Senin, 28 Desember 2009

Menangislah, Di sini

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari air mata yang tumpah. Kau lihat air terjun itu? Jatuhnya seperti air matamu, dan tebingnya adalah kelopak mata. Tempat air berkumpul. Bukankah menyenangkan bagi orang-orang yang merasakan sejuknya? Membuat damai telinga yang mendengar gemericiknya. Menenangkan bagi yang menikmati tetesnya. Kabutnya melenakan pandangan. Juga jiwa.

Jangan khwatir, sebab hidup diawali dengan air mata dan diakhiri dengan air mata pula. Kau ingat cerita bayi yang baru lahir dan seorang tua yang melepaskan nafas terakhirnya? Semuanya mengundang tangis. Melelehkan air mata. Seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Tapi, kehidupan tak pernah berhenti sampai di situ.

Air mata bukanlah simbol kelemahan. Bukan pula pertanda atas ketidak berartian. Apalagi perlambang kesialan seperti yang banyak diartikan orang-orang. Mereka-mereka itu tidak pandai bersyukur. Sedang kau, aku tahu kau bukan seperti mereka. Menangislah, sebab air matamu adalah terjun yang damaikan semua orang. Terutama aku. Tangismu adalah keikhlasan. Sendumu adalah sumber kekuatan. Maka menangislah. Karena di sana aku dapatkan kehidupan yang sempurna.

Seperti sungai-sungai yang bermuara ke laut. Semuanya berasal dari air yang di keluarkan kelopak gunung bertebing. Bumi-bumi yang selalu lembab akan kasih sayang. Maka akulah yang paling merindukan semua itu. Air matamu. Maka menangislah, di sini, di pangkuanku. Dan aku akan menjadi orang yang paling beruntung. Sebab kamu hanya akan menangisi orang-orang yang paling kau cintai. Selain ayahmu, tentu saja aku lelaki itu. (*)

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)