Sabtu, 22 April 2006

"Dia, Kembang...."

beginilah hidup, apa yang diharapkan sering kali tidak berjalan sesuai dengan keinginan. kadang aku menginginkan rerumputan hijau yang subur, tetapi yang tumbuh justru rerumputan yang bahkan belalang pun tidak mau hinggap. atau hinggap tapi hanya sebentar lalu pergi.
lebih seperempat abad umurku kini, banyak yang kutemui, banyak yang datang lalu pergi. banyak pula yang telah mengisi hari hari ini menjadi lebih berwarna. mengalir seperti air di telaga, menggericik dan menyejukkan. menghadirkan senyum, juga menorehkan gelisah atau sesekali menyemburatkan cemburu.
dia,
aku ingin menamainya dengan bunga saja. bukankah bunga adalah lambang dari setiap keindahan? keceriaan dan kebersahajaan?
dialah yang selama ini telah memberikan warna dalam deretan waktu hidup ini. celotehnya bagiku seperti kicau burung yang berdendang di setiap pagi, ia menjemput mentari dan menawarkannya bagiku. lalu mengalun hingga membuatku merasa begitu tenang dan damai.
bunga,
ingin sekali melihatnya selalu mekar, berusaha menyiramnya dengan sejumput cinta yang kumiliki, sejumput cinta anak perantauan yang jauh membelah lautan dibelahan bumi bagian lain sana. hidup merasa lebih berarti ketika ada yang berharap padaku. agar aku bisa selalu bersamanya. menyiramnya. dengan kasih dan sayang yang sebening embun, tulus. dan aku tidak berharap apa apa selain ketulusan.
tapi, seperti yang ku katakan tadi. ketika aku berharap dia selalu mekar bersamaku. bahkan untuk bermimpipun aku menjadi tidak berani sekarang. dia bukan hanya ada dipagar besi, tapi juga dilingkari dengan tembok yang sangat tinggi dan kokoh, yang aku tidak mungkin menjangkaunya. aku tidak bisa merobohkannya kecuali dia yang merobohkannya sendiri. pun dia, barangkali juga akan berfikir seribu kali untuk merobohkan pagar itu.
cinta, selalu berbunga ketika mendengar kata itu. berbinar mata ini tak ubahnya seprti kerlipan bintang kejora. tapi tatkala kenyataan berkata lain, keredupan akan menghiasi binarannya. siapapun pasti akan menyanjung cinta sampai ia kehilangan kata-kata indah untuk mengkiaskannya. tapi ketika ia berlawanan dengan keimanan apakah masih harus selalu disanjung? ku kais logika ini agar sebisa mungkin aku tidak terseret ke jeratan bernama cinta. kusemai benih kesadaran agar aku tidak tergadai oleh cinta. ada yang lebih berharga daripada semua itu. Aqidah.
bunga,
kalaupun aku tidak bisa memekarkanmu, bukan berarti aku ingin menelantarkanmu, bukan pula aku ingin melihatmu kering. bahkan sebaliknya, aku ingin mengeluarkanmu dari rantai besi tembok itu agar kau selamat hingga di akhirat kelak. karena aku tidak tega melihatmu lebih menderita di alam sana kelak. bukankah kita merindukan kebersamaan hingga ke surga? untuk itu kita harus menyamakannya di dunia ini dulu.
bunga, kalaupun itu tidak mungkin terjadi, percayalah aku selalu berdoa agar suatu saat engkau bisa mekar bersama yang lain, dan aku ingin itu dengan persamaan.
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)