Selasa, 08 April 2014

Surat Cinta untuk Suamiku yang Jadi Caleg

ilustrasi

Suamiku,

Aku melihatmu tertegun di beranda rumah kita sore ini. Apa yang kau lihat? Ikan koi warna-warni yang melenggak-lenggok di akuarium kecil itukah? Atau kau sedang terbuai dengan nikmat kesiur angin sore yang sesekali berdesir lembut.

Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan tentang pertarungan esok hari bukan?
Ah, kau pasti tak setuju dengan istilah 'pertarungan' yang kukatakan ini. Aku ingat, beberapa waktu sebelumnya saat kau mengatakan keinginan untuk maju dalam percaturan politik di negeri ini. Kau akan naik sebagai caleg, katamu waktu itu. Katamu, ada partai yang 'meminangmu'.

Aku mengenalmu sudah bertahun-tahun lamanya. Meski belum seluruhnya, aku jelas amat sangat mengenalmu. Kau bagian dari keseluruhan hidupku. Maka ketika ada kelompok tertentu yang meminangmu kala itu, aku langsung tersulut cemburu. Itu artinya, akan ada waktu-waktu di mana kau tak sepenuhnya milikku. Akan ada waktu di mana perhatianmu untukku akan berkurang. 

Dan, kau ini hanya seorang yang selama ini berkutat dengan nilai-nilai pasti, aku heran mengapa pada akhirnya kau menerima pinangan itu. Yang kutahu, setelah itu jiwamulah yang bertarung setelah itu. Terlalu banyak yang berkutat dalam benak dan pikiranmu. Bagaimanapun, perilaku politik yang berpuluh-puluh tahun telah mendoktrin pikiran kita. Bahwa politik itu kejam, politik itu jahat, politik itu kotor. Aku, tentu saja tak ingin kau berubah menjadi orang yang kejam, jahat dan kotor.

"Orang-orang baik tumbang bukan hanya karena banyaknya orang jahat, tetapi karena banyaknya orang-orang baik yang diam dan mendiamkan,(**)" katamu waktu itu, menjawab kerisauanku.

Baiklah. Sejak itu aku memutuskan untuk mendukung niat baikmu. Tentunya tak sedikit perdebatan panjang yang sudah kita habiskan. Sebagai pasangan hidup, aku tahu kau hanya membutuhkan pengakuan dariku bukan? Aku tahu, sumber kekuatan terbesarmu sebenarnya hanya bermula dari rumah ini. Tempat kita menabur benih cinta dan kasih sayang setiap harinya. Aku tak ingin membuatmu ragu dengan pilihan yang sudah kau putuskan dengan istikharah itu. 

Aku juga masih ingat, saat suatu ketika kau meminta pendapatku. Persis sore hari seperti saat ini. Saat mentari tak lama lagi akan tenggelam. Saat kita sedang menikmati tingkah ikan-ikan di akuarium bersama desau angin di beranda rumah kita.

"Setidaknya kau punya harapan kan?" desakmu kala itu.

Ya, aku memang punya banyak sekali harapan. Hari ini, aku kembali teringat pada harapan-harapan yang pernah kusampaikan padamu beberapa waktu lalu. Semua itu kembali terngiang sebab esok semua orang akan berbondong-bondong datang ke TPS untuk memberikan hak pilihnya. Aku tidak yakin kau akan menang, tapi setidaknya pasti ada satu dua orang yang akan memilihmu. Yang pasti tentu saja aku, istrimu yang mencintaimu apa adanya.  

Maka agar aku, atau pun kamu tidak melupakan harapan itu. Aku menulisnya di selembar kertas. Aku juga menyalinnya untuk diriku sendiri. Salinan yang untukmu kuminta agar kau selipkan di dompetmu. Itu agar kau selalu punya kesempatan untuk membacanya. Agar kau tak perlu repot-repot mencarinya di bawah tumpukan kertas-kertas di meja kerjamu. 

Saat aku akan beranjak untuk mengambil salinan itu, tiba-tiba kau memanggilku. Kau menunjukkan kertas putih yang sudah lumayan lusuh. Surat berisi harapan-harapan yang kutuliskan untukmu tempo hari.

"Kau mau membacakannya lagi untukku?" tanyamu.

Aku mengembangkan senyum sembari mendekatimu. Kusentuh jemarimu. 

"Kau gugup?" tanyaku.

"Sedikit berdebar," jawabmu.

Baiklah. Aku akan kembali membacakannya untukmu;

Kekasihku. Suamiku. Aku tahu, dalam hidup kita akan selalu dihadapkan pada keputusan-keputusan besar. Maka semua keputusan itu haruslah dengan seizin Tuhan yang kita sembah. Aku tahu, ada kalanya rasa takut itu hilang dalam diri kita, terutama saat kita menghadapi berbagai kenikmatan dunia di luar yang kita sangka-sangka. Maka selalulah ingat pada Tuhan yang telah mempertemukan kita. Jika kau menyanggupi, aku tak keberatan kau menjadi caleg, mengapa tidak Presiden sekalian?

Kau tahu, sebagai perempuan aku sering menonton infotainment. Aku punya banyak waktu untuk membaca berita dan tabloid gosip. Aku tak ingin kelak jika kau terpilih, aku justru mendapati nama atau fotomu menempati salah satu kolom di tabloid itu, atau di berita, atau di mana saja.

Aku rela hidup bersusah-susah denganmu, dengan fasilitas yang seadanya. Asalkan kita bisa selalu bersama-sama, bukan aku di rumah sementara kau di penjara karena penyalahgunaan wewenang. Kau mengerti maksudku kan? Jika itu terjadi, maka kau telah memberiku beban hidup yang amat sangat berat. Dan itu artinya kau melanggar janjimu di hadapan orang tuaku saat akad nikah dulu, saat kau berjanji akan selalu menyenangkan dan membahagiakan hati dan hidupku.

Dengan pernyataanku ini bukan lantas aku tak setia. Tapi bagiku, lebih baik kita hidup apa adanya tapi menjadi terhormat. Ketimbang kita mempunyai banyak harta tapi hidup penuh cibiran dan hinaan. Aku hanya takut Tuhan tidak mempertemukan kita di surga kelak.

Yang selalu mencintaimu
Istrimu



"Kau lah yang membuatku teguh pada keputusan ini" katamu pendek. Lalu kita terseret dalam pusaran hening yang panjang.




(*) Cerita ini murni imajinasi
(**) kutipan Anies Baswedan di video Cerita di Kopaja
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

12 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)