Kamis, 24 Februari 2022

Tentang Anjing dan Azan



November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.

Narasumber kami berada di Desa Rembele, Kecamatan Bukit. Berada di lereng Gunung Burni Telong yang masyur itu. Di tengah-tengah hamparan kebun kopi yang luas.
Ada yang menarik perhatian kami selama berada di rumah narasumber tersebut. Kami memang menginap di rumah beliau, mengingat akses ke penginapan maupun transportasi yang lumayan sulit selama di sana.
Kami berangkat malam hari dari Banda Aceh dan tiba di Rembele menjelang subuh. Seekor anjing menyambut kedatangan kami. Hewan itu berdiri tak jauh dari mobil Hi-Ace yang kami tumpangi. Ekornya bergoyoang-goyang. Lidahnya menjulur-julur. Dalam bahasanya seolah-olah dia ingin menunjukkan keramahannya dan mengatakan, "Selamat datang."
Pemandangan seperti ini bisa dibilang lazim di Gayo, mengingat umumnya masyarakat di sana adalah petani kopi. Anjing-anjing ini sangat berguna sebagai teman saat berada di kebun. Dia akan menggonggong saat ada aroma-aroma babi di sekitarnya. Dia juga bertugas sebagai penjaga rumah, terutama ketika ditinggal pemiliknya.
Di kampung kami dulu, di Aceh Timur, ada juga tetangga yang memelihara anjing. Jadi, meskipun saya bukan penyuka anjing, tetapi tidak parno saat melihat ada anjing di rumah orang. Asalkan anjingnya tidak genit dan tidak menggonggong sembarangan (seperti anjing yang ada di seputaran kedai kopi favorit saya di belakang terminal labi-labi Keudah 😃).
Nah, balik lagi saat kami tiba di Desa Rembele. Tak lama setelah kami tiba, azan Subuh pun berkumandang. Yang membuat kami "takjub", saat azan berkumandang, sesaat kemudian lolongan anjing pun terdengar seperti menyahuti. Suaranya terdengar menyayat. Awalnya saya sempat bingung, mengapa anjing-anjing ini melolong berbarengan dengan waktu azan? Perihal ini jadi diskusi kami saat itu juga.
Subuh berikutnya, ketika azan berkumandang di kejauhan, lolongan anjing kembali terdengar memecah keheningan fajar. Saya dan Kak Dian kembali membicarakannya. Suaranya tetap terdengar menyayat hati. Kami pun menyimpulkan, bahwa anjing-anjing ini sebenarnya sedang "mengambil" peran membangunkan manusia-manusia yang sedang terlelap di balik selimut. So, bagi kami yang tak terbiasa dengan dingin yang menggigit tulang dan begitu lelap di balik selimut, justru (karena) suara anjinglah yang membuat kami terbangun untuk salat Subuh.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

3 komentar:

  1. Tidak ada yang keberatan dengan suara anjing di BM, tapi di bagian lain negeri ini ada yang keberatan dengan suara azan dengan mengambinghitamkan anjing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kasihan anjingnya dijadikan kambing hitam hahahha, padahal dia la tak tahu.

      Hapus
  2. di desa saya Pun kebetulan daerah Pinggiran hutan tidak jauh ,, didaerah perbatasan Palembang dan jambi ,, ditempatku sudah jarang memelihara Anjing tetapi masih sering kudengar lolongannya sahut2 an ketika azan subuh ,,

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)