Sabtu, 17 Oktober 2009

Rumah Yang Tak Lagi Kesepian

Desah mengiring mentari menuju ambang malam, sebentar lagi kalam-kalam suci akan mengepak-ngepak hingga langit ke tujuh. Menyemerbak hantarkan pujian pada sang Rabb pemilik semesta.


Seperti biasa aku menaiki anak tangga sebelum akhirnya sampai pada pintu kamar yang telah kutempati sejak bertahun-tahun yang lalu. Kali ini ada yang berbeda dari hari-hari kemarin, kemarinnya lagi bahkan kemarinnya lagi, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu.


Terang menyambut begitu pintu utama kubuka, rupanya ruang tamu yang dulunya gelap dan telah alih fungsi menjadi motorcycle port kini telah dipasangi lampu. Entah kapan, karena malam kemarin ruangan ini masih kudapati gelap gulita.


Dua kamar kulalui seperti biasa, namun setumpuk benda aneh yang terletak dipinggir sumur mengalihkan perhatianku. Benda yang dulu pernah ada di rumah ini, namun kejadian besar lima tahun yang lalu membuatnya menjadi terkebiri dan tak lagi berfungsi. Iapun telah berganti wujud menjadi besi tua berkarat yang tak lagi dibutuhkan. Benda itu masih tetap bernama pompa air namun aku tak tahu merknya apa, masih berkilat dan baru. ”Tadi sore” jawab teman yang sedang di kamar mandi saat kutanya kapan benda itu dipasang.


Kaki ini melangkah, memijaki tubuh tangga yang begitu pasrah tanpa penolakan. Ada yang berubah dari tatanan rumah ini. Kardus-kardus besar masih berserakan, berisikan perkakas yang belum disusun. Memenuhi sebagian ruangan yang tidak terlalu luas, rak piring, kompor.


Ah...Tuhan mengijabah doa rumah ini sepertinya, yang telah lama kesepian dan merindukan decah kaki yang berlainan. Ia rindukan keriuhan seperti dulu, rindukan asap-asap dari tanakan nasi dan tumisan sayur. Rindukan belaian banyak tangan pada dindingnya yang mulai kusam dan tua. Rumah yang ingin berikan kehangatan pada tubuh-tubuh yang kedinginan dipeluk tangan pagi. Rumah yang rindukan sapuan dari tangan yang berbeda pada setiap lantainya yang terpijak.

Rumah yang telah lama panjatkan doa, ucapkan selamat datang pada dua gadis itu. Biarlah aku yang menepi untuk tak lagi merasai kehangatanmu pada malam-malam yang dingin. Aku mengikhlaskanmu untuk dirawat olehnya, sebab aku tahu, aku tak bisa menjadi sempurna untukmu. Biarlah ia yang selalu membuatmu tersenyum karena ada yang menemani sepanjang hari. (Ihan)

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)