Rabu, 27 Mei 2015

Sepotong Surat yang Terpenggal




Dear Zorro...

Jantungku masih berdetak dengan ritme yang sama saat aku menuliskan surat ini. Begitu juga dengan irama nafasku. 

Seperti yang kau tahu, hanya kau yang bisa membuat ritmenya menjadi semacam terjangan angin ribut yang membabi buta. Membuat jantung seperti terguling-guling dan napas tersengal bagai kehilangan oksigen.

Kita sangat sering mendefinisikan cinta, rasa dan juga rindu. Masihkah sama definisinya? Atau, masihkah perlu didefinisikan?

Dear Zorro,

Bagiku, kau bukan sekadar definisi, atau sebuah inisial. Tapi adalah rasa dan rindu itu sendiri. Kau seperti bara yang mampu memercikkan bibit-bibit api, menyala dan membuat semuanya menjadi terbakar. Dan kita menggelepar dalam bilangan waktu yang kuharap menjadi stagnan.

Kamu itu seperti kopi, seksi di nama nikmat di rasa. Senyummu menerjemahkan semua hasrat dan gejolak yang terbenam di sisi paling beku. Meski angkuh sering kali campur tangan dan mencuri semua keindahan itu.

Kau tahu, ada waktu di mana kita harus memadamkan api yang besar itu. Memaksa kebekuan menjadi cair dan mencari jalan keluarnya sendiri. Meski untuk itu kita tidak bisa memusnahkan apa yang sudah mendekam di hati. Seperti pintu yang terkunci dan berkarat. 

Kita harus rela membiarkan semuanya menjadi sumber kesakitan. Membuat kita merintih dan mengaduh, atau berteriak. Cinta itu nikmat mana kala rindu bercampur satu atau dua titik luka. Juga setumpuk dua tumpuk air mata.

Seorang tentara berteman dengan kematian sepuluh tahun lamanya hanya untuk memastikan bahwa cinta itu benar-benar nyata. Seorang perempuan pengumpul batu membiarkan sepuluh tahun berlalu hanya untuk sebuah harapan bahwa cinta itu miliknya. 

Sepuluh tahun bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar untuk berdamai dengan takdir. Atau diri sendiri?

Sepuluh tahun bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar untuk tahu bahwa kenyataan itu tak selalu harus sama seperti yang kita idam-idamkan.

Sepuluh tahun itu bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar untuk mengubah pendirian seseorang. Tetapi jika aku masih berdiri di puncak tebing ini, tak lain karena aku melihat sekeping salju putih di lembahnya yang curam. Sekeping salju itu adalah sepotong hatimu yang merah.

Sepuluh tahun bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar untuk menganalisa diam. Diam adalah aksara tanpa kosa kata, angin tanpa rupa dan warna, dan kembang tanpa nama. Yang memancarkan keindahan, pesona dan misteri.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)