Selasa, 09 Maret 2010

Nyak!

“Nyak!”

Aku rindu panggilan itu. Lama tak lagi mengiang ditelingaku. Dulu, paling tidak seminggu sekali kau pasti meneriakkannya di telingaku. Lalu bertukar cerita di antara kita. Walau hanya tiga atau lima menit. Tapi dari tutur kata itu aku menyadari bahwa kau mencintaiku. Kau menyayangiku dengan tulus. Kau ingin melindungiku sepenuh hati. Maka sering kau tanyakan “Nyak peu haba?” melalui telepon genggammu.

Aku begitu senang ketika kau memanggilku dengan nama itu. Bahagia. Mengharu biru rasanya. Sebab hanya aku yang dipanggil dengan sebutan itu. Nyak! Aku merasa disayangi, dicintai sepenuh hati.

Tetapi anehnya ketika kita berhadapan aku menjadi begitu kaku. Tak tahu harus berbicara apa. Seperti gugup dan rasa enggan untuk bertatap muka. Kita memang dekat tetapi jarang sekali bercengkerama. Dan anehnya, bila fisik kita bertemu seolah kita tak membutuhkan kata. Kita dua orang berbeda dengan sifat dan karakter yang sama. Untuk itu kita tak pernah saling protes.

Lalu aku tiba-tiba merasa sangat dekat denganmu. Yah, sangat dekat. Kedekatan tanpa sekat yang pernah kurasakan seumur hidupku bersamamu. Kita bercengkerama. Kita berbicara. Kau menemaniku. Tapi aku tak lagi pernah mendengarmu memanggilku “Nyak”

Bahkan aku tak menyangka akhirnya kau menyuruhku menulis. Hal yang sama sekali tak pernah kau ketahui selama ini. Dan aku tak pernah menceritakannya kepadamu. Bagaimana mungkin, bagaimana bisa, bagaimana kau tahu kalau aku suka menulis. Bahkan aku tak pernah membuat surat cinta kepadamu. Selain surat-surat usang dengan isi yang singkat ......”Aku butuh uang”. Tapi dalam mimpi-mimpiku semuanya terjadi dengan begitu indah.

Aku mengingat-ngingat. Kedekatan kita dimulai sehari setelah kau jauh dariku, dari kami semua. Yah...sehari setelah itu. Saat aku hanya bisa melihat bayang-bayangmu berdiri di pintu dekat dapur rumah kita. Lalu aku berlari ke kamarmu, aku menangis tersedu di sana. Aku melihatmu, tapi aku tak bisa menyentuhmu.

Tak mampu aku mengingat semua kejadian yang memisahkan kita. Semuanya berlalu begitu cepat. Tanpa terduga. Bahkan tanpa salam perpisahan. Hanya kilatan matamu untuk terakhir kalinya yang hingga sekarang bermain dalam ingatanku. Tapi caraku mencintaimu memang begitu. Bukan aku tak ingin menangis ketika itu. Bukan karena aku takut kehilanganmu ketika itu. Tapi karena aku selalu berharap kau pulang dengan kilatan mata yang berbeda.

Aku terhenyak. Kau pulang dengan mata mengatup. Pun begitu aku tak menangis begitu keras. Aku menahan untuk tak meraung-raung. Aku tak lupa ingatan. Kain kafan itu...selamanya aku tak pernah lupa seperti apa bentuknya. Yang terfikirkan ketika itu adalah kita telah terpisah. Jarak yang jauh. Lintasan waktu yang tak bisa diprediksi. Tapi pelan-pelan kedekatan di antara kita mulai menghinggapi.

Juga pada mimpi di malam berikutnya. Kita begitu mesra. Kau mengajariku mengemudi dan kuartikan itu sebagai kerja keras yang harus kulakukan. Dan aku merasa lebih mencintaimu dari sebelumnya. Aku jadi mengerti betapa kau begitu luarbiasanya dalam kehidupanku. Kau adalah pahlawan yang tak pernah memintaku menjadi pahlawan berikutnya. Kau tak pernah memaksaku untuk menjadi orang hebat. Kau tak pernah memintaku menjadi sesuatu. Kau hanya bilang di bulan-bulan sebelumnya; aku mulai tak kuat lagi.

Padahal saat itu aku tahu kau masih gagah. Rupamu tak tunjukkan kau orang yang lemah. Kau tersenyum. Kau masih memanggilku Nyak. Aku masih ingat ketika kita duduk berdua di kursi bambu di teras rumah kita. Kau tanya kenapa cepat sekali pulang? Padahal aku tahu kau menginginkan aku segera datang. Tapi kau masih berpura-pura seolah-olah kau baik-baik saja ketika itu. aku tak bilang...kalau sepanjang perjalanan semalam aku menangis hingga subuh. Sebab bila kita telah berjumpa maka kata seolah tak berlaku lagi di antara kita.

Dan pada lebaran sebelum itu. Pertama kali aku mencium kakimu sepanjang sejarah kehidupanku. Dengan niat ketika itu akan kulakukan di tahun-tahun berikutnya. Tapi tahun-tahun berikutnya adalah kekosongan. Kehampaan tanpa sujud syukur kepadamu. Cara meminta ampun yang berbeda. Lebaran tahun-tahun setelah itu adalah kesepian sepanjang hari tanpa ada yang pernah menyuruhku menaruhkan sup untukmu.

Di saat-saat seperti ini aku begitu merindukanmu. Kau adalah penyelesai dari semua masalahku. Kau adalah pemberi rasa aman dalam kehidupanku. Kau adalah pahlawan yang telah menciptakan dunia untukku.

Ayah, panggil Nyak lagi untukku walaupun dalam mimpi.

22:51 pm

06 Mar. 10

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

  1. speechless..wish i had time to know my father too

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)