Selasa, 09 Maret 2010

Asyiknya curhat pada Lelaki Bukan Suamiku

Listrik padam. Tepat ketika azan magrib berkumandang. Suara takbir yang suci terputus. Selanjutnya hanya kesenyapan yang menyambut malam. Ciri khas Indonesia bagian barat selama beberapa minggu terakhir. Sebal bercampur kesal kadang-kadang datang silih berganti. Bagaimana tidak pekerjaan harus tertunda karenanya, belum lagi aktivitas-aktivitas remeh temeh yang tidak bisa dikerjakan karena terkendala dengan listrik. Rasanya ingin berteriak keras-keras Indonesia banget!!! Sering mati lampu!!!

Malas sendirian di rumah aku bertandang ke rumah tetangga. Aku mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Kuuluk salam juga tak ada jawaban. Namun karena aku mengenal baik yang punya rumah ini aku langsung masuk. Kebetulan pintu depan juga tidak dikunci. Kupanggil sekali lagi, masih tak ada sahutan. Samar-samar terdengar orang berbicara dari dalam kamar. Ternyata ibu muda tersebut sedang berbicara dengan temannya melalui telepon. Akupun tak lagi memanggilnya.

Aku duduk di depan tv, tapi sayangnya listrik padam dan benda itu jadi tidak berfungsi. Sambil tiduran iseng kumainkan piano kecil milik anak si empunya rumah yang baru berumur setahun lebih tiga bulan. Ting tong ting...dentingnya begitu nyaring di tengah keremangan cahaya lilin. Lama aku sendiri. Sementara si pemilik rumah tidak keluar-keluar dari dalam kamarnya. Tetapi karena suaranya cukup besar, nyaris semua obrolannya dapat kudengar. Aku tak bermaksud menguping. Karena rumahnya terbilang sempit aku tak dapat menghindar untuk tidak mendengar percakapan selepas mangrib itu. dan aku yakin iapun tidak berniat menyembunyikannya dariku.

Dari caranya berbicara aku tahu kalau ia bukan berbicara dengan suaminya. Tuturnya lembut, suaranya riang dan tawanya lepas. Hal yang jarang sekali kudengar ketika ia berbicara dengan suaminya melalui media yang sama. Sebaliknya, setiap kali suami istri itu berbicara melalui telepon hanya sumpah serapah yang sering ke luar. Semua penghuni kebun binatang satu persatu ke luar dari mulut mereka. Kadang kata-kata yang lebih parah lagi dari itu juga kerap meluncur. Bila sudah begitu aku pura-pura tuli saja.

Namun di hati terbersit kemirisan dan tanda tanya besar mengenai sikap mereka yang tak saling menghargai. Kadang-kadang aku jadi aneh sendiri dengan pasangan suami isteri itu. tak pernah akur. Padahal usia pernikahan mereka baru seumur jagung. Anak juga baru satu.

“Di sini listrik mati.” Katanya pada lelaki di seberang sana. Manja. Aku tersenyum, dalam hati menjawab “iya di sini listrik mati. Ke luar dong, biar aku ada temennya. Nggak enak nih gelap-gelapan sendiri. Cuma ditemani lilin kecil.”

Entah apa yang dijawab lelaki itu. suaranya samar sekali. Tak jelas. “Mas...di sini tuh mati lampu...jangan ngomong yang macem-macem deh...udah tahu aku jablai.”

Glek! Aku kaget dengan jawaban yang diberikan oleh tetanggaku itu. dia tertawa nyaring. Seolah tak ada beban dengan kata ‘jablai’ yang barusaja diucapkannya. Padahal ‘jablai’ itu sendiri bukan hanya sekedar berarti ‘jarang dibelai’ tetapi juga bisa berarti perempuan nggak bener yang suka menjajakan diri kepada laki-laki hidung belang. Jablai sama dengan kesepian. Hm...aku tersenyum geli, persis seperti kucing yang kepedasan.

“Aku kan jablai...menunggu kedatangan suamiku yang nggak datang-datang.” Lanjutnya memberi penjelasan.

Hm...lagi-lagi aku ingin tertawa. Yang jelas bukan tawa senang, tapi tawa penuh kemirisan. Miris menyaksikan keadaannya yang seperti itu. miris melihatnya yang dapat bermanis-manis kata berbicara dengan laki-laki yang bukan suaminya. Tetapi ketika berbicara dengan suaminya justru sering marah-marah dan bertengkar.

Lelaki yang dipanggil ‘mas’ olehnya bernama Anang. Yang jelas bukan Anang mantan suaminya Krisdayanti. Anang berteman dengan suaminya juga. Mereka saling kenal. Tetapi pastilah suaminya tidak tahu kalau Lia banyak bercerita di belakang mereka.

Aku tak sepenuhnya menyalahkan Lia. Sebagai seorang istri ia menginginkan suaminya selalu ada 24 jam bersamanya. Mengasuh anak bersama. Menjalani hari-hari bersama. Melewati suka duka bersama. Semuanya.

Tapi dia...senang milik ia dan suaminya. Tetapi duka sering kali miliknya sendiri. Sah-sah saja bila ia kerap mencurahkan isi hatinya pada orang lain yang mau mengerti kondisinya. Ia ingin berbagi bukan hanya kesenangan tetapi juga tentang rasa sakit hati yang sering dipendamnya sendirian.

Walaupun tindakannya tidak dapat dibenarkan, setidaknya ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Seperti kata bang Napi, kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat tetapi juga karena adanya kesempatan. Nah, kesempatan inilah yang tampaknya tidak ingin disia-siakan oleh Lia. Beberapa kali ia pernah ketahuan berselingkuh dengan lelaki lain tetapi Lia sepertinya belum jera. Ia masih senang bermain petak umpet dengan suaminya yang ada di luar kota.

“Kalau sudah tengah malam saya jarang bisa tidur...kenapa ya Mas?” katanya lagi dengan mimik serius. “Dulu tidak pernah begitu...saya sudah baca doa-doa dan surat pendek tetapi masih juga tidak bisa tidur.”

“Saya masak enak malam ini, kalau Mas Anang ada di sini pasti saya akan suruh mas untuk makan banyak. Nantilah kalau Mas Anang ke mari akan saya masakkan kepiting, tiram, ayam...”

Lia terus berbicara. Memang itu salah satu kelebihannya. Banyak bicara. Karena kelebihannya inilah aku sering merasa tak nyaman bila berlama-lama dengannya. Ia ingin semua pendapatnya dibenarkan, dan ini yang aku tidak sukai. Karena seringkali argumentasinya berseberangan dengan pendapatku. Tapi sebagai orang yang lebih tua dariku aku berusaha untuk menghormatinya dengan hanya mengangguk-ngangguk saja. Aku tahu ia sebal. Tapi itulah caraku menyelamatkan diri dari cerita panjang lebarnya. Terlepas dari itu, ia memang baik, tidak pelit dan baik hati.

Sembari berbicara ia kadang-kadang ia menjerit dari dalam kamarnya. Menyuruhku makan. Dengan agak malas kujawab “Iya”. Perutku masih kenyang. Di tambah listrik yang belum menyala sudah sejam lebih tentu saja selera makan jadi hilang.

“Terimakasih ya Mas, karena Mas sudah banyak membantu saya selama ini.” Lia menutup pembicaraan. Aku mulai ngantuk. Tapi untunglah lia segera ke luar. Ia kembali melanjutkan ceritanya. Dan aku hanya mengangguk-ngangguk.

23:42 pm

08 Mar. 10

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

12 komentar:

  1. Keren! bahasanya mengalir.... salam kenal

    BalasHapus
  2. speechless dengan ceritanya, tp tulisannya ttp menarik buat dibaca :)

    BalasHapus
  3. cerpennya bagus.. tapi lbh bagus lagi qe tambahanin narasi yang ........ gmn gt. cuma aku bingung .
    "Sembari berbicara ia kadang-kadang ia menjerit dari dalam kamarnya. Menyuruhku makan. Dengan agak malas kujawab “Iya”. Perutku masih kenyang. Di tambah listrik yang belum menyala sudah sejam lebih tentu saja selera makan jadi hilang."

    sejak kapan si lia tau kalo qe didalam rumahnya??

    BalasHapus
  4. Udah lama gak berkunjung kemari, ternyata udah ganti template baru, keren!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih bang Dave, sesekali diganti biar lebih fresh

      Hapus
  5. kalo ini cerpen, konfliknya masih belum terasa ini. masih nampak bahwa ini kisah nyata :D

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)