Jumat, 22 Juni 2007

Membudayakan Agama Dalam Kehidupan

Pemaksaan adegan reka ulang perbuatan amoral terhadap sepasang remaja beberapa waktu lalu namun masih menjadi pembicaraan sampai hari ini merupakan sebuah fenomena baru. Kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi di negeri yang tengah menggalakkan proses pemberlakuan syariat menuju kaffah sebagaimana yang dicita-citakan masyarakatnya. Tapi apa lacur, dari hari ke hari pencemaran syariat islam justru semakin meningkat, motifnya pun beragam, mulai dari yang sifatnya coba-coba sampai yang suka-suka, ada yang menanggapinya secara dingin adapula yang begitu berapi-api, perbuatan tersebut dilakukan bukan saja oleh masyarakat awam tetapi juga oleh para pelaku syariat itu sendiri yang seyogyanya lebih paham tentang syariat.

Fenomena diatas menimbulkan tanda tanya besar dalam setiap benak orang, mengapa itu bisa terjadi? Mengapa pula ‘tega’ melakukannya dan menodai syariat dengan cara murahan seperti itu? Jawabannya sebenarnya sangat sederhana, yaitu belum membudayanya nilai-nilai religiusitas dalam jiwa setiap orang, agama hanya menjadi simbol ke eksklusifan sekelompok orang sementara sebagian yang lainnya menawarkan kearogansian dan bahkan cenderung ekstrimis, sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai persoalan sepele yang bisa digampang-gampangkan. Maka tak heran bila agama seringpula menjadi tameng setiap aksi yang bahkan sangat bertentangan dengan kemurnian ajaran agama itu sendiri, dan dilain sisi agama sering kehilangan fungsinya karena dianggap sebagai penghalang dan mengekang aktivitas sebagian orang.

William A. Haviland, seorang antropolog asal Amerika mendefinisikan budaya sebagai seperangkat peraturan yang standar, yang apabila dipenuhi atau dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya maka akan menghasilkan prilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh masyarakatnya.

Aceh sebagaimana yang diceritakan dalam sejarah merupakan pelopor masuknya islam ke nusantara, secara langsung sudah menjadikan islam sebagai akar budaya masyarakatnya. Ini tidak dapat ditawar-tawar lagi dan tidak dapat digeser-geser lagi, tetapi bila ditilik dari definisi yang dijelaskan oleh William diatas tampaknya akar budaya tersebut masih belum menghasilkan prilaku masyarakat yang dianggap layak. Terbukti dalam banyak hal nilai-nilai islami belum menjadi dasar dalam setiap aktivitas masyarakat kita sehingga banyak terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Lebih jauh Yad Mulyadi, dalam buku Antropologinya mengelompokkan substansi utama budaya kedalam lima hal pertama, sistem pengetahuan. Salah satu upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya adalah dengan mengembangkan sistem pengetahuannya. Dengan cara inilah manusia mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

Kedua, sistem nilai budaya, konsep ini hidup dan tumbuh dalam pikiran sebagian besar masyarakat. Konsep-konsep tersebut berkenaan dengan hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dan penting dalam hidup mereka.

Ketiga, persepsi. Persepsi biasanya disebut juga sudut pandang dari seorang individu atau sekelompok masyarakat mengenai suatu hal atau suatu masalah. Namun dalam kenyataannya persepsi antara sekelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain sering terjadi perbedaan dan bahkan terbentur. Empat, pandangan hidup. Koentjaraninggrat menjelaskan, bahwa pandangan hidup biasanya mengandung sebagian nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat secara khusus bisa dikatakan ideologi. Dan yang terakhir adalah etos budaya. Clifford Geertz menyatakan bahwa etos budaya adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan sekelompok masyarakat atau bangsa.

Dari berbagai penjelasan diatas mengertilah sekarang kita, mengapa nilai-nilai syariat tampaknya begitu sukar diterapkan di Serambi Mekkah ini, faktor utamanya ya itu tadi, belum dijadikannya nilai-nilai religiusitas sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga walaupun islam telah tumbuh secara turun temurun dalam masyarakat kita tetapi bila upaya pengembangan ilmu pengetahuan tadi tidak ada maka semuanya adalah nol besar, sebab dengan sendirinya implementasinya tidak akan terlaksanakan disebabkan tidak timbulnya pemahaman akibat dari mandulnya ilmu pengetahuan tadi. Inilah yang banyak kita temui dalam masyarakat kita, tidak mengerti dan tidak memahami substansial dari islam itu sendiri dan ironisnya tidak mencari tahu atau tidak mau belajar, sehingga apa yang sudah didapat sebelumnya secara turun temurun tadi akan menjadi kabur dan hilang dengan sendirinya. Karena keadaan itu pula muncullah statement islam KTP atau islam abangan dan sejenisnya.

Sebagai sebuah daerah yang telah memberlakukan hukum syariat sebagai salah satu hukum yang sah sudah seharusnya nilai-nilai keislaman tadi menjadi tolak ukur dalam melakukan setiap kebijakan dan menjadikannya sebagai frame kita untuk berpikir. Tetapi apa daya, selama kelima unsur diatas tidak dipahami secara menyeluruh maka islam menjadi budaya hanya sekedar angan-angan belaka. Sebab semuanya dilaksanakan secara tidak menyeluruh, dan tidak merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, sebagian orang memaksakan kehendaknya kepada sebagaian yang lain, dan sebagian yang lain melecehkan yang lain lagi. Dan bukan tidak mungkin ketimpangan yang terjadi akan semakin rumit dan pelik.

Sebagai daerah yang mempunyai mayoritas penduduknya muslim, islam sudah sepatutnya dijadikan pandangan hidup/ideologi, ini merupakan salah satu solusi untuk semua persoalan yang ada dinegeri ini, sebab, bila semua orang sudah mempunyai pola pikir dan pandangan hidup yang sama maka semua penyimpangan-penyimpangan seperti diatas tidak akan terjadi lagi. Antara pemimpin dan yang dipimpin tidak ada kesenjangan lagi, antara yang lemah dan yang kuat akan terjalin harmonisasi dan dengan sendirinya kehidupan dalam masyarakat menjadi teratur. Wallahu’alam. (Ihan)

tulisan ini sudah pernah dimuat di www.harian-aceh.com
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)