“Tanganmu indah sekali, Dik,” ucapku suatu malam.
Saat itu kami tengah makan malam berdua di sebuah kafé. Kami sengaja mengambil tempat agak di pojokan agar lebih leluasa dan tidak menjadi perhatian orang-orang. Sebaliknya kamilah yang menjadi leluasa untuk memperhatikan orang lain.
Kebetulan malam itu agak sepi karena bertepatan dengan Minggu malam, anak-anak muda tidak banyak berdatangan karena besoknya mereka harus sekolah dan mungkin malam ini harus menyiapkan tugas yang diberikan gurunya di sekolah.
“Aku  selalu bernafsu setiap kali melihat tanganmu dengan kuku-kuku yang  indah terawat.” Kata ku lagi melihat tidak ada respons apapun dari  istriku. Sesungguhnya ini bukanlah kali pertama aku berkata begitu di depan  istriku, sangat sering bahkan dan tak peduli di mana pun berada.
“Sudah,  sudah, makan saja dulu.” Jawabnya agak tersipu malu.
Aku tersenyum  tipis melihatnya. 
Mataku masih belum beralih dari jari-jari tangannya yang lentik, aku justru  menatapnya dengan semakin liar. Melihatnya merobek-robek ayam bakar  dengan kedua tangannya. Ibu jari dan telunjuknya mencengkeram dengan  kuat sedang tiga jari lainnya melengkung mengikuti kedua jari tadi dengan  sangat indahnya. Sebuah pemandangan yang amat sangat menyenangkan untuk  dinikmati.
“Entah  aku bisa mencintaimu atau tidak jika saja Tuhan tidak memberimu tangan  sebagus itu,” kali ini aku juga bicara jujur. 
Dan memang tidak ada  gunanya berbohong kepada istri sendiri. Kupikir istriku masih tidak  perduli, tapi rupanya tidak. Air mukanya seketika berubah, ia meletakkan  ayam bakarnya dan menatapku seolah-olah meminta penegasan dari apa yang  barusan aku katakan.
Ada  kesedihan yang tiba-tiba menggantung di wajahnya, aku memaklumi perubahannya  yang tiba-tiba itu. “Tapi syukurlah jari-jari indah seperti itu tidak  dimiliki oleh perempuan lain,” sambungku cepat berharap selera makannya  tidak hilang.
“Lalu  kalau seandainya besok tanganku terpotong dan jari-jariku hilang?”  tanyanya dengan mimik wajah serius. Ada kekhawatiran dan kecemasan.
“Itu  persoalan lain, lanjutkan saja makannya.” 
Begitulah,  tampaknya memang berlebihan kalau aku mengatakan asal muasal jatuh cinta  kepada istriku karena terpesona pada jemarinya yang lentik dan indah.  Saat itu, beberapa tahun lalu pertama kali aku melihatnya tengah mengetik  sebuah artikel di rental komputer. Lalu kuberanikan diri menanyai namanya  dan meminta nomor teleponnya dan jadilah dia istriku sampai sekarang. 
Barangkali  ia berpikir kalau aku jatuh cinta karena terpesona pada wajahnya yang  hitam manis, atau pada tutur katanya yang lembut dan sopan, atau pada  sikapnya yang kadang agak grasak-grusuk itu. Itu memang benar, tapi  datangnya jauh setelah aku menikahinya, setelah aku punya banyak waktu  untuk memerhatikannya. 
Bahwa selain punya tangan bagus dan cantik istriku  juga memiliki wajah hitam manis yang enak dipandang, punya tutur kata  yang lembut dan menenangkan. Tapi yang selalu membuatku mabuk adalah  jari-jemarinya yang lentik dan indah terawat itu. Barangkali karena  aku tidak pernah memuji parasnya itulah suatu hari istriku memberanikan  diri bertanya pada ku.
“Apa  yang membuat abang jatuh cinta kepadaku sehingga mau menikahi ku?”  tanyanya suatu pagi.
Seketika  saat itu aku melihat ke jari-jarinya yang tengah mengaduk kopi. Aku agak  bingung juga mendapat pertanyaan seperti itu sepagi ini. Kalau aku jawab  jujur bisa dipastikan dia akan salah paham nantinya.
“Mau  jawaban jujur atau jawaban bohong nih…”
“Idih,  Abang ini gimana sih, ya jawaban jujur dong.” Saat itu aku mendapatkan  bagian lain dari dirinya selain tangan indah dan wajah manis, yaitu  senyum yang menawan.
“Karena  jari-jemarimu yang indah, Dik.”
Ia  tertegun mendengar jawabanku.
“Tidak  ada yang lain?” Tanyanya tanpa kedip.
Aku  menggeleng.
“Benarkah?” Ia tampak belum yakin.
Aku  mengangguk lagi. Ia tersenyum sambil menyerahkan kopi kepadaku, tapi  senyumnya agak getir dan hambar. Barangkali karena dipaksakan. Dan obrolan  tentang asal muasal cinta pagi itu berhenti sampai di situ saja. Aku  pun tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal itu.
Hingga  suatu hari aku melihat istriku tengah menggosok-gosok kukunya dengan  alat seperti gabus berbentuk persegi panjang pipih, aku hanya memperhatikannya  saja dari jauh. Benda apa itu, pikirku. Tapi karena penasaran akhirnya  aku mendekat.
“Kenapa  kukunya?” 
“Biar  tetap cantik, biar Abang terus mencintaiku,” jawabnya datar tanpa senyum.
Oohh…istriku,  ia sepertinya sedang ingin berunjuk rasa kepadaku. Menyampaikan sikap  protesnya dengan cara seperti itu. Aku jadi geli mendengarnya. Tapi  memang setelah ia melakukan ritual itu kukunya menjadi lebih cantik  dan mengkilat, biasanya ia hanya membersihkan dengan jeruk nipis saja  agar kukunya selalu bersih.
“Bagaimana?”  tanyanya sambil memperlihatkan kedua tangannya kepadaku.
“Cantik,”  jawabku seraya menarik tangannya untuk kukecup. “Cccuuuuppp…..”
“Kenapa?”  Aku bertanya saat melihat ia menjadi murung, bukankah seharusnya senang  mendapat 
pujian dari suami tercinta dengan bonus kecupan di tangan?
“Sedemikian  burukkah wajahku sehingga Abang tidak pernah menciumnya?” ucapnya  pelan dan sendu.
Masya  Allah…jauh sekali yang dipikirkan oleh istriku, aku tersentak dibuatnya.  Tapi dengan cepat aku segera mengkalkulasikan antara mencium tangannya  dengan mencium keningnya, yah, mencium tangannya jauh lebih banyak,  tak terhitung. Tapi…aku sama sekali tidak menduga kalau istriku akan  berpikir hingga keayat itu.
“Bukan  begitu, Sayang…” aku menjadi sulit menjelaskan kepadanya.
“Lalu  apa?” suaranya bergetar tapi ia tidak menangis. 
Inilah satu hal lagi  yang kusukai dari istriku, tidak cengeng. Bahkan dalam beberapa hal  ia tampak lebih maskulin dari diriku seperti hobi mengebut atau cara  dia membenarkan listrik di rumah ini. Tapi semua itu tertutupi dengan  kelembutan dan kelentikan jari jemarinya yang indah tadi. 
Tangannya  tetap lembut walaupun sehari-hari ia berkutat dengan cucian dan bumbu  rempah, tutur katanya senantiasa terjaga meskipun ia bisa saja memakiku dan aku tidak akan marah.
“Begini,  dulu, asal muasal Abang mencintaimu memang karena tanganmu itu. Itu  karena sedikit sekali waktu yang kupunyai untuk bisa bersamamu, sehingga  setiap kali kita bertemu yang menjadi perhatianku adalah tanganmu.  Tapi setelah kita menikah, setelah Abang punya banyak waktu bersamamu, Abang banyak menemukan yang lain lagi dari dirimu, Dik. Hingga akhirnya  aku mencintaimu dengan stok cinta yang berlimpah-limpah.” Uraiku  panjang lebar.
“Apa  itu?”
Ah,  istriku, ia memang sangat pandai berpura-pura. Sebenarnya ia sudah tahu  apa maksud dan tujuan perkataanku tapi ia ingin aku mengatakannya dengan  jelas. 
“Adik  punya wajah yang manis, walau tidak seperti bulan tapi selalu ada bintang  bergantung di sana. Dan tidak pernah hilang meskipun saat kau marah.  Adik punya senyum yang manis, memang tidak semanis senyumnya Desi Ratnasari,  tapi cukup ampuh untuk menjadi penenang bagi suamimu yang sering dilanda  gelisah ini,” aku memperhatikan wajah istriku lagi, mulai bersinar  kembali.
“Kamu  punya suara yang merdu sekalipun tengah berteriak menyoraki tim sepak  bola jagoan mu.”
“Heheheh…Abang  udah deh, jangan merayu terus, nanti aku bisa berteriak lebih keras  lagi.” Tawanya begitu lepas
“Berteriaklah  di telinga Abang.”
“Aw…aw…”  teriaknya riang, aku tertawa.
Istriku,  kadang aku merasa Tuhan telah tidak adil kepadanya, karena untuk perempuan  sesempurna dia hanya diberikan seorang suami yang cacat. Laki-laki yang  hanya mempunyai sebelah kaki dan terus bergantung pada kaki palsu.[]
Cerpen ini pernah dimuat di Aceh Independen edisi Ahad, 9 Nov 2008
 

 
 
 
 
.jpeg) 
 
 
 
 
 
 
heheh.. ada-ada aja abang ini,
BalasHapuskayak pilem laskar pelangi dong bang, si ikal yang jatuh cinta ama anak cina yang kuku-kukunya sangat cantik.
katanya,"kuku tercantik yang pernah kulihat" wkekekk,,,
bener membuaai..berasa punya istri, walaupun belum.
BalasHapusjadi inget lagunya ST12
Aku tergetar disentuh dia
mataku terbang sampai ke langit
tubuhnya pun indah dan seksi..
bagai iklan di TV
@ bu_nisa:
BalasHapusuntuk bisa dicintai dan mencintai ternyata tidak harus dengan hal-hal yang besar dan istimewa...bukankah ikal sudah membuktikannya hehehehhe
@ hijrah:
BalasHapuspaling tidak dengan merasa punya istri, hijrah sudah punya istri kan???
klo cinta sudah jatuh, memandang jari-jari tangan pun terasa indah
BalasHapuscinta memang elegan selalu jatuh pada sesuatu yang dianggap istimewa
heheheheh iya kak Lisa, cinta sering terjadi pada hal-hal kecil
Hapus