Jumat, 27 Juli 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian VI

Keputusan ku sudah bulat. Aku akan memilih Juan dengan atau tanpa sepengetahuan Zal. Aku juga merasa tak perlu meminta ijin darinya untuk itu. Aku adalah diriku sendiri, bukan milik Zal atau siapapun. Aku ingin jadi jiwa yang merdeka. Bebas untuk memilih siapapun yang akan menjadi teman dalam hidupku. Sudah sebulan lebih aku mempertimbangkan keputusan ini, dan aku tak ingin mendengar apapun lagi. Bahkan untuk mencari tahu keberadaan Zal. Aku akan menikah dengan Juan.

Tapi kemana Juan? Sudah sebulan ini ia tidak menghubungi ku. Tidak pernah mengirimkan kabar untuk ku. Dia kembali raib, hilang. Entah kemana. Mengapa ia selalu begitu? Hilang saat aku menginginkan ia ada didekatku. Apa Juan hanya ingin mempermainkan perasaan ku saja? Membuat ku kembali terkatung-katung dengan kondisi seperti ini?

Aku tak berani memberi tahukan semua ini pada orang tua ku, beberapa waktu yang lalu saat ku beri tahu Juan akan datang melamar ibu tampaknya keberatan setelah tahu Juan duda. Lebih-lebih dengan usia kami yang terpaut jauh. Konon lagi jika ia tahu sudah sebulan ini Juan kehilangan jejaknya. Itu akan semakin menambah sangkaan negatifnya pada laki-laki itu. Sementara ayah tak jauh beda dengan ibu, ia masih saja sibuk menjodohkan ku dengan anak temannya yang pemalas itu. Yang suka memamerkan kebesaran dan harta orang tuanya. Mengingat Yunas benar-benar membuat ku mual.

Tiba-tiba saja aku jadi teringat Aliya, kekasihnya bang Firman yang dulu pernah bertemu dengan ku di kafe. Entah mengapa aku jadi ingin bertemu dengannya. Barangkali hanya dialah yang bisa ku ajak berbicara dari hati kehati. Sedikit banyak kami punya persamaan, sama-sama mencintai laki-laki beristri.

“Aku bingung sekali saat ini Al,” kata ku mengawali kegalauan hati ku saat bertemu dengan Aliya dirumanya.

Aliya tidak seperti yang aku kira, dia baik dan pengertian. Usianya terpaut lima tahun dengan ku. Aku menyesal telah berprasangka buruk kepadanya dulu. Dalam beberapa hal dia memang terlihat lugu dan polos. Tapi perhatiannya tulus. Wajar saja bila bang Firman menyukainya.

“Aku sudah putuskan untuk menerima Juan, tapi dia malah hilang dan seperti menjauh dari ku. Aku benar-benar seperti perahu yang kehilangan arah. Zal dan Juan sama saja.”

“Kadang-kadang aku seperti tak terima takdir, mengapa terus menerus terjebak pada situasi seperti ini.”

“Keputusan mu sudah baik Jingga. Sekarang yang perlu kamu fikirkan adalah orang tua mu, bukan Juan. Aku yakin Juan akan datang lagi, bukan kah dia selalu begitu? Hilang dan pergi.”

“Iya, tapi…bagaimana tidak resah begini Al. kalau tiba-tiba dia tidak pernah kembali lagi itu kan sangat konyol. Orang tua ku pasti akan langsung mengatakanku banyak hal, tak pintar mencari calon suami lah, sukanya dengan duda lah….aku pusing memikirkan mereka. Syukurnya aku jauh dari mereka.”

“Yang kamu alami jauh lebih baik dari pada yang aku alami Jingga. Aku tidak ingin kamu sampai mengalami seperti apa yang aku alami, Juan kelihatannya baik.”

“Darimana kamu tahu Juan baik?”

“Dari cerita mu.”

“Oh. Sebentar…mama menelepon ku.”

“Ya Ma, ada apa?”

Ada yang ingin mama bicarakan dengan kamu, jadi mama harap kamu bisa segera pulang ke rumah.”

“Mama Jingga sedang banyak sekali pekerjaan di kantor. Tidak bisa pulang besok atau lusa.”

“Mama tidak mau tahu, kalau dipecat disitu kan masih bisa bekerja ditempat lain lagi.”

“Mama ini sangat egois. Selalu saja begitu.”

“Pokoknya kamu harus sampai besok dirumah. Titik!”

Tut. Saluran telepon terputus. Aku merandek. Mama ku benar-benar sangat otoriter.

“Mereka sama sekali tidak tolerir dengan kemauan ku kali ini Al.”

Aliya hanya tersenyum. Hambar. Ada kesedihan terpancar dimatanya.

“Oh ya, tadi sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan. Kalau boleh tahu soal apa?”

“Firman.”

“Ya, kenapa dengan dia? Apa dia menyakiti mu?”

Aliya lagi-lagi diam, membuat ku tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi padanya.

“Ayolah, bukan kah aku juga sudah bercerita banyak pada mu tentang masalah pribadi ku?”

“Aku hamil Jingga.”

“Apa?! Sama siapa?”

“Firman.”

“Firman?!!!” mata ku mendelik. Tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Aliya. Aliya mengangguk lemah. Ia terlihat sangat terluka dan kecewa.

“Lalu? Kamu sudah bicarakan dengan Firman?”

“Itulah Ngga…”

“Itulah bagaimana?” aku jadi tak sabaran dan menjadi kesal mendengar semua itu. Bagaimana mungkin Firman yang ku kenal baik dan sopan itu mampu berbuat kurang ajar begitu. Ingin rasanya ku tendang tubuhnya hingga jatuh.

“Firman tidak mengakui kalau anak yang ku kandung ini anak nya.”

“Apa?”

Aku benar-benar kaget. Apakah Firman sejahat itu?

“Dia bilang dia tidak mungkin menikahiku, hubunganku selama ini hanya pelampiasan atas sikap istrinya saja padanya. Dan kami tidak pernah bertemu lagi sejak sebulan terakhir ini, sejak aku menceritakan perihal keadaan ku pada nya.”

Aliya mulai menangis, ia terlihat sangat tersiksa sekali dengan kejadian yang menimpa dirinya. Aku mengumpat-ngumpat dalam hati. Tak bisa menerima perlakuan Firman pada Aliya.

Aku mencoba menghubungi Firman begitu sampai dirumah, tidak aktif. Ku tekan nomornya yang satu lagi. Sepertinya ia sengaja membangun jarak antara dirinya dan ALiya.

“Abang bajingan,” umpat ku begitu tersambung

“Eh, ada apa ini? Kok teriak-teriak begitu?”

“Apa yang abang lakukan pada ALiya?”

“Oh, kamu sudah ketemu dengannya rupanya? Bicara apa saja dia?”

Aku semakin meradang mendengar jawaban Firman yang seenaknya begitu. Apa ia pikir perempuan hanya pemuas nafsunya saja.

“Mengapa abang tega melakukan semua itu pada Aliya? Abang memanfaatkan dia.”

“Salah dia sendiri, waktu abang minta diberikan.”

Ah! Aku benar-benar marah. Bukan hanya kepada Firman tapi kepada semua laki-laki. Zal dan juga Juan. Juga laki-laki lainnya yang pernah aku kenal dan berprilaku sama seperti Firman. Tidak ada yang tulus pada mereka. Perasaan perempuan hanya boneka bagi mereka.

“Jingga, apa kamu fikir ada laki-laki yang rela menceraikan istrinya dan menikahi perempuan lain? Jumlahnya hanya satu persen, dan asal kamu tahu, laki-laki yang sudah menikah dan menjalin hubungan dengan perempuan lain tak lain hanya untuk bersenang-senang.”

Aku benar-benar tidak tahu menjawab apa. Tapi tidak semua laki-laki seperti yang ia tuduhkan pada ku. Zal salah satunya. Walaupun kami saling mencintai, dan peluang untuk melakukan perbuatan tidak senonoh itu ada tapi kami tidak pernah melakukannya. Kami pernah bertemu, pernah berdiam diri dalam satu ruangan tertutup bersama-sama tapi tak ada setitik niat pun untuk melakukan itu sekalipun dihati kami masing-masing keinginan itu tetap ada. Tapi Firman…

Aku kembali menangis, kali ini bukan karena sedih memikirkan diriku tapi memikirkan apa yang dialami Aliya dan perempuan-perempuan lainnya yang bertemu manusia-manusia seperti Firman. Aku kesal, ingin berteriak, memaki.

Sebuah pesan masuk membuat tangisku terhenti sejenak. Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan tersebut, dan mengapa ia memintaku datang ke kafe Kita malam ini pukul sembilan. Di meja no 10 lantai dua.

Kafe Kita, lantai dua nomor sepuluh. Siapa orang yang mengundang ku disana? Dan mengapa harus dilantai dua? Mengapa harus nomor sepuluh? Aku bertanya-tanya pada diri ku sendiri. Segera aku melirik jam, sudah pukul tuju lebih seperempat. Itu hartinya hanya tersisa waktu 45 menit lagi untuk segera sampai kesana.

Orang itu seperti tahu saja kalau aku sedang ada waktu luang. Tapi bagaimana dengan mata ku yang sembab ini? Ah masa bodoh.

Aku naik kelantai dua kafe ini dengan hati yang bergetar, tangan ku sedikit gemetar, aku tak mau menebak-nebak. Aku hanya berkeyakinan bahwa orang itu pasti sangat ingin bertemu dengan ku dan tidak berniat mempermain kan ku. Itu saja. Tapi…mengapa orang itu tahu aku menyukai suasana kafe ini?

Meja nomor sepuluh masih kosong. Tidak ada tanda-tanda ada orang disana. Mejanya bersih, tidak ada pesanan minuman maupun bekas makanan. Aku melihat kesekeliling, sepi. Setelah memastikan tidak ada orang yang ku kenal aku pun duduk disana. Lima menit lagi tepat pukul delapan, barangkali cukup untuk menetralisir geletar-geletar dihati ini.

Tepat pukul delapan sesosok laki-laki muncul, aku jelas sangat mengenalnya. Ia terlihat sangat segar, berbeda sekali dengan ku yang kelelahan dan sembab karena habis menangis. Ia mengenakan kemeja lengan pendek kotak-kotak berwarna biru, dipadu dengan celana jeans warna senada. Hati ku berteriak senang. Sekaligus haru yang dalam.

“Maafkan abang yang telah hilang selama ini. Mulai sekarang abang janji tidak akan pernah hilang lagi dari kamu sayang.” Juan mengatakan itu dengan tulus. Aku hanya bisa tersenyum.

“Benar kah?”

“Iya,”

“Tapi…”

“Tapi kenapa?”

“Kita sepertinya akan ada sedikit tantangan.”

“Soal?”

“Orang tua ku”

“Aku sudah menemui mereka, sudah meyakinkan mereka.”

“Tapi sore tadi baru saja mama meminta ku untuk pulang untuk membicarakan kembali masalah ini.”

“Iya memang benar, tapi untuk menentukan hari pernikahan kita.”

“Benar kah?”

“Iya sayang.”

“Oh….aku senang sekali. Ku pikir abang tidak pernah kembali lagi dalam hidup ku.” Aku pura-pura merajuk.

“Abang ada pekerjaan, dan abang harap kamu bisa mengerti kondisi abang yang satu ini.”

“Bagaimana kalau nanti aku kesepian” goda ku sedikit nakal

“Kamu ini bisa saja menggoda abang…”

“Sepertinya aku mulai jatuh cinta beneran sama abang.”

“Abang akan selalu buat kamu jatuh cinta.”

“Benar kah?”

“Iya.”

Bersambung…

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)