Selasa, 21 Agustus 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XIV (Tamat)

Lama ku pandangi wajah Juan. Belum ada sepatah katapun yang mampu ku ucapkan, padahal keberadaan Juan disini adalah karena undangan ku setelah tiga bulan lebih kami tidak pernah saling bertemu, tidak pernah berkirim kabar dan tidak pernah saling tahu bagaimana keadaan masing-masing. Sangat banyak yang ingin ku katakan padanya, tentang keinginan dan semua isi hati ku selama ini. Tapi entah mengapa bibir ini tiba-tiba mengatup. Suasana hati ku berganti dengan keharuan dan kesenduan yang sangat luar biasa.

Pada saat-saat seperti ini kebimbangan dan keraguan kerap kali menyerangku. Membuatku terkurung antara iya dan tidak untuk mengambil keputusan. Tapi, kali ini aku tidak boleh gagal, apa yang beberapa waktu lalu pernah ku lakukan tidak boleh terulang lagi hari ini. Aku ingin semuanya menjadi baik, berjalan sebagaimana garis yang wajar, tidak menelikung, tidak merampas hak orang lain. Aku hanya ingin memiliki Juan sekarang.

Tapi apakah ia masih menerima ku? Perempuan yang pernah mempermainkannya karena alasan yang tidak masuk akal. Perempuan yang telah kalah oleh perasaannya sendiri. Perempuan yang telah membuat hidupnya sendiri terkatung-katung?

Untuk yang kesekian kalinya aku hanya bisa memandangi wajah Juan yang teduh. Wajahnya yang bersih dan bersinar masih sama seperti saat pertama sekali aku mengenalnya. Sikapnya yang lembut dan sabar juga tak pernah berubah meskipun aku telah berkali-kali melakuan kesalahan. Dan ia masih mau memenuhi undangan ku malam ini, itu artinya dia tidak membenci ku. Setidaknya aku masih berani berharap matahari jingga ku belumlah tenggelam.

Entah mengapa kali ini aku sangat sulit mengeluarkan apa yang ada dihati ku. Tidak seperti biasanya, meskipun aku cenderung introvert tetapi bisa menjadi sangat terbuka kepada orang yang sudah sangat dekat dengan ku. Tak terkecuali Juan. Tapi lidah ku seperti tidak berfungsi sama sekali saat ini.

"Sudah setengah jam kita duduk, apakah hanya untuk diam saja Jingga?" Tanya Juan memecah keheningan. Aku menoleh, memandangi bola matanya yang hitam dan bersinar. Ku tarik napas dalam-dalam, berharap semua bongkahan gundah dihati ku menyublim dan menguap bersama semilir angin.

"Abang yakin, ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, dan penting. Kalau tidak untuk apa kamu mengundang abang setelah sekian lama kita tidak pernah berkomunikasi. Tapi melihat mu diam begini abang jadi ragu…" Juan sengaja mengulurkan ucapannya.

"Abang marah sama Jingga?" Tanya ku pelan.

"Abang tidak pernah merasa begitu, kamu masih muda, pola pikir dan suasana hati kamu masih sering berubah-ubah, dan abang bisa mengerti itu. Tapi sayangnya kamu tidak pernah mau membaginya bersama abang, kamu telan dan pendam sendiri masalah mu." Kata Juan tenang.

"Jingga tidak bermaksud begitu bang,"

"Kamu boleh-boleh saja bilang tidak, tapi abang bukan anak kecil lagi."

"Maksud Jingga mengundang abang kali ini adalah untuk memperjelas hubungan kita, sebelumnya Jingga minta maaf telah berlaku tidak baik terhadap abang."

"Kamu mau hubungan kita ini dikemanakan?"

"Semuanya terserah abang, Jingga tidak bisa mengatakan apa-apa. Belum tentu apa yang Jingga maui abang juga menyetujuinya. Aku…aku hanya merasa tidak pantas saja menjadi seseorang yang istimewa untuk abang."

"Mengapa berkata seperti itu?"

Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan Juan tidak mudah untuk dijabarkan. Perlu susunan kata-kata yang panjang dan terarah untuk bisa menggambarkan seperti apa sebenarnya hati dan perasaan ku. Aku mengamati bayangan wajahku dari pantulan meja. Walaupun tidak begitu jelas tapi sangat kentara kesenduan dan kegelisahan disana. Aku mendadak menjadi tak ubahnya seperti pesakitan yang duduk dimeja hijau. Menunggu ketukan-ketukan palu dari Juan tentang kelanjutan hubungan kami. Terus terang aku sangat takut Juan hilang dalam kehidupan ku dan berharap ia akan menjadi suami ku. Tapi dengan apa yang pernah ku lakuan padanya bukan tak mungkin Juan sudah mencoret nama ku dari daftar sebagai calon istrinya.

"Aku tidak punya alasan bang. Tapi yang pasti aku merasa begitu, abang terlalu baik untuk gadis seperti ku, terlalu dewasa untu menerima sikap ke kanakan ku ini." Kata ku akhirnya.

“Apa kamu berfikir abang akan menghakimi orang begitu mudahnya Jingga? Apakah ada yang sempurna didunia ini selain sang pencipta itu sendiri?”

Aku menggeleng.

“Kalau begitu mengapa kamu berkata seperti itu?”Tanya Juan lagi.

“Ya…enggak begitu juga…” aku tergagap. Benar-benar tampak bodoh dihadapan Juan.

Tanpa aba-aba Juan merapatkan dirinya didekatku. Aku sama sekali tidak menggeser dudukku. Kedua tangannya yang kekar memegang bahu ku. Aku diam saja dan membiarkan jari-jari tangannya mencengkeram pundakku agak sedikit kuat. Matanya yang lembut menatap bola mata ku hingga membuat ku malu dan menunduk.

“Jujur saja abang katakan, abang sangat mencintai dan menyayangi kamu Jingga. Perasaan abang pada mu masih seperti dulu. Abang tetap ingin kamu menjadi istri abang, bisa menerima abang dengan apa adanya,” ucapnya tak lama setelah itu. Aku terdiam sesaat. Merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Tak yakin dengan perkataan Juan. Juan mengangguk sekali lagi untuk meyakinkan hati ku. Sepertinya ia mengerti dengan keraguan ku.

“Sekarang semuanya tinggal menunggu keputusan kamu. Kalau kamu masih mau hubungan ini dilanjutkan, kita lanjutkan dengan syarat kita harus segera menikah. Kalau tidak….ya, kita sudahi sampai disini saja.” Ucap Juan pelan

Aku mendongak. Mencari kebenaran sekali lagi dimatanya yang teduh

“Benarkah?” Tanya ku, masih dengan rasa tidak percaya yang besar.

“Iya. Kamu mau abang harus bilang bagaimana lagi?” tanyanya setengah bercanda. “Apa kamu mau abang mengambilkan bulan itu untuk mu?”

Aku tertawa mendengar candaannya yang berlebih. Juan memang mempunyai segalanya. Dalam segalah hal ia banyak kesamaan dan kemiripan dengan Zal. Senang bercanda, romantis, berwibawa, dan juga manja. Tapi Juan tetaplah Juan, bukan Zal maupun yang lainnya.

Tak sadar air mata ku jatuh menetes. Keharuan tiba-tiba menyeruak begitu hebatnya dalam hati ku. Membuat ku tak mampu membendung air mata yang akan keluar. Air mata ku jatuh seiring dengan bibir yang terus tersenyum dalam ketakjuban. Semua ini adalah karunia. Jika saja aku bisa berbagi kebahagiaan ini dengan kedua orang tua ku. Betapa lebih indahnya.

“Tapi …” tiba-tiba Juan mengucapkan sesuatu. Seperti ada kerisauan dihatinya. Aku kembali cemas

Ada apa bang?” Tanya ku penuh selidik. Aku khawatir dia berubah pikiran.

“Bagaimana dengan wali nikah kamu?”

Aku menghela napas.

“Jingga sudah bicarakan dengan Om Aby, beliau sudah bersedia.”

“Maafkan abang ya sayang. Tidak berhasil meyakinkan hati orang tua mu. Kita berdoa saja semoga Allah memberikan keajaiban-Nya.”

Aku mengangguk pelan. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Aku sendiri juga masih belum mengerti dengan sikap orang tua ku yang tiba-tiba keras dan tidak mau bertoleransi sedikitpun begitu. Padahal aku tahu mereka sangat menyayangi ku, terlebih setelah kakak dan adik ku meninggal dalam kecelakaan lima tahun yang lalu. Mereka membuang kesedihannya dengan memanja kan ku dengan sangat berlebihan. Walaupun untuk menandingi itu aku terpaksa mengenyampingkan beberapa keinginanku yang tidak sesuai dengan mereka.

“Ayah dan mama sangat sayang pada Jingga. Semua orang tahu itu Bang. Jingga juga bingung mengapa bisa jadi begini.”

“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Paling mereka hanya bisa bertahan sebentar dengan cara begitu.”

“Semoga.”

***

Air mata ku terus mengalir. Walaupun bedak dan pemerah pipi sudah dibubuhkan oleh Bibi Intan, istri paman Aby tetap saja tidak mampu ku bendung air mata ku untuk tidak meleleh. Berkali-kali bibi Intan menyapunya dengan tisu, berkali-kali pula air mata ku tumpah dan membasahi pipi ku. Disamping kiri pama Aby berdiri mematung, memandangi ku dari cermin besar didepan ku. Barangkali ia juga tengah berfikir sama seperti yang sedang aku fikirkan. Mengapa ayahku belum juga luluh sampai hari ini. Mengapa ia tega membiarkan anak perempuannya dinikahkan oleh adiknya. Yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua.

Tangan paman Aby yang besar menyentuh bahu ku. Sekedar untuk mengalirkan semangat dan membuang kesedihan ku. Agar aku merasa yakin, bahwa dalam kondisi seperti ini masih ada yang mau menerima ku. Masih ada yang menganggap ku anak dan bersedia menjadi wali nikah ku. Entah apa jadinya bila pama Aby tidak bersedia menjadi wali nikah ku. Mungkin aku juga tidak akan mau menikah.

“Kuat kan hati mu Jingga. Jangan menangis terus. Pengantin laki-lakinya sudah datang.”

“Bagaimana tidak sedih dan menangis paman, disaat-saat seperti ini semestinya ayah dan mama yang mendampingi Jingga. Bukan paman. Peristiwa seperti ini sekali dalam seumur hidup Jingga, dan juga ayah, karena mereka tidak punya anak lain selain Jingga.” Ucapku dengan tangis yang makin keras. Bibi Intan semakin kalang kabut melihat ku. Begitu juga dengan paman Aby, kedua suami istri itu sibuk menenangkan ku, menyuruh ku diam. “Tapi aku….Tidak ada seorang anakpun yang senang menikah seperti Jingga ini paman, sudah tidak direstui, diusir dari rumah, harus menyiapkan semuanya sendiri. Entah apa jadinya bila paman juga tidak mau menerima Jingga.” Aku makin tersedu-sedu. Ku peluk bibi Intan dengan erat.

“Sudah sayang, ini hari kebahagiaan mu, jangan menangis terus ya? Bibi yakin, mama dan ayah pasti akan menemui kamu, walaupun kita tidak bisa pastikan kapan harinya. Kami cukup mengenal siapa ayah mu.” Ucap bibi Intan lembut. Paman Aby mengangguk mengiyakan.

Acara pernikahan ini sengaja dibuat sesederhana mungkin. Dari keluarga ku hanya dihadiri oleh paman Aby dan bibi Intan, nenek dan beberapa teman dekat ku saja. Sementara dari pihak Juan yang datang hanya kedua orang tuanya, kakak dan seorang adiknya dan beberapa orang lainnya yang tidak ku kenal. Aku tak sanggup untuk menghadirkan banyak orang sementara kedua orang tua ku sendiri bersikeras untuk tidak hadir. Anak mana yang sanggup menerima ucapan selamat dari orang lain sementara restu dari orang tuanya sendiri tidak ia terima.

Lagi-lagi air mata ku mengalir mengenang semua itu. Tak pernah ku duga semua kenangan manis bersama orang tua berakhir dengan ukiran pahit seperti ini. Saat sayup-sayup suara Juan melafalkan akad nikah aku justru semakin larut dalam isak tangis. Orang-orang yang hadir disana memandangku dengan gumulan perasaan yang entah seperti apa. Sebagian yang sudah mengerti duduk persoalannya memandangku dengan prihatin, sementara yang tidak mengerti permasalahannya entah apa yang mereka pikirkan tentang ku. Bukan aku ingin terus menerus menangisi ini, tapi air mata yang terus mengalir ini memang tidak bisa dibendung.

Isakan itu berubah menjadi sesenggukan yang parau saat ibu Juan memeluk dan merengkuh ku. Kata-kata petuahnya yang lembut dan bersahaja membuat hati ku semakin larut dalam kesedihan yang panjang dan tak berujung. Aku merindukan pelukan ibu sekarang. Menginginkan ayah memeluk ku dan membisikkan sesuatu ditelinga ku, seperti yang dibisikkan oleh ibunya Juan.

“Kuat hati mu Nak…” bisik Ibunya Juan ditelinga ku. “Jadilah perempuan yang tegar seperti karang, memiliki kesabaran seluas lautan. Menjadi oase ditengah padang gurun. Jangan pernah membenci kedua orang tua mu karena masalah ini. Mereka hanya sedang emosi.” Tuturnya lembut.

Aku menangguk pelan sambil menyeka air mata.

“Makasih Ma,” jawab ku singkat.

“Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, lakukanlah tugas dan kewajiban mu dengan baik, agar kamu juga mendapatkan hak mu dengan baik pula. Ibu titip Juan ya…”

Aku lah yang menitipkan diri pada Juan. Jawab ku dalam hati. Sungguh ia perempuan yang sangat perasa sekali. Betapa beruntungnya aku mendapatkan ibu sepertinya.

Tak lama setelah itu nenek melakukan ritual kecil yang dikenal dengan sebutan peusijuek. Aku dan Juan didudukan bersama dan diperciki air dengan menggunakan rangkaian bunga dan daun-daunan. Dikedua telinga kami disematkan ketan kuning dan disuapi dengan tumpoe, sejenis makanan tradisional pelengkap ritual peusijuek tadi yang juga terbuat dari tepung ketan.

Setelah itu saling bergantian, ritual berikutnya dilakukan oleh ibunya Juan, bibi Intan dan beberapa orang tetua kampung lainnya. Ritual ini sendiri bagi sebagian orang ada yang menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah, karena ia lebih mirip dengan ritual hinduisme. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa ini adalah simbolisasi dari kemakmuran, kesejukan dan kebersamaan. Entahlah, aku tidak begitu mengerti, tepatnya tidak berani mengatakan tidak. Takut akan dikatakan sebagai pembangkang lagi.

Sejalan dengan itu diluar sana terdengar sedikit kegaduhan kecil. Tak lama kemudian suasana itu menular kedalam, orang-orang mulai berbisik, semuanya memandang keluar. Aku dan Juan saling berpandangan. Akan ada kejadian apalagi ini. Mau tak mau aku jadi risau juga. Tapi untuk bangun dan melihat keluar jelas tidak mungkin.

Ada apa lagi bang?” Tanya ku pada Juan.

“Abang juga tidak tahu sayang,” jawabnya

“Alhamdulillah! Jingga…” suara nenek terdengar pias

Ada apa Nek?” buru ku

“Orang tua mu.” Nenek menunjuk keluar

“Kenapa? Mereka datang kemari?”

“Iya Nak. Itu mereka masih diluar.”

“Benar kah?” nenek mengangguk pasti. “Bang?” kata ku pada Juan dengan bibir merekah tersenyum. Walaupun aku belum tahu apa maksud kedatangan mereka tapi hati ku mengatakan bahwa mereka ingin memberi restu untuk ku. Dan juga Juan tentunya.

Tanpa menunggu lama aku langsung bangkit dan melihat keluar. Disana ku lihat mama tengah duduk dikursi dan menangis. Disampingnya ayah termangu, terdiam membisu. Untuk sesaat aku hanya sanggup menyaksikan semua adegan itu dari balik pintu. Orang-orang yang hadir disana ada yang mulai menitikkan air mata.

“Mama….maafkan Jingga!” issak ku sambil merengkuh kakinya untuk bersujud. Ku ciumi kakinya dengan penuh takzim dan bersahaja. “Beri Jingga restu ma” kata ku lagi. Hal yang sama juga ku lakukan pada ayah. Aku menangis sejadinya. Disampingku Juan menyusul, menciumi kaki kedua orang tua ku. Namun melihat keduanya masih belum bergeming membuat ku menjadi semakin was-was dan bersedih hati.

“Ma, Ayah, katakanlah sesuatu untuk Jingga.” Ratap ku.

“Nek…” kata ku pada nenek mengharapkan ada penjelasan dari kediaman ini.

“Biarkan orang tua mu menenangkan diri dulu. Kamu masuk saja dulu.”

“Nggak Nek. Jingga nggak mau masuk kalau mama dan ayah belum memberikan restu untuk Jingga.”

“Tapi semuanya kan bisa dibicarakan didalam sayang, ngga disini.”

“Tapi Nek…untuk apa mama dan ayah datang, kalau bukan untuk Jingga?”

Tak ada yang bersuara, selain dari isakan tangis setiap orang yang terdengar seperti desau angin yang kuat. Semua larut dalam perasaannya masing-masing. Kali ini aku tak menolak ketika nenek menuntun ku masuk ke dalam. Kebisuan kedua orang tua ku kembali membuat hati ku terasa robek seperti disayat-sayat. Perih.

“Jingga….” Suara mama membuat langkah ku terhenti

Aku menoleh dan membalikkan badan. Ku lihat mama merentangkan kedua tangannya. Kepalanya ia anggukkan pertanda menyuruhku agar mendekatinya. Aku tersenyum lega.

“Maafkan kami ya Nak.” Ucap mama terbata

“Maafkan ayah juga sayang.”

Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Usai sudah semua perjalanan ini. Usai sudah semua peperangan hati dan kehidupan ku. Semua yang hadir juga tak sanggup membendung air mata mereka untuk tidak jatuh. Sesungguhnya Allah adalah maha pembolak-balik hati. Setiap malam aku berdoa agar Allah mengembalikan orang tua ku, dan Dia sudah mengabulkan doa ku. Terimakasih Allah.

“Jaga Jingga baik-baik Juan.” Ucap mama dan ayah bersamaan.

Juan mengangguk. Dengan lembut ayah merengkuhnya dan memeluknya dengan erat. Ini adalah karunia terbesar dalam hidup ku. Meskipun sedikit ada kekecewaan karena bukan ayah yang menikah kan ku. Tapi, semua itu adalah fase kehidupan yang harus dialami oleh seorang Jingga.

“Abang adalah matahari jingga ku.” Bisik ku pada Juan.

“Kamu juga matahari jingga ku.”

“Selamat untuk kalian berdua” sebuah suara lain tiba-tiba membuat kami sama-sama berpaling.

“Zal.” Ucap ku refleks

“Terimakasih sudah mau datang Zal.” juan dan zal saling berpelukan
aku menatap kedua laki-laki tersebut dengan senyum mengembang.

(Tamat)

22 Juli – 21 Agustus 2007

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)