Senin, 12 Oktober 2009

Tak Ada Yang Beranjak

Menjelang magrib di sebuah warung kopi, di tepi jalan, di depan sebuah Masjid bermenarakan kupiah. Lalu lalang jalanan yang bising, menyuratkan bahwa peredaran waktu seperti tak berpengaruh. Masjid besar yang megah, tempat dikumandangkan kalam-kalam suci yang syahdu, hanya untuk dilalui, dan seolah-olah seperti membisiki; biarkan saja orang-orang suci mempasrahkan dirinya pada sang Illahi di sana.

Pun pintu warung yang dibiarkan tetap menganga, ditepuki denging nyamuk yang menyorak sorai, barangkali mereka sedang mentertawakan kebodohan manusia, bahwa rejeki adalah milik-Nya, tetapi mengapa takut untuk mengistirahatkan aktivitas barang sejenak sekedar untuk menghormati agama yang tercantum dalam kartu tanda pengenal.

Koran yang enggan ditinggal oleh pembacanya, sudah lusuh masai karena seharian berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Mungkinkah bapak itu yang terakhir menyentuhnya hari ini? Bahunya bersandarkan pada punggung kursi plastik yang mengkilat. tak ada tanda-tanda ia akan beranjak, kakinya bergoyang silih berganti dengan ritme yang teratur.

Kalam-kalam suci yang terus mengumandang, menundukkan alam, memberi kesenyapan, udara yang tak lagi berdesau, langit yang tak lagi memerah, hari yang akan berubah warna. Manusia nyaris menyamati mata Kelelawar, berjalan dalam gelap, hidup dalam gelap, untuk memilih kegelapan.

Hingga Azan melesat menembus cakrawala, tak mampu kalahkan gelombang yang bertebaran di badan jalan. pekerja yang masih sibuk dengan gelas kopinya, bapak setengah baya yang masih setia dengan koran lusuhnya, dan aku yang masih memaku di sini. Tak ada yang beranjak!
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)