Minggu, 15 September 2013

Penantian

Ilustrasi
INI kali ketiga aku melihatmu. Engkau datang dengan sepotong senyum tertahan. Juga langkah yang sedikit tergopoh-gopoh. Tak jauh dari tempatku duduk engkau menarik sebuah kursi, melepas ransel yang menggantung di pundakmu lalu mengempaskan pantatmu di kursi berlapis busa.

Sebelum membelakangiku kau sempat melempar senyum yang datar. Tapi aku sempat menangkap ribuan kata yang tersembunyi di balik retina matamu. Ada kegembiraan yang kau tahan di sana, juga semedi ketakutan yang coba kau sembunyikan. Dugaanku bisa jadi benar, tak lama setelah kau duduk seorang pria datang mengampirimu.

Pria itu, tentu saja aku kenal. Tapi bukan itu yang membuatku tertegun, melainkan caramu merengkuh dan mencium tangannya dengan takzim. Sekali lagi, meski engkau membelakangiku seolah aku bisa membaca geliat bahasa badanmu. Bahwa engkau menaruh rindu yang teramat pada pria yang kau cium tangannya itu. Dan wajah pria itu, tentu aku bisa melihatnya dengan jelas karena ia menghadap ke arahku. Bahagia!

Aku masih ingat namamu. Mirah. Nama yang sederhana namun terkesan kuat dan tangguh. Nama itu kukira cocok disandingkan dengan keteguhan dan kesungguhanmu dalam mencintai pria itu. Kesungguhan yang membuatku iri, maksudku, aku juga ingin ada seseorang yang bisa mencintaiku seperti itu.


Aku mendengar namamu pertama sekali sekitar bulan Maret tahun lalu dari mulut pria itu. Aku masih ingat ketika itu matahari belum sempurna terbit, namun saat aku membuka kelopak mata kutangkap sosokmu duduk di dekat jendela. Memandang ke seberang jalan, duduk di sebelah pria itu. Aku kaget, tepatnya terperanjat. Sejak kapan makhluk perempuan yang menjelma sebagai dirimu hadir di kamar tidur kami. Seingatku, saat aku beranjak untuk tidur semalam di kamar itu hanya ada aku dan pria itu.

“Namanya Mirah,” kata pria itu setelah kau meninggalkan kamar tempat kami menginap.
“Untuk apa dia menemui abang di kamar ini?” tanyaku apa adanya.

Pria itu tak menjawab, dia hanya tersenyum. Dan kupikir itu cukup sebagai jawaban, bahwa ada sesuatu di antara kalian. Dan setelah itu aku mulai lupa tentang sosokmu. Aku juga tak ingat lagi tentang sesuatu antara kalian. Hingga kemarin sore kulihat engkau muncul dengan raut wajah seperti setahun lalu. Sepotong senyum datar dan sekeranjang cerita yang penuh di balik retina matamu. Kau begitu cantik dengan baju warna hijau daun yang kau pakai sore itu, segar dan anggun.

Tak lama setelah kau duduk pria itu hadir dengan secangkir teh di tangannya. Ia menyuguhkannya untukmu. 

“Terima kasih,” ujarmu kala itu. Kau tahu, ini membuatku takjub. Sekaligus iri. Bertahun-tahun mengenal pria itu yang kutahu selama ini ia selalu dilayani. Meski hanya dalam diam aku bisa menterjemahkan apa arti dari semua itu. Dan untuk yang kedua kalinya aku melihat sinar mata pria itu sangat bahagia sore itu.

“Tolong temani Mirah sebentar,” kata pria itu padaku. Aku terhenyak. Lamunanku tentang kalian buyar. Aku mengangguk.

“Abang mau kemana?” tanyaku pada pria itu.
“Tamunya sudah datang,” ujarnya sepotong sambil berlalu menuju ke vip room yang berada di seberang tempat kami duduk. Setelah pria itu berlalu aku hanya bisa diam di tempat dudukku. Meski mataku menatap ke layar laptop, entah mengapa tiba-tiba aku menjadi seperti orang bingung. Sementara engkau juga masih di tempatmu, duduk membelakangiku. Entah apa yang engkau pikirkan.

Meski sebelumnya pernah bertemu kita tak pernah terlibat pembicaraan. Meski kita pernah saling bertukar senyum tapi tak pernah ada yang memulai bertukar sapa. Aku pun tak berani mencoba mengenalmu terlalu jauh. Karena aku tahu antara engkau dan pria itu memiliki ikatan yang aku tidak tahu apa.

“Mirah, kau mau minum?” tanyaku setelah belasan menit berlalu. Tanpa menunggu jawabanmu aku segera berlalu, menuju ke bar dan mengambil dua botol minuman ringan, menyerahkannya satu untukmu.
“Terimakasih,”
“Sama-sama. Boleh aku duduk di sini?” tanyaku. Kau mengangguk. Kali ini jelas kulihat wajahmu. Sinar yang kau bawa tadi seperti menguap. Seperti ada murung di wajahmu. Tapi aku pura-pura tidak tahu.
“Sudah lama mengenal dia?” tanyamu padaku. Aku menyebut nama pria itu, kau mengangguk. Aku sedikit kaget, kau memanggil pria itu dengan ‘dia’ saja, padahal selisih umur kalian terlalu jauh.
“Sudah, dia teman abang saya. Jika dia datang ke kota ini aku selalu bertugas menjemputnya dan membawanya ke manapun dia ingin pergi,” jawabku jujur.
Di luar dugaanku tiba-tiba engkau tertawa, bahkan hampir tergelak. Dahiku mengernyit, penasaran dengan reaksimu yang tiba-tiba.
“Kau tahu, dia bilang kamu ajudannya. Dia memang suka asal kalau bicara,” katamu lagi. Kali ini mau tak mau aku ikut tertawa.
“Kalian sudah lama kenal?” tanyaku akhirnya.
“Sewindu,” jawabmu.
“Sewindu?”
“Ya, sewindu,”

***

Sewindu. Aku tahu waktu delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencintai seseorang. Tentunya juga bukan sedikit cerita yang telah kalian ciptakan selama masa itu. Tetapi hingga pertemuan terakhir kalian semalam, mengapa aku seperti melihat kalian bagai pasangan yang baru pertama kali jatuh cinta. Begitu hangat, begitu mesra dan apa adanya.

“Kamu tahu siapa dia Mirah?” tanyaku memberanikan diri padamu semalam. Kamu tak langsung menjawab, mata hitammu menatapku sejenak.
“Jika saja rasa bisa menyesuaikan diri dengan status seseorang,” jawabmu singkat.
“Maksudmu?” tanyaku
“Kau sedang tak ingin menghakimiku bukan?” tanyamu balik. Kali ini aku benar-benar tergagap. Tak menduga mendapat jawaban seperti itu darimu. Bahkan dalam kekalutan jiwamu engkau masih bisa memperlihatkan ketenangan, dan juga ketangguhan. Tak hanya padamu Mirah. Hal yang sama juga kutanyakan pada pria itu.
“Apakah abang mencintai Mirah?” tanyaku selepas engkau pulang.
“Tidak ada seorang pun yang bisa menolak ketulusannya,” jawab pria itu singkat. Ah, bukan itu jawaban yang kuinginkan dari dia.
“Tapi itu akan menyakiti hatinya suatu saat nanti,” ujarku akhirnya.
“Kamu memperhatikannya?”
Dan kali ini aku pun sama gagapnya. Bahkan dalam soal menjebakku kalian bisa kompak seperti ini. Setelah itu tak ada yang berbicara lagi. Pria itu mematikan lampu kamar dan menarik selimutnya. Begitu juga aku, kudekap lututku dalam ringkuk yang panjang hingga pagi menjelang.
Bahkan ketika esok pagi mobil yang membawa kami bergerak menuju bandara tak ada seorang pun yang menyapa di antara kami. Bukan karena ada yang tersinggung, tapi entahlah setelah membicarakanmu malam itu semuanya seperti tak penting lagi untuk dibicarakan.
“Mirah gadis yang baik, Al,” ujar lelaki itu sepatah dalam perjalanan.

***

Mirah, jika saja kau tidak memakai baju warna hijau seperti yang kau pakai dua tahun lalu, pasti aku sudah tak mengenalmu. Ternyata waktu seperempat windu itu hanya sekedipan mata saja. Setelah hari itu aku tak menduga kita kembali bertemu di restoran hotel ini. Kau duduk tepat di kursi yang waktu itu kau duduki, menghadap ke bar, dan menempelkan pantatmu di kursi kayu berlapis busa yang warnanya mulai pudar.
“Mirah, masih ingat aku?” aku menyapamu.
Kau sepertinya tak menyangka ada seseorang yang menyapamu di tempat ini. Kau mendongak, memicingkan sedikit matamu.
“Al,” jawabmu singkat.
Aku mengangguk. Lalu menarik kursi dan duduk tepat di hadapanmu, persis di tempat pria itu pernah duduk dulu. Kau terlihat terkesiap, seperti ada yang kembali di ingatanmu.
“Kenapa Mirah?”
Kau tak menjawab. Matamu mengerjap-ngerjap. Sementara bibirmu mencoba menarik segaris senyum. Sangat datar. Di kelopak matamu aku melihat ada butiran bening yang bersiap-siap jatuh ke pipimu. “Kau teringat pada pria itu?” tanyaku memberanikan diri.
“Aku tak pernah lagi menerima kabar dari dia,” jawabmu bersamaan dengan air matamu yang jatuh. “Apa kamu tahu dia di mana Al?” tanyamu lagi.
Mirah. Demi Tuhan, aku tak tahu harus menjawab apa saat itu. Maksudku, aku tak tahu bagaimana caranya. Jika benar seperti yang kamu katakan, bahwa kalian tak pernah lagi saling bertukar kabar selama dua tahun terakhir, untuk apa kau masih menanyakan pria itu. Mestinya kamu sudah melupakan dia, atau paling tidak kamu akan marah dan mencoba membencinya.
“Mirah, kau ingat aku pernah tanya apa kamu tahu siapa dia waktu itu?”
“Ya, aku masih ingat, dan aku bilang aku sangat kenal bukan?”
“Ya, kau jawab begitu Mirah. Tapi sayangnya kamu belum mengenalnya,”
“Maksudmu?”
“Apa kamu sering datang ke tempat ini?”
“Jika rinduku untuk dia sudah tidak terbendung lagi Al, ini terdengar bodoh dan konyol, bagaimana mungkin aku sampai sebegini gilanya ya...”
Ah, Mirah. Bukan hanya kamu, aku juga ingin menangis melihat kejujuranmu.
“Apa maksudmu aku belum mengenalnya?” tanyamu lagi.
“Kau tidak pernah memintanya untuk menikahimu Mirah?” tanyaku kemudian.
Kau mengangguk. Terlihat sendu menatapku.
“Kau tahu mengapa ia tak pernah mengabulkan permintaanmu?”
“Al, kamu bodoh sekali. Aku memang sering merengek-rengek meminta agar dia menikahiku, tetapi aku selalu merasa bersalah setiap kali usai menyatakan perasaanku padanya. Kau tahu Al, mata anak-anaknya selalu membuatku menahan diri, aku tidak ingin cinta ayahnya terbagi untuk perempuan lain yang bukan ibu mereka,”
“Aku selalu merengek-rengek meminta ia memberiku satu atau dua anak yang lucu, mengirimkannya surat cinta dan tak pernah bosan memanggilnya dengan panggilan yang ia sukai. Tapi aku selalu berusaha menganggap itu angin lalu, dan pembicaraan kami selalu terputus, sebab aku dilanda ketakutan setiap kali kami membicarakan hal itu.....”
“Mirah, dia tidak menikahimu bukan karena semua hal itu. Terakhir aku bertemu dengannya dia menceritakan semuanya tentangmu, tentang puisi-puisi yang kau kirimkan untuknya, tentang lukisan yang kau beri untuk hadiah ulang tahunnya, juga soal ciumanmu yang katanya membuatnya sakit dan ingin menjerit.......” aku melihat wajahmu bersemu saat itu.
“Dia tidak menikahimu karena dia sakit Mirah,” kataku akhirnya berterus terang.
“Sakit? Sakit apa Al?”
“Kanker hati,”
“Sekarang? Di mana dia?”
“Bukankah kamu pernah bilang padanya bahwa dia akan selalu di hatimu, ada atau tidak ada dia di sisimu? Dia bersama Tuhan sekarang,”
Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu Mirah. Kecuali setelah mendengar ceritaku kau beranjak, bergegas mengambil ranselmu dan keluar meninggalkan bangunan bintang lima itu. Aku tak ingin mengejarmu, sebab di matamu kulihat tak ada lagi sisa cinta untuk lelaki mana pun selain pria itu.[]

Permata Punie, 29 September 2012
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)