Rabu, 11 September 2013

Meranti dan sintrong, dua jenis sayuran hutan paling membekas di ingatanku

Pucuk Meranti
SAAT menuliskan ini aku sedang dalam kondisi tak "baik", entah kenapa sejak siang tadi aku kurang begitu semangat. Mungkin juga karena sudah beberapa hari ini badanku ngga begitu fit, semalam malah sempat homesick dan rasanya pengen pulang ke kampung. Sampai-sampai menetes air mata dan rindu begitu kuat sama almarhum ayah.

Saat-saat rasa "galau" itu melanda, tiba-tiba Mbak Adel yang di Bandung posting gambar eceng gondok yang akan disayur. Jujur saja seumur hidup aku belum pernah makan daun itu. Di Aceh daun eceng gondok biasanya dijadikan pakan bebek. Tapi aku -dan juga keluarga- suka sekali dengan daun genjer, yang habitatnya sama seperti eceng gondok. Sama-sama hidup di air. Yang oleh kebanyakan masyarakat Aceh lainnya juga dijadikan pakan bebek. Melihat postingan Mbak Adel ini teringat saat masih anak-anak, ibuku sering memasak daun-daunan liar.

Aku akan memutar ulang beberapa cerita masa kecilku tentang jenis sayur-sayuran, yang aku yakin hanya orang-orang "tertentu" yang pernah memakannya. Maksudnya hanya orang-orang ladang seperti kami yang dasarnya adalah petani. Sebagai petani, otomatis lebih dekat dengan alam. Dan pada prinsipnya asal ngga membahayakan semua bisa dimakan.

Di beberapa tulisanku lainnya sudah pernah kuceritakan kalau kedua orang tuaku petani tulen. Aku hidup dan besar di ladang, belakangan di kebun, ketika ayahku mulai beralih menanam tanaman tua seperti kakao dan kelapa.

Di daerah tempat kami tinggal dulu ada kawasan perbukitan yang diberinama Lhok Jeuruweng. Sampai sekarang aku tidak tahu apa arti nama Jeuruweng itu. Kondisi geografisnya berupa perbukitan yang di lembahnya terdapat parit-parit kecil dengan air yang sangat jernih. Lokasinya sangat jauh dari perkampungan penduduk. Jarak dari rumahku mungkin lebih dari lima kilometer dan itu harus ditempuh sambil jalan kaki. Dengan kondisi jalan berupa jalan tikus di antara lereng bukit dan kebun-kebun penduduk. Bukit ini sangat luas, mempunyai beberapa pucak bukit dan bisa tembus ke beberapa desa sekaligus. Bahkan beberapa ruas jalannya terpaksa harus melewati padang ilalang yang tinggi.



Waktu aku masih di Sekolah Dasar, orang tuaku dan beberapa tetangga lainnya banyak yang berladang di sana. Mereka menanam kedelai, kacang tanah dan juga cabai. Kebiasaan pergi ke ladang harus pagi-pagi sekali, mulai pukul tujuh sudah berangkat dan biasanya baru pulang menjelang magrib. Mereka juga membawa bekal, berupa beras, mie instan dan telur untuk dimasak di ladang, kecuali sayur.

Hari paling menyenangkan adalah hari Minggu, karena aku dan teman-teman sebaya juga dibolehkan ikut ke ladang karena nggak sekolah. Biasanya kami akan bangun lebih awal, dan ikut mempersiapkan apa saja yang perlu dibawa. Entah itu air minum, paling tidak mempersiapkan diri sendiri.

Meski jauh tapi sangat menyenangkan. Berjalan berkilo-kilo meter seolah ngga merasa lelah, belum lagi baju yang kadang-kadang sampai basah kena embun yang masih menempel di daun ilalang. Jalanan yang licin dan sempit, kadang berduri. Saat jalanan menurun kami harus benar-benar awas, takut tergelincir. Menariknya tidak ada yang saling mendahului, kami semua jalan sambil mengantre. Yang tua dan jalannya tepat biasanya di depan. Kami para anak-anak biasanya di tengah. Setiap orang ada saja barang yang ditenteng, entah itu jerigen berisi air minum, entah itu bontot (bekal), parang, goni, dll.

Di tengah jalan jika beruntung kadang kami melihat monyet-monyet kecil bergelantungan di pohon. Pemandangan itu tentu saja menjadi hiburan gratis bagi kami anak-anak di desa. Ditambah dengan pemandangan sekeliling yang hijau dan alami, benar-benar tak terlupakan. Waktu itu para orang tua kami hanya mengandalkan matahari sebagai penunjuk waktu.

Begitu sampai di ladang, semua sudah mengetahui tugas dan kewajibannya. Para orang tua mulai berpencar, masing-masing menuju ke lahan sendiri. Kami yang anak-anak biasanya disuruh duduk di gubuk, kalau tak ada gubuk ya paling di "markas" khusus yang sudah dibuat. Kalau sudah bosan bermain kami ikut-ikutan membantu pekerjaan mereka, biasanya ngoret (menyiangi rumput) atau memetik cabai, atau sekedar main umpet-umpetan.

Daun sintrong
Makan siang adalah momen paling ditunggu-tunggu. Sesaat sebelum makan siang ibuku menyudahi pekerjaannya. Ia ke gubuk dan mulai menyiapkan makan siang, menanak nasi dan memasak sayur. Menanak nasi hanya bermodal dapur gantung dari ranting pohon yang ditancapkan di tanah. Sayur yang dimasak juga mengandalkan sayur-sayuran hutan yang tumbuh di ladang.

Dua jenis sayuran hutan yang sampai sekarang masih kuingat adalah daun sintrong dan daun meranti. Tumbuhan ini tumbuh di sela-sela pohon cabai barengan dengan tanaman gulma lainnya. Daun sentrong ini memiliki tekstur daun seperti daun tomat, agak kasar dan berbulu halus dengan aroma yang khas. Daunya mirip daun sirih, sisinya bergerigi. Batangnya mirip batang tomat tapi tidak bercabang, melainkan lurus saja ke atas. Kubaca dari wikipedia, daun ini tumbuh di dataran sekitar 200 dpl. Wajar saja kalau banyak tumbuh di ladang penduduk di daerah kami dulu.

Sedangkan daun meranti mirip pohon cabai, baik daun maupun bentuk batangnya. Punya buah kecil-kecil mirip buah pohon teh-tehan yang berwarna kuning itu. Bedanya, meranti ini buahnya berwarna hijau, kalau sudah masak berwarna merah dan tidak bisa dimakan. Dua jenis sayur ini paling enak direbus dan dimakan dengan lalapan sambal terasi. Bisa juga ditumis. Selain itu, ada juga daun sawi hutan yang warna daunnya hijau pekat, kalau sudah tua muncul bunga yang warnanya kuning kecil-kecil. Aku terakhir memakan daun sentrong ini waktu tamat SMP, sekitar tahun 1999 lalu.

Di ladang itu juga tumbuh tomat bunga, namun tidak banyak karena hanya untuk konsumsi pribadi saja. Biasanya juga ditanami kacang panjang, daun ubi dan terong. Pokoknya untuk makan sehari-hari tidak perlu beli kecuali beras karena di tempat kami memang tidak ada sawah.

Setelah besar, aku rindu masa-masa kecilku dulu yang menurutku cukup menarik, dan menantang. Kami tumbuh besar di daerah yang tanahnya sangat subur. Oh ya, perihal sayuran hutan itu tentu saja aku ngga tahu kapan bisa memakannya lagi. Pasalnya sekarang aku bukan lagi anak "ladang", kami sekeluarga tidak tinggal di kampung yang dulu. Betapa konflik telah merenggut semua kenangan indah masa kecilku.[]

Postingan terkait: Sekeping kenangan tentang sekolah Kampung Pelita
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

16 komentar:

  1. Balasan
    1. udah ada tuh, maklum nulisnya nyambi-nyambi buk, jadi gambar belakangan heheheh

      Hapus
  2. Balasan
    1. heheheheh...ngga ada kan di tempatmu eki hihihihi...itu kalau ditumis, direbus atau disantan enak sekali...nyam nyammm

      Hapus
  3. Membaca postingan mu teringat ketika kecil2 dulu tiap libur sekolah mesti ikut dia "jak u glee" :)

    Meranti, sintrong bahasa Aceh nya apa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheheheh, dia itu siapa?

      dalam bahasa Acehnya kurang tahu juga, saya hanya tahu namanya Meranti dan Sintrong :-)

      Hapus
    2. heheheheh...ikut nenek/ortu ke ladang bikin kita jadi tangguh heheheh

      Hapus
  4. Wah, saya belum pernah makan sayur-sayuran itu, kecuali genjer. Genjer ditumis pedes pakai cabe rawit enak banget :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mbak Oci, sebenarnya kalau dibilang sayuran juga kurang tepat sih, karena dia masuk kategori gulma, tapi ngga mengganggu dan mudah ditanggulangi. hanya tumbuh di daerah perbukitan

      Hapus
  5. Wah baru nemu dirimu di blog sekarang. Seru banget ya masa kecilnya. Ngebayangin main seharian di perbukitan nan hijau. Meranti itu bukannya nama pohon ya?

    Tahun 1999 masih SMP? Saya malah sudah merantau ke Batam buat bekerja :D Nah jadi tahu deh kita selisih kurleb 5 tahunan.

    Btw udah sy follow blognya. Folback ya :D
    di http://www.sierrasavanna.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Lina, thx udah nyowan ke blogku heheheh.....iya emang, masa kecilku sangat amat menyenangkan, ini hanya bagian kecil saja yang kuceritakan heheheheh. okai dehhh ntar aku kunjungi juga rumahnya dehhh

      Hapus
  6. Semua aneh dah coba gan waktu kecil, tambah lagi sama pakis gan.. nikmat :D

    BalasHapus
  7. Saya pecinta sayuran liar...ragam sayuran liar itu saya tanam di pekarangan...

    BalasHapus
  8. ini kok tambah membahas makanan manusia, ini kan temanya makanan kelinci hadew .... hehehe

    BalasHapus
  9. Malah belum tahu nama sayuran itu

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)