Selasa, 31 Mei 2016

Yang Menghapus Airmataku


HAMPIR setahun ini kami sekeluarga harus menjalani hari-hari yang teramat sulit. Seperti badai! Kesulitan itu datang tanpa pertanda apapun. Lantas memporak-porandakan apa yang ada di sekitar kami. Menghancurkan tiang-tiang yang selama ini menjadi tempat kami berpegang dan bersandar. Menerbangkan atap-atap yang selama ini melindungi kami dari hujan dan terik.

Semuanya terjadi begitu cepat. Berawal dari sakitnya Ibu pada awal September tahun lalu. Waktu seolah berlari. Tanpa terasa waktu setahun hanya tersisa beberapa bulan lagi.

Badai juga ikut memadamkan lampu-lampu yang selama ini memberi terang untuk kami. Lalu apa yang terjadi? Ya, kami terseok-seok, kesulitan mencari jalan sekadar untuk melangkah. Konon lagi untuk berlari. Kami terpisah satu sama lainnya. Kami terpuruk!

Kami seperti berada di sebuah lorong yang gelap dan panjang. Pengap. Saat kami melewati lorong itu yang terdengar hanya suara kami sendiri. Suara yang menyiratkan kegelisahan dan ketakutan. Kami terus berjalan meski belum tahu akan ke mana lorong ini menyeret kami.

Saat kondisi demikian tak menentunya, aku membutuhkan orang yang mau mengulurkan tangannya dan membantuku untuk bangkit. Mereka yang menyodorkan sapu tangan agar aku bisa menyeka air mata. Atau seseorang yang mengirimkan sepotong senyum, dan menempelkannya di bibirku yang telah kaku. Atau seseorang yang mengirimkan untaian-untaian doa dan kata-kata yang bisa menjadi obor.

Dengan obor itu aku mampu melihat, mampu melangkah, mampu mengetahui arah yang akan kutuju. Dengannya aku takkan tersesat dan salah langkah. Dengannya aku mempunyai tujuan dan harapan. Dengannya aku mengumpulkan puing-puing harapan yang telah diempaskan badai.



Aku bersyukur, sebab Tuhan begitu pemurahnya.

Aku bersyukur, sebab Tuhan telah mengirimkan orang itu bertahun-tahun lamanya sebelum badai itu datang.

Dia yang dengan sukarela mengulurkan tangannya, menyodorkan selembar sapu tangan, mengirimkan berkeping-keping senyuman, dan ribuan doa dan kata-kata penyemangat.

Dia yang kata-katanya selalu menenangkan, selalu memahami, dan selalu berempati. Dia yang selalu mengingatkanku agar tak pernah mengeluh, atau mempertanyakan kehendak Tuhan atas semua ini.

Dia yang sudah bersedia mendengar curhatku, bahkan hingga larut malam, membantku mencari solusi dengan segala kemampuannya. Bahkan saat aku sedang tersedu-sedu karena kebingungan. Dia, dengan segala kerendahan hatinya tak pernah mengatakan "tak bisa membantu" meski sebenarnya aku tahu ia tak punya solusi atas masalah yang kami hadapi.

Dia yang kata-katanya seperti air, menenangkan amarah dan emosiku yang kadang hadir sesukanya. Ya, dengannya aku bisa berterus terang, dengannya aku tak perlu malu, dengannya aku berbagai kesedihan.

Aku bersyukur, sebab Tuhan begitu pemurahnya.
Dia telah mengirimkan orang yang entah siapa ke dalam hidupku. Yang tak pernah menjauh, meski orang yang kuharapkan mendekat menjauh dengan cara yang tak perlu dijelaskan. Ya, kini aku mulai paham apa artinya 'memiliki'.

note: untuk kakak yang tak pernah bosan mendengar curhatku

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)