Minggu, 27 Agustus 2017

Aku dan Koran Bekas


SAAT masih duduk di bangku Sekolah Dasar dulu, nyaris tak ada koran bungkusan cabai atau bawang yang terlewatkan olehku. Meski keadaannya sudah lusuh namun tetap menjadi sumber bacaan yang mengasyikkan.

Paling menyenangkan saat musim lebaran tiba, karena koran-koran yang digunakan untuk membungkus baju baru ukurannya lebih besar. Otomatis bahan bacaan yang bisa kubaca lebih banyak dan bervariasi.

Ketika itu orang tuaku tinggal di pelosok kampung yang bahkan listrik pun belum ada. Jangankan bicara mengenai sumber bacaan yang berlimpah, bahkan gedung sekolah kami waktu itu sebagiannya hancur karena ter(di)bakar saat konflik tahun 90-an. 


Aku menyaksikan sendiri saat lidah api dan asap tebal muncul dari salah satu ruangannya. Waktu itu aku belum bersekolah. Aku menyaksikannya dari dalam keranjang rotan di jok belakang motor ayah. Pengalaman mengungsi pertama di usia yang belum genap lima tahun.

Saat jam istirahat di bekas reruntuhan itulah kami bermain pasar-pasaran dan bongkar pasang. (jangan tanya kenapa kami main itu di sekolah )

Rabu, 23 Agustus lalu, bersama beberapa teman di komunitas, aku mengunjungi Ruang Memorial Perdamaian di Kantor Kesbangpol Aceh di Banda Aceh. Melihat artefak konflik dan berbagai objek foto yang dipamerkan di sana, kepingan kenangan masa kecil itu hadir kembali. Memunculkan seribu gejolak di dalam hati, antara rasa senang, sedih, haru, dan marah. Perasaan sentimental yang bisa datang kapan saja.



(Laporanku tentang kunjungan tersebut bisa dibaca di sini : Melihat Artefak Konflik di Ruang Memorial Perdamaian)

Sempat terbetik di hati, jika Aceh tidak berkonflik, mungkin aku (kami) punya fragmen masa lalu yang lebih beragam. Tapi suara hati yang lain langsung menyela, bisa jadi tanpa kondisi itu kami anak-anak Aceh tidak akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan tangguh.

Satu yang sangat kusyukuri bahwa dalam kondisi terbatas itu, selain senang bermain jitong dan patok lele, aku juga senang membaca. Meskipun hanya potongan-potongan berita di lembaran koran yang tak utuh. Yang kerap membuatku jengkel, sebab ada tulisan yang terpenggal, dan sering membuat penasaran.

Dan aku yakin --berkat karunia Allah-- kebiasaan membaca --dan mendengar haba jameun dari nenek-- itu pula yang menstimulasi diri ini menjadi sangat imajinatif. Imajinasi yang pada akhirnya membuatku bisa merangkai kata. Selalu ada kepuasan tiap kali selesai menuliskan sesuatu dari apa yang kulihat, kurasa dan kudengar. Termasuk cerita singkat ini sebagai pengantar foto di atas.

Saat masih SD pula aku sering berimajinasi --kulakukan saat pulang mandi sore yang jaraknya bisa berkilo-kilo meter-- agar kelak menjadi orang yang 'berbeda'. Entahlah, rasanya kini aku benar-benar menjadi orang yang berbeda seperti yang aku inginkan. Sebab, di antara teman-teman masa SD dulu cuma aku yang jadi blogger. 

Loc: Pustaka Ruang Memorial Perdamaian Aceh
Pict by Ibnu Syahri Ramadhan

Selasa, 15 Agustus 2017

Lelaki Kecil Penjaja Bendera di Trotoar Jalan

Istimewa/Rahmat Aulia

"Bendera, Pak! Bendera!" 
Seorang anak merapatkan wajahnya ke sebuah mobil di persimpangan lampu merah di Simpang Kodim Banda Aceh, sore pekan lalu. Di tangannya ada sejumlah bendera Merah Putih berukuran mini.
Usianya kuperkirakan belum genap lima belas tahun. Pakaiannya tampak lusuh. Kakinya hanya beralaskan sandal jepit. Saat mendongak, nampak jelas rasa lelah menggantung di wajahnya yang terbakar matahari. 
Pemandangan itu masih bercokol di ingatanku hingga hari ini. Saat membayangkannya kembali, ada rasa terenyuh di hati ini. Sekaligus rasa geram, namun entah kepada siapa. Memang, di musim 17-an seperti sekarang ini melihat pemandangan orang berjualan bendera Merah Putih bukan hal yang aneh. Hanya saja, dilakukan oleh seorang anak seusia itu jelas tak bisa dianggap lazim.
Melihat anak tersebut kembali aku teringat pada sebuah gambar yang dikirimkan teman di grup WhatsApp. Potret seorang anak yang terduduk di trotoar jalan, tepat di saat jam sekolah pula. Anak itu juga sedang menjajakan miniatur bendera Merah Putih. 
Lebih memprihatinkan lagi, ia membiarkan kakinya yang telanjang langsung mencecap rasa panas trotoar yang terpanggang matahari. Di betisnya ada luka bakar kecil, seperti luka terkena knalpot sepeda motor.
Entah mereka anak yang sama atau tidak. Hanya saja dua potret di atas menggambarkan betapa beratnya perjuangan hidup yang harus dilalui anak tersebut. Jika kondisi ekonomi keluarganya mencukupi, harusnya ia tak perlu berpanas-panas di bawah siraman matahari untuk menjual selembar dua lembar bendera. Dan kalaupun ia menjual bendera untuk mencari penghasilan tambahan, mestinya tidak dilakukan di jam sekolah. 
Dan memang tidak ada alasan untuk tidak sekolah bukan? Apalagi pemerintah sudah menerbitkan Kartu Indonesia Pintar yang diberikan kepada anak usia 6-21 tahun dari keluarga kurang mampu, yang digunakan untuk kepastian pendidikan anak-anak Indonesia.
Bahkan baru-baru ini secara khusus telah disalurkan beasiswa kepada sekitar 20 ribu anak-anak tukang becak di Banda Aceh dan Aceh Besar. Berdasarkan berita yang kubaca di media massa, distribusi beasiswa tersebut merupakan program Indonesia Pintar yang disalurkan melalui anggota DPR RI. Setidaknya ini menjadi gambaran nyata 'Indonesia Kerja Bersama' dalam memerangi kebodohan. 
"Bendera!" kembali aku terngiang suara lelaki kecil itu saat menjajakan dagangannya kepada si pemilik mobil. Sayangnya, si pemilik mobil tampaknya tak berniat membeli. Bahkan untuk membuka kaca mobilnya pun ia enggan. Sehingga terpaksa si remaja tersebut menempelkan wajahnya dengan rapat, agar bisa mengintip pemiliknya di dalam sana. Saat lampu menyala hijau, dan mobil perlahan bergerak, masih sempat kudengar suara lirihnya merintih, "belilah, Pak."[]

Jumat, 04 Agustus 2017

Anak Muda Keren Itu Namanya Akbar



Akbar (berkacamata) @Facebook/Akbar Rafsanjani

Ambivert sepertiku, menjadi dekat dengan seseorang itu tidaklah mudah. Dekat dalam artian seseorang itu bisa menjadi 'teman ngopi' atau 'teman cekikikan' di aplikasi chatting. Minimal bisa jadi kawan buang suntuklah kalau sedang stres dan ingin gila-gila sedikit. Nggak perlu 'jaim-jaiman' dan bisa berekspresi apa adanya saja. Lebih dari itu, jika memungkinkan bisa jadi kawan curcol yang kadang-kadang kerap kambuh seperti PMS.

Dan Akbar adalah teman baru yang belakangan cukup sering terlibat obrolan dan menjadi dekat. Kami mengobrol apa saja, mulai dari film, musik, tempat-tempat wisata, hingga sepak bola. Olahraga yang tadinya bagai belantara penuh duri buatku. Akbar, si pemuda berkacamata yang sangat tergila-gila pada bola itu sedang berusaha menularkan virusnya padaku.

Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Akbar awal Februari lalu, saat berburu mie ikan di Laweung, Pidie. Saat itu Akbar ikut dengan Rio, teman sesama blogger di komunitas Gam Inong Blogger yang hari itu berbaik hati menjadi pemandu berburu mie ikan Laweung yang lezat.

Sebenarnya ada beberapa lagi teman Rio yang diajak sore itu, tapi yang nama dan wajahnya nyangkut di ingatanku ya cuma Akbar. Mungkin karena dia yang paling banyak omong waktu itu, dan anaknya komunikatif juga. Sehingga pertemanan kami berlanjut melalui Facebook dan Instagram. Sampai akhirnya saling bertukar nomor handphone dan janjian mencicipi kopi telur khas Lameu yang rasanya creamy banget di bulan Mei.

Di bulan puasa kemarin Akbar memprovokasiku untuk mencoba kopi arang Tangse yang gurih. Alhamdulillah sudah kesampaian saat libur lebaran Idul Fitri kemarin. Tapi cerita perjalanan ke sana belum sempat aku tulis karena alasan yang bisa dimaklumi. :-)

Akbar saat mengambil video air terjun Lhok Jok di Mane, Pidie @Ihan Sunrise


Akbar. Menyebut namanya saja sudah membuat senang, karena aku sangat menyukai nama-nama dengan huruf vokal 'a'. Asalnya dari Garot, Pidie. Daerah yang terkenal dengan  'festival' meriam bambunya saat lebaran Idul Fitri tiba. Wajahnya mirip India. Dan kalau tersenyum aku yakin akan membuat hati adik itu meleleh berkali-kali.

Dia ini unik menurutku. Kreatif. Dan juga energik. Potret anak muda potensial. Dia juga agamis. Berlatar belakang sebagai 'aneuk dayah' di pesantren tradisional tidak menyurutkan niatnya untuk terjun ke dunia kreatif. Khususnya dunia perfilm-an dengan spesifikasi film dokumenter. Soal ini, saat ngobrol di UK Lounge pertengahan Juli lalu, Akbar bilang ia tercebur ke dunia film. Alias tak sengaja tapi akhirnya malah keterusan.

"Awalnya cuma dimintai tolong untuk riset di sebuah dayah di Sigli oleh seseorang yang ingin membuat film dokumenter, tapi belakangan saya malah terlibat sebagai tim produksinya." Lebih kurang seperti itulah kata Akbar saat itu.

Berawal dari situ Akbar lantas mengikuti coaching khusus yang dibuat oleh Aceh Documentary. Dan saat ini ia sedang menggarap film dokumenter bertema urban yang akan diikutsertakan dalam lomba film dokumenter di Jepang. Karena lokasi garapannya ada di Banda Aceh, jadilah kami bertemu kembali. Otomatis komunikasi juga makin intens karena aku terlibat sebagai 'calo' untuk mencari calon objeknya. Hahaha.

Akbar jogging di lapangan Rindam IM di Mata Ie @Ihan Sunrise


Bersama Rio, Akbar yang seorang videomaker ini juga mengelola akun Rio de Jaksiuroe di Youtube. Melalui video-video kreatif yang mereka buat, dua anak muda ini mempromosikan potensi wisata Pidie kepada siapa pun yang mereka temui.

Nah, aku adalah 'korban' kreativitas mereka dan dampaknya bisa mengunjungi beberapa tempat wisata di Pidie. Bagi kalian yang ingin mengunjungi Pidie, tak ada salahnya mengontak mereka. Pasti ada banyak informasi yang kalian dapatkan dari mereka.

Pertemanan dengan Akbar tak hanya berlangsung di ruang chatting, tapi juga di dunia nyata. Pada suatu kesempatan kami berolah raga bersama di lapangan Rindam, Mata Ie, Aceh Besar. Bersama kami juga ada Vira, teman Akbar sesama sineas muda yang bernaung di bawah Aceh Documentary.

Dua anak muda ini menurutku sangat keren. Vira misalnya, selain punya talenta khusus di film, dia juga calon dokter dan saat ini sedang merampungkan skripsinya. Dari foto-foto aktivitas di Facebook-nya tampaknya ia juga seorang relawan di C Four.

Hal lain yang sering kubicarakan dengan Akbar adalah tentang India. Salah satu negara di Asia Selatan yang sering dikait-kaitkan dengan Aceh, dan sangat ingin kami kunjungi. Sebagai penggemar Sharukh Khan dan Aamir Khan, memasukkan nama India ke dalam daftar negara yang ingin kukunjungi bukanlah kesalahan.

Ada beberapa tempat yang paling ingin aku kunjungi di India yaitu Tajmahal dan Benteng Merah di Agra. Dua situs ini merupakan peninggalan Dinasti Mughal yang cakupan wilayahnya saat itu meliputi India, Pakistan, Banglades dan Afghanistan saat ini.

Setelah Dinasti Mughal hancur dan digantikan oleh Kerajaan Marathi, sampai akhirnya masuk kolonial Inggris dan wilayah tersebut menjadi terpisah-pisah. Umat Islam yang tadinya mendiami wilayah India bermigrasi ke wilayah yang kini menjadi negara Pakistan.

Selain itu aku juga sangat ingin berkunjung ke sungai Gangga, sungai yang dianggap suci oleh umat Hindu di India. Di sini sering dilakukan ritual kremasi mayat. Faktanya air sungai ini berasal dari gletser yang mengalir dari puncak Himalaya yang berada sekitar 14 ribu mdpl.

Terakhir, aku ingin sekali ke Kashmir, wilayah India yang berbatasan langsung dengan Pakistan. Negara yang menjadi musuh bebuyutan India. Setidaknya itulah yang sering kulihat di film-film bernuansa sejarah maupun sport movie.

Kami ingin sekali bisa ngetrip bareng ke India, semoga dimudahkan oleh Allah ya, Akbar?[]