Minggu, 09 November 2008

Jari Jari Istriku*



“Tanganmu indah sekali, Dik,” ucapku suatu malam.

Saat itu kami tengah makan malam berdua di sebuah kafĂ©. Kami sengaja mengambil tempat agak di pojokan agar lebih leluasa dan tidak menjadi perhatian orang-orang. Sebaliknya kamilah yang menjadi leluasa untuk memperhatikan orang lain. 

Kebetulan malam itu agak sepi karena bertepatan dengan Minggu malam, anak-anak muda tidak banyak berdatangan karena besoknya mereka harus sekolah dan mungkin malam ini harus menyiapkan tugas yang diberikan gurunya di sekolah.

“Aku selalu bernafsu setiap kali melihat tanganmu dengan kuku-kuku yang indah terawat.” Kata ku lagi melihat tidak ada respons apapun dari istriku. Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berkata begitu di depan istriku, sangat sering bahkan dan tak peduli di mana pun berada.

“Sudah, sudah, makan saja dulu.” Jawabnya agak tersipu malu.

Aku tersenyum tipis melihatnya.

Mataku masih belum beralih dari jari-jari tangannya yang lentik, aku justru menatapnya dengan semakin liar. Melihatnya merobek-robek ayam bakar dengan kedua tangannya. Ibu jari dan telunjuknya mencengkeram dengan kuat sedang tiga jari lainnya melengkung mengikuti kedua jari tadi dengan sangat indahnya. Sebuah pemandangan yang amat sangat menyenangkan untuk dinikmati.

“Entah aku bisa mencintaimu atau tidak jika saja Tuhan tidak memberimu tangan sebagus itu,” kali ini aku juga bicara jujur. 

Dan memang tidak ada gunanya berbohong kepada istri sendiri. Kupikir istriku masih tidak perduli, tapi rupanya tidak. Air mukanya seketika berubah, ia meletakkan ayam bakarnya dan menatapku seolah-olah meminta penegasan dari apa yang barusan aku katakan.

Ada kesedihan yang tiba-tiba menggantung di wajahnya, aku memaklumi perubahannya yang tiba-tiba itu. “Tapi syukurlah jari-jari indah seperti itu tidak dimiliki oleh perempuan lain,” sambungku cepat berharap selera makannya tidak hilang.

“Lalu kalau seandainya besok tanganku terpotong dan jari-jariku hilang?” tanyanya dengan mimik wajah serius. Ada kekhawatiran dan kecemasan.

“Itu persoalan lain, lanjutkan saja makannya.”

Begitulah, tampaknya memang berlebihan kalau aku mengatakan asal muasal jatuh cinta kepada istriku karena terpesona pada jemarinya yang lentik dan indah. Saat itu, beberapa tahun lalu pertama kali aku melihatnya tengah mengetik sebuah artikel di rental komputer. Lalu kuberanikan diri menanyai namanya dan meminta nomor teleponnya dan jadilah dia istriku sampai sekarang.

Barangkali ia berpikir kalau aku jatuh cinta karena terpesona pada wajahnya yang hitam manis, atau pada tutur katanya yang lembut dan sopan, atau pada sikapnya yang kadang agak grasak-grusuk itu. Itu memang benar, tapi datangnya jauh setelah aku menikahinya, setelah aku punya banyak waktu untuk memerhatikannya. 

Bahwa selain punya tangan bagus dan cantik istriku juga memiliki wajah hitam manis yang enak dipandang, punya tutur kata yang lembut dan menenangkan. Tapi yang selalu membuatku mabuk adalah jari-jemarinya yang lentik dan indah terawat itu. Barangkali karena aku tidak pernah memuji parasnya itulah suatu hari istriku memberanikan diri bertanya pada ku.

“Apa yang membuat abang jatuh cinta kepadaku sehingga mau menikahi ku?” tanyanya suatu pagi.

Seketika saat itu aku melihat ke jari-jarinya yang tengah mengaduk kopi. Aku agak bingung juga mendapat pertanyaan seperti itu sepagi ini. Kalau aku jawab jujur bisa dipastikan dia akan salah paham nantinya.

“Mau jawaban jujur atau jawaban bohong nih…”

“Idih, Abang ini gimana sih, ya jawaban jujur dong.” Saat itu aku mendapatkan bagian lain dari dirinya selain tangan indah dan wajah manis, yaitu senyum yang menawan.

“Karena jari-jemarimu yang indah, Dik.”

Ia tertegun mendengar jawabanku.

“Tidak ada yang lain?” Tanyanya tanpa kedip.

Aku menggeleng.

“Benarkah?” Ia tampak belum yakin.

Aku mengangguk lagi. Ia tersenyum sambil menyerahkan kopi kepadaku, tapi senyumnya agak getir dan hambar. Barangkali karena dipaksakan. Dan obrolan tentang asal muasal cinta pagi itu berhenti sampai di situ saja. Aku pun tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal itu.

Hingga suatu hari aku melihat istriku tengah menggosok-gosok kukunya dengan alat seperti gabus berbentuk persegi panjang pipih, aku hanya memperhatikannya saja dari jauh. Benda apa itu, pikirku. Tapi karena penasaran akhirnya aku mendekat.

“Kenapa kukunya?”

“Biar tetap cantik, biar Abang terus mencintaiku,” jawabnya datar tanpa senyum.

Oohh…istriku, ia sepertinya sedang ingin berunjuk rasa kepadaku. Menyampaikan sikap protesnya dengan cara seperti itu. Aku jadi geli mendengarnya. Tapi memang setelah ia melakukan ritual itu kukunya menjadi lebih cantik dan mengkilat, biasanya ia hanya membersihkan dengan jeruk nipis saja agar kukunya selalu bersih.

“Bagaimana?” tanyanya sambil memperlihatkan kedua tangannya kepadaku.

“Cantik,” jawabku seraya menarik tangannya untuk kukecup. “Cccuuuuppp…..”

“Kenapa?” Aku bertanya saat melihat ia menjadi murung, bukankah seharusnya senang mendapat 
pujian dari suami tercinta dengan bonus kecupan di tangan?

“Sedemikian burukkah wajahku sehingga Abang tidak pernah menciumnya?” ucapnya pelan dan sendu.

Masya Allah…jauh sekali yang dipikirkan oleh istriku, aku tersentak dibuatnya. Tapi dengan cepat aku segera mengkalkulasikan antara mencium tangannya dengan mencium keningnya, yah, mencium tangannya jauh lebih banyak, tak terhitung. Tapi…aku sama sekali tidak menduga kalau istriku akan berpikir hingga keayat itu.

“Bukan begitu, Sayang…” aku menjadi sulit menjelaskan kepadanya.

“Lalu apa?” suaranya bergetar tapi ia tidak menangis. 

Inilah satu hal lagi yang kusukai dari istriku, tidak cengeng. Bahkan dalam beberapa hal ia tampak lebih maskulin dari diriku seperti hobi mengebut atau cara dia membenarkan listrik di rumah ini. Tapi semua itu tertutupi dengan kelembutan dan kelentikan jari jemarinya yang indah tadi.

Tangannya tetap lembut walaupun sehari-hari ia berkutat dengan cucian dan bumbu rempah, tutur katanya senantiasa terjaga meskipun ia bisa saja memakiku dan aku tidak akan marah.

“Begini, dulu, asal muasal Abang mencintaimu memang karena tanganmu itu. Itu karena sedikit sekali waktu yang kupunyai untuk bisa bersamamu, sehingga setiap kali kita bertemu yang menjadi perhatianku adalah tanganmu. Tapi setelah kita menikah, setelah Abang punya banyak waktu bersamamu, Abang banyak menemukan yang lain lagi dari dirimu, Dik. Hingga akhirnya aku mencintaimu dengan stok cinta yang berlimpah-limpah.” Uraiku panjang lebar.

“Apa itu?”

Ah, istriku, ia memang sangat pandai berpura-pura. Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud dan tujuan perkataanku tapi ia ingin aku mengatakannya dengan jelas.

“Adik punya wajah yang manis, walau tidak seperti bulan tapi selalu ada bintang bergantung di sana. Dan tidak pernah hilang meskipun saat kau marah. Adik punya senyum yang manis, memang tidak semanis senyumnya Desi Ratnasari, tapi cukup ampuh untuk menjadi penenang bagi suamimu yang sering dilanda gelisah ini,” aku memperhatikan wajah istriku lagi, mulai bersinar kembali.

“Kamu punya suara yang merdu sekalipun tengah berteriak menyoraki tim sepak bola jagoan mu.”

“Heheheh…Abang udah deh, jangan merayu terus, nanti aku bisa berteriak lebih keras lagi.” Tawanya begitu lepas

“Berteriaklah di telinga Abang.”

“Aw…aw…” teriaknya riang, aku tertawa.

Istriku, kadang aku merasa Tuhan telah tidak adil kepadanya, karena untuk perempuan sesempurna dia hanya diberikan seorang suami yang cacat. Laki-laki yang hanya mempunyai sebelah kaki dan terus bergantung pada kaki palsu.[]

Cerpen ini pernah dimuat di Aceh Independen edisi Ahad, 9 Nov 2008

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

6 komentar:

  1. heheh.. ada-ada aja abang ini,

    kayak pilem laskar pelangi dong bang, si ikal yang jatuh cinta ama anak cina yang kuku-kukunya sangat cantik.

    katanya,"kuku tercantik yang pernah kulihat" wkekekk,,,

    BalasHapus
  2. bener membuaai..berasa punya istri, walaupun belum.
    jadi inget lagunya ST12
    Aku tergetar disentuh dia
    mataku terbang sampai ke langit
    tubuhnya pun indah dan seksi..
    bagai iklan di TV

    BalasHapus
  3. @ bu_nisa:
    untuk bisa dicintai dan mencintai ternyata tidak harus dengan hal-hal yang besar dan istimewa...bukankah ikal sudah membuktikannya hehehehhe

    BalasHapus
  4. @ hijrah:
    paling tidak dengan merasa punya istri, hijrah sudah punya istri kan???

    BalasHapus
  5. klo cinta sudah jatuh, memandang jari-jari tangan pun terasa indah
    cinta memang elegan selalu jatuh pada sesuatu yang dianggap istimewa

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheheheh iya kak Lisa, cinta sering terjadi pada hal-hal kecil

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)