Jumat, 15 September 2017

Lavia



"Bisakah kita bertemu sore nanti?"

Pesan dari Lavia membuat Zenra yang sedang malas-malasan di hammock menjadi bersemangat. Degub jantungnya seketika berdetak kencang. Tak mampu ia kendalikan. Akhir-akhir ini ia selalu gugup setiap kali menerima pesan dari Lavia. Padahal isinya sama sekali tak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi Zenra, semua yang berasal dari Lavia begitu istimewa.

"Bisa."

Balas Zenra tanpa berpikir dua kali. Ia sadar ada janji temu dengan salah satu kliennya nanti sore. Tapi bertemu dengan Lavia jauh lebih penting. Dan berharga. Sudah berbulan-bulan ia tidak melihat wajah sahabatnya itu. Pesan-pesan panjang yang ia kirimkan untuk Lavia hanya dibalas sesekali. Rindu yang sudah lama tumbuh itu menjadi benalu yang kerap membuatnya nyeri. Ia tak peduli meskipun Lavia tak pernah menanggapi rindu yang ia labuhkan.

"Kita bertemu di taman pinggir sungai ya?"

"Baiklah. Pukul setengah lima aku sudah di sana."

Setelah itu tidak ada balasan apa pun lagi dari Lavia. Hanya ada tanda centang ganda di layar aplikasi pengirim pesan di handphone-nya. Tanda bahwa pesan terakhir dari Zenra sudah dibaca. Padahal Zenra berharap Lavia membalas pesan terakhirnya, lalu ia mengirimkan pesan kembali. Begitu seterusnya hingga pertemuan nanti sore.

"Hufff..."

Zenra membuang napas panjang. Ia lompat dari hammock yang diikat di pohon. Pandangannya dibuang ke laut lepas. Menatap birunya laut yang berdesir-desir karena gemuruh ombak. Serupa itulah gambaran hatinya saat ini. Sulit ditafsirkan. Sulit ditenangkan.

Semalaman mengasingkan diri ke pantai tak juga membuat pikirannya tenang. Wajah Lavia terus menerus hinggap di pelupuk matanya.

Lavia. Menyebut nama gadis itu entah mengapa selalu saja menghadirkan debar di hatinya. Nama yang membuat sisi maskulinnya seolah-olah runtuh. Ingin sekali ia bercerita pada Ali, karibnya. Agar beban yang bercokol di hati dan pikirannya itu bisa berkurang. Tapi ia malu. Malu sebab ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Pada Lavia. Sementara Lavia tampaknya tidak memberi sinyal apa pun.

Untuk mengungkapkan, Zenra sama sekali tak punya keberanian. Nyalinya menciut. Ia memang kerap mengatakan rindu sambil berlelucon. Tapi Lavia sepertinya hanya menganggap itu sebagai lelucon yang sebenarnya.

"Mungkin sore nanti waktu yang tepat."

Desis Zenra pada dirinya sendiri.

***

Pukul setengah lima saat Zenra tiba di taman tepi sungai, Lavia sudah ada di sana. Gadis itu tampaknya tidak menyadari kedatangan Zenra. Ia terlihat asyik dengan buku di tangannya.

"Hai!"

Lavia mendongak. Ia menutup buku yang tadi ia baca dan memasukkannya ke ransel di samping tempat duduk dari tembaga. Ransel berukuran besar dan penuh itu menarik perhatian Zenra. Keningnya berkerut. Seolah mengirimkan tanya; mau ke mana?

"Duduklah."

Lavia menggeser duduknya, sehingga cukup leluasa bagi Zenra untuk duduk di sampingnya. "Apa kabar? Lama ya kita nggak ketemu. Kangen juga sama kamu..."

Zenra tersenyum. Hatinya berdesir saat mendengar Lavia mengatakan 'kangen' barusan. Anak muda itu jadi salah tingkah.

"Iya. Kamu nggak pernah mau kalau kuajak ketemu. Kenapa?"

"Lagi malas ketemu sama siapa pun. Hanya ingin menikmati kesendirian tanpa diusik oleh siapa pun."

"Hm... Oh ya, mau ngetrip? Itu kok ranselnya gendut sekali."

"Mau pulang."

"Pulang ke mana?"

"Hahaha... ya pulang ke kampunglah, Zenra. Gini-gini aku kan masih punya kampung yang dirindukan. Dan mungkin nggak balik lagi ke kota ini."

"Nggak balik kenapa?"

Lavia menarik napas panjang. Matanya mulai mengerjap-ngerjap. Perasaan melankoli tiba-tiba menyergapnya. Air sungai yang keruh karena tingginya curah hujan di hulu lebih menarik perhatiannya untuk menenangkan gejolak hati. Ia mengalihkan pandangan agar tak menimbulkan pertanyaan baru dari Zenra.

"Kok malah diam? Nggak balik kenapa?"

Pertanyaan Zenra mengusik Lavia. Gadis itu lantas merogoh sesuatu dari kantong ranselnya. Selembar kertas berwarna biru muda yang dilapisi sampul plastik transparan. Kemudian ia sodorkan pada Zenra.

"Setelah kamu membacanya aku ingin mengatakan sesuatu."

Zenra menerima kertas biru muda itu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya jadi gemetar. Ia tak ingin menebak apa pun. Dan ia tak berani membayangkan apa pun saat ini.

"Aku tak ingin membuka dan melihat apa yang tertera di dalamnya," jawab Zenra lirih.

"Bukalah, agar kau tahu apa isinya. Dan aku bisa menyampaikan apa yang ada di hatiku."

"Karena ini kau ingin pergi meninggalkanku?"

"Aku hanya ingin meninggalkan kota ini."

"Tapi mengapa?"

"Buka dan bacalah."

Zenra menuruti perintah Lavia. Dibukanya sampul plastik transparan itu. Lalu membuka lipatan kertas biru muda di tangannya. Seketika matanya tertuju pada dua nama yang tertera di sana. Membuatnya mematung. Membuat kata-katanya tersekat di tenggorokan. Bahkan untuk menatap Lavia pun ia tak sanggup.

"Aku tak berharap kau datang, tapi rasanya tak sopan kalau aku tak mengundangmu, Zenra."

Kata-kata Lavia terasa bagai tusukan jarum di telinga Zenra.

"Kau sahabat terbaikku, Zenra. Kita banyak berbagi suka dan duka. Banyak keseruan yang sudah kita lalui bersama. Kau mengenalkanku pada dunia-dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Banyak kebahagiaan yang kudapatkan dari pertemanan kita selama ini..."

Kata-kata Lavia mulai mengalir seperti air sungai yang membelah kota ini. Sungai yang dulu menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal pengangkut rempah-rempah di zaman sebelum masa kolonial. Ia sama sekali tak memerhatikan Zenra yang mematung di sampingnya.

"Tapi lama kelamaan aku menjadi tergantung padamu. Buatku kau lebih dari sekadar teman. Saat aku sakit, aku hanya ingin merepotkanmu untuk mencarikan obat atau membawaku ke dokter. Saat aku butuh sesuatu kau adalah orang pertama yang kurecoki. Saat aku mendapatkan kebahagiaan, kau juga orang pertama yang ingin kubagikan kabar bahagia itu. Tanpa kau ketahui..."

Lavia sengaja menggantungkan kalimatnya. Ia mengerling ke arah Zenra. Ia jadi takut meneruskan kalimatnya. Ada rasa khawatir dan malu jika Zenra mengetahui apa yang sebenarnya ia pendam selama ini.

"Apa.....?"

Zenra akhirnya bersuara. "Apa yang tidak aku ketahui?"

"Hmm..."

"Apa?"

"Aku jatuh cinta padamu."

Wajah Lavia bersemu. Tangannya berkeringat dingin. Bersamaan dengan itu setitik air matanya jatuh.

Kini giliran Zenra yang terperangah. Sama sekali tak menduga jika Lavia menyimpan perasaan yang sama. Namun membaca kembali nama yang ada di kertas biru muda itu membuat dadanya terbakar.

"Tapi kenapa kau tidak pernah mengatakannya?"

"Aku?"

"Emm.... maksudku..."

"Kalau aku berani tentu sudah kukatakan dari dulu. Stupid!" Lavia berdesis.

"Tapi kenapa Ali?"

"Kenapa Ali?"

"Iya. Kenapa kau harus menikah dengan Ali?"

"Karena Ali mencintaiku."

"Aku juga mencintaimu, Lavia."

"Kau?"

Zenra mengangguk cepat. Lavia terkesiap. Ia memandang Zenra tanpa kedip. Airmatanya kembali menetes. Gantian dirinya yang tak bisa berkata-kata.

"Aku takut berterus terang. Entahlah.... setiap kali kuberi sinyal kau sepertinya abai. Lagipula kedekatan kita kukira bisa 'mengikatmu' tapi ternyata tidak. Andai waktu bisa diputar kembali...."

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Mengajakmu menikah... Tentu saja. Aku tak ingin kehilanganmu. Tapi..."

"Tapi apa?" Lavia menyelidik.

Zenra tidak menjawab. Ia meremas kertas biru muda itu dan membuangnya sembarang. Angin menerbangkan bola kertas itu ke sungai dan hanyut mengikuti arus air menuju laut lepas.

"Boleh aku tanya satu hal?"

Lavia memecah kebisuan.

"Apa?"

"Maukah kau menikahiku?"

"Maksudmu?"

"Jadikan aku teman 'bertengkar' seumur hidupmu."

"Kita kawin lari?"

"Kita tidak bisa kawin sambil berlari...."

Keduanya terbahak. Tapi hanya sesaat. Melihat raut wajah Zenra yang berubah, Lavia menghentikan tawanya.

"Apa kau akan menikah dengan Ali?"

Lavia cepat menggeleng. "Itu cuma drama yang kuatur dengan Ali."

***

Butuh waktu lama bagi Lavia untuk menata hidupnya kembali pascaoperasi pengangkatan rahim hampir setahun lalu. Kanker yang menggerogoti tubuhnya ikut menggerus kepercayaan dirinya. Ia nyaris tak ingin bertemu siapa pun, khususnya Zenra.

Penyakit itu telah lama menggoreskan trauma di hidupnya. Penyakit itu juga yang merenggut nyawa ibunya saat ia baru beranjak remaja. Untungnya ia punya ayah yang bisa membantunya melewati hari-hari berat itu. Ayahnya selalu sabar menghadapi mood-nya yang berubah-ubah. Hingga akhirnya Lavia kembali mau bertemu dengan teman-temannya. Tapi ia masih belum mau bertemu dengan Zenra.

Di antara teman-temannya, hanya kepada Ali saja Lavia mau berterus terang mengenai kondisinya. Termasuk perihal perasaannya pada Zenra. Ali pula yang mendesaknya untuk berterus terang dan sibuk memikirkan bagaimana caranya. Sampai akhirnya muncullah ide konyol itu.

***

Di taman tepi sungai itu Lavia dan Zenra menghabiskan waktu hingga senja tiba. Di ujung pertemuan itu Lavia lebih banyak diam. Ada ketakutan baru yang kini menjadi beban baru di hatinya. Tanpa sepengetahuan Zenra air matanya kembali jatuh.[]

Ilustrasi foto: Graphic Stock
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. Sungguh sulit kah mengucapkan kata itu, sehingga dibuat skenario untuk menikah dgn yang lain?

    Keren ceritanya kak, awalnya yel pikir mereka benaran mau menikah, tapi ternyata cuma drama saja, hehehe.

    Seru juga sahabat jadi nikah ya, jadi ingat pengalaman pribadi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahahah...... cerita ini cuma fiksi, jika ada kesamaan kisah itu di luar kesengajaan :-D

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)