Selasa, 09 Agustus 2011

Lotus(*)


Malam itu kudapati kau begitu masyuk dalam kudusmu memandangi langit Tuhan dari jendela yang kau biarkan terbuka. Menganga sehingga angin masuk menerobos tanpa kepayahan, lalu hinggap di wajahmu yang selalu teduh. Wajah yang selalu membuatku terpesona untuk ikut hinggap di pelipismu untuk sebuah kecupan.
Hujan baru saja turun, bau tanah basah masih menyemerbak merambati indera penciuman kita, di langit butir-butir air masih menggantung satu persatu, untuk kemudian kembali jatuh ke bumi.
Dan aroma melati yang bercampur dengan aroma tanah basah adalah sesuatu yang membuatmu selalu ingin berlama-lama menepi di jendela ini. Sesekali matamu terpejam dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, dan setelah itu kau akan selalu mengatakan bahwa harum tubuhku lebih nikmat dari aroma melati-melati itu.
Tapi kali ini sepertinya kau sedikit terusik dengan wewangian nikmat itu, berkali-kali kau menarik nafas berat, dan meniupkannya dengan hati-hati, hingga beberapa kali, bahkan mimik wajahmu terlihat cemas.
“Ini bukan aroma melati yang seperti biasanya.” Keluhmu setelah merasa yakin dengan pendapatmu.
Aku tak menjawab, sengaja kubiarkan kau meneliti sendiri ucapanmu barusan, dan aku ingin memastikan apakah indera penciumanmu masih berfungsi sempurna. “Ini buka aroma melati!” katamu lagi.
“Ini aroma lotus.” Kataku akhirnya
“Lotus?” keningmu berkerut
“Iya, lotus atau teratai, kau pasti mengenalnya.” Kataku menjelaskan. Kau mengangguk.
“Apakah aroma ini muncul dari lilin-lilin itu?” tanyamu lagi
Aku mengangguk. Kau selalu pintar menebak, meski aku tahu kau tak terlalu mengerti untuk hal-hal remeh temeh seperti itu tapi apa yang kau katakan barusan adalah benar. Untuk kali ini aku tak begitu percaya pada melati-melati yang berperdu di luar jendela itu. Wewangiannya hanya sebatas pada ruas jendela, dan sedikit menyengat bila selepas hujan.
“Ikutlah denganku.” Kataku.
Satu hal yang paling aku sukai darimu adalah kau tak banyak bertanya untuk setiap ajakan-ajakanku, dan untuk kali ini kau juga bersikap demikian, hingga kau ternganga ketika mendapati aroma lotus yang begitu menyengat memenuhi ruang kamar tidurku. Lilin-lilin berwarna ungu memenuhi setiap sudut ruangan. Pandanganmu berhenti pada setangkai kembang berwarna merah beludru dengan beberapa duri di tangkainya di atas ranjang. Saat itu kita kembali bertemu pandang.
“Nona Alma! Nona Alma!” Teriak seorang lelaki.
“Alma, kau dipanggil Hakim Ketua.” Bisik seseorang
Aku melongok, ingatanku tentangmu terhenti, juga kerinduan yang tadi sempat memuncak. Pada setiap pertanyaan yang dilontarkan aku sama sekali tidak ingin menjawab, karena itu akan merusak semua sakralitas yang telah kuciptakan untukmu.
“Nona Alma!” teriaknya lagi.
“Ya.” Jawabku singkat.
“Apakah anda mencintai lelaki itu?”
“Lelaki yang mana?”
“Alma, jangan berbelit-belit menjawab pertanyaan hakim.” Seseorang yang telah kubayar sebagai pengacaraku mengingatkan, “Nanti bisa memberatkanmu.”
“Tapi aku tidak tahu lelaki mana yang dia maksudkan.” Jawabku acuh tanpa melihat wajahnya. Entah mengapa tiba-tiba wajah semua orang menjadi sangat memuakkan.
“Maksud saya saudara Danish.”
“Sangat!”
“Tetapi mengapa anda membunuhnya?” cecar lelaki beruban itu lagi.
Aku tersenyum sinis. Sejenak kulempar pandanganku ke kiri dan ke kanan, suara-suara berdesis memenuhi hampir seluruh ruang persidangan. Mereka pasti sedang membicarakanku.
“Alma?” tanya Danish suatu ketika.
“Ya.”
“Apakah kau pernah menginginkan percintaan yang tidak biasa?”
“Maksudmu? Apakah serupa di atas pasir di tepi pantai seperti yang sering kita bicarakan?” aku menanggapinya dengan serius. Kau menggeleng. “Hm...pasti di bawah purnama bukan? Dan hanya ada langit sebagai sekat dan tanah-tanah berdebu sebagai alasnya.” Kataku lagi. Kau masih menggeleng. “Lalu apa?” tanyaku menyerah.
“Bercinta dalam leguhan menahan rasa sakit karena tusukan belati, dan pada leguhan nikmat terakhir kita sama-sama terkapar karena lelah.”
“Bukan lelah, tapi mati.”
“Kecuali bila kau menancapkan belati itu di jantungku.” Kau terkekeh.
“Aku tak mau melakukan itu untukmu.”
“Kau hanya perlu melukaiku sedikit saja Alma.”
Dan percakapan itu selesai begitu saja.
“Nona Alma Zaheer!” teriak hakim ketua dengan suara berang. Lagi-lagi ia mengusik ingatanku tentang Danish, lelaki yang sangat kucintai, bagaimana mungkin ia menuduhku telah membunuh Danish.
“Mengapa anda membunuh saudara Danish Akbar!”
“Anda tidak akan mengerti apa-apa sampai anda menginginkan percintaan seperti yang diinginkan Danish!” kataku ketus.
Orang-orang tertawa riuh, mereka kembali berbisik-bisik, membuatku jengah dan ingin menuding tepat di hidung mereka. Mereka tak tahu apa-apa tentang aku dan Danish.
“Alma, bersikaplah sopan.” Pengacaraku kembali berbisik.
“Jangan berbelit-belit nona Alma, ceritakan saja dengan jujur karena itu akan meringankan hukuman anda.”
Jujur! Hanya kepada lelaki-ku saja aku mampu bersikap yang sebenarnya jujur, bukan hanya tentang perasaan dan kemauanku tetapi juga untuk perasaan dan kemauannya.
“Danish?” tanyaku ketika ia sedang terlibat pada percintaan mononya dengan wewangian lotus di kamar tidurku.
“Ya Alma.”
“Keinginanmu akan terwujud malam ini.”
“Untuk?”
“Percintaan yang tidak biasa.” Kataku sambil mengacungkan belati dari balik punggungku. Dan saat itu kulihat ia tersentak, menunjukkan kekagetan yang luar biasa, dan baru kusadari ucapannya tidak sebesar keinginannya untuk menikmati ketidak biasaan itu.
“Alma, kau sedang bercanda bukan?”
“Tidak sayang.” Jawabku sambil mempersembahkan senyum untuknya.
“Saudara Alma!” lelaki berjubah hitam itu kembali memekik, suaranya melengking. Ia terlihat lelah, keringat-keringat besar meneuhi pelipisnya.
“Saya tidak mungkin membunuh Danish!” pekikku sambil berdiri
“Tapi saudara Danish Akbar ditemukan tewas di kamar tidur anda!”
“Dia mati karena leguhannya sendiri.” Aku menatap tajam.
Seperti dramatis tiga babak, saat-saat kematian Danish kembali muncul dalam ingatanku, aku masih belum lupa bagaimana Danish tiba-tiba menjadi takut melihatku dengan belati mengacung di tangan, ia memohon agar aku tidak memenuhi permintaanya. Tapi aku terlanjur ingin merasakan sensasi seperti yang pernah diceritakan Danish kepadaku.
“Aku hanya melukaimu sedikit, seperti yang kau inginkan.” Kataku berulang.
Dan, aku semakin ingin menikmati Danish dalam sekaratnya yang agung, membayangkan mutualisme darah dan aroma lotus yang menyemberbak mengusik naluri keperempuananku. Dan, mestinya Danish memberitahuku terlebih dahulu di mana letak jantungnya, karena setelah ia  terkapar aku baru tahu bahwa aku telah menikam  di tempat yang salah, tepat di dada sebelah kirinya.
“Baiklah, mengapa anda tidak segera memberitahukan kematian saudara Danish.” Kali ini suaranya sedikit melunak.
Ah, Danish! Bahkan setelah kau tiada pun geletar nikmat itu masih dapat kurasakan, lalu bagaimana mungkin aku menyerahkanmu begitu cepat pada orang lain. Aku masih ingin denganmu, masih ingin memandangi matamu sekalipun telah mengatup, masih ingin mengecup keningmu meski warna kulitmu telah pucat serupa warna sprei tempat kita terakhir kali bersama, aku masih ingin mengecup bibirmu, walaupun aku tahu hanya ada dingin yang beku di sana.
Dan pada bercak-bercak darah yang mengering di bekas lukamu, adalah hasrat untukmu yang tak pernah berhenti begitu saja. Juga bau menyengat tubuhmu yang mulai menyetubuhi lotus, membuatku ingin mengerang selamanya, erangan yang melahirkan tangis tanpa suara, dan juga ketakutan tanpa makna. Aku tak bersalah.
“Pembunuh berdarah dingin!” entah siapa tiba-tiba berteriak dari arah belakang.
“perempuan sadis!” sahut yang lainnya.
“Psikopat!”
“Tenang-tenang!”
Di tengah keriuhan itu tiba-tiba saja wangi lotus mulai hinggap di setiap sudut ruangan, dan  aku mulai mabuk dengannya, dari pejam imajinasiku kudapati Danish masih tertidur di ranjangku, dengan bekas luka telah mengering dan belati masih teronggok di dada kirinya. Di sebelahnya setangkai kembang berwarna merah beludru terkulai layu dengan beberapa duri di tangkainya. Seperti Danish yang telah tiada, maka jiwaku telah ikut mati.(*)


Permata Punie
23:14 pm
Juli 2011


(*) cerpen ini telah dimuat di koran Harian Aceh edisi Ahad, 31 Juli 2011



Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)