Kamis, 15 Oktober 2009

Ajarkan Aku Jadi Pembunuh

“I will kill him if he leave me, couse he take it my something special in my life. I really love him, i can’t life wihout him”

aku tertegun, mencoba menghadirkan sosok orang yang mengirimkan pesan tersebut, perempuan muda yang tak pernah kukenali seperti apa rupanya, yang kutahu suaranya begitu nyaring dan lembut, apalagi ketika ia sedang menceritakan siksa batinnya.

Kucoba resapi galaunya dengan jiwaku yang tak sepenuhnya berhasil, sebab pikiran ini masih harus terbagi untuk beberapa butir pekerjaan yang belum selesai. Tak ada keputusan dari pemikiran disela ketergesaan ini, antara menyelesaikan pekerjaan dan keputusan untuk memberikannya sepatah dua patah kata yang mungkin bisa membuatnya tenang.

Aku mulai mengantuk, dan tubuhku mulai terasa berat ditambah dengan perut yang lapar belum terisi makanan sejak lepas siang tadi. Penunjuk waktu tepat berada di angka 10.30 pm.

Kukemas ranselku yang masih berat begitu pekerjaanku selesai, aku menoleh ke luar, langit gelap dan jalanan terasa begitu lengang. Bulanpun entah ke mana, dan bintang sepertinya enggan bertandang.

Sesaat setelah itu aku melesat di jalan raya. Masih dalam sepi dan lengang. Kembali ingatanku menjalang, pada beberapa kalimat miris tadi. Terbayang wajah pemiliknya yang gusar dan kalut, mungkin juga rasa sakit hati dan kecewa yang berperbankan kesedihan dan rasa takut.

Ah....

Aku berhenti di depan sebuah gerobak penjual roti bakar di tepi jalan, kupesan satu dan mencari kursi plastik untuk menunggu. Masih ada sisa waktu untuk berfikir sebelum pesananku selesai. Berfikir untuk segera pulang dan menikmati roti bakar berisikan selai nanas dan strawberry, sekaligus berfikir kepada seseorang yang mengirimkan pesan tadi.

Benarkah ia akan membunuhnya? Tapi, apakah itu tidak berlawanan dengan kata hatinya? Bahwa ia sangat mencintai seseorang itu. Lalu mengapa ia ingin membunuhnya? Bukankah cinta –dari sumber apapun- selalu mengatakan bahwa sesuatu yang begitu sakral dan berharga, tumbuh atas dasar kerelaan dan sikap mau menerima tanpa pengecualian.

Lalu mengapa akhirnya timbul kebencian dan rasa sakit yang tak terperi, bukankah seharusnya mengikhlaskan saja jika cinta tidak lagi sesuai dengan keadaan yang diinginkan oleh pikiran, hati, mungkin juga nafsu.

Dua menit kurang dari pukul sebelas aku sampai ke rumah. Pikiran tentang sosok perempuan itu masih mengiang dalam ingatan.

Jika saja aku mengenalnya, jika saja ia ada di hadapanku sekarang, jika saja kami bisa berdialog saat ini. Aku ingin sekali bertanya padanya, ingin belajar, ingin berdiskusi, aku ingin diajarkan cara membunuh yang tulus.

Cara membunuh tanpa paksaan, tanpa kebencian, tanpa sakit hati apalagi kecewa. Aku ingin diajari cara membunuh perasaan yang kadung bercokol dalam diri ini. Yang tak lekang meski saban hari aku menggerusnya, yang tak pernah usang meski faselita demi faselita terlewati.

Perempuan yang entah! Ajari aku cara membunuh ingatan agar aku bisa meninggalkannya dengan sempurna., maka akan kuajari kau cara menyederhanakan hidup agar kau bisa mencintai dengan keikhlasan. (Ihan)

00:23 am

15 okto 09

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)