Kamis, 14 Juli 2016

Arloji Takdir

ilustrasi @pixabay

"Kapan kau datang ke kotaku, aku ingin bicara denganmu," tanyaku di suatu sore, melalui email.

"Akhir Ramadan atau lebaran," jawabmu singkat.

"Baiklah, aku menunggumu," balasku kemudian.

***

Petang ini, ketika aku sedang berada di salah satu ruangan di rumah sakit terbesar di kota ini, aku kembali teringat padamu. Tepatnya pada percakapan singkat kita dua bulan lalu. Aku teringat karena Ramadan telah berakhir, pun Idul Fitri. Tetapi pertemuan yang kita bicarakan itu tak pernah terjadi.

Aku teringat, karena di rumah sakit inilah kita terakhir kali bertemu. Setahun yang lalu. Tepat di hari ulang tahunmu setelah hari raya qurban. Aku belum lupa saat melihatmu muncul di koridor rumah sakit, juga senyum yang kau lemparkan saat mata kita saling bersitatap untuk yang pertama kalinya. Mata yang memancarkan kerinduan. Aku juga masih ingat lirih suaramu ketika berbicara padaku.

Rasanya aku tidak percaya, pertemuan terakhir kita berlangsung setelah hari ulang tahunmu. Setelah aku mengirimkanmu sepotong kalimat penuh doa. Kemudian takdir kita berhenti setelah hari ulang tahunku. Setelah kau mengirimkanku sepotong ucapan yang sangat manis.


Bolehkah aku berterus terang? Aku tahu, semuanya menjadi percuma untuk disampaikan. Tetapi bukankah waktu tetap bergerak meskipun arloji yang kita pakai berhenti berdetak? Bukankah jalanan tak pernah lengang sekalipun sepasang kaki kita patah dan tak bisa berjalan lagi? Pun dirimu.

Aku tahu, kau akan selalu hadir sebagai angin yang memporak-porandakan hatiku. Sebagai air yang memberi sejuk manakala hati ini terasa terbakar. Kau hadir sebagai embun, yang membasahi pucuk-pucuk daun di pangkal pagi. Kau hadir sebagai bulan atau bintang gemintang, dan secercah cahayanya akan hinggap di sepasang mataku. Kau akan hadir sebagai apa saja, bukan sebagai sosok yang bisa kulihat ataupun kusentuh.

Kau hadir setiap malam di waktu-waktu tertentu menjelang aku tidur. Senyummu menggantung di ujung bulu mataku, tanganmu merapati kedua ujung bibirku, dan sentuhanmu akan menjelma sebagai mimpi-mimpi yang sukar untuk kulupakan.

Aku masih di sini, bukan untuk menyesali mengapa kita akhirnya tak seharusnya bertemu lagi. Kau telah memberiku pengertian tentang apa itu takdir sejak bertahun-tahun silam. Sejak sebelum aku tahu bahwa takdir itu bisa hadir dalam berbagai rupa. Dan kini aku mengerti, dan memahami, bahwa arloji yang berhenti berdetak tidak sama dengan cinta yang kehilangan denyut.

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

3 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)