Rabu, 14 Desember 2011

Logika


“Aku tergila-gila padanya.” Kataku pada diriku sendiri.

Ketika itu, malam telah sangat larut, efek kopi tadi siang rupanya membuat kantuk enggan menggantung di mataku. untuk menghalau bosan aku membaca sebuah novel tebal lebih dari enam ratus halaman. Ketika ke dua tanganku yang kugunakan sebagai penyangga mulai terasa pegal, aku pun mengganti posisi, kadang sambil tidur, kadang sambil duduk bersandar di bantal, kadang sambil miring.

“Mengapa kau menggilainya?” Tanya suara lain di diriku.

Hm…aku tidak segera menjawab, haruskah kuberi alasan untuk setiap perasaanku? Tidak bolehkah aku menyukainya tanpa alasan apapun. Aku menyukainya dan aku tidak tahu mengapa. Tidak boleh kah seperti itu? Agar semuanya menjadi sederhana.

“Karena ia berbicara dengan bahasaku.” Jawabku akhirnya, mencoba memberikan jawaban selogis mungkin.

Ada semacam tawa sinis mengambang di bibirnya, di bibir logika yang sering membuatku kadang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku tidak selamanya benar. Keangkuhan yang telah membuatku mempertahankan lelaki kekasihku demi egoku sendiri, ah, tidak, aku mencintainya, dan masih mencintainya, lalu, apa yang salah dengan mempertahankannya tetap sebagai kekasihku.

Logika mencibir lagi, mungkin maksudnya inilah puncak egoku, ingin memiliki semua yang kumaui tanpa mempedulikan apakah aku benar-benar membutuhkannya.

“Apakah semua yang akan berbicara dengan bahasamu akan kau jadikan kekasih?” ejek logika dengan seringainya yang tajam. Bahkan diriku sendiri tak sudi menyaksikannya. Tetapi di dalam gelimang sunyi ini, hanya diriku sendiri yang bisa kuajak berdiskusi, agar sepi benar-benar enyah. Tidak, yang benar adalah agar sketsa wajah lelaki yang sedang kugilai bisa mengabur.

“Kau tak perlu ikut campur dalam urusanku, ini masalah hati, dan kau tidak mengerti.” Belaku.

Mata lelaki itu seolah hadir di hadapanku, mencoba masuk dalam diriku untuk memberi kekuatan, bahwa tidak ada yang salah dengan semua yang terjadi. Tidak akan ada yang sakit hati dengan pertemanan ini, apalagi kecewa.

“Pertemanan? Kau bilang pertemanan setelah semua yang terjadi?” 

Aku mulai muak dengan celoteh logika. Jika bisa, ingin kusekap ia saat aku bertemu dengan lelaki bukan kekasihku itu. Sayangnya aku tidak bisa melakukan itu. Dan ia mendengar semua percakapanku dengan lelaki itu. 

“Maumu apa?” pekikku dengan suara tertahan. “Dulu saat aku ingin menikahi lelaki kekasihku, kau menjejaliku dengan berbagai argumentasi tentang kebenaranmu, dan sekarang kau semakin menjadi-jadi dalam mengatur hidupku.” Napasku tersengal, persis ketika lelaki itu menyentuh jemariku, bedanya sekarang karena marah dan dikepung emosi.

Hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Aku tidak ingin menyalahkan logika sepenuhnya, tetapi salahkah bila aku memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mabuk pada madu rimba itu? 

Lagi-lagi, mengapa tidak pernah menemui jawabannya.

“Kau tentu tidak bisa menjelaskan kepadaku mengapa aku tidak bisa menikahi lelaki kekasihku bukan? Juga lelaki yang bukan kekasihku itu. Aku tidak bisa menikahi ke duanya. Kau tidak mengerti karena kau bukan hidup sebagai diriku. Kau hanya sesuatu yang ada di dalam diriku.” Kataku akhirnya berterus terang.

Logika menjulurkan kepalanya, ia memandangiku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Aku menghembuskan nafas panjang. Pertanda tak ingin lagi berdebat dengannya.

“Buatlah keputusan yang terbaik untuk dirimu.”

Malam semakin uzur, tetapi sepertinya tidak ada tanda-tanda akan segera ada jalan keluar dari rindu yang bertubi-tubi ini.
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)