Rabu, 16 Juni 2010

Aku Lelah Memanggilmu Cutbang

Entahlah. Sejak pertama kali melihatmu aku merasa bahwa kita akan menjadi dekat. Dan ketika kita semakin sering bertemu aku bertambah yakin kalau kamu adalah jodohku. Tapi saat itu belum ada rasa cinta untukmu. Hanya sebatas rasa suka dan kagum. Kekaguman yang memaksaku untuk bersikap dingin terhadapmu.

Kita jarang bertukar sapa. Kecuali jika memang sangat-sangat kepepet seperti saat berpapasan di pintu masuk atau ada keperluan lainnya yang tak dapat didelegasikan. Kaupun, sepertinya memang tak begitu menganggapku penting. Aku menduga-duga saja karena sebagai ketua kelas kau jarang sekali meminta bantuanku yang waktu itu kebetulan menjadi sekretaris kelas. Tapi aku senang, kecanggungan yang tercipta di antara kita membuatku terbebas dari berbagai kesibukan sekolah. Dan aku bisa fokus sepenuhnya pada pelajaran.

Itu cerita belasan tahun silam. Saat kau dan aku masih duduk di bangku sekolah menengah ekonomi atas. Kupikir cerita tentang rasa kagum itu akan hilang begitu saja setelah kita menamatkan sekolah. Rupanya tidak karena kita berdua masih harus bertemu lagi. Kita berdua mendapat undangan khusus masuk salah satu Universitas favorit di negeri ini.

Kita. Aku dan kamu yang tadinya jarang bertegur sapa kini mendadak menjadi akrab. Apalagi saat-saat terakhir di sekolah. Banyak hal yang menyangkut dengan kelanjutan pendidikan kita, kita urus berdua. Seperti menyusun jadwal keberangkatan ke Jogja bersama, persiapan untuk mendaftar ulang, mencari rumah kost dan lain sebagainya.

Singkatnya, kita memilih jalan darat untuk bisa sampai ke Jogja. Dan untuk itu kita harus rela menempuh perjalanan yang berhari-hari dan tentu saja melelahkan. Tapi sangat menyenangkan. Karena kita mengisi seluruh waktu dalam perjalanan untuk bertukar cerita. Dengan sendirinya rasa canggung itu menguap bersama angin kering di dalam bus.

“Boleh aku memanggilmu Cut Bang?” tanyaku ketika kita telah melewati waktu seharian di dalam bus.

“Kenapa?” kau tampak heran.

Kenapa? Akupun tak terlalu paham mengapa harus demikian. Tapi, seketika aku teringat cerita Mak bertahun-tahun yang lalu. Panggilan Cut Bang seorang perempuan kepada seorang lelaki katanya adalah wujud cinta kasih yang dalam dan besar. Rasa hormat yang dipadukan dengan keikhlasan dan ketulusan untuk menyayangi. Begitu kata Mak. Kebudayaan dalam masyarakat Aceh memang begitu, seorang suami diperlakukan sangat istimewa dan cenderung sangat di dewakan.

“Hai kenapa bengong?” sentakmu.

Ah! Aku terkejut sekaligus bingung. Akan kujelaskan bagaimana? Rasanya tak mungkin menjelaskan sedetil itu terhadapmu tentang perasaanku yang sesungguhnya. Benar rasa kagum itu telah tumbuh menjadi cinta. Benar rasa cinta itu melahirkan rasa sayang dan benar rasa sayang itu telah menyuruhku untuk bersikap hormat dan menyangjungmu. Tapi aku perempuan. Tak boleh terlalu mengumbar perasaan.

“Karena kamu orang Aceh. Maksudku lelaki Aceh.” Jawabku sekenanya.

“Iya, tapi mengapa harus Cut Bang, kan bisa saja kamu memanggilku Bang atau Abang. Atau jika kamu memanggilku nama saja aku tidak keberatan. Setiawan! Apalagi kita sebaya, selisih umurku dengan umurmu cuma setahun.” Pungkasmu seperti keberatan.

Kau tak mengerti. Batinku.

“Karena kita akan merantau. Panggilan seperti itu setidaknya akan sedikit mengurangi rasa kangenku pada kampung halaman.” Jawabku mengelak.

Kubuang pandanganku ke luar kaca. Pohon-pohon sawit tampak berjajar di sepanjang jalan. Satu dua orang pekerja terlihat tengah memetik buah-buah bersuku palm tersebut. Tandan-tandannya terlihat merah dan ranum. Dan ini pertanda kita telah sampai diperbatasan antara Aceh dan Medan.

“Terserah kamu.” Jawabmu akhirnya. Kita tertawa. Perjalanan itu terasa begitu menyanangkan.

Dan sejak saat itu sampai hari ini aku terus memanggilmu Cut Bang. Sampai kita menjadi suami istri. Aku tak ingat lagi bagaimana awalnya hingga kita menjadi sangat dekat. Seingatku selama di perantauan kita tak pernah membuat komitmen apapun. Yang aku tahu setahun setelah kita kembali ke Banda Aceh orang tuamu datang melamarku untuk menjadi istrimu.

Hari itu aku merasa bahwa dunia benar-benar milikku. Hidupku terlampau indah untuk diceritakan. Menikah denganmu adalah impian terbesar yang telah kupendam selama bertahun-tahun lalu. Bukankah mukjizat namanya jika kemudian kita benar-benar duduk bersanding di pelaminan?

“Panggil aku Cut Dek.” Pintaku di malam pertama pernikahan kita.

“Mengapa harus itu?” tanyamu pendek.

Mengapa? Aku kembali teringat pada cerita Mak belasan tahun yang lalu. Bahwa seorang suami yang memanggil istrinya Cut Dek berarti ia benar-benar mencintainya. Cut Dek adalah panggilan sakral yang begitu diidam-idamkan oleh setiap perempuan. Maka tak salah bila aku meminta suamiku memanggilku begitu. Bukankah ia mencintaiku?

“Karena aku istrimu, Cut Bang.” Jawabku serius sambil memandangnya mesra.

“Sayang, aku lebih nyaman bila hanya memanggil namamu saja; Sarah. Terdengar lebih mesra dan romantis.” Jawabmu.

“Tapi aku ingin kau memanggilku Cut Dek.”

Begitulah, kita nyaris bertengkar di malam itu hanya gara-gara soal panggilan. Pun begitu suamiku tetap memanggilku Sarah bukan Cut Dek seperti yang aku inginkan. Aku mengalah. Tak ingin merusak suasana bahagia yang sedang melingkupi kami.

***

Hidup terlampau singkat untuk dinikmati, pun dengan pernikahan kami. Tak terasa hampir berjalan dua tahun kami berumah tangga. Semuanya begitu menyanangkan, kami punya karir yang bagus di dunia perbankan. Orang tua kami sangat bangga dengan apa yang kami capai dan kerap membangga-banggakan kami di depan teman maupun kerabatnya. Satu-satunya yang membuat kebahagiaan itu kurang lengkap adalah belum hadirnya anak di antara kami. Tapi lagi-lagi aku merasa beruntung sebab suamiku tak pernah menuntut agar aku segera mempunyai anak.

Tapi rupanya kebahagiaan ini tak berlangsung lama. Pelan-pelan keharmonisan seperti menyusut di antara kami. Aku merasa kembali ke masa-masa SMEA dulu. Kami mulai jarang berdiskusi. Suamiku terasa semakin jauh dan sibuk dengan dunianya. Kami jarang makan bersama. Kesibukan seperti menyerobot waktu yang kami punyai.

Entah sejak kapan aku mulai merasakan perubahan dalam diri suamiku. Tiap kali aku mengajaknya berbicara ia selalu menghindar. Kalaupun kebetulan kami makan bersama semuanya terasa biasa dan hambar. Tak ada pembicaraan yang hangat seperti waktu-waktu dulu. Satu-satunya yang masih bisa membuat kami bersama-sama hanyalah ketika di tempat tidur.

“Cut Bang?” panggilku suatu pagi, saat kami sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia tak menjawab hanya melenguh saja dan memandangku acuh.

“Aku ingin makan di luar nanti malam, pulanglah agak cepat kalau bisa.”

“Kerjaan di kantor masih banyak, lain kali saja. Atau kalau kamu mau makan sendiri silahkan.” Jawabmu kaku.

Ah. Hatiku sakit sekali mendengar jawaban seperti itu. Aku tidak keberatan kalau ia tak mau tapi jawabannya yang menyuruhku pergi sendiri itu yang tak kuterima.

“Aku mau makan bersama dengan Cut Bang, kalau sendiri di rumah juga bisa.” Jawabku lagi.

“Sarah!” ia memandangku tajam. Biji matanya berkilat-kilat. Sesuatu yang tak pernah kulihat sepanjang aku mengenalnya. “ Aku ini suamimu, kau harus dengar apa yang aku katakan, kubilang lain kali ya lain kali.” Ucapnya setengah menghardik.

Aku tak menjawab lagi. Tak ada gunanya meneruskan debat kusir yang hanya akan memperuncing masalah saja. Mungkin dengan segera berangkat kerja pikiranku bisa menjadi lebih tenang. Selama ini hanya ruangan kerjalah yang selalu menjadi tempat bagiku untuk menenangkan diri bila ada selisih paham di antara kami.

Rupanya tidak untuk hari ini, hingga hari menjelang petang seluruh aktivitas pekerjaan tidak membuat sakit hatiku sembuh. Yang ada justru malah perasaan tertekan dan nyeri berkepanjangan bila mengingat rumah.

Aku tak ingin melihat wajah suamiku, tak ingin mendapat tatapan dingin dari pandangannya yang tajam. Aku tak terima dengan sikapnya yang sering mendiamiku tanpa sebab.

Maka aku memutuskan untuk mengelilingi kota setelah menyelesaikan tiga rakaat magrib di Mushola kantor. Memasuki butik-butik langgananku, memasuki toko aksesoris, mengunjungi toko buku dan terakhir memasuki rumah makan vegetarian yang terkenal itu.

Tak ada firasat apapun saat aku memasuki ruangan yang dingin dan bersih ini. Bahkan saat kakiku melangkah naik ke lantai dua didampingi oleh pelayan yang ramah sambil membawakan daftar menupun, aku masih tak punya firasat apa-apa tentang sesuatu. Hingga sampai aku duduk di pojok ruangan dekat akuarium yang besar.

Namun saat aku sedang asyik memilih-milih menu suara lengkingan perempuan membuatku terusik. Aku menoleh, mencari arah suara tadi. Ia tampak melambai-lambaikan tangannya memanggil pelayan. Aku terhenyak, bukan karena sikap perempuan itu yang terkesan tak peduli. Tapi pada sosok yang kulihat menemani perempuan itu.

Mereka terlihat begitu akrab, bertukar tawa dan cerita meski tak jelas apa yang mereka ceritakan. Aku menduga-duga tentu bukan masalah pekerjaan karena mereka sangat santai kelihatannya. Lelaki itu suamiku.

“Mau pesan yang mana bu?” teguran lembut si pelayan membuatku tersadar dari lamunan singkat ini.

***

“Cut Bang?” panggilku lembut begitu suamiku pulang, tentunya setelah ia membersihkan diri dan mengganti dengan pakaian rumah yang santai. Menjelang tengah malam.

Ia tak segera menjawab. Wajahnya terlihat letih tapi jelas rona-rona bahagia terpancar di sana. Hatiku bagai teriris-iris menyaksikan itu.

“Cut Bang?” ulangku. Kutahan suaraku agar terdengar biasa. Padahal kemuncak amarah telah menggelora dalam jiwaku.

“Ya.” Jawab suamiku malas sambil naik ke tempat tidur dan menarik selimut.

Ingin aku mencekiknya untuk meluapkan kemarahanku yang tadi. Rasa sakit hati yang membuncah seketika menimbulkan rasa benci dan jijik terhadapnya.

Begitulah seterusnya, aku nyaris tak punya waktu lagi untuk berbicara dari hati ke hati dengan suamiku. Meja makan yang dulu kerap menjadi tempat favorit kami kini menjadi sepi dan masakan yang kumasak kerap berakhir di tempat sampah.

Seiring dengan itu suamiku mulai sering tugas ke luar kota karena ada promosi jabatan untuk jadi pimpinan cabang di sebuah bank swasta terkemuka. Kami jadi semakin jauh saja. Dan gap yang tercipta semakin terbentang luas. Sikapnya semakin dingin. Bila sedang di luar kota ia tak pernah menghubungiku untuk memberi kabar. Bila aku berinisiatif untuk menghubunginya maka ia akan menjawab dengan enggan, suaranya terdengar tregesa-gesa, seperti keberatan.

Pesan-pesan pendekku tak pernah dibalas. Aku sedih, kesal dan marah. Rasa cinta yang besar ternyata tak mampu membuatku bisa menerima sikap dan perlakuannya yang semena-mena. Mungkin betul seperti kata Mak belasan tahun yang lalu. Bahwasannya banyak istri-istri yang mengganti panggilan mereka terhadap suaminya karena rasa cinta yang berkurang. Tapi aku tak berharap begitu. Aku ingin selalu menjadi istri yang baik, yang tak pernah kekurangan stok cinta dan sayang untuk suamiku. Aku ingin selalu memanggilnya Cut Bang.

Dan kuharap pikiranku tak berubah sekalipun kudapati suamiku yang baru sampai dari luar kota terlihat tergesa-gesa. Mandi, ganti pakaian, ia terlihat rapi dan gagah, dan juga wangi.

“Cut Bang?”

“Ya.”

“Mau ke mana? Kan baru pulang. Apa tidak sebaiknya makan malam dulu. Aku memasak makanan kesukaanmu.”

“Nanti saja makannya, ada meeting jam delapan dengan klien. Aku pergi.”

“Cut Bang?”

Suaraku tercekat bersama angin, sebelum aku selesai berbicara suamiku telah melesat dalam gelam malam. Menemui kliennya. May!

Suamiku. Cut Bangku. Yang telah sekian lama kusimpan cinta hanya untuk dia teganya menyakiti perasaanku. Mengertilah aku sekarang mengapa ia tak pernah mau memanggilku Cut Dek. Karena ia memang tak benar-benar mencintaiku. Pahamlah aku sekarang mengapa ia tak pernah bilang cinta padaku, meski kerap kali ia berkilah bahwa cinta tak perlu pengucapan hanya pembuktian.

Ya, suamiku memang telah membuktikan semuanya. Bahwa ia tak mencintaiku. Ia hanya mencintai May. Perempuan yang kulihat malam itu di restoran. Tentu saja aku tak lupa dengannya, suaranya yang melengking, sikapnya yang manja, tawanya yang ramai dan tentu saja usianya yang terpaut beberapa tahun dengan suamiku. Mungkin itu pulalah yang membuat suamiku akhirnya memilihku untuk dijadikannya istri, karena orang tuanya tak setuju ia menikahi May yang lebih tua darinya.

Aku lelah. Kusapu bulir bening yang terus berjatuhan meski berkali-kali kuusap dengan jemariku yang lentik. Mungkin benar seperti kata Mak belasan tahun yang lalu. Bila rasa cinta sudah tidak ada, bila rasa hormat telah berkurang, dan bila keikhlasan telah menjadi bara. Tak ada gunanya lagi memanggil Cut Bang.

Aku menutup layar-layar di notebook suamiku, selama aku mengenalnya baru sekali ini aku mendapatinya ceroboh terhadap sesuatu. Kututup semuanya, juga pintu-pintu cinta yang dulu terbuka lebar untuknya.(*)


Ihan Sunrise
__________________________
_______
Banda Aceh, 27 April 2010
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. Assalamualaikum mbak. Saat ini saya lagi di bandung, tepatnya dikampus Unpad. Tiba2 saya ingin tau arti panggilan cut bang dan cut dek. Saya juga orang Aceh. Tapi lagi dekat sama orang sumatera juga. Tapi panggilan kami cut bang dan cut dek. Tapi kami tidak ada ikatan apa2, hanya saja waktu dia tanya panggilan sayang dari Aceh itu apa. Spontan saya jawab cut bang dan cut dek. Sampai sekarang panggilan tsb masih berlanjut. Tapi baru semalam kami ngobrol, dan dia hanya menganggap saya cuma sebagai adiknya untuk saat ini.Tapi saya sudah ada rasa sama dia. Tapi apa mau saya lakukan, kalau untuk saat ini dia hanya menganggap saya adik. Tapi saya suka ketika dia memanggil saya dengan sebutan cut dek

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)