November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.

Bacalah tanpa harus menerima begitu saja. Berfikirlah tanpa harus bersikap sombong. Yakinlah tanpa harus bersikap fanatik. Dan, jika anda memiliki pendapat, kuasai dunia dengan kata-kata.
November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.
Rubama @Ihan |
Cerita-cerita tentang dampak kerusakan lingkungan hidup selama ini masih dipotret sebatas "peristiwa" bencana alam semata. Seolah-olah terjadi begitu saja karena faktor alam tanpa terlibat "campur tangan" manusia. Kenyataannya, bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, atau kekeringan tidak akan terjadi secara masif jika manusia bisa menjalin harmonisasi dengan alam. Tidak menjadikan lingkungan sebagai objek komoditas yang dieksploitasi terus-menerus. Lebih dari itu, masih minim yang memotret bagaimana relevansi antara lingkungan dengan keberlangsungan hidup dan kualitas perempuan.
Hal ini menjadi perbincangan serius dalam focus group discussion yang diselenggarakan Perempuan Peduli Leuser (PPL) dan bekerja sama dengan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh pada Selasa, 1 Februari 2022. Diskusi ini berlangsung di Gampong Nusa. Sebuah desa yang apik dengan lanskap berupa gugusan perbukitan, persawahan, dan sungai yang terhubung ke laut. Desa yang berhasil disulap sehingga menjadi desa wisata dan baru-baru ini mendapatkan Anugerah Desa Wisata Kategori Homestay dalam Anugerah Pesona Indonesia 2022.
Dengan berkunjung ke desa ini, peserta menjadi semakin terbuka wawasannya, bahwa ketika alam dijaga dan dirawat dengan baik, maka keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat setempat bisa lebih besar dan bersifat jangka panjang. Perempuan di desa setempat juga menjadi terberdayakan.
Adalah Rubama dan Refa, dua tokoh utama yang didapuk sebagai narasumber dalam FGD tersebut. Meski sama-sama bergiat di lingkungan, keduanya memiliki latar belakang aktivitas yang berbeda. Rubama bekerja untuk Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Kerja-kerjanya di lapangan lebih menitikberatkan pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, khususnya perempuan sebagai upaya penyelamatan lingkungan atau konservasi. Rubama juga tercatat sebagai warga asli di Gampong Nusa dan perubahan desa tersebut tak terlepas dari kerja kerasnya belasan tahun silam.
Sedangkan Refa, pengurus FJL Aceh dan sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis. FJL sebagai salah satu komunitas tempat para wartawan di Aceh berkumpul, fokus mengangkat dan mengawal pemberitaan terkait dengan isu-isu lingkungan seperti perdagangan satwa, kematian gajah sumatra, konservasi laut, dan lain-lain. Adapun para peserta FGD ini terdiri atas anggota PPL dan FJL. Mereka duduk di bawah teratak yang didirikan di pinggir sungai. Silir angin yang bebas berlalu-lalang menghalau hawa panas di tengah cuaca terik. Peserta dan narasumber berdiskusi sambil mengudap kacang rebus dan buah-buahan potong.
Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator PPL, Ayu 'Ulya, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi ruang kritis perempuan untuk saling bertukar pengetahuan, dan yang paling penting adalah seluruh peserta bisa mendapatkan persepsi yang sama bahwa memiliki korelasi yang erat antara (kerusakan) lingkungan dengan perempuan. Kolaborasi antara jurnalis dan warga diharapkan bisa semakin menggaungkan berbagai problem perempuan akar rumput yang muncul akibat kerusakan lingkungan.
Rubama yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan masyarakat, memaparkan lebih banyak potret buram kehidupan perempuan yang berhasil ia tangkap di lapangan. Kerusakan lingkungan maupun berkurangnya lahan sebagai sumber penghidupan karena terjadinya homogenisasi atau penyeragaman jenis tanaman, telah menimbulkan kemiskinan yang berdampak sangat besar terhadap perempuan. Perempuan mengalami beban ganda (double burden) karena harus bekerja mencari nafkah dengan tetap melakukan pekerjaan domestik.
Homogenisasi lahan kata Rubama, hanya mampu dilakukan oleh individu-individu dengan modal yang besar. Hal ini membuat tutupan hutan yang selama ini menjadi tempat bagi masyarakat untuk bergantung hidup, berubah menjadi areal perkebunan milik segelintir orang. Alhasil, masyarakat semakin kekurangan ruang sebagai tempat mencari nafkah. Efeknya tidak bisa dianggap sederhana, karena dengan berkurangnya sumber penghasilan bisa memicu tekanan psikologis yang berdampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
"Ada banyak hal yang kami capture di lapangan ketika bicara lingkungan hidup dan perempuan," kata Rubama mengawali pembicaraanya, "ada banyak yang bikin sesak dada," katanya lagi.
Di antara yang sukar lekang dari ingatan Rubama adalah tentang seorang ibu muda di pedalaman Kabupaten Bener Meriah, Gayo, yang kini berusia 21 tahun dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun. Kisah hidup ibu muda ini bisa dibilang memilukan. Menikah di usia yang sangat dini, usia yang seharusnya masih dihabiskan di bangku sekolah. Di hari dia melahirkan anak pertamanya, suami yang seharusnya mendampingi entah ada di mana. Di hari ketiga suaminya pulang ke rumah.
"Tapi dengan membawa perempuan lain dan menalak istrinya. Bayinya masih sangat merah. Itu salah satu kasus yang ada hubungannya antara kemiskinan (akibat berkurangnya ketersediaan ruang untuk hidup) dengan kemiskinan yang menghancurkan perempuan," ujarnya.
Di antara persoalan yang terjadi terkait pengelolaan SDA |
Contoh lain kerasnya hidup dialami perempuan di Aceh Singkil. Banyak perempuan di sana yang bekerja sebagai penjala ikan air tawar di sungai-sungai. Mereka mengayuh perahu menyusuri sungai, lalu melempar jala untuk menangkap ikan. Ikan-ikan itu kemudian disalai dan dijual untuk menopang ekonomi keluarga. Pekerjaan yang sangat berisiko tinggi.
Tutupan-tutupan hutan yang berkurang pun menjangkau wilayah-wilayah "haram" yang seharusnya dilindungi. Contohnya kata perempuan yang akrab disapa Ru ini, Kawasan Ekosistem Leuser yang terbentang di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara, dan 98 persennya berada di Aceh. Kawasan ini terus mengalami deforestasi yang jika dilihat setiap waktu maka ada saja pohon yang tumbang dan kawasan yang semakin plontos. Kawasan hutan yang harusnya cenderung gelap ketika dilihat dengan GIS, justru menjadi putih. Ilustrasi sederhananya mungkin seperti kita melihat hasil rontgent paru-paru yang sudah tidak sehat lagi. Penyebabnya tentu saja macam-macam. Ada yang untuk kepentingan warga hingga pembangunan.
Dampak dari terjadinya kerusakan di hulu tidak hanya mengancam perempuan-perempuan yang ada di wilayah sekitar hutan saja. Namun, juga mengancam hajat hidup orang banyak di daerah hilir. Misalnya, kerusakan wilayah hutan yang menjadi kantong-kantong sumber mata air telah memicu terjadinya kekeringan. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih. Lagi-lagi, perempuan selaku ibu rumah tangga yang notabenenya menghabiskan waktu lebih banyak di rumah akan kesulitan mendapatkan air bersih untuk memasak atau mencuci. Sejauh apa kita berpikir, bahwa kerusakan sumber mata air di hulu membuat orang-orang kota akan bergadang di malam hari? Atau tidak mandi saat pergi bekerja di pagi hari? Bahkan mungkin harus bertayamum untuk bisa melaksanakan kewajiban salat lima waktu?
Begitu juga saat terjadinya bencana alam. Penanganan yang berperspektif gender tampaknya masih jauh panggang dari api. Misalnya, bantuan yang disalurkan belum menjangkau kebutuhan perempuan seperti perlunya memasukkan tampon atau pembalut dalam daftar bantuan. Begitu juga tenda-tenda pengungsian yang tidak aman dan nyaman bagi perempuan dan anak, juga berpotensi munculnya kekerasan berbasis gender di lokasi bencana.
Rubama menjelaskan, perempuan perlu terlibat lebih jauh dalam upaya penyelamatan lingkungan. Keterlibatan mereka tidak cukup pada sebatas partisipasi, tetapi sudah saatnya beraksi dan melakukan kontrol terhadap eksploitasi lingkungan atau sumber daya alam. Praktik baik ini sudah dilakukan oleh sekelompok perempuan di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Mereka pada akhirnya secara sukarela menjadi ranger demi menyelamatkan hutan yang akan diwariskan untuk anak cucu mereka ke depan. Namun, apa yang sebelumnya terjadi di desa ini sehingga para perempuan mengambil kendali?
"Pada tahun 2015 menjadi catatan sejarah bagi mereka, saat itu terjadi banjir bandang di Damaran Baru. Mereka sadar ada yang rusak di hulu, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Kemudian muncul keinginan dan kebutuhan untuk mengelola kawasan hutan agar tidak rusak," kata Ru lagi.
Di sinilah HAkA sebagai sebuah lembaga berbasis swadaya masyarakat memainkan perannya untuk menguatkan kapasitas perempuan di level akar rumput. Hasilnya memang tidak instan, tetapi berkat kegigihan dan keikhlasan para perempuan tersebut, "Damaran Baru kini menjadi referensi baik di Aceh maupun nasional dalam hal keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lingkungan," ujarnya.
Di sisi lain kata Ru, hal ini juga perlu menjadi renungan bagi banyak pihak, ketika peluang dan akses kepada perempuan dibuka, ternyata mereka bisa menunjukkan kecakapannya. Terbukti perempuan mampu bekerja dengan otak, alih-alih mengedepankan otot. Masyarakat di tingkat tapak, khususnya perempuan, perlu terus diberi penguatan karena ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup, mereka berada pada level pertama dari kelompok yang terkena dampak.
"Partisipasi perempuan tidak hanya sebatas hadir, duduk, dan mendengarkan, tetapi harus ada aksi. Sekarang bukan lagi saatnya berpartisipasi, tetapi sudah saatnya merebut," ujar Ru.
Refa mengamini apa yang disampaikan oleh Ru. Ia tak menampik jika isu-isu lingkungan, apalagi yang berkaitan dengan perempuan memang belum mendapat porsi yang sesuai di media arus utama. Hal ini, selain karena jurnalis umumnya mengawal banyak isu sekaligus, juga karena minimnya jurnalis yang berperspektif lingkungan. Di sinilah kata Refa, FJL hadir sebagai jembatan untuk peningkatan kapasitas jurnalis agar lebih peka terhadap isu-isu lingkungan.
Produk-produk yang lahir dari tangan-tangan cekatan para jurnalis tidak saja akan meningkatkan perhatian publik terhadap suatu isu, tetapi juga akan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saat ini para jurnalis yang terhimpun di FJL sedang fokus mengawal kasus hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi di Aceh.
"Di FJL ada beberapa isu yang menjadi fokus saat ini, di antaranya marine, perdagangan dan perburuan satwa dilindungi," kata Refa.
Menarik juga menyimak pengalaman Cut Nouval, anggota FJL yang saat masih kuliah dulu pernah melakukan KKN di sebuah desa yang bisa dikatakan kesadaran warganya untuk kebersihan masih sangat rendah. Sumur-sumur warga berada tidak jauh dari lokasi tumpukan sampah sehingga mencemari kualitas air sumur. Mengonsumsi air yang tercemar bertahun-tahun telah berdampak pada lahirnya anak-anak dengan kualitas kesehatan yang rendah. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengedukasi masyarakat. Persoalan lingkungan kata Cut Noval, juga menjadi masalah serius bagi masyarakat urban. Tidak hanya berdampak pada ekonomi, lingkungan juga berpengaruh pada kesehatan individu.
Hal-hal semacam inilah yang menurut Refa perlu banyak dipotret. Dalam perjalanannya bersama rekan-rekan jurnalis beberapa waktu lalu, Refa melihat ada masyarakat yang terpaksa membabat hutan di area-area "terlarang" demi bertahan hidup. Di sisi lain ia juga melihat ada ranger yang sedang berupaya merestorasi lahan untuk menyelamatkan lingkungan. Kehidupan yang ideal tampaknya memang hanya sebuah utopia.[]
Dalam dunia jurnalistik ada istilah proximity atau kedekatan peristiwa terhadap khalayak (pembaca) yang menjadi salah satu indikator nilai berita (news value). Kedekatan ini biasanya meliputi tiga aspek, yaitu geografis, psikologis, dan ideologis. Itu sebabnya, cerita-cerita tentang diaspora Indonesia di luar negeri yang tayang di media-media lokal sering menarik perhatian kita (pembaca) karena faktor "kedekatan" tadi. Semakin "dekat" pembaca dengan peristiwa yang disajikan, kemungkinan media tersebut akan semakin digandrungi.
Dalam film atau buku juga begitu. Kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan penonton atau pembaca akan semakin berpotensi mendulang viewer atau reader. Kedekatan itu juga tidak hanya dari sisi alur cerita yang relate dengan kehidupan penonton saja, tetapi juga bisa karena unsur-unsur lain. Misalnya, ada teman saya yang menonton sebuah serial karena dibintangi oleh Reza Rahadian yang sudah sukses memerankan film-film bagus. "Khusus instal aplikasinya hanya untuk menonton serial itu," katanya dalam perbincangan nirfaedah. Sementara teman lain yang juga menonton serial yang sama, justru menaruh perhatian khusus pada dialog-dialognya. Dia tampaknya ingin "menyelidiki" kepiawaian penulis naskahnya.
Ya, dalam banyak hal, jauh sebelum kita membeli tiket untuk menonton film atau membeli sebuah buku, kita sudah lebih dulu bertaruh dengan jaminan nama penulis, pemain, atau penerbit dari karya tersebut. Bahkan, jaminan itu kadang-kadang hanya berupa satu dua kalimat yang ada di sampul belakang. Bisa juga karena sampul atau judulnya yang menurut kita keren.
Sebenarnya, itu juga yang terjadi pada saya ketika memutuskan ngebut membaca Lagu Indah Persahabatan. Dilihat dari judulnya saja sudah langsung bisa ditebak kira-kira akan seperti apa ceritanya. Apalagi buku antologi cerita anak. Tentunya tidak menjanjikan plot twist sebagaimana pembaca dewasa harapkan. Namun, nama Syarifah Aini yang tertera sebagai salah seorang penulis dalam buku ini menjadi jaminan bagi saya untuk segera membaca dan menamatkannya dalam waktu cepat.
Syarifah Aini adalah teman akrab dan lekat saya. Profesinya adalah penulis cum penyunting. Saat ini dipercayakan mengemban amanah sebagai Ketua Forum Lingkar Pena Aceh. Ceritanya berjudul 'Pertunjukan Drama Lila' menjadi salah satu dari 25 cerita yang ditulis oleh 25 penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Judul ini pula yang pertama kali saya baca dan tentu saja ceritanya tidak mengecewakan. Salah satu penulisnya menjadi faktor yang "mendekatkan" saya dengan buku ini sehingga saya merasa harus segera membacanya.
Lazimnya cerita anak yang memang ditulis dengan sasaran pembaca usia anak, cerita-cerita dalam buku setebal lebih dari 350 halaman ini mengangkat tema-tema di sekitar kita yang dinarasikan melalui sudut pandang penceritaan seorang anak. Temanya beragam, mulai dari kepedulian terhadap lingkungan, taat pada orang tua, kasih sayang kepada makhluk hidup, kepedulian terhadap sesama, hingga yang "agak-agak" berbau fiksi futuristis.
Pesan-pesannya disampaikan secara tersurat dan gamblang. Tidak ada yang bikin kening berkerut atau membutuhkan perenungan. Namun, ada satu dua cerita yang menurut saya alurnya justru berada di luar dari cara berpikir anak-anak. Memang, dalam menulis cerita fiksi, salah satu yang menjadi tantangannya adalah menghindari terjadinya rumpang alur.
Membaca buku ini rasanya seperti berada di play ground, meskipun saya tidak bisa menikmati sarana bermain yang ada di sana, tetapi saya bisa menikmati keriangan anak-anak yang bermain di sana. Begitulah, sambil membaca, sambil saya kembali ke masa lalu, membayangkan masa kanak-kanak saya yang menyenangkan.
Sampul buku ini juga sangat memikat. Perpaduan biru laut dan putihnya sangat klop, ilustrasinya menyimbolkan keriangan khas anak-anak yang diliputi kebahagiaan, font-nya juga bikin happy. Sementara di dalam, tata letak buku yang selaras antara jenis font, ukuran, spasi ganda, dan pernak-pernik ilustrasi bikin semarak. Memang sesuai untuk anak-anak. Kalaupun ada yang terasa tak sesuai, mungkin halamannya yang kelewat gembrot. Selamat membaca.[]
Usai menamatkan GONG SMASH: Dari Raket ke Pena dari Lapangan ke Petualangan, kesimpulan saya cuma satu: Gol A Gong memiliki orang tua yang sangat hebat.
Seperti yang sempat saya singgung di postingan sebelumnya "Mengawali Tahun Baru Dengan Orang Tak Dikenal", saya membaca buku ini menjelang pergantian tahun. Jujur saja, spirit dari buku ini menjadi semacam penyegaran dari segala rutinitas yang telah berjalan selama dua belas bulan. "Jalan-jalan" di akhir tahun yang menyenangkan.
Balik lagi ke kisah perjalanan hidup Gol A Gong, berkat kehebatan ayah ibunyalah Gol A Gong tumbuh menjadi seseorang hingga ia dikenal seperti sekarang. Jika kedua orang tuanya menjadi orang tua "rata-rata" yang membiarkan anaknya hanya "diubah" oleh nasib, mungkin kita tidak akan pernah mengenal nama Gol A Gong, alih-alih Heri Hendriana Harris, nama asli Gol A Gong yang diberikan orang tuanya ketika lahir.
Kita mengenal Mas Gong--sapaan akrabnya--sebagai penulis serbabisa. Sang mantan wartawan ini piawai menulis berita, skenario, puisi, maupun novel. Salah satu novelnya Balada Si Roy bahkan telah diangkat ke layar lebar dan Roy diperankan oleh Al Ghifari--putra Ustaz Jeffry Al Bukhari. Namun, selain dari karya-karyanya, kita juga mengenal Mas Gong sebagai penulis yang "luar biasa": seorang yang b(er)untung.
Saya membayangkan, jika kecelakaan serupa dialami anak-anak lainnya, yang berakibat pada harus diamputasinya salah satu tangan mereka, barangkali mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang minim rasa percaya diri karena beban psikologis maupun sosial, kesempatan sekolah yang terbatas, dan bayangan akan masa depan yang suram karena harus terus bergantung pada orang lain.
Namun, Mas Gong justru mengalami kondisi sebaliknya. Saat kecil dia terjatuh dari pohon dan menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi. Kondisi itu tidak sedikit pun menurunkan rasa percaya dirinya, dia tetapi bersekolah seperti anak-anak kebanyakan dengan fisik yang sempurna, menikmati masa remaja dengan segala kenakalannya yang warna-warni. Kecintaannya pada dunia olahraga mengantarkan dia menjadi atlet, khususnya badminton. Puncak kariernya adalah meraih prestasi FESPIC Games IV-pesta olahraga cacat se-Asia Pasifik--di Solo pada 1986. Dia berhasil mengumpulkan tiga emas masing-masing untuk tunggal, ganda, dan beregu. Atlet dengan perolehan emas terbanyak dalam ajang bergengsi itu. Fisiknya memang cacat, tetapi pikirannya tidak! Bukankah ini yang paling penting?
Saat Gong kecil dirawat di rumah sakit di Jakarta dalam masa pemulihan tangannya pascaamputasi, ayahnya, Pak Harris, membelikan banyak buku untuk Gong. "... kalau Heri rajin membaca buku, Heri pasti akan lupa kalau bertangan satu." kata bapaknya suatu siang.
Buku-buku cerita anak seperti Tom Sawyer Anak Amerika maupun komik silat seperti Si Buta dari Gua Hantu atau Panji Tengkorak menjadi santapan hari-harinya. Satu buku demi satu buku yang dilahapnya membuat imajinasinya bertumbuh, dia melanglang buana dan berkelana jauh dengan pikirannya. "Aku merasa jadi anak yang sudah bertualang ke negeri orang," kata Gong dalam bukunya.
Bacaan-bacaan inilah yang mengantarkan Gong akhirnya menjadi seorang penulis seperti sekarang. Ibarat istilah, apa yang masuk itu yang keluar, berbagai pengetahuan yang didapat Gong dari membaca mendorongnya untuk menulis. Selain rutin menulis diari, Gong juga membuat puisi atau cerita-cerita sandiwara untuk dikonsumsi teman-teman di sekolahnya. Sembari itu, Pak Harris terus menumbuhkan jiwa sportif Gong melalui aktivitas olahraganya yang terus diasah. Hal ini membuat Gong tumbuh sebagai pemuda yang bertalenta.
Begitu banyak manfaat dari membaca buku. Sesuatu yang diyakini kebenarannya hampir oleh semua orang, tetapi justru sedikit yang mau melakukannya. Padahal, kampanye membaca terus dimasifkan baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat. Gong sendiri, kini dengan statusnya sebagai Duta Baca Nasional, maupun melalui Rumah Dunia yang dibangunnya belasan tahun lalu, tak pernah jemu mengampanyekan ini.
Membaca tidak hanya membuat pengetahuan seseorang bertambah, tetapi juga bisa meningkatkan nilai atau value-nya. Bahkan bisa mendatangkan benefit finansial yang bisa dijadikan sebagai karier.
Berkaca dari apa yang dialami Gol A Gong, pengetahuan yang didapatnya dari membaca inilah yang telah menutupi segala kekurangan fisiknya. Dia tahu lebih banyak dibandingkan teman-teman seumurannya, wawasannya melampaui batas geografis tempat tinggalnya. Dia tidak mudah merasa tersinggung atau insecure pada penilaian orang terhadap dirinya. Jiwanya lebih stabil. Lebih dari itu, pada akhirnya aktivitas itulah yang membuatnya menjadi berdaya, yang dipilih sebagai karier setelah menyadari kariernya sebagai atlet sudah mentok.
Semua orang punya kekurangan. Mestinya kita menyadari itu sehingga dengan sengaja mau berusaha untuk menutupi kekurangan tersebut dengan membaca. Seyogianya membaca juga membuat seseorang menjadi lebih bijaksana. Nyatanya, banyak orang sempurna fisiknya, tetapi cacat pikirannya atau cacat dalam berpikir. Namun, yang lebih menyayangkan sedikit orang yang sadar (mau mengakui) kalau ia punya kekurangan sehingga alih-alih menjadi bijaksana, yang ada malah sombong.
Buku ini bukan tentang parenting, tetapi ada banyak pesan tersirat yang bisa ditiru oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Di antaranya, menjadi orang tua "serbatahu" tempat anak-anaknya bertanya segala hal. Oleh karena itu, sebelum mengenalkan buku kepada anak-anak, para orang tua haruslah terlebih dahulu akrab dengan buku.
Sejatinya, setiap orang tua juga ingin anaknya unggul, berprestasi, atau selalu menjadi juara. Namun, membentuk pribadi anak untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dari sisi kalah atau menang, bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kematangan dalam berpikir, wawasan yang luas, dan memandang hidup sebagai rekreasi yang menyenangkan. Dengan begitu, saat menang tidak membuat jemawa, saat kalah pun tidak dicap sebagai pencundang. Karena setiap orang memiliki gilirannya masing-masing.
Lewat buku ini pula pembaca bisa merenungi perjalanan hidupnya sendiri melalui kisah-kisah yang dialami oleh Gong. Pernah tidak kita berpikir atau melakukan tapak tilas hingga kita sampai di titik sekarang ini. Berpikir, jika tidak seperti ini maka akan seperti apa? Jika tidak kekurangan/kehilangan sesuatu bagaimana kita akan bertumbuh? Jika ini sering dilakukan, pada akhirnya, pasti akan membuat kita lebih bersyukur dan tidak merutuki masa lalu.[]
SAYA telah menamatkan buku bacaan pertama di tahun 2022 ini. Hanya dalam waktu dua hari. Dalam dua kali duduk. Ini bisa dibilang fantastis dan menjadi "rekor" pribadi. Musim liburan kali ini saya tidak ke mana-mana. Tahun-tahun sebelumnya juga tidak ke mana-mana karena di keluarga kami memang tidak ada tradisi liburan. Saya pribadi jika waktu sedang longgar lebih suka menghabiskannya di rumah saja. Saya suka jalan-jalan, tapi saya tidak suka jalan-jalan ke tempat yang sama berulang-ulang. Terlebih yang di dalam kota. Sampai sekarang pun saya belum menemukan definisi yang tepat untuk jalan-jalan versi saya.
Di Banda Aceh dan Aceh Besar misalnya, bisa dihitung jari jumlah saya mengunjungi tempat-tempat wisata di sini. Atau tempat-tempat perbelanjaan modern yang jumlahnya sangat terbatas. Saya tidak begitu menikmati keramaian. Bikin capek jiwa raga. Yang paling sering saya datangi, ya, warung kopi, itu pun karena tidak ada alternatif lain. Karena itu pula, selama libur akhir tahun hingga awal tahun yang terbentur dengan weekend ini saya habiskan di rumah saja.
Saya menghabiskan waktu di rumah dengan melakukan aneka pekerjaan rumah tangga, menonton televisi, memaksimalkan istirahat, menonton chanel YouTube, berselancar di Wikipedia, dan, tentu saja, membaca buku fisik. Persediaan buku untuk dibaca selalu ada. Karena hasrat untuk menumpuk buku selalu lebih besar dibandingkan untuk melahapnya. Beberapa buku bahkan lembarannya mulai menguning, tetapi isinya belum sempat ditamatkan.
Menjelang akhir tahun lalu, ada beberapa koleksi buku baru yang bertambah. Di antaranya Gong Smash! yang ditulis Gol A Gong dan orang tak dikenal yang ditulis oleh Nazar Shah Alam. Gong Smash! saya tamatkan beberapa hari sebelum pergantian tahun. Saya pikir buku itu menjadi pemacu yang bagus untuk mendongkrak energi menyambut tahun baru. Membaca serupa dengan aktivitas rekreasi. Jadi, menyesuaikan bahan bacaan dengan waktu yang tersedia juga penting.
Saya memilih menikmati membaca orang tak dikenal sebagai rekreasi di awal tahun. Pertama, tentu saja karena proximity alias kedekatan. Istilah ini barangkali lebih familier dalam dunia jurnalistik ketika seorang jurnalis perlu meramu berita-berita yang mengandung kedekatan dengan pembacanya untuk menarik pembaca. Unsur-unsur ini mencakup geografis, psikologis, maupun ideologis. Faktor ini pula yang membuat saya memutuskan membaca buku Gong terlebih dahulu ketimbang buku yang ditulis oleh Nazar Shah Alam. Supaya saya bisa menikmati karya vokalis Apache 13 itu tanpa tergesa-gesa. Saya ingin menyesapi dan meresapi setiap alur dan kisah yang dituliskan.
Saya bukan penganut aliran speed reading. Yang membaca hanya untuk mengetahui garis besarnya saja. Seperti sajian di atas meja, setiap kalimat yang tertera di atas kertas pastilah lahir dari proses yang panjang. Melibatkan kejernihan pikiran, kelincahan berimajinasi, dan ketepatan dalam memilih dan memilah kata. Dengan begitu, kalimat demi kalimat akan menjadi padu, selaras, estetis. Maka, jika menemukan kata atau kalimat yang indah, saya akan berhenti sejenak, menutup mata, lalu membiarkan pikiran berkelana dengan kata atau kalimat tersebut.
Lebih dari itu, dengan dasar akademik Nazar yang alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tentu saya ingin "mencari" sesuatu dari novel ini. Sebut saja semacam metafora-metafora yang dipilih Nazar. Saya tidak ingin menceritakan apa yang saya temukan, karena setiap pembaca tentu memiliki pencarian yang berbeda-beda.
Sebagai pembaca yang notabenenya dibesarkan dalam situasi konflik bersenjata. Saya mengalami kedekatan yang benar-benar dekat dengan kisah dalam novel ini, tidak saja soal lokasi kejadian, tetapi juga secara psikologis maupun ideologisnya. Awalnya saya menduga Nazar akan menyamarkan nama-nama daerah yang menjadi latar cerita seperti yang lazim ditemui dalam novel-novel yang mengadaptasi suatu peristiwa bersejarah--misalnya Lampuki karya Arafat Nur. Dengan cara ini, pembaca akan dibuat bebas berkelana dan menyesuaikan lokasi-lokasi tersebut dengan segenap kemampuannya dalam berimajinasi. Inilah salah satu yang membuat saya senang membaca (novel), selalu ada ruang bagi pikiran saya untuk berimajinasi.
Nazar ternyata tidak melakukan itu. Dia menyebut dengan jelas nama-nama daerah yang menjadi setting dalam novelnya. Hal ini justru membuat pembaca (saya) seperti melakukan tapak tilas dan menjadi pengikut setia sang tokoh utamanya, Bastian. Dari barat selatan, melalui karakter Bastian, Nazar mengajak pembaca hingga sampai ke Lamteuba di Aceh Besar--kawasan yang sulit melepaskan diri dari imej ganja. Lalu menyaksikan kamuflase Bastian menjadi petani kunyit yang hidup serumah dengan istri gadungan, Loria.
Sebelumnya saat di Rigaih, Aceh Jaya, Bastian juga pernah serumah dengan istri gadungan yang lain untuk sebuah misi sebagai OTK. Seseorang yang hanya dia sebut sebagai Zu. Saya menunggu-nunggu kekhilafan Bastian atau "istrinya" yang tiba-tiba menempel di tubuh "suaminya" seperti cecak. Tapi, meski tangan mereka sama-sama berlumur darah dan identitas "OTK" membuat mereka harus menyaru sebagai suami istri, serta perasaan mereka sedikit terkontaminasi dengan hal-hal yang bersifat melankolia, tetapi agaknya mereka tetap menjunjung "profesionalitas". Kontaminasi perasaan antara Bastian, Loria, dan Zu menjadi garam yang menggurihkan cerita.
Lewat Bastian pula, kita bisa melihat bagaimana transformasi pemuda-pemuda sangak di masa konflik yang putus sekolah, tidak punya keahlian khusus, tetapi karena sepercik dendam yang terus menyala di sanubari mereka, mampu menjelma menjadi sosok yang (seolah-olah) berwibawa, merasa diri seorang hero, ingin menyelamatkan bangsa, dan karenanya menuai simpatik dari warga. Pada akhirnya malah menjadi boneka dari orang-orang pintar, tetapi licik.
Kedua, saya menemukan sisi lain dari kisah dalam buku ini. Sisi yang barangkali hanya menjadi "sampingan" saja dalam cerita-cerita bertema konflik Aceh. Petunjuknya ada di judul novel ini. Istilah "orang tak dikenal" atau OTK memang sangat akrab di telinga orang Aceh saat masih konflik. Kejadian-kejadian tanpa pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang berkonflik (GAM-RI) selalu ditujukan kepada OTK ini. Pertanyaan yang selalu mengusik ruang sehat dan kewarasan kita adalah, "Siapa OTK itu?"
Dalam novel ini--meskipun kita tahu ini hanyalah kisah fiksi yang tidak bisa ditelan mentah-mentah sebagai sebuah kebenaran--pembaca mendapat gambaran tentang OTK, bagaimana mereka menjadi OTK, untuk siapa mereka bekerja, apa motivasinya, apa yang mereka kerjakan, bagaimana mereka bekerja, dan ke mana uang yang mereka dapatkan sebagai OTK itu dihabiskan. Tidak mengejutkan jika ada dalang di belakang para OTK ini. Setiap dalang memiliki OTK-nya masing-masing. Mereka dipelihara dan difasilitasi. Setiap OTK memiliki target masing-masing dan di lain waktu mereka sendiri yang menjadi target (untuk dihabisi). Sialnya, korban para OTK ini tak pernah mendapat peradilan dunia. Siapa pula yang mau repot-repot mengurai benang kusut untuk membuka kedok atau identitas OTK?
Potongan demi potongan dalam cerita ini membuat saya memutar ulang berbagai memori masa lalu konflik Aceh. Gedung-gedung sekolah dan rumah warga yang dibakar, orang-orang tak bersalah yang diculik dan dibunuh dengan keji, perampokan, berbagai peristiwa kontak senjata, termasuk kisah-kisah berangta yang membumbui sederet peristiwa tersebut, seperti lakon sebuah film. Sebuah film, tentu ada skenario dan sutradaranya 'kan? Bedanya, jika dalam novel ada konklusinya, maka di kehidupan nyata semuanya serba di awang-awang. Sebuah lakon yang menguatkan pemeo "perangnya ecek-ecek, matinya beneran".
Entah mengapa, nama-nama tokoh dalam novel ini, seperti Ampon Mustafa, Tuan Yusuf, Tu Sem, berikut tempat tinggal mereka yang disebut sebagai istana, membuat pikiran saya menjadi liar dan mengait-ngaitkannya dengan beberapa nama dan kejadian di dunia nyata. Merekalah sutradaranya. Seseorang (geng) yang sangat dekat dengan kita, berjubah sebagai pelindung atau pemberi rasa aman, tapi ternyata lintah yang tega mengisap darah bangsanya sendiri.
Kisah dalam buku ini seolah menegaskan kembali, dalam kondisi sesempit apa pun, selalu ada orang yang mengambil keuntungan, ada orang yang dijadikan tumbal dan dibodohkan sehingga mudah dicucuk hidungnya, dan banyak yang menjadi pion tanpa sadar karena terbuai dengan sedikit sanjung puja semacam label "pejuang" atau "pembela tanah air".[]
Hanya tinggal hitungan jam untuk mengatakan "selamat tinggal 2021" dan mengucapkan "selamat datang 2022". Saya bersyukur karena hingga menjelang pergantian tahun ini masih diberikan kesehatan oleh Sang Pemilik Semesta. Hari-hari yang saya lalui sepanjang tahun ini penuh kegembiraan, terasa menyenangkan, dan begitu produktif. Hari ini pun, yang notabenenya hari terakhir di tahun ini, saya memulai aktivitas dengan minum kopi. Representasi hidup tanpa beban hahaha.
Sekadar kilas balik, memasuki awal 2021 saya memulainya dengan kehilangan. Mulanya terasa ganjil. Ada yang kosong dalam hari-hari saya. Namun, semuanya berlalu dengan cepat. Aktivitas yang padat membuat perasaan kosong itu dengan sendirinya cepat menguap. Dan, aha! Saya baik-baik saja hingga detik ini. Ternyata, kehilangan tak selamanya semenakutkan apa yang ada di pikiran.
Menjelang memasuki tahun baru ini, saya ingin melakukan review atas perjalanan selama dua belas bulan terakhir. Ini bentuk lain rasa syukur saya atas segala yang telah Allah berikan kepada. Lebih dari itu, cerita hari ini akan menjadi kenangan di masa depan. Dengan menuliskan ini, saya ingin nanti di masa depan bisa bernostalgia dengan secuil kebahagiaan di masa lalu.
Jalan-Jalan
Di awal-awal tahun, seperti yang sudah-sudah, aktivitas masih sangat longgar. Kesempatan ini saya gunakan untuk silaturahmi (baca: main-main) ke tempat teman. Awalnya saya berniat untuk pergi ke Sumatera Utara karena ada Kak Zatin yang saat itu masih bertugas di Sumut. Namun, setelah saya pikir-pikir ulang, dengan sisa waktu Kak Zatin di Sumut yang hanya beberapa hari lagi, waktu main-mainnya jadi kurang maksimal nanti. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk main ke Blang Pidie, Aceh Barat Daya.
Di sana ada Makbiet. Seseorang yang mulanya saya kenal dalam program fellowship USAID Lestari di pengujung 2017. Namun, meski program itu selesai, hubungan dengan sesama peserta program tetap berlanjut, salah satunya dengan Makbiet. Saya pun mengunjunginya di pertengahan Februari, hanya berselang beberapa hari setelah saya mengalami kehilangan.
Beberapa hari di Blang Pidie, saya menyeberang ke Pulau Simeulue untuk mengunjungi adik yang tinggal di Kota Sinabang. Ini awalnya tanpa rencana sama sekali, tapi saat di Blang Pidie, saya bertemu dengan Nita, dan diperkenalkan pada Hasan. Hasan ternyata berniat mengunjungi temannya di Simeulu. Saya pun secara spontan minta ikut Hasan. Jadilah saya berada di Simeulue hingga awal Maret.
Tak banyak berubah dari tahun-tahun yang lalu, perjalanan saya masih berkutat di dalam provinsi saja. Di barat selatan, perjalanan saya mencakup Kabupaten Simeulue, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya. Saya juga berkesempatan jalan (sambil bekerja) ke Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah. Di samping itu juga melakukan perjalanan ke Kota Lhokseumawe, Pidie, dan Kota Sabang.
Pelatihan dan Fellowship Jurnalistik
Sepanjang tahun ini, setidaknya ada dua fellowship yang saya jalankan. Pertama dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Dari Deutsche Welle yang bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Program dengan PPMN bertopik Perempuan dalam Ruang Publik berupa penulisan profil-profil perempuan yang berkiprah di masyarakat. Program ini berlangsung selama enam bulan dengan tambahan dua bulan setelahnya.
Sedangkan dengan AJI berlangsung selama dua bulan untuk sesi pelatihan, dilanjutkan dengan satu bulan berikutnya untuk fellowship berupa liputan. Adapun topiknya tentang Jurnalisme dan Trauma. Setelah sesi pelatihan selesai, para peserta berkompetisi untuk mendapatkan fellowship dan alhamdulillah, saya termasuk salah satu yang lolos.
Dengan PPMN, saya juga mendapat kesempatan menjadi enumerator sekaligus administrator untuk menghimpun data sejumlah narasumber perempuan di Aceh yang akan diinput dalam data base program kerja sama antara PPMN--HiVOS.
Selain dengan dua lembaga itu, saya juga mendapatkan pelatihan jurnalistik dengan Tempo Institut dengan tema Akuntabilitas Bencana (Investigasi). Kesempatan ini tida saja membuat saya bertambah dalam hal keterampilan teknis, tetapi juga mengasah leadership skill saya dalam hal manajemen waktu dan bekerja kelompok. Dan yang tak kalah pentingnya, kesempatan untuk berjejaring dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Saya selalu meyakini, jalinan perteman (baik formal atau tidak) selalu mendatangkan manfaat.
Buku
Tulis menulis menjadi "core" dari semua aktivitas yang saya lakukan. Sebagai individu yang mengawali aktivitas literasi melalui blog, saya lantas memutuskan untuk berkarier di jurnalistik. Pada akhirnya mengantarkan saya pada dunia perbukuan.
Selama tahun ini, saya berkontribusi untuk beberapa buku dengan topik yang berbeda baik fiksi maupun nonfiksi. Dalam proyek penulisan tersebut, saya terlibat sebagai penulis, penyunting, maupun enumerator. Buku-buku tersebut, yaitu: (1) Perintis dan Rektor Universitas Syiah Kuala; (2) 60 Tahun Universitas Syiah Kuala, Menuju Universitas yang Mandiri dan Modern, (3) Berjuang Menjemput Impian; (4) Bianglala; (5) De Atjehers 2: Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi, (6) Sejarah Asosiasi Kontraktor Aceh; (7) Tentang Kekasih; (8) Meruntuhkan Langit-Langit Kaca, dan (9) Experience.
Menulis Naskah Film
Ini menjadi pengalaman pertama yang begitu mengesankan. Teman di Aceh Documentary, Jamal, memercayai saya untuk menuliskan naskah film Tanpa Batas Waktu: Jejak Perang Dunia II di Sabang. Kesempatan ini membuka pintu ruang bagi saya untuk terus belajar. Hal-hal baru di luar yang biasa kita lakukan menjadi tantangan yang menyenangkan.
Berpartisipasi dalam Kampanye Literasi Digital
Di samping rutinitas pekerjaan di media, dalam tahun ini saya juga mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari narasumber kampanye literasi digital yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Selain itu, saya juga berkesempatan untuk mengisi sejumlah kegiatan seperti yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, UIN Ar-Raniry, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, TVRI, Chanel News Asia, Komunitas Reqan, Forum Lingkar Pena Takengon, Universitas Bina Bangsa Getsempena, Solidaritas Perempuan, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Menerima Anugerah Atsiri Research Center 2021
Penghargaan ini sesuatu yang tidak terduga sama sekali. Memasuki usia kelima tahun, Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala memberikan penghargaan kepada sejumlah individu yang dinilai berkontribusi terhadap lembaga tersebut dalam mengembangkan industri nilam Aceh. Saya mendapatkan penghargaan untuk kategori wartawan/media.
Selain itu, dalam tahun ini saya juga memenangi dua lomba jurnalistik, masing-masing diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh bekerja sama dengan Unicef dan Bidang Humas Polda Aceh.
Hari-hari yang telah berlalu di sepanjang usia saya penuh dengan warna dan dinamika. Merasakan pasang surut, pahit manis, suka dan duka. Semua itu adalah bagian dari perjalanan menuju proses pematangan diri untuk mencapai semua kebaikan yang diharapkan. Saya bersyukur, perlu mengucapkan "terima kasih" untuk hari-hari yang telah lalu.
Saya juga perlu mengucapkan selamat datang untuk hari-hari berikutnya. Mengawali 2022, tampaknya akan ada perbedaan ritme dibandingkan 2021. Saya akan mengawalinya dengan langsung "kejar setoran". Seorang kolega di kampus mengajak saya untuk berpartisipasi sebagai editor dalam proyek serial buku yang akan terbit di akhir tahun nanti. Saya dipercayakan untuk menggawangi serial bertema perempuan. Dua hari lalu, seorang rekan di salah satu instansi mengabarkan dan mengajak saya sebagai salah satu tim penulis untuk proyek buku mereka. Dan, menjelang tengah hari ini, seorang akademisi mengabarkan untuk kelanjutan program yang sudah berlangsung dua tahun sebelumnya. Akhir bulan lalu, saya dapat bocoran tentang fellowship yang akan saya jalankan dalam tahun ini. Semoga tidak ada perubahan dan bismillah....[]
![]() |
PEREMPUAN berdaya memberdayakan perempuan. Kutipan itu disampaikan oleh Eni Mulia—Executive Director Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara—dalam diskusi terbatas dengan beberapa perempuan jurnalis di Indonesia tahun lalu. Dalam forum-forum khusus yang melibatkan perempuan, kutipan itu kini semakin sering bergaung. Seperti yang disampaikan oleh Eni, kutipan itu sering diulang-ulang untuk memotivasi perempuan agar semakin bersemangat dalam meraih mimpi-mimpi mereka. Seiring dengan itu, tentunya mereka akan bertumbuh dan harapannya bisa menginspirasi perempuan lain untuk mengikuti jejak mereka.
Saya berusaha mencerna dan meresapi arti di balik kutipan itu. Terdengar ringan, tetapi sebetulnya menyiratkan makna yang sangat dalam. Kutipan itu sangat berbobot karena terdapat dua kata kunci di dalamnya, yaitu “berdaya” dan “memberdayakan”. Karena itu pula, saya sengaja menjadikan kutipan itu sebagai judul tulisan ini.
Jika merujuk pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “berdaya” memiliki arti berkekuatan; berkemampuan; bertenaga. Arti ini bersinonim dengan mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Sedangkan “memberdayakan” dalam KBBI diartikan sebagai membuat berdaya. Itu artinya, sebelum memberdayakan (orang lain), maka seseorang haruslah berdaya terlebih dahulu sebagai individu.
Kutipan itu seolah menemukan penjelasannya secara gamblang setelah hampir setahunan ini saya terlibat dalam program produksi konten perempuan dalam ruang publik yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Melalui program ini, setidaknya ada dua puluh perempuan yang kami angkat profilnya untuk dituliskan dan ditayangkan di laman perempuanleuser.com. Sebuah website komunitas yang juga diampu oleh sekelompok perempuan di Aceh. Latar belakang para perempuan yang berkiprah di ruang publik tersebut sangatlah beragam, mulai dari PNS/ASN, pengacara/paralegal, guru/dosen, aktivis lingkungan, pegiat literasi, pengusaha, ranger, hingga praktisi kesehatan.
Kondisi sosial ekonomi mereka juga sangat beragam, begitu juga dengan level pendidikan, mulai dari yang “hanya” lulus sekolah menengah atas hingga bergelar profesor. Tempat tinggal dan wilayah aktivitas mereka pun sangat bervariasi, tidak hanya di ibu kota provinsi yang notabanenya sudah terbilang mudah dalam hal akses dan fasilitas. Namun, sebagian dari mereka juga tersebar di berbagai daerah sehingga dalam melakukan aktivitasnya ada yang harus keluar masuk desa demi bisa menjangkau sasarannya. Namun, ada satu persamaan yang menjadi benang merah dan simpul dari semua aktivitas yang dilakoni para perempuan tersebut, yakni mereka telah berdaya. Oleh karena itu pula, peran mereka di masyarakat sudah naik level sebagai pemberdaya, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Di antara sosok yang dituliskan dan merepresentasikan “perempuan berdaya memberdayakan perempuan” itu adalah Badriah M Thaleb yang berasal dari salah satu kampung pesisir di Kabupaten Aceh Utara. Badriah kini menjadi ibu tunggal bagi anak-anaknya setelah sekian lama menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia dinikahkan pada usia dini dan terpaksa memupus harapannya yang tengah menggelora untuk bersekolah. Cita-citanya untuk menjadi guru berakhir dengan sendirinya seiring dengan lahirnya anak-anak hasil pernikahan dengan lelaki pilihan orang tua. Namun, suami yang diharapkan bisa menjadi teman diskusi, pembimbing, dan penopang hidupnya malah menjerumuskan dirinya dalam ceruk kehidupan yang gelap dan mengerikan.
Jiwa Badriah sebagai entitas manusia mulai terkerangkeng setelah ijab kabul berlangsung. Pergaulannya dibatasi dan dilarang untuk bersosialisasi. Selama menikah, bahkan untuk bertandang ke rumah orang tuanya pun Badriah dilarang. Cara berpakaiannya diatur, hanya boleh mengenakan kain sarung dan kain panjang agar penampilannya tidak mencolok. Dia hanya boleh bertemankan cangkul dan menghabiskan hari-harinya di sawah. Selain itu, Badriah—sebagaimana orang Aceh lainnya—juga seorang penyintas konflik. Kampungnya di Aceh Utara termasuk salah satu daerah basis konflik bersenjata. Persoalan hidup yang dialaminya tentu semakin kompleks.
Namun, penderitaan Badriah akhirnya menemui ujung “berkat” bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Berawal dari program psikososial untuk para penyintas tsunami, kondisi psikologis Badriah yang sudah pada tahap waham akhirnya bisa “diselamatkan” dan dipulihkan. Sejak saat itulah muncul keberanian Badriah untuk memperjuangkan nasibnya yang selama ini tersandera. Sebagai entitas seorang manusia dan individu yang punya hak azazi. Dia akhirnya berhasil berjuang dan keluar dari cengkeraman jubah patriarki bernama suami.
Mengedepankan Empati
Saat menyebut kata berdaya, sebagian besar kita barangkali langsung berpikir tentang kemandirian secara finansial. Dalam praktiknya, tentu sangat komprehensif. Seseorang yang berkecukupan dari segi materi saja, tidak serta-merta bisa dikatakan berdaya jika hidupnya masih didikte oleh individu lain. Berdaya erat kaitannya dengan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal positif dan produktif dalam hidupnya, sekaligus bisa membuat pilihan dan keputusan dalam hidupnya. Terkait ini, sebagaimana laki-laki, maka perempuan juga harus memiliki persamaan hak untuk mendapatkan akses informasi, eksistensi di ruang publik, akses pada pendidikan, kesempatan kerja, layanan kesehatan, layanan hukum, hak untuk berpolitik, dan hak bersuara dalam ruang-ruang domestik (farah.id, November 2018).
Menjadi perempuan memang menjadi tantangan tersendiri di Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki. Kondisi ini turut memengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) perempuan Indonesia yang berada di bawah laki-laki dengan nilai 69,18, sedangkan IPM laki-laki adalah 75,96. Nilai ini menunjukkan realita kalau ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan masih cukup tinggi di berbagai aspek, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kekerasan yang dialami perempuan.
Di sisi lain, jumlah populasi perempuan di Indonesia berdasarkan sensus 2020 mencapai angka 133,54 juta jiwa atau 49,42 persen. Hampir setengah dari total penduduk di negara ini. Itu bermakna, potensi perempuan dalam meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia sangat besar (kemenpppa.go.id, Maret 2021). Namun, kuncinya ialah dengan memberikan ruang dan porsi yang sepadan kepada perempuan untuk mendukung eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat. Perempuan dan laki-laki sejatinya adalah dua entitas yang sama sehingga seyogianya bisa menjadi mitra dan membangun relasi yang sehat dan setara, alih-alih bersaing dan merasa lebih unggul dibandingkan entitas lainnya.
Hal itu telah dibuktikan oleh setidaknya dua puluh perempuan yang profilnya ditayangkan di perempuanleuser.com. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat telah membawa setitik perubahan. Menariknya, dilihat dari kondisi ekonominya, mereka sama sekali tidak merepresentasikan individu-individu filantropis yang notabenenya berasal dari kalangan hartawan. Itu artinya, kerja-kerja sosial yang mereka lakoni tidak digerakkan karena kemapanan ekonomi, melainkan oleh ketulusan dan keikhlasan yang berasal dari hati. Beranjak dari sesuatu yang disebut sebagai empati. Inilah yang membuat para penggerak perubahan ini tidak hanya rela berkorban tenaga, pikiran, dan waktu saja, tetapi juga mengorbankan materi dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan.
Badriah misalnya, meski sebelumnya dia adalah penyintas konflik dan KDRT, tetapi dia mampu bangkit dan kini mendedikasikan diri sepenuhnya pada program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dia berkecimpung di organisasi perempuan dan terlibat pada kegiataan-kegiatan yang melibatkan anak muda dalam kampanye stop perkawinan pada anak. Dengan mengendarai sepeda motor usangnya, ia rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk masuk ke desa-desa di Kabupaten Aceh Utara demi menemui perempuan-perempuan yang membutuhkan pertolongan. Mereka umumnya adalah perempuan penyintas konflik yang juga mengalami KDRT. Tak mudah membuat mereka mau bicara dan terbuka sehingga bisa ditelusuri apa yang menjadi akar dari persoalan mereka. Para perempuan itu terbiasa hidup dalam tekanan dan ancaman, mengalami kekerasan fisik atau psikologis, dan selalu dikondisikan untuk “menerima” keadaan. Mereka memahaminya sebagai kodrat perempuan.
Namun, berkat ketulusan dan empatinya, Badriah mampu mendengar dan mereka pada akhirnya mau berbicara. Dia tidak mendatangi mereka sebagai “petugas”, tetapi sebagai sahabat yang menawarkan jalan keluar dan keamanan. Bercermin dari masa lalunya yang suram, Badriah menjadi lebih mudah memahami; banyak perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tidak hanya membutuhkan dukungan, tetapi juga uluran tangan agar bisa bangkit.
Badriah juga menyediakan rumahnya sebagai posko pengaduan bagi perempuan-perempuan dari kelompok rentan, ia mengadvokasi anak-anak yang menjadi korban predator seksual. Di ranah hukum, dia bahkan pernah mengadvokasi anaknya sendiri hingga ke meja hijau akibat kesewenang-wenangan oknum tertentu. Ia membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar-lebar bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya bersama-sama mencari jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi.
Bercermin dari apa yang dilakukan Badriah dan perempuan berdaya lainnya, kemapanan finansial tidaklah menjadi tolok ukur seseorang berdaya. Namun, terletak pada sebesar apa visinya untuk menciptakan perubahan, baik untuk dirinya sendiri atau lingkungannya. Seseorang yang (ingin) berdaya tahu kapan harus start untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu yang buruk, tahu kapan harus menebus semua yang tergadai demi mendapatkan akses pada pendidikan (baca: ilmu pengetahuan), hubungan yang baik dengan keluarga, bersosialisasi dengan lingkungan, dan membangun jejaring untuk mewujudkan eksistensinya.[]
Ilustrasi foto dari Pixabay