Senin, 25 Juni 2007

Kejam

Kejam
siapakah yang paling kejam didunia ini? Fir'aun? Hitler? atau Musuh kita? tidak semuanya, karena sesungguhnya yang kejam adalah diri kita. dalam lingkup yang paling kecil misalnya, kita melakukan kesalahan, katakanlah memecahkan piring saat mencucinya dan orang tua memarahi kita. lalu, apakah kita bisa mengatakan orang tua kita kejam? tidak! karena kita yang ceroboh. hingga piring tadi pecah yang menyebabkan orang tua kita marah.

dalam lingkup yang lebih khusus lagi, banyak sekali orang yang menyalahkan cinta dan mengatakannya kejam. sederhana saja pertanyaannya, apakah cinta itu kejam? tentu saja tidak. cinta itu anugerah, cinta itu nikmat, cinta itu punca kebahagiaan. lalu, mengapa ada orang yang sampai hati memberi stigma kejam pada cinta.

kalau saja kita bisa berhati-hati dengan diri kita sendiri, tentu kita tidak pernah terjebak oleh cinta. mengapa kita berani jatuh cinta bila tidak pandai mengelolanya? sama halnya dengan mencuci piring tadi, mengapa kita teledor, mengapa kita lengah hingga ia lepas dari tangan kita. begitu pula halnya dengan cinta, kalau tidak siap untuk kehilangan maka sederhana saja, jangan jatuh cinta. kalau tidak ingin terluka maka jangan kurung cinta dihati, cukup diakal saja.

tapi, muncul pertanyaan lainnnya. bisakah mencintai tanpa hadirnya rasa dari hati? atau...sempurnakah cinta tanpa mencintai sepenuhnya yang hanya bisa dilakukan oleh hati? jawabannya adalah tidak! sebab semuanya akan pincang. logikanya, siapa yang ingin dipermainkan perasaannya? tidak ada. jangankan manusia, hewan saja ingin disayangi secara utuh. tetapi mengapa pula masih ada kejadian seperti itu? kembali lagi ke permasalahan awal. ritme kehidupan ini selalu bergerak. yang terjadi besok tentu saja tidak dapat kita prediksikan hari ini.

Jumat, 22 Juni 2007

Membudayakan Agama Dalam Kehidupan

Membudayakan Agama Dalam Kehidupan
Pemaksaan adegan reka ulang perbuatan amoral terhadap sepasang remaja beberapa waktu lalu namun masih menjadi pembicaraan sampai hari ini merupakan sebuah fenomena baru. Kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi di negeri yang tengah menggalakkan proses pemberlakuan syariat menuju kaffah sebagaimana yang dicita-citakan masyarakatnya. Tapi apa lacur, dari hari ke hari pencemaran syariat islam justru semakin meningkat, motifnya pun beragam, mulai dari yang sifatnya coba-coba sampai yang suka-suka, ada yang menanggapinya secara dingin adapula yang begitu berapi-api, perbuatan tersebut dilakukan bukan saja oleh masyarakat awam tetapi juga oleh para pelaku syariat itu sendiri yang seyogyanya lebih paham tentang syariat.

Fenomena diatas menimbulkan tanda tanya besar dalam setiap benak orang, mengapa itu bisa terjadi? Mengapa pula ‘tega’ melakukannya dan menodai syariat dengan cara murahan seperti itu? Jawabannya sebenarnya sangat sederhana, yaitu belum membudayanya nilai-nilai religiusitas dalam jiwa setiap orang, agama hanya menjadi simbol ke eksklusifan sekelompok orang sementara sebagian yang lainnya menawarkan kearogansian dan bahkan cenderung ekstrimis, sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai persoalan sepele yang bisa digampang-gampangkan. Maka tak heran bila agama seringpula menjadi tameng setiap aksi yang bahkan sangat bertentangan dengan kemurnian ajaran agama itu sendiri, dan dilain sisi agama sering kehilangan fungsinya karena dianggap sebagai penghalang dan mengekang aktivitas sebagian orang.

William A. Haviland, seorang antropolog asal Amerika mendefinisikan budaya sebagai seperangkat peraturan yang standar, yang apabila dipenuhi atau dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya maka akan menghasilkan prilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh masyarakatnya.

Aceh sebagaimana yang diceritakan dalam sejarah merupakan pelopor masuknya islam ke nusantara, secara langsung sudah menjadikan islam sebagai akar budaya masyarakatnya. Ini tidak dapat ditawar-tawar lagi dan tidak dapat digeser-geser lagi, tetapi bila ditilik dari definisi yang dijelaskan oleh William diatas tampaknya akar budaya tersebut masih belum menghasilkan prilaku masyarakat yang dianggap layak. Terbukti dalam banyak hal nilai-nilai islami belum menjadi dasar dalam setiap aktivitas masyarakat kita sehingga banyak terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Lebih jauh Yad Mulyadi, dalam buku Antropologinya mengelompokkan substansi utama budaya kedalam lima hal pertama, sistem pengetahuan. Salah satu upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya adalah dengan mengembangkan sistem pengetahuannya. Dengan cara inilah manusia mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

Kedua, sistem nilai budaya, konsep ini hidup dan tumbuh dalam pikiran sebagian besar masyarakat. Konsep-konsep tersebut berkenaan dengan hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dan penting dalam hidup mereka.

Ketiga, persepsi. Persepsi biasanya disebut juga sudut pandang dari seorang individu atau sekelompok masyarakat mengenai suatu hal atau suatu masalah. Namun dalam kenyataannya persepsi antara sekelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain sering terjadi perbedaan dan bahkan terbentur. Empat, pandangan hidup. Koentjaraninggrat menjelaskan, bahwa pandangan hidup biasanya mengandung sebagian nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat secara khusus bisa dikatakan ideologi. Dan yang terakhir adalah etos budaya. Clifford Geertz menyatakan bahwa etos budaya adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan sekelompok masyarakat atau bangsa.

Dari berbagai penjelasan diatas mengertilah sekarang kita, mengapa nilai-nilai syariat tampaknya begitu sukar diterapkan di Serambi Mekkah ini, faktor utamanya ya itu tadi, belum dijadikannya nilai-nilai religiusitas sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga walaupun islam telah tumbuh secara turun temurun dalam masyarakat kita tetapi bila upaya pengembangan ilmu pengetahuan tadi tidak ada maka semuanya adalah nol besar, sebab dengan sendirinya implementasinya tidak akan terlaksanakan disebabkan tidak timbulnya pemahaman akibat dari mandulnya ilmu pengetahuan tadi. Inilah yang banyak kita temui dalam masyarakat kita, tidak mengerti dan tidak memahami substansial dari islam itu sendiri dan ironisnya tidak mencari tahu atau tidak mau belajar, sehingga apa yang sudah didapat sebelumnya secara turun temurun tadi akan menjadi kabur dan hilang dengan sendirinya. Karena keadaan itu pula muncullah statement islam KTP atau islam abangan dan sejenisnya.

Sebagai sebuah daerah yang telah memberlakukan hukum syariat sebagai salah satu hukum yang sah sudah seharusnya nilai-nilai keislaman tadi menjadi tolak ukur dalam melakukan setiap kebijakan dan menjadikannya sebagai frame kita untuk berpikir. Tetapi apa daya, selama kelima unsur diatas tidak dipahami secara menyeluruh maka islam menjadi budaya hanya sekedar angan-angan belaka. Sebab semuanya dilaksanakan secara tidak menyeluruh, dan tidak merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, sebagian orang memaksakan kehendaknya kepada sebagaian yang lain, dan sebagian yang lain melecehkan yang lain lagi. Dan bukan tidak mungkin ketimpangan yang terjadi akan semakin rumit dan pelik.

Sebagai daerah yang mempunyai mayoritas penduduknya muslim, islam sudah sepatutnya dijadikan pandangan hidup/ideologi, ini merupakan salah satu solusi untuk semua persoalan yang ada dinegeri ini, sebab, bila semua orang sudah mempunyai pola pikir dan pandangan hidup yang sama maka semua penyimpangan-penyimpangan seperti diatas tidak akan terjadi lagi. Antara pemimpin dan yang dipimpin tidak ada kesenjangan lagi, antara yang lemah dan yang kuat akan terjalin harmonisasi dan dengan sendirinya kehidupan dalam masyarakat menjadi teratur. Wallahu’alam. (Ihan)

tulisan ini sudah pernah dimuat di www.harian-aceh.com

Jumat, 08 Juni 2007

Overacting

Overacting
menunjukkan perhatian kepada orang lain itu perlu, dianjurkan malah, selain untuk menjalin hubungan kedua belah pihak juga akan membuat hubungan itu sendiri menjadi hangat dan akrab. tapi bila perhatian itu sudah overdosis apakah kehangatan itu akan terjalin? atau malah meleleh karena terlalu hangat? dan akhirnya hilang tak berbekas. kasihan sekali, penyebabnya padahal sangat sepele sekali; gara-gara over acting!

salah satu tips dan trik untuk mengawetkan sebuah hubungan adalah komunikasi yang lancar, ini adalah kebutuhan dan tidak bisa tidak. kalau tidak maka hubungan tersebut akan jadi cair dan tidak berkualitas, ukuran kualitas itu sendiri tergantung dari pelakunya sendiri. tidak ada yang baku disini. tapi, kalau kita belum mengenal karakter seseorang, lalu bersikap overacting tadi, apa yang terjadi? alih-alih ingin menjalin hubungan yang mesra, yang terjadi justru sebaliknya, ilfeel.

sebagai makhluk sosial yang kerap berinteraksi dengan orang lain, kita harus memperhatikan benar attitute/sikap kita, menjaga kepribadian diri dan belajar memahami karakter orang lain semampu kita, agar kita bisa melakukan pendekatan dengan cara-cara tertentu bila tujuannya untuk keharmonisan sebuah hubungan tadi. tetapi bila tidak, jangan harap orang lain akan respect dengan kita.

paling tidak, itulah pelajaran penting yang saya dapatkan dari kedua kasus yang terjadi beberapa hari yang lalu. bermula saat seseorang yang saya berikan no Hp saya lalu ia memberikan lagi no hp tersebut pada orang lain, tanpa se ijin saya, dan orang tersebut berulang kali mengirim kata-kata yang menurut saya 'aneh'. alhasil kedua-duanya membuat saya menjadi tidak respect.

pertama sekali mengirimkan pesan langsung mengatakan rindu dan ingin bertemu, dan saya bilang ayo; kita sekalian makan malam, di tempat ini, pukul segini. tak lama kemudian pesan berikutnya masuk dan dia mengatakan tidak bisa menerima ajakan saya malam itu, akhirnya...saya minum kopi ke Solong dengan parte_2....parte tua maksudnya, karena memang saya sendiri yang anak-anak disana, dan perempuan.

besoknya begitu-begitu lagi, ingin kerumahlah, ingin inilah, ingin itulah...jadi, jangan salahkan saya kalau tidak dipedulikan....saya suka laki-laki yang agresif tapi bukan yang overacting begitu. dan jangan salahkan juga bila dijawab hari ini di Lhokseumawem besok di Sigli. dan satu lagi....kita udah ngga mempan dengan rayuan model begitu bro!!!! pakek gaya lain lah!!!!

Rabu, 06 Juni 2007

Kopi

Kopi
Kopi, sebagaimana saudaranya Teh merupakan jenis minuman pelengkap dalam kehidupan sehari-hari kita, bagi sebagian orang misalnya, sarapan pagi belum sempurna tanpa segelas kopi maupun segelas teh hangat. bagi sebagian orang yang lain, hari ini bisa jadi akan gagal tanpa segelas kopi dan teh, sebab dari segelas kopi dan teh itu ia akan memperoleh 'pencerahan' tentang apa yang akan dia kerjakan nantinya.

bagi saya sendiri, teh maupun kopi tidaklah termasuk sebagai minuman favorit, ada atau tidak itu tidaklah penting. tetapi soal rasa, tentu saja saya bisa bedakan bagaimana kopi yang enak dan tidak. karena itulah saya selalu penasaran dengan kopi sehingga setiap kali ada pertemuan saya sering memesan kopi, sekedar ingin membedakan saja rasa antara kopi di warung A dengan kopi yang di warung B. kopi di kota C dengan kopi di kota D. semoga ini bukan alasan untuk mengatakan saya akan menjadi pecandu kopi.

nah, dari hasil 'kerja keras' saya selama ini, boleh dibilang (bukan maksud untuk merendahkan) kopi Solong Ulee Kareng yang terkenal itu 'tidak ada rasanya' dibandingkan dengan kopi yang ada di daerah Pidie. kopi di Pidie lebih kental, ini yang membuat saya tidak pernah lupa dengan rasanya, aromanya juga lebih menggoda. pertama sekali merasakan nikmatnya kopi racikan masyarakat Pidie puluhan tahun lalu saat saya masih duduk di kelas sekolah dasar, kebetulan pada momen-momen tertentu saya sering pulang ke Teupien Raya tempat nenek, dan mencicipi kopi disana bisa dikatakan sunnah. kalau tidak beli sendiri ya titip. sejak saat itu saya tidak pernah lupa dengan kopi didaerah keurupuk mulieng tersebut.

karena itu, kesempatan pulang ke tempat nenek yang cuma semalam minggu yang lalu tidak disia-siakan begitu saja. pagi-pagi sekali, hari seninnya (saya pulang sore minggu) saya dan sepupu pagi-pagi sekali, pukul 6 pagi pergi ke pasai suboh alias pasar pagi. satu hal yang tidak pernah saya temui dikampung halaman saya Aceh Timur sana. disana aktivitas baru dimulai pukul 9 pagi. sementara disini pukul 8 aktivitas telah selesai semuanya, tak heran kalau kita ke pasar agak siang suasana sepi dan senyap.

kembali kecerita semula, pagi itu saya membeli banyak kue dan lontong, berikut dengan mie caluek nya, harganya sangat murah, hanya seribu rupiah per bungkusnya, ini tentu saja membuat saya dan sepupu terheran-heran dan seperti tidak percaya, kok ada makanan semurah ini, kue saja seribu masih dapat empat potong, kalau kenal penjualnya kita bisa diberi diskon lagi. berbeda sekali dengan di Banda Aceh ini, semuanya serba mahal dan harganya berjumpalitan.

terakhir saya 'pamit' ke sepupu saya, "saya mau ke warung, mo beli kopi dulu," kata saya dan disambut tawa simpul sepupu.
namun, memang belum rejeki saya pagi itu, sampai dirumah saat bongkar muatan baru ketahuan kalau kopi yang dibeli tadi tinggal, kecewa tentu saja, tapi untuk menangis tentu saja tidak mungkin. dan sorenya saya menebus kekecewaan tersebut dengan membeli kopi lagi, dengan kekentalan dan kelezatan yang sama.

sekedar berbagi, dibanding yang encer saya lebih suka kopi yang sedikit agak kental dan pahit dan tidak terlalu manis, apalagi kalau ada gelatio/buihnya...uhm...enak sekali. bagi para solong mania, sebelum bilang solong is number one sebaiknya cicipi dulu kopi-kopi yang ada di pidie deh...

Selasa, 05 Juni 2007

Catatan Awal Juni

Catatan Awal Juni
Tidak Jadi Yang Jadi

14 panggilan tidak terjawab! 5 dari ibunda tercinta, 5 dari sepupu tersayang dan 4 lagi dari teman wartawan, bukan sengaja tidak diangkat tetapi memang tidak terdengar karena letak benda kecil itu jauh dengan saya, ketika itu saya sedang memberi pengarahan kepada cet berecet alias anak-anak yang akan mengikuti lomba mewarnai dan menggambar, sementara hand phone saya ada diteras, dimeja komputer sedang di charge.

s
ekolah SD N 2 Jantho, hari Minggu, 3 Juni 2007 terlihat begitu ramai, bukan hanya peserta lomba saja yang hadir tetapi juga para orang tua dan guru yang akan mendampingi anak didik mereka untuk berlomba. selain mewarnai dan menggambar juga ada lomba model cilik yang diikuti dari beberapa sekolah yang tergabung dalam gugus se kota Jantho, Aceh Besar.

paragraf kedua diatas hanya sebagai informasi tambahan saja, sebagai penutur awal mengapa sampai begitu banyak panggilan tidak terjawab hanya dalam waktu 5 menit yang tidak saya angkat. sebelum-sebelumnya orang tua saya terutama ayah hampir setiap malam menelfon, hanya untuk memastikan apakah saya datang atau tidak pada acara akad nikah bibi saya. saking parahnya beliau malah menitipkan sedikit 'ancaman' bahwa jatah uang bulanan harus diambil ke Sigli, agar saya tetap pulang. hehehe....ayah ayah..., sejauh ini beliau belum tahu kalau anaknya telah berubah menjadi anak yang 'sok' sibuk dengan aktivitas yang dalam tanda kutip tidak diinginkannya.

yah, beberapa waktu yang lalu ayah dan ibu memang sempat komplain dengan jenis pekerjaan yang saya sukai, sebagai perempuan alangkah sangat manisnya bila saya bekerja sebagai 'buruh' kantor dan sejenisnya, begitulah nasehat ibu waktu itu. tapi sayangnya jiwa dan karakter saya tidak sesuai untuk jenis pekerjaan yang seperti itu, apapun bentuknya, maka mulailah saya bergerilya mencari celah untuk tetap bisa mengembangkan bakat dan hobby menulis saya. saya hanya ingin menjadi wartawan, tidak lebih, pekerjaan ini terasa lebih menantang dan memberikan saya banyak pengalaman dari pada saya duduk seharian diruangan tertutup dan akan mematikan kreatifitas saya, jelasku pada ibu sore minggu, 3 juni kemarin dirumah nenek.

entah apa yang menjadi titik poin dalam cerita ini, saya sendiri bingung mau menjelaskannya bagaimana , hanya saja untuk mengawali cerita dibulan Juni ini biarlah tulisan koplo ini ditulis dengan sangat apa adanya, jujur saja, hampir dua tahun mempunyai blog ini rasanya belum pernah sekalipun saya menuliskan tentang diri pribadi saya secara gamblang, sebagian besar isi blog ini adalah menggambarkan saya secara utuh, tetapi karena tidak ingin terkesan begitu vulgar maka dikemaslah dengan bahasa yang agak nyastra, sastra yang amburadul, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu kemana arah dan tujuan si penulis.

sebagian besar isi cerita ini terinspirasi dan didedikasikan kepada seseorang, yang 'sudah' mengenalkan cinta dengan cara yang tidak biasa kepada ku, tidak perlu aku sebutkan namanya siapa, sebab setiap orang mempunyai ruang privasi sendiri, ada yang bisa dikatakan ada yang tidak perlu disebutkan, begitu juga dengan namanya. bukan hanya itu saja, apa yang sudah saya peroleh sekarang -selain karena minat dan bakat- juga punya peran besarnya, puluhan puisi dan cerita pendek, sebagian besar terinspirasi dari 'pertemanan' kami, bahkan yang terakhir, naskah novel "meretas jalan Menuju Jingga" telah ku selesaikan dalam waktu yang singkat, disela-sela kesibukan dan keletihan, (lain kali disambung lagi, mau ke Solong dulu, sudah dijemput temen)