Jumat, 25 November 2011

Lukisan Merah (*)

Tak pernah lupa aku pada puisi-puisi pendek yang kerap datang ketika matahari telah dhuha, atau ketika petang mulai menjelang. Bagaimana mungkin aku bisa lupa, puisi-puisi itu telah mengembalikan seluruh imajinasiku yang sempat karam oleh trauma masa lalu.

Puisi-puisi yang kuyakini sebagai penggerak ke dua tanganku untuk kembali mengangkat kuas, memadukan berbagai variasi warna, dan menggoresnya sebagai lukisan abstrak di kanvas berwarna putih. Puisi-puisi itu telah mengembalikan diriku. Ya, tak mungkin aku melupakannya. Lebih tepatnya tak sanggup.

Ketika aku tak tahu harus melukis apa, maka puisi-puisi itu menjelma menjadi penunjuk jalan bagi imajinasiku. Antara sadar dan tidak  aku mengayunkan langkah, memasang kanvas, menyiapkan kuas-kuas dan cat, lalu tanganku membentuk guratan-guratan garis di atas kain kanvas, dan entah bagaimana tiba-tiba hasilnya menjadi sketsa wajah seorang perempuan.

Perempuan yang hanya kutemui sekali dalam hidupku, yang datang ketika petang akan menjelang. Ketika itu ia memakai kaos oblong warna merah dan celana jeans warna hitam. Rambutnya ikal se bahu dan ia biarkan tergerai. Baru kusadari kini, betapa sebagian besar lukisanku didominasi oleh wajah perempuan penyair itu.
Aku kembali teringat pada puisi-puisi pendek itu. Sudah setahun lebih tidak kuterima lagi sebagai pesan pendek di handphoneku, atau juga di e-mail-ku. Setiap kali terbit rinduku pada perempuan penyair itu maka aku hanya bisa membuka arsip lama di folder e-mail-ku. Membaca ulang kiriman puisi-puisinya yang singkat, namun sangat indah. Beberapa membuatku melayang dan menahan napas. Setidaknya begitulah yang kupahami, sebab aku sama sekali tidak mengerti puisi.

Seolah-olah, baru sekarang aku menemukan satu persatu makna dari setiap puisi-puisi itu, semacam kerinduan yang tertahankan, atau seperti keinginan yang tidak berani diungkapkan. Atau semacam penjelasan yang tersirat. 

Dulu pernah sekali kutanyakan itu padanya tetapi ia tak pernah menjelaskan.

“Itu hanya puisi biasa.” Begitu kilahnya selalu setiap kali kutanya apa maksud dari puisi itu. Atau “Jangan tanya macam-macam!” jawabnya ketus bila kutanya lagi.

Dan juga pada petang kali ini, lebih dari setahun yang lalu aku selalu menunggu-nunggu kalau-kalau ada pesan pendek yang masuk ke handphone-ku sebagai puisi dari seseorang. Atau juga ke e-mail-ku. Tetapi hingga malam menjadi isya, dan waktu berganti menjadi fajar yang kutunggu tak kerap datang. Dan seperti biasa, aku hanya bisa tersenyum untuk mengobati kekecewaan dan kehampaan hatiku. Pagiku seringkali disapa murung yang pekat.

“Sampai kapan kau akan melukis?” tanya perempuan penyair itu, sekitar dua tahun yang lalu.

Aku tak langsung menjawab. Kupandangi pertanyaannya di layar komputerku. Entah mengapa, aku merasa pertanyaan ini tidak sederhana. Setidaknya aku ingin menjawab dengan jawaban yang sedikit lebih puitis. Walaupun tidak bisa menyerupai puisi-puisi kirimannya. Sesekali aku ingin membuatnya terkesan.

Aku memejamkan mata. Mencoba menghadirkan wajah perempuan tersebut dengan imajinasiku. Seperti apa rupanya. Seperti apa suaranya. Apakah ia se cantik puisi-puisinya? Ataukah suaranya semerdu kicang burung di pagi hari? Ah, betapa kecanggihan dunia kadang-kadang tidak seperti yang diharapkan.

“Sampai kau tak lagi muncul dalam imajinasiku.” Jawabku akhirnya.

Aku menunggu-nunggu jawabannya. Sedikit berdebar hatiku. Apakah ia juga merasakan hal yang sama di sana? Ah, kalau pun iya, apakah itu berarti untuknya? Hei ada apa denganku? Mengapa kini aku yang sibuk dan merasa kikuk dengan apa yang barusan kulontarkan sebagai jawaban. Mengapa tiba-tiba aku ingin meralat jawaban itu dengan kalimat-kalimat lain seperti “Aku akan terus melukis karena aku butuh uang” atau “Melukis adalah hobbyku jadi aku tidak mungkin berhenti”. 

Dan aku benar-benar diamuk galau karena karena ia tak kunjung membalas pesanku. Bukan hanya itu, pesan-pesan senjanya juga tak kunjung datang. Aku bagai dikepung perasaan tak bernama yang kadang membuat langkahku gontai dan tungkaiku melemas.

Hingga seminggu kemudian sebuah pesan muncul di handphone-ku.
“Ian?”
“Ya.” Balasku.
“Boleh kupinjam bahumu untuk malam ini?” tanya nya lagi, masih melalui short messages service.
Aku tak segera menjawab, karena masih diliputi bingung yang serta merta. Bagaimana caranya ia bersandar di bahuku? Sedangkan dia tidak bersamaku.
“Silahkah Aya. Dan biarkan kubelai rambutmu.” Jawabku asal, masih dengan bingung yang belum menemui penyelesaian. Aku berfikir kadang-kadang ia aneh. Tetapi, mungkin memang begitu caranya mengeskpresikan diri sebagai seorang penyair. Dan entah mengapa kali ini aku ingin terlibat dalam keanehannya. Seperti ia yang kerap kupaksa untuk mabuk pada dunia lukisku. Dunia yang tidak dimengertinya.
“Tidakkah kau tanya untuk apa aku meminjam bahumu.” Tanya nya.
“Untuk apa Aya?”
“Untuk meliarkan imajinasiku. Aku ingin masuk ke adrenalinmu.”
“Aya?”
“Ya.”
“Aku ingin melukismu, boleh?”
“Ian, adakah lukisan permanen yang tak lapuk dimakan waktu? Buatkan aku yang seperti itu, akan kutahan sedikit rasa sakitnya. Kelak ketika semuanya usai, aku akan lebih mencintai tubuhku sebab engkau sudah melekat di sana.”
***
Namanya Hidayah. Kupanggil ia sebagai Aya. Melalui puisi-puisinya ia memang menyerupai hidayah bagi kehidupanku. Banyak hal yang tidak kumengerti dari dirinya, terutama cara berfikirnya. Bukan tidak kumengerti sebenarnya, tetapi karena ia tidak memberi kesempatan bagiku untuk memahami dirinya.

Sampai akhirnya ia berdiri di hadapanku. Memakai kaos oblong warna merah polos, dengan celana jeans yang tampak pudar, rambutnya yang sebahu ia biarkan tergerai. Ia sama sekali berbeda dengan yang selama ini hadir di imajinasiku, ia jauh dari kesan anggun.

“Kau kaget?” tanyanya tanpa basa-basi melihat aku yang masih berdiam diri.

Aku tergagap. Puisi-puisinya begitu santun. Tapi Aya yang kulihat di hadapanku terkesan berani, bahkan ia tak segan-segan menyelidik ke mataku.

“Hm...” aku masih tergagap.

“Memang, mengampuni tidak mengubah masa lalu, tetapi berpengaruh terhadap masa depan.” Katanya.
“Aku tak mengerti maksudmu, Aya.”
“Bagaimana kau akan melukisku?” tanya nya setelah kami saling diam untuk beberapa saat.
Untungnya aku telah menguasai diriku dengan baik, kutarik nafasku dalam-dalam, dan kupandangi matanya yang hitam.
“Tengadahkan dagumu.” Kataku. 

Saat itulah kusaksikan Aya begitu anggun dengan ke dua matanya yang terpejam. Dan saat kupegang tangannya kulihat ada sekerat benda berdiam di jari manisnya. Entah mengapa, tiba-tiba hatiku diliputi nyeri yang teramat sangat.

***
Dan setelah prosesi senja itu, Aya tak pernah hadir lagi di hidupku. Tidak juga puisi-puisinya. Bahkan Aya mengganti nomor handphone-nya. Tetapi di imajinasiku Aya tampak semakin sempurna. Kadang-kadang ia hadir dengan gaun pengantin yang indah. Di sebelahnya seorang lelaki berdiri dengan gagah. Lelaki yang pernah kubayang-bayangkan sebagai diriku sendiri. 

Namun, lagi-lagi kelebat cincin di jari manis Aya membuatku tertegun, bagaimana mungkin aku menjadi lelaki tersebut sebab tak pernah kupakaikan cincin itu di jemarinya. Aku menjerit dalam diam.

Di lain waktu  Aya muncul dengan seorang bayi mungilnya yang merah, kubayang-bayangkan bahwa bayi itu mirip denganku, tetapi matanya bulat dan besar, hidungnya mancung, alisnya tebal, bibirnya tipis, sama sekali jauh dengan gradasi wajahku.

Ah, sekarang aku mengerti betapa imajinasi lebih parah dalam menyiksa. Kata-kata yang sama pernah diucapkan Aya setahun yang lalu. Mungkin inilah maksudnya tentang kalimat pengampunan itu, aku berasumsi.
Dalam ketermanguanku senja ini, aku telah putus asa menanti puisi-puisi Aya. Aku ingin membunuh imajinasiku agar Aya tak pernah hadir sebagai nyeri di hatiku. Aku tak ingin ia hadir sebagai bayang-bayang dalam setiap lukisanku. Aku ingin bebas, jauh dari rasa rindu dan sepi yang menikam.

Dan siapa duga bila di pucuk keputus asaanku tiba-tiba sebuah pesan masuk ke handphone-ku.
“Aku takkan pernah lupa pada lukisan merah di bawah daguku yang berasal dari kanvas lidahmu. Kukatakan bahwa itu adalah saat paling bahagia dalam hidupku”
Aku membalas pesan singkatnya “Lukisan merah di bawah dagumu adalah satu-satunya lukisan yang pernah kubuat dengan kanvas panca inderaku. Aku mencintaimu Aya.”
Aya tidak pernah membalas pesanku. Tidak pernah. Tetapi aku bisa merasakan bahwa saat menjelang senja seperti ini ia akan menengadahkan matanya ke langit. Dan ia mulai melukiskan keinginannya di langit. Sesekali mungkin ia akan menangis. Mungkin.


Permata Punie, 22 November 2011
23:47 pm

(*) cerpen ini telah dimuat di situs www.acehcorner.com 
http://acehcorner.com/2011/11/lukisan-merah/
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)