Minggu, 22 Mei 2016

Karena Ibu Aku Rela Jadi Istri Kedua


Hanya beberapa saat setelah saya memposting Akhir Kisah Mencintai Lelaki Beristri, sebuah pesan masuk ke akun media sosial saya.

Pesan itu dari seseorang yang sudah saya 'kenal' lama. Namun beberapa tahun belakangan ini kami hampir tak pernah berinteraksi. Terakhir berkomunikasi dengannya pada Februari lalu, setelah tanpa sengaja saya melihat fotonya dengan seorang bayi muncul di beranda saya.

"Hai Dek, selamat ya sudah punya momongan. Lama tidak saling komunikasi ternyata sudah ada yang berubah status," tulis saya melalui pesan inbox ketika itu.

"Heeii kaka... yaa ampuuun kamana wae.. hehe. Iya alhamdulillah, makasih yaa ka." balasnya singkat.

Setelah itu tidak ada lagi komunikasi. Tidak pula kami bertukar pin dan nomor telepon. Sampai akhirnya beberapa hari lalu ia kembali menyapa saya melalui pesan inbox, "kisah aku ditulis dong kak."

Saya sempat terpekur sesaat. Mengapa ia meminta saya menuliskan kisahnya? Adakah sesuatu yang 'tak lazim' telah dilakoni olehnya. "Serius?" tanya saya penasaran dan memastikan bahwa ia tidak sedang bercanda.

"Seriuslah, kan cuma ceritanya ajaah... identitas pelaku kan disamarkan heheh..." balasnya. "Aku kan nikah sama suami orang kak," seolah ia ingin menegaskan bahwa aku harus menuliskan kisahnya, karena tak kalah 'menarik' dari kisah yang kutulis sebelumnya.

"Yang bener dek? Sama Pak dosen itu?"

"Benerlahhh... bukan kak, pak dosen mah cuma jadi khayalan doang kak. Ga tau ya kenapa jodohnya juga udah beristri."

Berikut kisahnya seperti yang ia ceritakan kepada saya.

***

Panggil saja aku Sarah. Seorang perempuan yang sedang diliputi kebahagiaan karena pada akhirnya bisa menjadi seorang ibu. Di usiaku yang belum genap kepala tiga, aku sudah menikah dan kini memiliki seorang bayi.

Aku merasa hidupku telah 'sempurna' sebagai seorang perempuan. Ya, menikah dan punya anak, bukankah dua hal yang selalu diidamkan perempuan di dunia ini?

Tapi sebenarnya kesempurnaan itu hanyalah di permukaannya saja, bagai toping di sepiring pizza yang lezat dan menggiurkan. Kesempurnaan yang ingin segera dirasakan semua orang. Tapi bagiku sendiri, kesempurnaan itu sangatlah sukar untuk kuterjemahkan. Aku telah menukar banyak hal untuk mendapatkan semua itu. Entah sudah berapa liter air mata yang tumpah hanya untuk sebuah 'kesempurnaan' itu.

Usiaku baru 26 tahun saat seorang tetangga memperkenalkanku pada seorang pria. Sebut saja namanya Indra. Usianya terpaut 20 tahun denganku. Ia bekerja sebagai konsultan pajak dengan penghasilan yang lumayan. Di usiaku yang sudah genap seperempat abad, tentu saja aku menginginkan hadirnya seorang lelaki yang bisa menikahiku. Yang bisa menjadi imam. Dengannya aku akan mewujudkan mimpi-mimpiku yang banyak. Menjadi ayah dari anak-anakku nantinya.


Tetapi Indra tidak memenuhi impianku tentang sosok suami ideal. Yang menjadi permasalahan bukanlah usianya yang terpaut begitu jauh. Karena jujur saja aku lebih menyukai pria yang matang dan dewasa. Tetapi status Indra yang sudah menikahlah yang membuatku tak bisa menerimanya. Sungguh, tak pernah terlintas di benakku menjadi istri kedua atau menikah dengan lelaki beristri.

Aku boleh saja punya kriteria tentang suami idaman. Tapi walau bagaimanapun, aku ini adalah seorang anak, di mana orang tua -ibuku- punya hak prerogatif dan bisa memvetoku tentang ini dan itu. Termasuk soal Indra. Penghasilan Indra yang lumayan ternyata membuat ibu dan kakakku silau. Mereka memaksaku menerima lamaran Indra.

Aku menolak, tentu saja. Karena jika menikah dengan Indra itu artinya aku tidak punya kejelasan identitas di mata hukum. Aku juga harus berkorban banyak perasaan. Membayangkan hidup jauh dengan suami saja sudah membuatku ngeri dan takut.

Tapi penolakanku tidak membuat ibu luluh. Beliau terus membujukku. "Nikah sirri juga tetap nikah kan, emang kamu mau nunggu yang kayak gimana lagi, kalau menurut mama mumpung ada yang niat serius dan baik juga orangnya." Begitulah suatu ketika ibu pernah membujukku.

Entahlah, aku bingung. Aku merasa tidak punya tempat berpegang. Keluarga yang kuharapkan jadi pelindung, malah tak bisa menaungiku. Aku salat istikharah untuk mendapatkan petunjuk dari Allah. Akhirnya dengan terpaksa aku menerima Indra. Malam sebelum pernikahan kami, aku berniat kabur dari rumah. Tapi malam itu saat aku keluar kamar aku melihat kakakku sedang mengaji di ruang tamu, niat untuk kabur akhirnya kuurungkan karena takut ketahuan. Dan esoknya aku menerima ijab kabulnya dengan hati yang terkoyak.

Kalian tentu bertanya mengapa Indrah memilih menikah lagi setelah 24 tahun membangun rumah tangga? Ya, dia tidak mendapatkan kebahagiaan selama ini. Ia memang memiliki uang yang banyak. Tapi tidak mendapatkan ketenangan jiwa. Istrinya sering marah-marah dan merongrongnya. Ia tak dihargai sebagai suami dan hanya dilihat dari apa yang ia hasilkan saja. Begitu juga dengan anaknya.

Setelah menikah denganku, aku mengajaknya ruqyah di pengajian Ustaz Arifin Ilham. Dan setelah itu ia seperti 'menemukan' dirinya kembali.

Oktober 2014 aku menikah dengan Indra. Kini aku resmi menjadi seorang istri. Hari-hari yang harusnya menjadi momen-momen indah di hidupku berjalan tidak seperti yang kuharapkan. Hingga berbulan-bulan setelah pernikahan suami hanya mengunjungiku beberapa jam saja sehari. Malamnya aku selalu sendirian. Sabtu Minggu suami tidak pernah mengunjungiku.

Setiap kali akan meninggalkan rumahku suami selalu bilang "aku pulang dulu yaa." Aku tak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku tiap kali ia mengatakan begitu. Mungkin dia mengira aku ini cuma tempat mampir, dan rumahku bukanlah rumahnya. Jadi dia tidak pernah merasa 'pulang' ke tempatku. Aku berusaha memahami semuanya. Aku terpaksa menyimpan rapat-rapat apa yang kualami. Aku berdamai dengan takdir.

Juni 2015 aku hamil. Sejak awal suami memang melarangku untuk hamil. Dia memintaku untuk KB. Karena tujuannya menikah denganku memang bukan untuk mendapatkan anak. Tapi hanya untuk mendapatkan istri yang lebih baik dari sebelumnya. Ketika itu aku mengiyakan saja, karena aku sedang disibukkan dengan tugas skripsi. Tapi pada Februari kuputuskan untuk tidak ber-KB lagi. Bagaimana mungkin aku tidak memiliki anak.

Masa-masa hamil adalah masa-masa yang sangat sulit untukku. Karena terus berjauhan aku terpaksa memberitahukan kehamilanku via sms. Sayangnya, tanggapan suamiku sangat datar. "Oh, ya sudah". Hanya itu jawabannya. Jawaban yang membuat hatiku terluka. Di luar dugaanku. Aku menangis sejadi-jadinya. Ini kehamilan pertamaku, dan respons suaminya hanya begitu saja. Hati perempuan nama yang tidak sakit?

Aku melalui hari-hari yang sulit seorang diri. Aku mengidam ini dan itu dan harus mencarinya seorang diri pula. Belum lagi kondisi badanku yang tidak karuan. Setiap malam aku selalu sendiri. Tidak pernah ada suami di sampingku sekadar untuk memijit badanku yang sakit karena mengandung.

Pernah sekali waktu aku dan suami jalan-jalan. Di perjalanan kami bertemu dengan istri dan anaknya. Mereka melabrakku. Yang membuatku sakit, ketika itu suami malah diam saja dan meninggalkan aku sendirian. Aku terpaksa naik angkutan umum dan berencana pulang. Istrinya dan anaknya masih juga mengikutiku dan memaksaku turun di tengah perjalanan. Mereka memakiku dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas, sampai akhirnya keributan itu dilerai oleh tukang ojeg.

Setelah kejadian itu suami malah terpikir untuk meninggalkanku, saat itu aku memang belum hamil. Dia meminta maaf dan selama satu bulan tidak pernah menemuiku. Dia bilang, dengan kondisiku yang janda tanpa anak akan lebih mudah mendapatkan suami lagi. Oh Tuhan, semudah itukah ia mengeluarkan ucapan itu? Tidakkah ia memikirkan sedikit saja tentang perasaan dan hatiku yang hancur? Tidakkah ia memahami sedikit saja, perasaan malu yang kurasakan karena ulah istri dan anaknya?

Aku juga sempat terpikir untuk menyudahi semuanya. Tapi itu ibu dan kakak terus mendukungku, aku telat menyadari jika mereka ternyata mendukung karena uang suamiku. Dan siapa sangka jika usaha suamiku akhirnya ambruk saat aku hamil delapan bulan, dia jatuh terpuruk. Dia memutuskan bercerai dengan istrinya setelah semua hartanya selama ini 'dikelabui' menjadi atas nama istrinya.

Dengan kondisi perekonomian suami yang berbeda dari sebelumnya, keluargaku juga mulai acuh. Bahkan mereka sempat mengatakan dan menyalahkanku mengapa dulu mau menikah dengan Indra. Kenapa aku tidak porotin uangnya saja. Ya Allah, hatiku bertambah hancur rasanya.

Tapi aku ini seorang perempuan. Memiliki hati dan perasaan yang sangat peka. Entah karena kasihan atau karena kebaikannya perlahan aku mulai sayang dan mencintainya. Aku nggak rela kalau ada orang yang menghujat atau menjelek-jelekkan dia, termasuk keluargaku sendiri. Tetapi aku juga tidak ingin menyalahkan orang tuaku. Ibu tetaplah ibuku yang selalu kurindukan meski kini kami tak serumah lagi.

Kini aku hidup bersama dengan suamiku tanpa perlu merasa cemas lagi. Di satu sisi aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa, hingga sejauh ini aku merasa kisah hidupku yang pelik berakhir dengan happy ending. Sekarang status suamiku memang sudah seutuhnya menjadi milikku. Tapi satu yang tak pernah kulupa, saat menikah denganku dulu ia adalah seorang pria beristri. Dan karenanya aku telah banyak menahan sakit.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

10 komentar:

  1. Perasaan liza berkecamuk membaca tulisan ini kak. Soalnya orang terdekat liza juga mengalaminya. Syukurnya dia bahagia dg statusnya tersebut. Ah, kalau dia sendiri bahagia dengan keadaany itu, lantas kenapa kita harus protes kan? Toh melihat org terdekat kita senang, kita juga ikut senang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul Liza, hanya ybs yang lebih mengetahui kondisinya, dan tidak sedikit pula yang berpura-pura bahagia :-)

      Hapus
  2. Hm... sebuah kisah yang tak semua insan mengalaminya, dan sungguh besar hati si pemilik kisah ini, bersedia berbagi dalam memperkaya wawasan insan lainnya. Semoga ada hikmah dari kisah ini, ya, Ihan.
    Selamat untuk si kakak pemilik kisah ini, yang kini sudah seutuhnya berkeluarga tanpa harus merasa cemas. Semoga Allah memberkahi dan melimpahi rezeki. Aamiin. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiinnn.... ya dia merasa bahagia sekarang Kak, tapi tak pernah lupa pada apa yang pernah dialaminya

      Hapus
  3. Alhamdulillah kalau memang dia bahagia dengan statusnya..walopun utk sampe.ke "bahagia" itu butuh proses yg g mudah

    BalasHapus
  4. Tidakkah ia memahami sedikit saja, perasaan malu yang kurasakan karena ulah suami dan anaknya? <- ini maksudnya ulah istri dan anaknya bukan Ihan?

    Di balik kisah poligami, pasti ada banyak kisah yang tidak diketahui oleh orang lain, hanya yang melakoni dan Yang Maha Kuasa yang benar-benar tahu kisahnya. Jadi kayak baca Oh Mama Oh Papa deh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahha iya bener Ari, trims sudah koreksi,

      Hapus
  5. Bukan kisah yg gampang dicermati. Ada banyak sisi dalam cerita ini, Ihan.

    Karena istri saya bekerja sebagai pegawai di Mahkamah Syar'iyah Takengon, banyak cerita yg juga kami dapat. Ada beragam pelajaran di dalamnya.

    Semoga 'sarah' dan suaminya tdk lupa mengurus status pernikahan mereka agar mendapat jaminan hukum yg sah, bagi mereka sekeluarga.

    Tadi kalau tdk salah, nikah siri kan? Sah secara agama, tapi secara hukum tdk mendapat hak dan perlindungan hukum. :)

    BalasHapus
  6. Bingung mau komen apa.. Semoga kt semua selalu dlm lindungan Allah ya Kak Ihan.

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)