Penampakan Simpang Empat (Simpang Peut) Kota Idi Rayek, Aceh Timur. Saya jepret menjelang pukul satu siang tiga hari lalu (Selasa, 19 Maret 2024) sambil memicingkan mata di tengah terik yang bikin meledak kepala buaya. Setelah dilihat-lihat kembali, kesemrawutan kabel listrik itu memberikan efek estetis (plus dramatis) tersendiri. Seperti lukisan abstrak. Harganya mahal meski maknanya sukar dipahami oleh orang awam.
Jika kita dari arah Banda Aceh, ke kiri dari Simpang Empat ini akan berujung ke Kuala Idi. Kalau lurus tentulah ke Sumut. Kalau ke kanan, bisa tembus ke Keude Geurubak, ke PT Bumi Flora, Idi Cut, bahkan Alur Merah. Rumah saya yang sekarang hanya berselang dua kampung dari simpang ini. Rumah yang sebelumnya berselang enam kampung dari simpang ini. Agak ke depan sedikit, di sebelah kiri, dulunya Polres Aceh Timur.
Saya akrab dengan Simpang Empat ini. Punya memori khusus. Di pojok kanan itu dulunya ada warung bakso. Beberapa kali Ayah pernah membawa kami (saya dan sepupu) untuk makan bakso di sana. Itu ketika saya masih SMP. Di pojok itu juga ada warung Selera Anda yang menjual mi dan martabak. Ayah sering membeli mi goreng dan martabak di sana. Bersebab itu pula saya lebih suka mi goreng ketimbang yang rebus. Kenangan ternyata mampu mengubah rasa di lidah seseorang. Di tempat Selera Anda itu sekarang sudah jadi toko obat. Simpang ini juga jadi tempat mangkal RBT yang makin ke sini jumlahnya makin menyusut.
Waktu SMP saya kos di Idi Rayek. Mulanya di Asrama Koramil Idi Rayek. Di rumah orang tua salah satu guru SD saya. Ketika di sinilah untuk pertama kalinya saya melihat seorang pemuda mabuk. Jalannya tenggen. Mulutnya menceracau. Tetap "fly" meski ibunya berteriak mengeluarkan sumpah serapah dan mengusirnya. Ketika di sini pula, karena sering melihat cucu ibu kos membuat grafiti, saya pun jadi suka grafiti.
Beberapa bulan kos di asrama koramil, kami pindah ke Gp. Blang. Tinggal di rumah salah seorang kenalan ayah. Rumah milik seorang tauke besar di masanya di Idi Rayek. Di sini lumayan lama, setidaknya kami bertahan hingga naik kelas dua SMP. Dari sini kemudian pindah lagi, masih di Gp. Blang juga, tapi di Lr. Blang Pidie. Tentunya kami tinggal di rumah orang Pidie. Persisnya seberang Masjid Jamik Idi Rayek. Dari ketiga tempat kos ini saya dan teman-teman berjalan kaki ke sekolah di SMP N 1 Idi. Di Jalan Peutua Husen, arah ke Kuala Idi.
Suatu hari di pertengahan tahun '98, kami sedang belajar dengan serius. Hari masih belum terlalu siang. Mungkin sekitar pukul sepuluhan. Tiba-tiba tampak asap hitam membubung tinggi di angkasa. Segera warga sekolah kasak-kusuk. Guru menjadi panik. Anak murid apa lagi. Waktu itu, menjelang runtuhnya Orde Baru, kerusuhan demi kerusuhan besar memang terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di Kota Idi yang banyak orang Tionghoa. Umumnya mereka membuka usaha bengkel. Ada juga yang dealer motor. Sebagian berjualan emas.
Sekolah dibubarkan. Guru meminta murid-murid segera pulang. Ah, senangnya. Tapi, saya dan beberapa teman tak langsung pulang ke kos. Sampai di simpang Kantor Camat Idi Rayek, kami justru berbelok ke kanan, ke arah pusat kota, mestinya lurus saja ke seberang jalan besar. Kami penasaran. Dari mana sumber asap tadi berasal. Apa yang terjadi?
Sampai di kota, yang ada hanya kelengangan. Rusuh-rusuh sudah selesai. Kami masuk ke Tepekong Chin Sui Co Su (Vihara Murni Sakti). Ini salah satu bangunan bersejarah di Kota Idi. Sebelumnya setiap Imlek banyak warga Tionghoa dari luar yang berziarah ke sini. Bangunan vihara hancur. Rusak total. Lama-lama di situ, muncul juga kengerian sehingga kami memutuskan untuk segera pulang ke kos. Itu pertama dan terakhir kalinya saya masuk ke vihara itu.
Seingat saya, bermula dari rusuh-rusuh di bulan Mei itulah kondisi di tempat kami semakin tak kondusif. Saya yang waktu itu masih remaja belum begitu memahami situasi. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ketika tragedi Idi Cut terjadi di bulan Februari 1999, saya masih di tempat kos. Malam itu semua panik. Waswas. Apakah kejadian yang bermula dari dakwah itu sampai merembet ke Idi?
Karena kondisi yang semakin tak menentu, akhirnya kami pulang ke rumah. Tidak kos lagi. Orang tua pasti lebih merasa aman kalau anaknya ada di rumah bersama mereka. Di sisa kelas tiga SMP, untuk beberapa waktu saya pergi ke sekolah dari rumah yang jaraknya lumayan jauh. Syukurlah waktu itu sudah bisa membawa motor. Ayah mengizinkan saya membawa motor.
Masa-masa menjelang tamat SMP hingga tamat SMA saya lalui dalam deraan konflik yang demikian parah. Alih-alih memikirkan mau sambung ke mana setelah tamat SMP, kami justru sibuk mengungsi. Ketika sudah di SMA pun, suatu hari, setiba di sekolah terpaksa pulang lagi karena sekolahnya dibakar. Rentetan kejadian lainnya, perlu banyak waktu untuk merenungi kembali.
Puncak ketidaktenangan di Kota Idi mungkin pada tahun 2001. Di bulan Maret tanggal satu. Bulan yang sama ketika saya menjepret Simpang Empat ini tiga hari yang lalu. Waktu itu menjelang Iduladha. Terjadi baku tembak sejak menjelang magrib hingga malam harinya antara GAM dengan aparat bersenjata RI. Toko, rumah, hingga boat milik warga Idi dibakar. Idi menjadi "lautan api". Rumah saya, yang berselang dua desa dari Kota Idi, menjadi ramai. Orang entah dari mana-mana berdatangan untuk menyelamatkan diri. Utamanya laki-laki. Satu di antara yang masih saya ingat adalah Teungku Ramit, tauke besar di Idi.
Esoknya, tanggal 2, setelah aparat kembali menguasa kota, mereka melakukan penyisiran. Bahkan hingga ke kampung kami. Alhamdulillah tak sampai ke kawasan rumah saya. Waktu itu, saya sedang bikin kue untuk Lebaran. Ayah tidak ada di rumah. Pergi menjauh ke desa lain. Surat-surat penting sudah diamankan. Baju mantel Ayah yang berwarna dongker dan panjangnya selutut, kami cemplungkan ke dalam sumur. Di masa itu, orang bisa saja ditangkap karena di rumahnya kedapatan barang-barang semacam mantel, kesamaan nama, atau kemiripan wajah/postur.
Efek dari kejadian itu, berbulan-bulan Kota Idi menjadi kota mati. Angker. Berada di kawasan Simpang Empat ini terasa mencekam. Untuk keperluan berbelanja mesti ke Peureulak atau ke Kota Langsa. Kalau yang dekat-dekat bisa seputaran Keude Pliek atau Keude Geurubak.
Melihat Simpang Empat 23 tahun setelah kejadian itu rasanya ada yang lain di hati. Toko-toko lama kini berganti menjadi toko-toko baru. Kota Idi yang pernah mati suri sudah berdenyut kembali. Tapi, seiring dengan itu, pelan-pelan kejadian itu akan semakin dilupakan. Apalagi--sepengetahuan saya--tidak ada monumen atau sejenisnya dibangun untuk "mengabadikan" sejarah kelam itu.[]
Bna, 22 Maret 2024
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)