Minggu, 19 Oktober 2008

Lelaki Lelaki Tikus*


Sore yang memikat, langit-langit merah menggiring senja, diikuti rintik-rintik hujan gerimis setengah basah. Keduanya terlihat begitu kompak dan akur. Tak ada tanda-tanda saling berebut, baik matahari maupun hujan. Dari kekompakan keduanya lahirlah segaris pelangi yang melengkung indah dilangit sebelah barat sana. Melengkapi kesyahduan senja itu. Memuat siapapun yang melihat pasti berdecak kagum atas maha karya Tuhan yang dahsyat ini.

Namun tidak begitu halnya dengan Sheila, gadis itu justru ingin segera menyudahi sore itu agar bisa lekas pulang. Bukan karena dia tidak suka hujan gerimis, bukan juga karena dia membenci pelangi. Musik yang mengalun lembut pun sama sekali tidak bisa memaksanya untuk duduk lebih lama lagi ditempat itu. Camellia-nya Ebiet G. Ade yang menjadi lagu favorite nya sejak dulu terdengar biasa-biasa saja.

Kopi ginseng yang ia pesan tadi sudah dingin, masih tersisa setengahnya tapi ia tak berniat menghabiskan minumannya. Ia menjadi tak berselera. Kehangatan yang sempat ia bayangkan justru menjadi dingin dan beku, lebih dingin dari sore ini. Yang ada dalam hatinya adalah bagaimana ia bisa segera sampai kerumah lalu tidur sepuasnya. Sesekali ia melirik si tikus yang duduk disebelahnya, membuatnya semakin jengah dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Menembus hujan matahari. Tapi yang dilihat sepertinya tidak merasakan apa-apa, ia seperti tidak sadar kalau dirinya telah menjadi gunjingan hati Sheila. Justru ia duduk santai sambil menikmati kopinya dan pisang goreng keju yang mereka pesan tadi dengan nyaman. Ia tidak risih atau kikuk dengan Sheila yang jelas-jelas tidak bersahabat. Dia memang laki-laki yang tidak memiliki sensitifitas.

“Kalau ngga ada yang dibicarain lagi aku mau pulang.” Suara Sheila memecah kebisuan mereka.

Eben menyeruput lagi kopinya hingga habis.

“Bahkan kita belum membicarakan soal kerjaan, kok mau pulang?” jawab Eben enteng.

Sheila meradang. Plin-plan sekali laki-laki itu, padahal tadi dia sendiri yang bilang urusan kantor ya dikantor bukan disini tempatnya. Dan sekarang dia bilang begitu. Dua hari yang lalu dia mengundangnya ke café ini untuk membicarakan soal pekerjaan, katanya bosan kalau melulu diruangan. Sekali-kali cari suasana santai.

“Mau kamu apa sih Ben?” Sheila menatapnya dingin. Eben tersenyum.

“Kita duduk dan ngobrol, ngga usah buru-buru pulang. Dirumah pun mau ngapain.”

Eben berusaha memegang tangan Sheila tapi dengan cepat Sheila menarik tangannya. Ia tak menyerah dan mencoba sekali lagi namun kalah cepat dengan gerakan Sheila. Ia pun berhenti.

“Dasar laki-laki tikus.” Pekik Sheila dalam hati.

Dalam hati ia menyesal telah menerima tawaran Eben untuk bertemu di café ini. Bukan itu saja, dia juga menyesal telah bekerjasama dengan lembaga yang dipegang oleh Eben. Tapi sekali-kali membicarakan urusan kantor diluar tidak masalah. Ia pun jarang sekali punya waktu untuk bersantai-santai. Jadi tak ada salahnya menerima tawaran Eben dua hari yang lalu. Tapi ia tentu saja tidak menduga kalau reaksi Eben akan seperti ini, walaupun sedikit banyak dia sudah dengar tentang Eben. Apalagi dia sebagai mitra harusnya Eben bisa bersikap professional. Tapi dasar tikus! Lagi-lagi Sheila mengerang dalam hati.

Tapi tikus yang satu ini bukanlah tikus biasa. Kalau yang lain diibaratkan dengan tikus rumah maka Eben adalah tikus cerurut, tikus hutan yang liar dan rakus yang bisa saja memakan tikus-tikus rumah.

Sheila tidak habis pikir bagaimana mungkin semakin lama semakin bertambah saja laki-laki yang harus ia masukkan dalam kelompok tikus. Bukan Cuma menyebalkan tapi juga menjijikkan. Begitulah Eben, genit, liar dan serakah. Rasanya tak cukup dengan itu menggambarkannya sebagai tikus, dia suka memanipulasi anggaran proyek, suka mark-up dan suka main dengan staff nya, beruntung ia punya tampang lumayan. Tapi kali ini Sheila benar-benar membuatnya tidak berkutik.

Ah, tiba-tiba saja ia jadi teringat Fikar, laki-laki santun yang dengan berat hati harus ia jadikan tikus juga.

***

Sheila hampir saja tertidur ketika mendengar suara pintu depan diketuk. Ia bangun dan memakai kimononya, sekilas ia melirik jam, pukul sepuluh kurang. Ia menebak-nebak siapa yang datang kerumahnya malam-malam begini.

“Fikar, kok tumben malam-malam datang kerumah?” Sheila membetulkan kerah bajunya yang berantakan.

“Ada yang harus aku ambil dari mu.”

“Apa?”

“Boleh aku masuk dulu?”

“Oh pasti. Masuk dan duduklah dulu.”

Sheila meninggalkan Fikar dan segera masuk kekamarnya untuk mengambil sesuatu setelah Fikar menjelaskan maksud dari kedatangannya. Note book nya Fikar ketinggalan dirumah ibunya karena itu dia harus mengambil data di komputernya . karena laporan triwulanan proyek pengadaan perahu untuk nelayan harus diselesaikan malam ini dan dikirim ke Jakarta besok pagi-pagi. Tidak banyak, hanya tinggal beberapa lembar lagi karena 90% nya sudah seelsai dan sudah di print out oleh Fikar.

“Nih, cari sendiri.” Sheila menyerahkan lap top nya kepada Fikar. Tanpa dikomando Fikar langsung mencari-cari file yang dimaksudnya. Sedangkan Sheila membaca majalah, sebenarnya ia mengantuk sekali tapi meninggalkan Fikar sendirian tidak enak.

Sedang diluar sana langit mulai tampak tidak bersahabat, gumpalan-gumpalan hitam mulai memadati arus lalu lintas dicakrawala. Sebentar lagi gumpalan itu pasti akan berubah menjadi rintik-rintik hujan yang lebat dan deras. Bintang-bintang mulai tinggal satu-satu sedang bulan sejak tadi sudah meredup.

Angin bertiup tidak mau kalahnya, ia sepertinya juga ingin menunjukkan kekuatannya pada langit. Bahwa ia bisa meniup daun-daun, bahwa ia bisa menerbangkan sampah-sampah, bahwa ia bisa menggoyangkan nyiur-nyiur, bahwa ia bisa meluruhkan putik-putik jambu dan menjatuhkannya keatap rumah. Dan membuat bising serta memekakkan telinga. Tidak lama berselang hujan pun turun dan akhirnya tumpah menggasak bumi. Tanah-tanah menjadi becek, binatang-binatang malam menjadi kalang kabut.

Namun Sheila yang tengah terlelap sama sekali tidak mendengar suara klotek-klotek yang dituimbulkan oleh putik-putik jambu tadi. Apalagi suara angin dan hujan, ia benar-benar lelap dan terkapar.

Tapi tidak dengan Fikar, dalam ketakutannya ia tampak makin takut ketika ia sadar telah terkurung dirumah Sheila. Mau pulang menerobos hujan itu tidak mungkin, sebab hujan terlalu lebat dan angin kencang, sebab malam terlalu pekat untuk ditembus begitu saja. Dia pun tidak bawa mantel hujan. Jantungnya berdetak tidak karuan. Cemas, takut, dan entah apalagi. Dalam keresahan itu terpaksa ia telan sendiri mana kala Sheila masih terbuai dengan alam tidurnya.

Detak jantungnya semakin tak berirama, mana kala ia melihat kerah baju Sheila tersingkap. Dia tidak memakai pakaian dalam. Darahnya berdesir hebat, adrenalinnya melonjak-lonjak tak mampu ia kendalikan.

Diam-diam ia mencoba memperhatikan Sheila, tampak anggun dan mempesona, bahkan dalam tidurnya pikir Fikar. Sheila tidaklah begitu cantik, wajanya biasa-biasa saja, kulitnya berwarna agak sedikit coklat. Tingginya hanya sekitar 158 cm. Tapi ia punya sepasang mata yang hitam dan tajam, alisnya lebat dan rapi. Pembawaannya selalu tenang dan berwibawa, pengetahuannya luas, Sheila cerdas dan romantis. Yang terakhir ini tentu saja Fikar tahu dari puisi-puisi dan tulisan Sheila yang sering ia baca di site nya.

Dalam hati kecilnya sesungguhnya ia mengagumi Sheila, dan berharap Sheila mau menjadi istrinya. Tapi ia tahu diri, pokoknya jangan macam-macam kalau tidak mau dipecat tanpa alasan oleh Sheila.

Lama Fikar memandangi Sheila, sejenak ia termangu. Angannya melayang begitu jauh, terbang mengitari langit-langit yang berserakan hujan, mandi bersama, basah berdua, lalu duduk diatas bulan dengan kaki bergelantungan kebawah. Menjuntai-juntai…

“Maafkan aku Sheila…” Fikar menunduk dalam-dalam. Dia tak berani menatap wajah perempuan disampingnya. Hatinya semakin risau dan takut. Perasaan bersalah, berdosa, menyesal berbaur dalam relung hatinya. Semuanya terjadi begitu cepat, tanpa ia maupun Sheila sadari bagaiman semua itu bisa terjadi hingga akhirnya mereka tak berdaya.

Sheila memandang Fikar tak berkedip. Hatinya berkecamuk. Kepalanya semakin terasa pening. Mengapa harus Fikar teriaknya berkali-kali. Laki-laki yang ia kagumi sekaligus hormati. Ia kagum akrena pembawannya yang matang dan bijaksana, dalam bekerjapun Fikar selalu sungguh-sungguh dan tekun, karena itu dia selalu mempercayakan setiap ada proyek baru kepada Fikar.

Fikar tidaklah seperti Eben atau Lindan, yang suka menggerogot sana menggerogot sini. Seperti tikus-tikus busuk yang ada dirumahnya dahulu. Yang suka menggigit spreinya, menggigit buku-buknya, mencuri makanan dan terkahir melarikan dua buah celana dalam kesayangannya. Itulah puncak kemarahannya kepada hewan itu yang tidak bisa ia maafkan. Dan akhirnya ia memutuskan untuk pindah. Itulah yang mendasari mengapa laki-laki yang dibencinya disamakan dengan tikus, tapi apakah Fikar harus juga?

Ia memang mengagumi Fikar, sesekali ia merinduinya. Tapi tidak lebih dari itu. Bukan untuk semua ini. Karenanya dengan berat hati ia harus menyebutnya sebagai tikus.

“Sheila?” Fikar terdengar memelas. “aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Lalu apa? Jawab Sheila dalam hati. Ia pun meninggalkan laki-laki itu sendiri dan masuk ke kamar mandi. Ia menangis disana.

***

Sheila memandang Eben tajam, kali ini kesabarannya ada di titik kritis. Ia benar-benar tidak bisa mentolerir sikap Eben yang suka menjawil seenaknya, memegang tangannya, bahkan kalau ia tidak hati-hati pahanya pun bisa jadi sasarannya.

“Minggir! Aku mau pulang.”

“Sebentar lagi dong…”

“Kita udah satu jam lebih disini dan tidak ada yang penting yang kita bicarain, waktu ku ngga banyak apalagi untuk duduk seperti tikus macam kamu.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu.

“Apa maksud mu?” Eben kelihatannya tersinggung.

“Pertanyaan bodoh! Harusnya sebelum kau Tanya mengapa kau fikir dulu.” Sheila pun pergi setelah meletakkan uang lima puluhan ribu diatas meja. Dalam ketersinggungannya Eben melirik uang itu. Pupil matanya melebar, bibirnya tersungging.

Tapi ia masih terheran-heran dengan keberingasan dan kekasaran Sheila yang mendadak. Padahal selama ini ia tahu Sheila sebagai perempuan yang lembut dan bersahaja. Eben termangu-mangu sambil menatap punggung Sheila yang makin menjauh.

Bilik hati

29/11/06

21:19


Tulisan ini sudah pernah dimuat di Aceh Independen, edisi Ahad, 19 Oktober 2008

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)