Rabu, 20 Juli 2022

Berjualan (Tak Perlu) Kaku



Beberapa hari lalu, saya mampir ke sebuah toko mainan di Ulee Kareng. Ini kali kedua saya ke toko itu. Saya bermaksud membeli sebuah mainan sebagai hadiah bagi anak seorang sahabat yang akan saya kunjungi. Sampai di sana, saya melihat-lihat mainan apa yang kira-kira cocok untuk balita laki laki.

Pilihan saya jatuh pada sebuah set mainan berisi kendaraan TNI: sebuah mobil patroli, mobil ambulans, motor gede, dan helikopter. 

Saya jatuh hati dengan set mainan ini. Selain harganya yang terjangkau, jenis mainannya juga ada beberapa. Dalam pikiran saya, pastilah yang menerimanya akan girang karena bisa mendapat beberapa mainan sekaligus.

Setelah memutuskan untuk membeli set mainan tersebut, saya pun menuju kasir. Ada dua perempuan muda yang bertugas sebagai kasir. Mereka berseragam khusus. Sebelum saya menghampiri mereka, keduanya terlihat sedang mengobrol.

Suasana toko memang sedang sepi. Hanya ada beberapa pengunjung. Mata saya menangkap seorang pengunjung dewasa, serta dua atau tiga pengunjung remaja membeli perlengkapan sekolah. Mungkin ada di belakang rak yang lain, tapi tak terjangkau oleh saya. 

Tiba di kasir, saya pun bertanya apa mainan yang saya beli bisa sekalian dibungkus menjadi kado. Salah satu di antara mereka menjawab bisa dan karena itu saya kembali ke rak tempat kertas-kertas kado dipajang. Saya memilih dua lembar kertas kado, masing-masing bermotif kids dan baby.

Kemudian saya kembali ke meja kasir dan menyerahkan set mainan tadi untuk dibungkus kado. Saya juga menyerahkan satu bungkusan berisi barang lain yang saya bawa dari rumah.

"Sekalian minta tolong kadoin yang ini, ya," kata saya, "dengan kertas yang ini," saya menunjuk kertas kado motif baby.

"Oh, barangnya bukan dari sini, ya? Tidak bisa!" jawab salah satu kasir dengan nada dan raut wajah yang datar. Temannya yang satu diam saja.

"Yang ini barang di sini," kata saya menunjuk set mainan, "kalau yang ini memang bukan, tapi saya minta tolong bisa, kan? Nanti tinggal dihitung saja berapa."

"Tidak bisa. Tidak ada orang. Kami cuma bertiga," jawabannya masih datar. Tanpa senyum pula.

"Oh, apakah tidak bisa tolong saya, toh kertas kadonya saya beli di sini juga," saya masih berharap mereka bersedia.

"Tidak bisa, kami tidak ada orang, ini sedang ramai." 

"Tapi kalau yang barangnya dibeli di sini, ada tukang bikin kadonya?" 

"Ada." 

"Okelah. Tolong kadokan yang ini saja." 

Terbersit di hati ingin mengatakan kalau pengunjung saat itu bisa dihitung jari, ditambah dua kasir juga sedang menganggur. Artinya, kalau mereka mau, bisa saja mereka membantu saya untuk membungkus kado. Mereka akan mendapat biaya tambahan. Plus satu kertas kado lagi akan terjual.

Namun, begitulah cerminan banyak pelayan(an) di tempat-tempat yang sering saya (kita) kunjungi. Entah itu di toko mainan, toko pakaian, kafe, toko kue, hingga hotel. 

Jargon "pembeli adalah raja" cuma kenangan indah masa lalu. Sekarang, yang ada pembeli dibikin ngenes dengan sikap pelayan/pekerja yang tak ramah. Padahal, pembeli datang ke sana untuk mengantarkan uang. Dengan uang itulah tenaga mereka bisa dibayar setiap bulannya. 

Ada hukum sebab akibat yang bisa menjadi rantai kelancaran rezeki seseorang. Misalnya, pelayanan pegawai yang baik akan membuat pelanggan senang, kemungkinan mereka akan kembali lagi, omzet toko meningkat, laba perusahaan naik, pekerja bisa dapat bonus. Siklus ini bisa juga sebaliknya. Tak sedikit ada usaha yang kolaps gara-gara kinerja pegawai yang tak baik. Mengapa "akhlak" pegawai menjadi sangat penting? Karena merekalah yang berada di front office. Mereka yang langsung berhadapan dengan konsumen. Mereka ujung tombak.

Namun, mengapa rasanya sulit sekali melayani dengan baik? Apakah otak kita telanjur memprogram atau terdoktrin bahwa melayani sama dengan menjadi individu kelas dua? Sehingga alih-alih menyambut pelanggan dengan senyum, seorang pramuniaga lebih senang bermuka masam; alih-alih memberi solusi, malah menimbulkan masalah baru; alih-alih mendengarkan keinginan pelanggan, malah mendebat mereka.

Berjualan tak perlu sekaku itu. Kita harus belajar menjadi pribadi yang fleksibel. Yang punya tenggang rasa. Yang selalu punya keinginan untuk memudahkan urusan orang lain. Yang punya kesadaran bahwa orang lain merupakan rantai kelancaran rezeki kita. Harus ada dalam sistem otak kita, bahwa melayani tidak akan membuat harga diri kita jatuh.[]

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)