lhok Jeuruweng lumayan jauh.
Ibu segera mengemasi barang-barang. Cuma baju, karena tidak ada aset penting lainnya yang bisa diselamatkan.
Itulah pengalaman pertamaku menjadi pengungsi. Di usia yang belum genap lima tahun. Di usia yang seharusnya aku masih mengorek-ngorek tanah mencari binatang undur-undur dengan tenang tanpa waswas. Kami mengungsi ke kampung nenek di Keude Dua.
Dari dalam keranjang, dengan perasaan senang --karena bisa naik motor-- bercampur takut, aku berusaha melihat ke sekeliling. Setelah melewati turunan bukit kecil di depan rumah Yahwa Leman, sampailah kami di depan SD N Padang Peutua Ali di Lorong Pelita. Saat itulah mulut kecilku terganga. Ketakutanku menjadi-jadi. Jantungku berdegup-degup. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Aku melihat gumpalan asap hitam menebal seperti melesak-lesak mencari jalan keluar dari dalam gedung sekolah. Lidah api menjulur-julur. Merah!
Kampung Keude Dua, yang menjadi tujuan kami untuk menyelamatkan diri ketika itu, pun tak jauh lebih aman. Kondisinya mencekam. Sangat mencekam. Rasa-rasanya dunia tempat kami berdiri ketika itu diselimuti monster besar berjubah hitam.
Kondisi itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian suasana kampung berangsur normal. Ayah dan Ibu, dan sejumlah warga lainnya kembali pulang ke Padang Peutua Ali. Tapi setelah itu kusadari ada yang berubah dari desa itu. Separuh warganya yang berasal dari suku Jawa memilih tak kembali lagi.
Kematian Lek Momo yang tragis setelah ditembak orang tak dikenal menjadi trauma bagi mereka. Rumah-rumah mereka ditinggalkan begitu saja dalam keadaan kosong. Belakangan, beberapa di antara mereka memberanikan diri untuk pulang. Dengan harapan kondisi yang sama takkan terulang lagi.[]
Cerita sebelumnya:
Sabtu, 17 Februari 2018
Memoar Matahari Terbit #1; Padang Peutua Ali
Desa itu, Padang Peutua Ali namanya, dalam ingatanku adalah sebuah surga. Sulit sekali melepasnya dalam ingatan meskipun nyaris dua puluh tahun tak lagi tinggal di sana. Sejak beberapa tahun terakhir malah tak pernah lagi menginjakkan kaki ke sana. Inilah punca kerinduan bertubi-tubi, sehingga kerap hadir di dalam mimpi.
Ya, mimpi menjadi semacam medium tertentu buatku. Ketika aku memikirkan sesuatu, ketika aku mengingat seseorang yang jauh, yang kupikir dan kuingat itu kerap hadir di alam mimpi. Bunga-bunga tidur. Begitulah rindu menyelesaikan persoalannya di dalam hidupku.
Tak terkecuali Padang Peutua Ali, sebuah desa nun di pedalaman Aceh Timur sana. Masih kerap mampir di mimpi-mimpi indahku hingga hari ini. Mimpi-mimpi itulah yang menggerakkan aku untuk melahirkan catatan ini. Hm, tidak, pedalaman itu dulu, ketika jalan masih berlubang, ketika listrik belum ada, ketika moda transportasi belum massal seperti sekarang. Tapi kabarnya, jalan menuju Padang Peutua Ali sampai sekarang masih bopeng-bopeng. Namun jaringan listrik sudah tersedia (kembali).
Secara administrasi, Padang Peutua Ali masuk ke Kemukiman (kelurahan) Lhok Leumak di Kecamatan Darul Ihsan (setelah dimekarkan dari Kecamatan Idi Rayek), Aceh Timur. Desa ini terdiri dari beberapa lorong, di antaranya Lorong Mampre, Lorong Binjai, dan Lorong Pelita. Di lorong yang terakhir inilah kenangan masa kecilku banyak terserak. Dan aku sedang berusaha mengumpulkan kembali kenangan yang terserak itu.
Ayah dan ibuku berdarah Pidie, walaupun keduanya sama-sama lahir dan besar di Aceh Tamiang. Orang tua mereka sama-sama berasal dari Teupin Raya sebelum merantau ke timur Aceh. Tempat aku menumpang dilahirkan, sebelum dibawa pulang ke Idi Rayek, dan dibesarkan di Padang Petua Ali. Di sanalah Ayah dan Ibu menguji kemandirian mereka dalam berumah tangga.
Ingatanku akan desa itu tak pernah pupus. Konturnya berbukit-bukit. Yang sejauh mata memandang dibungkus pemandangan hijau berupa kebun-kebun penduduk. Umumnya kelapa dan kebun kakao. Jalannya berlapiskan tanah dan dipenuhi rerumputan. Nyaris tak ada beda antara jalan utama dengan jalan menuju kebun. Kalau hujan sudah pasti becek dan licin. Padang Petua Ali adalah desa transmigrasi yang heterogen. Belakangan kusadari, keheterogenan ini memberikan dua dampak sekaligus; positif dan negatif.
Di tahun 90-an, saat aku masih duduk di sekolah dasar. Saban pagi aku bangun karena kicauan Ibu dan kicauan burung-burung. Uap hangat mentari pagi merambati rumah kami yang kecil. Paru-paruku yang kerap dibelit asma selalu berlimpah udara segar. Pengalaman bangun tidur paling indah adalah ketika hidungku menangkap aroma dari kuah Indomie yang sedang mendidih.
Rupa rumah kami itu tak lebih dari sebuah kotak dengan sebilah ruang tamu, dua bilah kamar tidur yang sempit, dan sebilah ruangan berlantai tanah sebagai dapur. Ruang tamu dan kamar tidur, sudah beralaskan semen namun kondisinya mengenaskan. Pecahan-pecahannya mirip cermin retak. Rumah itu dipayungi atap dari daun rumbia, yang di sudutnya kerap bolong karena tertimpa buah kelapa yang pohonnya tumbuh persis di sudut dapur.
Rumah itu adalah rumah pertama yang ditempati Ayah dan Ibu. Aku masih ingat detailnya sampai sekarang. Di ruang tamu, cuma ada satu perkakas, yaitu lemari (hias) warna kuning pucat dengan kombinasi hijau di sudut-sudutnya. Sebuah tempat tidur berangka besi dipasangkan Ayah di kamar untuk aku dan adikku yang nomor dua. Itulah istana kami. Sebelum tidur kami kerap bermain rumah-rumahan. Kadang Ibu ikut bergabung bersama kami dan menceritakan cerita zaman. Tempat tidur rangka besi itu menjadi saksi bagi perkembangan imajinasi kanak-kanakku.
Belakangan lemari hias di ruang tamu itu menjadi tempat bertenggernya sebuah televisi hitam putih second ukuran 14 inci merk Fuji Electric yang dibeli Ayah. Di tumpuk kami, Ayah adalah orang pertama yang membeli televisi ketika itu. Televisi bertenaga aki itu menjadi saksi bagi sejumlah warga untuk menonton acara hiburan seperti Kamera Ria, Safari, Irama Masa Kini. Dan yang paling sukar dilupakan adalah acara film G30 SPKI yang diputar saban 30 September setiap tahunnya.
Seperti inilah rupanya televisi Fuji Elektrik di rumah kami dulu. Foto dari jayaserviselektronik.blogspot.co.id
Terkikik-kikik aku jika mengenang akan hal ini. Pernah suatu kali, saat sedang asyik menonton film G30 SPKI, tiba-tiba baterai aki itu habis pula dayanya. Televisi yang besarnya tak lebih dari laptop yang kita pakai sekarang itu akhirnya seperti tersuruk-suruk sebelum padam. Lalu muncullah inisiatif jitu, aki di rumah Wak Sabar yang baterainya sedang habis, diambil dan digandengkan dengan aki di rumah kami. Inilah makna sebenarnya dari rumus minus (-) tambah (+) minus (-) sama dengan (=) plus (+). Televisi ini juga menjadi saksi dari serial kartun Jepang seperti Doraemon, Ultraman, Satria Baja Hitam, dan lainnya.
Nyaris seratus persen warga Padang Peutua Ali adalah petani. Rumah-rumah warga memiliki bentuk yang serupa walau tak sama. Penghuni desa ini hanya berkisar puluhan KK saja yang tersebar secara berkelompok di beberapa titik. Di tahun 90-an itu, Padang Petua Ali masih gelap gulita. Sumber energi untuk menerangkan rumah-rumah penduduk masih mengandalkan lampu sumbu dan minyak tanah. Harganya masih Rp300 perliter. Harga sebungkus Indomie waktu itu masih Rp250. Ayo... siapa yang masih ingat? Harga emas satu mayamnya masih berkisar seratusan ribu. Tapi tak juga sanggup membelinya.
Di Lorong Pelita tempat kami tinggal inilah berdiri sebuah rumah sekolah. Pada tulisan berikutnya akan aku tulis dengan detail bagaimana kisah mula berdirinya sekolah ini. Di sekolah ini aku belajar tulis baca. Itu di era kejayaan black board. Era di mana kapur tulis masih berdiri tegak di papan tulis hitam. Lalu sisa puntungnya menjadi rebutan bocah-bocah SD kemaruk belajar. Modal belajar kembali di rumah. Daun pintu, dinding, atau daun jendela adalah papan tulis kami di rumah.
Kesulitan utama warga desa adalah kebutuhan akan air bersih. Memang susah mendapatkan mata air dengan kondisi desa yang berada di dataran tinggi. Parit-parit menjadi andalan utama setiap warga. Jika musim kemarau tiba, tak jarang jarak berkilo-kilometer harus ditempuh demi satu ember atau satu dua jeriken air bersih. Sumur-sumur kecil digali di pinggir-pinggir parit di dekat pohon pisang untuk menampung air.
Tapi warga di sana tetap hidup bahagia. Aku, pun sering kutanyakan pada Ibu, mengapa kadar kebahagiaan kami terasa berbeda ketika tinggal di Padang Peutua Ali dulu dengan di kampung yang sekarang? Kata Ibu, karena silaturrahmi antarwarga di sana terjalin dengan akrab. Sesama warga saling membudayakan tradisi memberi satu sama lainnya. Entah itu makanan, sayuran, hasil panen, atau apa pun. Setiap lebaran tiba, nyaris tak ada rumah yang terlewati untuk dikunjungi. Kue-kue disajikan, minuman dihidangkan. Meriah!
Laiknya bayi, Padang Petua Ali tumbuh menjadi balita yang sehat dan menggemaskan. Perlahan tapi pasti, ia mulai bertumbuh. Kebun-kebun yang ditanami tanaman tua mulai memasuki masa panen, sehingga berdampak langsung pada perekonomian warga yang membaik. Sembilan tahun kemudian Lorong Pelita tiba-tiba berubah gelap gulita. Kehidupan berhenti berdenyut. Nadinya terputus. Meninggalkan trauma dan luka di hati kecil kami.[]
Senin, 12 Februari 2018
Teman Bertengkar yang Tak Seru
Teras kost-ku yang sempit telah aku sulap menjadi small garden untuk beberapa pot bunga. Ada jeumpa, seulanga, beberapa jenis mawar, melati, kembang sepatu, lavender, krisan. Beberapa di antaranya sedang mekar. Menyiram bunga-bunga itu kini menjadi aktivitas baruku saban pagi dan senja.
Kini, setiap pulang beraktivitas di sore hari, aku tidak langsung masuk ke dalam rumah. Melainkan menyempatkan diri untuk membersamai bunga-bunga itu. Aku sempatkan untuk menyapa tanaman-tanaman itu dengan menyentuh daun-daunnya, memeriksa batangnya, melihat-lihat kelopak bunganya, hingga merapatkan hidungku dengan kuntum-kuntum bunganya. Menyesap wewangian yang berasal dari inti sarinya.
Aku juga sering memotret bunga-bunganya yang sedang mekar. Ini adalah ungkapan kasih sayangku kepada tanaman yang telah memberi kesenangan tersendiri setiap aku melihatnya. Begitu juga di pagi hari, hal terindah yang aku rasakan adalah setiap membuka pintu, bunga-bunga itu seperti mengucapkan halo dan selamat pagi. Kini, selain Zenja, bunga-bunga di teras rumah itu adalah sumber kebahagiaan baru buatku. Kadang-kadang aku berbagi kebahagiaan itu dengan mengirimkan Zenja foto-foto bunga di taman mungilku.
Menyebut nama Zenja, hatiku berubah mekar seperti bunga-bunga di atas. Ia adalah inspirasi yang menggerakkan aku dalam berkreativitas. Teman bertengkar yang tak seru. Sebab tak pernah mau meladeni rajukanku. Suatu ketika, dengan emosi di puncak kepala aku mengatakan, "aku masih ingin marah denganmu."
"Marahlah biar hatimu puas," jawabnya dengan santai.
"Mana bisa aku marah kalau kau tidak merespons."
Krik-krik. Zonk
Sore tadi kembali kami berbalas cerita di bilik chatting. "Kenapa harus selalu aku yang menyapa lebih dulu setiap kali setelah aku merajuk-rajuk."
"Karena kamu yang merajuk. Not me."
"Kau tahu aku merajuk, tapi kenapa tidak membujukku. Merajuk itu artinya aku rindu padamu."
"Tidak membujuk itu aku juga rindu artinya."
"Hmm..."
Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebab cinta hanya meminta kita untuk merasakan. Maka aku merasakan setiap gejolaknya. Lalu memilih bahagia dengan caraku. Dengan cara mencintai tanpa syarat.[]
Kamis, 08 Februari 2018
Secangkir Kopi dan Seikat Krisan
Mari mengawali pagi dengan secangkir kopi panas dan seikat kembang krisan. Aku jepret khusus untuk kukirimkan kepadamu, agar harimu berwarna, untuk menunjukkan kalau hatiku sedang mekar. Seperti krisan-krisan di taman mungilku.
Aku suka kopi yang pahit, rasanya seperti rindu yang terjepit. Meninggalkan candu di ujung lidah, persis seperti aku yang mencandui dirimu.
Selamat pagi, untukmu yang kemarin sore memanggilku, Cinta.
Kau tahu, seketika hatiku mengembang, seperti adonan yang diberi pengembang. Serupa es krim, kau melumerkannya dengan mudah.
Good morning,
Kecup sehangat kopi dan selembut bunga.
Love you
Rabu, 07 Februari 2018
Aku Makhluk Kesunyian
Petang tadi aku mengunjungi Taman Wisata Krueng Aceh di sisi Jalan Cut Meutia, Banda Aceh. Taman ini selalu saja menarik perhatianku, tapi baru petang tadi niatku untuk bersantai di sini kesampaian. Beberapa bulan lalu aku pernah merapatkan tapak sepatuku dengan batu-batu alam yang melapisi trotoar di bantaran sungai. Numpang lewat menuju jalan pulang. Sambil berkejaran dengan waktu yang hampir sempurna gelap, dibantu Yelli, terekamlah beberapa gambar di ruang memori ponselku.
Tak lewat dari pukul setengah enam aku tiba di taman itu. Menaiki beberapa anak tangga, memijak kaki di trotoar, kemudian menuruni beberapa anak tangga lagi. Lalu berjalan menyusuri lorong setapak di antara taman bunga menuju salah satu kursi yang menghadap ke Krueng Aceh. Kursi-kursi yang dirancang khusus dan muat hanya untuk sepasang manusia berbadan ideal.
Dengan rancangan kursi seperti itu, tentunya menjadi pilihan paling nyaman bagi muda-mudi kasmaran untuk menghabiskan sore jingga mereka di taman ini. Sambil bercengkerama, tertawa malu-malu kala salah satunya menggoda, untuk menghabiskan sebungkus dua bungkus camilan sebagai bekal. Dalam diamku tadi, terlintas di benak, alangkah tak adilnya jika kemudian ada polisi khusus yang di waktu-waktu tertentu datang menghalau muda-mudi yang duduk di sini. Harusnya yang merancang kursi-kursi itu yang dihalau.
Aku memilih salah satu kursi. Mungkin karena bukan akhir pekan, sehingga taman ini tampak lengang. Dari tempatku duduk, di kursi sebelah kanan terlihat seorang pria duduk di sana, hanya ditemani ranselnya yang tergolek masai di sebelahnya. Pria ini bergerak meninggalkan taman pada pukul setengah enam lebih tujuh menit.
Di kursi di sebelah pria dengan ransel tergolek tadi, duduk seorang pria berkaus hijau berkerah, celananya bermotif tentara, dia juga sendiri. Duduk dengan kaki ditegakkan sebelah, dan jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok. Di kursi di sebelah lelaki bercelana motif tentara itu, ada sepasang manusia di sana, lalu di kursi berikutnya hanya tampak seorang manusia teronggok di sana.
Di sini, di tempatku duduk, aku juga sendirian, tapi bertemankan sebuah buku karangan penulis berambut kriwil Andrea Hirata. Antara aku dan Andrea punya satu kesamaan; punya setitik tahi lalat di dekat bibir. Aku suka cerita-cerita yang ia tulis di dalam bukunya yang berjudul Sirkus Pohon. Aku pernah mengikuti kelas menulis dengannya pada 2007 silam. Di balik untaian kalimat yang jenaka, terselip pesan moral dan intisari cerita yang bikin mata batin terbuka. Andrea oh Andrea, bilakah aku mampu menulis sebohai itu?
Membaca bab demi bab dalam Sirkus Pohon seperti menghisap candu tak berkesudahan. Benar-benar terbuai kita (aku) dibuatnya. Cobalah sejenak kawan-kawan bayangkan, duduk di tepi Krueng Aceh ini saja sudah membuat senang hati luar biasa. Aku merasakan berulang-ulang kesiur angin lembut hinggap di kulitku. Di seberang sungai, punggung-punggung rumah toko terhalang pandang dengan tanggul, rerumputan, dan pohon di dekat bantaran sungai.
Saat aku membuang pandang ke bilah kanan, tampak jembatan Pante Pirak yang ramai oleh kendaraan. Sementara di sisi sebelah kiri, di kejauhan sana menjulang menara masjid di Peunayong yang hijau. Berada di sini membuatku teringat pada sepotong cerpen berjudul Di Tepi Sungai Pidra, karya pengarang terkenal Paolo Coelho. Aku pun teringat pada sungai Rhein yang membelah kota-kota di Benua Biru nun jauh dari tempatku berada. Juga potongan imajinasi pada Selat Bosphoros yang memisahkan Turki dengan dua benua sekaligus.
Ditambah dengan teman dalam wujud sebuah buku yang renyah dan berbobot seperti ini, bukankah berkali-kali lipat senangnya? Sesekali, saat mata lelah, aku menyantap buah langsat yang kubeli di Pasar Kampung Baru. Sore tadi, sebelum ke sungai, aku mampir ke warung Asahi untuk menikmati hidangan berupa nasi putih dengan sayur pakis, dan semur ayam. Plus tiga keping jengkol rendang yang dalam pandanganku dengan perut lapar, tampak seperti kepingan-kepingan mata uang digital Bitcoin yang sedang heboh itu.
Dalam suap demi suap itulah karangan buah langsat yang warna kulitnya menjadi dambaan banyak perempuan terlihat oleh mataku. Mungkin tanpa bantuan kacamata, buah-buah langsat itu takkan tampak. Aku menukar selembar dua puluh ribuan untuk sekilo langsat.
Ratusan burung-burung hitam bersayap kecil sempat mengusik kekusyukanku. Aku menoleh ke udara. Decit berdecit suaranya tembus ke telingaku. Burung-burung ini seketika mengingatkanku pada bungkus bubuk agar-agar merk Sriti. Maka kusebut saja dia burung sriti. Nama latinnya Collacalia esculenta.
Jika sedang tak hujan di hulu, air sungai ini biasanya berwarna kehijauan. Tidak keruh seperti tadi. Beberapa tumpuk sampah mengapung di permukaan. Permukaannya yang biasanya tampak berkilau-kilau, sore tadi hanya tampak beriak-riak kecil tanpa kilau cahaya. Sebab langit Banda Aceh memang agak dikulum mendong sore tadi. Tapi itu justru menambah kenyamanan duduk di tepi sungai.
Aku menikmati betul kesendirianku ini. Aku bisa menenggelamkan diriku sedalam-dalamnya ke berlembar-lembar buku yang sedang kubaca. Sesekali berbalas pesan dengan teman-teman di Whatsapp. Aku adalah makhluk kesunyian. Makhluk yang sangat mencintai suasana lengang dan sunyi. Perihal istilah 'kesunyian' ini, adalah kosakata baru yang kudapat siang kemarin dalam kelas Forum Aceh Menulis yang diampu seorang penyair muda Ricky Syah R.
Ricky mengatakan, seorang penulis umumnya dalah makhluk kesunyian. Karena mereka senang menyendiri untuk mengeksekusi ide-ide liarnya. Tak masalah mereka berada di mana saja, entah itu di warung kopi yang riuhnya bikin kita mengucap berkali-kali, mereka selalu bisa menghadirkan ruang sunyi itu untuk dirinya sendiri. Aku terinspirasi dengan kata kesunyian, dan lahirlah catatan ini; aku makhluk kesunyian.[]
Ditulis pada 25 Januari 2018. Telah dipublikasikan di Steemit