Rabu, 07 Mei 2025

Life Begin at Fourty



Life begins at forty katanya. Hidup dimulai saat usia empat puluh tahun. Jika demikian, berarti inilah hari pertama aku "memulai" hidupku. Karena pada hari ini, hari usiaku genap empat dekade. Setidaknya begitulah jika aku mengacu pada usia resmi yang tertera di berbagai dokumen administrasi kependudukan. Karena adminduk itu pula, usia produktifku menjadi lebih pendek. Namun, karena itu pula aku bisa curi start untuk sekolah lebih awal.

Semula aku berniat untuk "merayakan" momen istimewa ini dengan pergi ke kafe. Aku akan memesan (mungkin) secangkir red velvet atau latte dan sepotong keik. Nyatanya, aku (kembali) terdampar di sebuah warung kopi yang dalam beberapa waktu terakhir lebih sering aku kunjungi (justru) karena sepi pengunjung. Seperti biasa, aku pun memesan secangkir kopi dan mengudap beberapa kue.

Barangkali, inilah esensi menjadi seorang manusia "paruh baya". Lebih menyukai tempat yang tenang, alih-alih tempat yang ramai nan bising. 

Menyadari bahwa usiaku kini tak muda lagi, hal pertama yang kulakukan adalah bersyukur. Bersyukur karena seluruh pancaindraku masih berfungsi dengan baik; bersyukur karena nyawa masih bersarang di dalam tubuh ini; bersyukur masih menemukan ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari satu dua orang teman saat bangun tidur.

Tak ada yang begitu luar biasa dari hidupku, tapi kalau kupikir-pikir, apa yang kualami selama hidupku agak kompleks juga. Tak ada pencapaian yang luar biasa. Prestasi akademikku sejak sekolah dasar hingga kuliah tidak menonjol--kalau tidak dibilang gagal. Bahkan profesi yang kulakoni saat ini bisa dibilang efek dari sebuah "kecelakaan", tapi aku sangat menikmati kecelakaan ini. Kuanggap ini sebagai berkah atas keinginan masa kecilku untuk menjadi berbeda dari orang-orang di sekitarku.

Namun, kalau boleh sedikit berbangga diri, aku ingin mengapresiasi diriku sendiri. Sebelum usiaku benar-benar genap empat puluh tahun, aku berhasil "menyematkan" gelar sarjana di belakang nama adik bungsuku. Satu-satunya adik perempuanku. Sebagai anak sulung, mungkin aku akan selalu merasa bersalah jika tak mampu menyekolahkan adikku hingga ke perguruan tinggi.

Aku juga sudah berhasil membangun ulang rumah kami sehingga kini kami kembali punya tempat bernaung. Bagi sebagian orang, membangun rumah mungkin suatu hal yang biasa. Normal. Tidak untukku. Aku mengerahkan segala daya dan upaya demi mewujudkan rumah (impian) tersebut. Aku menahan banyak keinginan pribadi agar bisa menabung. Karena itu aku merasa menjadi sangat berguna sebagai seorang anak. 

Barangkali hanya dua itu prestasiku yang menurutku cukup "bermartabat". Yang membuat 'ke-a-d-a-a-n-ku' mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarku. Selebihnya, aku hanyalah sehelai daun yang tetap bergerak karena terjebak di arus yang deras. Sering aku hampir tenggelam, tetapi kemudian terapung kembali.

Aku bersyukur, hingga usiaku yang sekarang, Allah senantiasa menyehatkanku. Tak sekali pun aku pernah merasakan rawatan rumah sakit. Semoga Allah terus menjagaku. Semoga Allah terus menyehatkanku. Dan semoga aku bisa menjaga diriku dengan sebaik-baiknya sebagai wujud syukurku atas karunia Allah.

Memasuki usiaku yang sekarang, ada beberapa hal yang kulakukan sebagai memijak "anak tangga" baru. Pertama, aku memutuskan untuk kuliah lagi. Kuliah di prodi yang sejak dua dekade silam aku inginkan. Untuk orang-orang seusiaku, apalagi dengan aktivitasku sekarang, kuliah bukan lagi untuk mencari gelar akademik, melainkan untuk "memberi makan" ego yang terselubung di dalam diriku. Aku selalu percaya dan meyakini, hidup akan terus berwarna selama kita menemukan hal-hal atau pengetahuan baru. Kuliah adalah salah satu cara--untuk saat ini--yang bisa kulakukan untuk mewarnai hidupku yang kompleks ini.

Kedua, aku memutuskan untuk bergabung dengan sebuah media daring baru. Setelah tiga tahun "berhibernasi" dari media daring yang terbit harian, aku tergelitik lagi untuk menikmati hal-hal semacam itu. Saat mendapatkan tawaran pada Ramadan lalu, aku bahkan tak meminta waktu untuk berpikir. Aku langsung memutuskan untuk mau dan bilang iya. Pada akhirnya, aku sadar,  segala sesuatu yang kulakukan selama ini bukan karena "apa", melainkan karena "siapa". Sering aku bertahan dalam satu kondisi karena faktor siapa itu tadi.

Memaknai Kehilangan

Namun, ini kali pertama aku mengingat tanggal lahirku dengan kesedihan. Mendung menyelimutiku seharian ini. Dadaku terasa penuh saat aku menuliskan ini. Ini pertama kalinya aku tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari seseorang, bukan karena ia tak mau mengucapkan, tetapi karena orang tersebut sudah tak ada. Juga bukan ucapan selamat ulang tahun yang kuharapkan ada darinya, melainkan sapaan yang membahagiakan. 

Menjelang siang tadi, saat aku menceritakan perihal rasa kehilanganku pada seorang teman, aku mengatakan, "Ternyata ada orang-orang yang bahkan setelah dia enggak ada pun, kita masih mengingatnya." 

Orang itu, tentulah sangat berkesan di hati, keberadaannya berarti, dan kehilangannya menghadirkan jeri. Lagi-lagi aku bersyukur karena teman tersebut bisa memahami. Responsnya memvalidasi rasa kehilangan yang aku rasakan selama hampir dua bulan ini. Dan hanya padanya, menceritakan apa yang sebenar-benarnya teralami tak memunculkan rasa bersalah dalam diri ini.

Malam sebelumnya aku menuliskan secarik isi hatiku:

Hei, kamu ... 

Apa kabarmu? 

Aku ingin bercerita, tapi besok saja, ya. 

Aku ingin ketemu, tapi tak mungkin lagi, ya. 

Senyummu tetap menawan dalam ingatanku. 

Tuturmu tetap lembut dalam pikiranku. 

Tindakmu tetap santun dalam kenanganku. 

Ah, beginikah rasanya kehilangan? 

May, 06, 2025: 01.42.03 WIB

Yang menakjubkan, malam itu aku memimpikan dia. Pertama kalinya ia hadir sebagai mimpi sejak ia pergi dari kefanaan ini. Dalam mimpi itu ia memintaku untuk menunggu. Syukurlah, ia hanya memintaku menunggu. Bukan mengajakku pergi. Jika tidak, mungkin catatan asal-asalan ini tak pernah ada ....[]