Jumat, 07 Januari 2022

Perjalanan Menemukan Jati Diri Bersama Gong Smash



Usai menamatkan GONG SMASH: Dari Raket ke Pena dari Lapangan ke Petualangan, kesimpulan saya cuma satu: Gol A Gong memiliki orang tua yang sangat hebat. 

Seperti yang sempat saya singgung di postingan sebelumnya "Mengawali Tahun Baru Dengan Orang Tak Dikenal", saya membaca buku ini menjelang pergantian tahun. Jujur saja, spirit dari buku ini menjadi semacam penyegaran dari segala rutinitas yang telah berjalan selama dua belas bulan. "Jalan-jalan" di akhir tahun yang menyenangkan.

Balik lagi ke kisah perjalanan hidup Gol A Gong, berkat kehebatan ayah ibunyalah Gol A Gong tumbuh menjadi seseorang hingga ia dikenal seperti sekarang. Jika kedua orang tuanya menjadi orang tua "rata-rata" yang membiarkan anaknya hanya "diubah" oleh nasib, mungkin kita tidak akan pernah mengenal nama Gol A Gong, alih-alih Heri Hendriana Harris, nama asli Gol A Gong yang diberikan orang tuanya ketika lahir.

Kita mengenal Mas Gong--sapaan akrabnya--sebagai penulis serbabisa. Sang mantan wartawan ini piawai menulis berita, skenario, puisi, maupun novel. Salah satu novelnya Balada Si Roy bahkan telah diangkat ke layar lebar dan Roy diperankan oleh Al Ghifari--putra Ustaz Jeffry Al Bukhari. Namun, selain dari karya-karyanya, kita juga mengenal Mas Gong sebagai penulis yang "luar biasa": seorang yang b(er)untung. 

Saya membayangkan, jika kecelakaan serupa dialami anak-anak lainnya, yang berakibat pada harus diamputasinya salah satu tangan mereka, barangkali mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang minim rasa percaya diri karena beban psikologis maupun sosial, kesempatan sekolah yang terbatas, dan bayangan akan masa depan yang suram karena harus terus bergantung pada orang lain. 

Namun, Mas Gong justru mengalami kondisi sebaliknya. Saat kecil dia terjatuh dari pohon dan menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi. Kondisi itu tidak sedikit pun menurunkan rasa percaya dirinya, dia tetapi bersekolah seperti anak-anak kebanyakan dengan fisik yang sempurna, menikmati masa remaja dengan segala kenakalannya yang warna-warni. Kecintaannya pada dunia olahraga mengantarkan dia menjadi atlet, khususnya badminton. Puncak kariernya adalah meraih prestasi FESPIC Games IV-pesta olahraga cacat se-Asia Pasifik--di Solo pada 1986. Dia berhasil mengumpulkan tiga emas masing-masing untuk tunggal, ganda, dan beregu. Atlet dengan perolehan emas terbanyak dalam ajang bergengsi itu. Fisiknya memang cacat, tetapi pikirannya tidak! Bukankah ini yang paling penting? 

Buku Mengubah Segalanya

Saat Gong kecil dirawat di rumah sakit di Jakarta dalam masa pemulihan tangannya pascaamputasi, ayahnya, Pak Harris, membelikan banyak buku untuk Gong. "... kalau Heri rajin membaca buku, Heri pasti akan lupa kalau bertangan satu." kata bapaknya suatu siang. 

Buku-buku cerita anak seperti Tom Sawyer Anak Amerika maupun komik silat seperti Si Buta dari Gua Hantu atau Panji Tengkorak menjadi santapan hari-harinya. Satu buku demi satu buku yang dilahapnya membuat imajinasinya bertumbuh, dia melanglang buana dan berkelana jauh dengan pikirannya. "Aku merasa jadi anak yang sudah bertualang ke negeri orang," kata Gong dalam bukunya.

Bacaan-bacaan inilah yang mengantarkan Gong akhirnya menjadi seorang penulis seperti sekarang. Ibarat istilah, apa yang masuk itu yang keluar, berbagai pengetahuan yang didapat Gong dari membaca mendorongnya untuk menulis. Selain rutin menulis diari, Gong juga membuat puisi atau cerita-cerita sandiwara untuk dikonsumsi teman-teman di sekolahnya. Sembari itu, Pak Harris terus menumbuhkan jiwa sportif Gong melalui aktivitas olahraganya yang terus diasah. Hal ini membuat Gong tumbuh sebagai pemuda yang bertalenta.

Begitu banyak manfaat dari membaca buku. Sesuatu yang diyakini kebenarannya hampir oleh semua orang, tetapi justru sedikit yang mau melakukannya. Padahal, kampanye membaca terus dimasifkan baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat. Gong sendiri, kini dengan statusnya sebagai Duta Baca Nasional, maupun melalui Rumah Dunia yang dibangunnya belasan tahun lalu, tak pernah jemu mengampanyekan ini.

Membaca tidak hanya membuat pengetahuan seseorang bertambah, tetapi juga bisa meningkatkan nilai atau value-nya. Bahkan bisa mendatangkan benefit finansial yang bisa dijadikan sebagai karier.

Berkaca dari apa yang dialami Gol A Gong, pengetahuan yang didapatnya dari membaca inilah yang telah menutupi segala kekurangan fisiknya. Dia tahu lebih banyak dibandingkan teman-teman seumurannya, wawasannya melampaui batas geografis tempat tinggalnya. Dia tidak mudah merasa tersinggung atau insecure pada penilaian orang terhadap dirinya. Jiwanya lebih stabil. Lebih dari itu, pada akhirnya aktivitas itulah yang membuatnya menjadi berdaya, yang dipilih sebagai karier setelah menyadari kariernya sebagai atlet sudah mentok. 

Semua orang punya kekurangan. Mestinya kita menyadari itu sehingga dengan sengaja mau berusaha untuk menutupi kekurangan tersebut dengan membaca. Seyogianya membaca juga membuat seseorang menjadi lebih bijaksana. Nyatanya, banyak orang sempurna fisiknya, tetapi cacat pikirannya atau cacat dalam berpikir. Namun, yang lebih menyayangkan sedikit orang yang sadar (mau mengakui) kalau ia punya kekurangan sehingga alih-alih menjadi bijaksana, yang ada malah sombong.

Buku ini bukan tentang parenting, tetapi ada banyak pesan tersirat yang bisa ditiru oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Di antaranya, menjadi orang tua "serbatahu" tempat anak-anaknya bertanya segala hal. Oleh karena itu, sebelum mengenalkan buku kepada anak-anak, para orang tua haruslah terlebih dahulu akrab dengan buku.

Sejatinya, setiap orang tua juga ingin anaknya unggul, berprestasi, atau selalu menjadi juara. Namun, membentuk pribadi anak untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dari sisi kalah atau menang, bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kematangan dalam berpikir, wawasan yang luas, dan memandang hidup sebagai rekreasi yang menyenangkan. Dengan begitu, saat menang tidak membuat jemawa, saat kalah pun tidak dicap sebagai pencundang. Karena setiap orang memiliki gilirannya masing-masing.

Lewat buku ini pula pembaca bisa merenungi perjalanan hidupnya sendiri melalui kisah-kisah yang dialami oleh Gong. Pernah tidak kita berpikir atau melakukan tapak tilas hingga kita sampai di titik sekarang ini. Berpikir, jika tidak seperti ini maka akan seperti apa? Jika tidak kekurangan/kehilangan sesuatu bagaimana kita akan bertumbuh? Jika ini sering dilakukan, pada akhirnya, pasti akan membuat kita lebih bersyukur dan tidak merutuki masa lalu.[]

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)